Juni 2013

Foto dari hidupkatolik.com
Perkawinan merupakan bentuk hidup yang meliputi aneka nilai yang perlu dilindungi. Perlindungan itu diupayakan antara lain dengan menetapkan persyaratan yang harus dipenuhi untuk dapat menikah dengan sah, yakni halangan-halangan perkawinan. Maka orang yang ingin menikah harus bebas dari halangan-halangan nikah. Beberapa halangan nikah dikemukakan di bawah ini.

1. Umur

Untuk dapat menikah secara sah, pria harus berumur 16 tahun penuh, sedang wanita berumur 14 tahun penuh (kan. 1083.1). Dengan ketentuan umur ini Gereja berusaha menjamin kedewasaan seseorang demi kepentingan hidup pernikahan selanjutnya. Perlu diperhatikan bahwa Undang-Undang Perkawinan 1974 Ps 7 ayat 1 menentukan bahwa pria dituntut minimal berumur 19 tahun dan wanita 16 tahun untuk bisa menikah secara sah. Ketentuan ini penting diperhatikan supaya tidak menimbulkan kesulitan berhadapan dengan Negara.

2. Impotensi

Merupakan gangguan pada alat kelamin yang menyebabkan pasangan tidak dapat melakukan persetubuhan. Sebuah perkawinan menjadi sah secara sempurna (consumatum), bila setelah upacara pernikahan di gereja, pasangan itu melakukan hubungan sebagai suami-isteri. Impotensi menyebabkan perkawinan menjadi tidak sah.  Kanon 1084 menetapkan:
§ 1 “Impotensi untuk melakukan persetubuhan yang ada sejak sebelum nikah dan bersifat tetap, entah dari pihak pria ataupun dari pihak wanita, entah bersifat mutlak ataupun relatif, menyebabkan pernikahan tidak sah dari kodratnya sendiri.”
§ 2 “Jika halangan impotensi itu diragukan, entah karena keraguan hukum atau keraguan faktum, sementara dalam keraguan, pernikahan tidak boleh dinyatakan batal.
§ 3 Kemandulan tidak melarang ataupun menggagalkan pernikahan, dengan tetap berlaku ketentuan kanon 1098 (bila ada penipuan dari salah satu pasangan, perkawinan itu tidak sah dan dapat dibatalkan).
Menurut poin 1 di atas hanyalah impotensi yang ada sejak sebelum pernikahan dan tidak dapat disembuhkan yang merupakan halangan nikah. Impotensi yang timbul setelah pernikahan dan hanya bersifat sementara serta dapat disembuhkan, tidak merupakan halangan untuk sahnya pernikahan.

Impotensi merupakan halangan nikah, sebab dalam pernikahan dituntut kemampuan untuk membangun hidup sebagai suami-isteri yang saling menyerahkan diri seutuhnya dan terarah pada kelahiran dan pendidikan anak.

3. Perbedaan Agama

 Kanon 1086 menetapkan:
§ 1. “Perkawinan antara dua orang, yang di antaranya satu telah dibaptis dalam Gereja Katolik atau diterima di dalamnya dan tidak meninggalkannya secara resmi, sedangkan yang lain tidak dibaptis, adalah tidak sah.”
Perbedaan agama dan juga perbedaan Gereja merupakan halangan nikah, sebab dapat menjadi hambatan untuk penghayatan iman Katolik. Halangan ini dapat didispensasi, asal syarat-syaratnya dipenuhi (Kanon 1125 dan 1126).

4.  Tahbisan Suci dan Kaul Kekal

 Kanon 1087 menetapkan: “Adalah tidak sah pernikahan yang coba dilangsungkan oleh mereka yang telah menerima tahbisan suci. Kanon 1088 menetapkan: “Adalah tidak sah perkawinan yang dicoba dilangsungkan oleh mereka yang terikat kaul kemurnian yang bersifat publik dan kekal dalam suatu lembaga religius”.  Untuk halangan ini hanya Takhta Suci yang berwewenang memberikan dispensasi yang dikenal juga dengan istilah laisasi.

5. Kejahatan (Crimen)

Kanon 1090 menetapkan:
§1. “Tidak sahlah pernikahan yang dicoba dilangsungkan oleh orang yang dengan maksud untuk menikahi orang tertentu melakukan pembunuhan terhadap suami/isteri orang itu, atau terhadap suami/isterinya sendiri.
§2. “Juga tidak sahlah pernikahan yang dicoba dilangsungkan oleh mereka yang dengan kerjasama fisik atau moril melakukan pembunuhan terhadap suami/isteri.

6. Hubungan Darah

 Kanon 1091 menetapkan:
§1. “Tidak sahlah pernikahan antar mereka yang berhubungan darah dalam garis keturunan ke atas dan ke bawah, baik yang sah maupun yang tidak sah.”
§2. Dalam garis menyamping, pernikahan tidak sah sampai dengan tingkat keempat” (saudara sepupu).
Atas halangan ini tidak bisa diberikan dispensasi jika pasti atau mungkin bersifat kodrati. Lebih sulit diberikan dispensasi jika jaraknya makin dekat (misalnya, garis samping tingkat 3). Halangan hubungan garis samping tingkat 4 (saudara sepupu) bisa didispensasi kalau ada alasan-alasan yang cukup untuk permohonan dispensasi tersebut.

7. Adopsi

Kanon 1094 menetapkan: “Tidak dapat menikah satu sama lain dengan sah mereka yang mempunyai pertalian hukum yang timbul dari adopsi dalam garis lurus atau garis menyamping tingkat kedua.”

Kami mengemukakan beberapa halangan perkawinan seperti diatur dalam hokum Kanon. Kami hanya mengutip hukun Kanon yang mengatur perihal halangan tersebut tanpa banyak penjelasan. Kami hanya ingin memberikan sedikit informasi tentang halangan perkawinan agar umat dapat mengetahuinya. P. Alex Dato’ L., SVD

Keluarga merupakan basis dari Gereja. Keluarga disebut Gereja basis atau Gereja domestik. Keluarga Katolik yang missioner akan memberikan kontribusi besar bagi terciptanya Paroki Misioner.

Yang dimaksudkan dengan keluarga missioner adalah keluarga Katolik yang hidup berkeluarganya dijiwai semangat Injil Kristus, yang membuatnya memikat dan menggerakkan hati orang untuk datang kepada Kristus. Kisah berikut ini kiranya memberi kita inspirasi untuk dapat lebih memahami makna sebuah keluarga missioner. 
Suatu sore saya didatangi sebuah keluarga terdiri dari suami-isteri dan tiga orang anak. Di akhir obrolan sang ayah mengatakan kepada saya, “Romo, kami ingin menjadi Katolik. Bagaimana caranya?” Spontan saya katakan, “Sebetulnya bapak sekeluarga selama ini beragama apa?” “Romo, kami sebetulnya tidak beragama Katolik. Tetangga kami adalah sebuah keluarga Katolik yang baik sekali. Hidup mereka sangat rukun dan damai. Mereka sepertinya tidak pernah ribut dalam keluarga dan juga dengan tetangganya. Keluarga itu sangat ringan tangan untuk menolong orang yang berkesusahan. Kami sangat tertarik dengan keluarga Katolik itu. Kami mulai bertanya-tanya di antara kami, ‘kenapa keluarga Katolik itu menjadi seperti itu? Apakah agama mereka yang menjadikan mereka seperti itu?’ Kami ingin keluarga kami menjadi seperti keluarga Katolik itu. Akhirnya, kami sampai pada kesimpulan bahwa rupanya agama mereka yang menjadikan mereka seperti itu. Karena itu kalau kami mau keluarga kami menjadi seperti keluarga Katolik itu, kami harus menjadi Katolik. Kami lalu memutuskan untuk mencari tahu bagaimana menjadi Katolik dan kami diberitahu untuk menemui Romo.”
Kisah tersebut di atas kiranya menjadi sebuah kesaksian tentang sebuah keluarga yang missioner. Cara hidup keluarga itu sungguh memikat dan perlahan menggerakkan keluarga tetangganya untuk mengenal siapa di balik keluarga itu yakni Yesus Kristus. Dari kisah ini dapat dikatakan bahwa kalau kita mau membangun sebuah keluarga misioner, mau tidak mau kita harus membangun keluarga kita dasar Kristus dan sabda-Nya. Yesus pernah bersabda: “Setiap orang yang menddengar perkataan-Ku ini dan melakukannya, ia sama dengan orang yang bijaksana, yang mendirikan rumahnya di atas batu.” Mat 7:24.

Keluarga Katolik yang missioner harus dibangun di atas dasar sabda Tuhan, mendengar dan melaksanakannya. Sabda Tuhan harus dibaca dalam setiap keluarga Katolik. Untuk maksud itu dalam setiap upacara pernikahan pasti ada penyerahan Kitab Suci, Salib, Patung Keluarga Kudus dan Rosario. Setiap keluarga baru harus membangun keluarganya di atas dasar Kristus dan sabda-Nya. Itu berarti setiap keluarga Katolik harus meluangkan waktu untuk berdoa bersama. Dalam doa bersama Yesus hadir di tengah sebuah keluarga sesuai dengan sabda-Nya. “Di mana dua atau tida orang berkumpul dalam nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka.” Mat 18:20. Kalau setiap hari setiap keluarga Katolik selalu meluangkan waktu untuk berdoa bersama, membaca dan merenungkan sabda-Nya, hidup keluarga Katolik itu pasti akan selalu bersatu dan berpusat pada Kristus dan sabda-Nya. Keluarga Katolik seperti itu pantas disebut “Keluarga Kristen Katolik” atau “Keluarga yang beriman Kristen Katolik”. Bila Kristus senantiasa hadir dan menjiwai hidup keluarga Katolik seperti itu, hidup keluarga Katolik itu pasti akan memancarkan Kristus cahaya dunia kepada msayarakat sekitarnya seperti yang terjadi dengan keluarga Katolik yang diceriterakan di atas. Keluarga Katolik seperti itu sudah membangun keluarganya menjadi “Keluarga Katolik yang Misioner”.

Akhirnya, secara singkat dapat dikatakan bahwa membangun keluarga Katolik yang misioner dimulai dengan meluangkan waktu untuk berdoa bersama, membaca dan merenungkan sabda Tuhan bersama. Kami sangat menganjurkan agar setiap keluarga Katolik dalam Paroki Katedral St. Maria untuk meluangkan waktu kalau tidak bisa setiap hari, sekurang-kurangnya seminggu sekali atau dua kali untuk berdoa bersama, merenungkan dan membaca Kitab Suci bersma. Mudah-mudahan keluarga kita bertumbuh dan berkembang menjadi sebuah Keluarga Katolik yang missioner. Rm. Alex Dato’ L., SVD

1. Cara Memilih Nyanyian Liturgi Hari Minggu

  • Nyanyian Liturgi melayani seluruh umat beriman. Liturgi merupakan perayaan bersama, maka nyanyian itu  harus melayani kebutuhan seluruh umat beriman yang sedang berliturgi. Lagu yang merupakan selera pribadi atau kelompok tertentu (paduan suara) harus dihindarkan. Maka nyanyian yang dipilih harus menjawab kebutuhan atau kepentingan umat yang sedang berhimpun. Baik kelompok mayoritas dan terlebih minoritas, supaya sungguh menjadi perayaan bersama.
  • Nyanyian Liturgi bisa melibatkan partisipasi umat. Umat harus dapat ikut serta atau berpartisipasi dalam doa maupun dalam nyanyian. Maka nyanyian Liturgi yang dipilih harus dapat melibatkan peran umat, artinya umat dapat menyanyi sesuai dengan buku umat (misalnya Puji Syukur atau Madah Bakti atau yang lain yang berlaku di Keuskupan atau Paroki masing-masing). Dengan demikian peran dan partisipasi umat dalam Liturgi atau nyanyian tidak digusur.
  • Nyanyian Liturgi harus mengungkapkan iman akan misteri Kristus. Lagu atau nyanyian yang dipilih harus mampu membawa umat kepada pengalaman iman akan Kristus dan kepada perjumpaan dengan Kristus. Kristus yang hadir dalam Liturgi harus terungkap dalam nyanyian Liturgi. Isi, syair dan melodi nyanyian Liturgi harus sesuai dengan cita rasa iman umat dan bukan mengaburkannya. Misalnya ada melodi lagu tertentu yang memungkinkan umat mengasosiasikan dengan lagu profan tertentu.
  • Nyanyian Liturgi harus sesuai dengan masa dan tema Liturgi. Nyanyian Liturgi harus sesuai dengan masa Liturgi, seperti Masa Adven, Masa Natal, Masa Prapaskah, Masa Paskah dan Masa biasa. Buku-buku nyanyian Liturgi yang bersifat nasional seperti Puji Syukur, Madah Bakti sudah mencantumkan nyanyian-nyanyian sesuai masa-masa Liturgi, maka yang perlu diperhatikan adalah tema perayaan. Misalnya tema: Tobat, maka kita juga harus memilih lagu-lagu yang sesuai dengan tema tersebut.
  • Nyanyian Liturgi harus sesuai dengan hakikat masing-masing bagian. Pilihan nyanyian harus sesuai dengan tempat dan fungsi nyanyian itu dalam bagian Liturgi. Dalam buku Puji Syukur dan juga dalam Madah Bakti sudah ditempatkan beberapa nyanyian sesuai dengan bagian-bagian seperti dalam perayaan Ekaristi, sehingga nyanyian tertentu hanya cocok untuk bagian Pembuka dan bukan sebagai nyanyian Persiapan Persembahan, demikian dan seterusnya. Memang ada juga nyanyian yang sifatnya umum, maka kitapun dapat menggunakannya sesuai dengan pertimbangan akal sehat kita dengan melihat isi syair dan melodi lagunya sehingga kita dapat menempatkannya pada bagian tertentu.
  • Pilihan Nyanyian Liturgi perlu memperhatikan pertimbangan Pastoral dan Praktis. Tidak semua nyanyian yang sudah dipilih dan dilatih, harus dinyanyikan dalam perayaan Ekaristi meskipun misa atau pesta besar sekalipun. Hal ini berkenaan dengan kesiapan umat dalam menyanyikannya. Juga jika semua nyanyian atau lagu dinyanyikan maka perayaan Ekaristi menjadi lama. Itulah yang disebut pertimbangan praktis.

Pertimbangan Pastoral terutama pilihan nyanyian apakah sesuai dengan pelayanan iman seluruh umat beriman: apakah nyanyian tersebut sungguh dapat membantu umat untuk dapat berdoa dengan baik? Di samping itu, saat hening umat harus dijaga, jangan selalu diisi dengan nyanyian, sehingga perayaan Ekaristi terkesan ramai, mengganggu umat untuk hening.

2. Langkah Konkret Pemilihan Nyanyian Liturgi

Dalam memilih nyanyian liturgi ada pedoman pokok yang hendaknya dipegang: Nyanyian-nyanyian dalam ibadat dipilih berdasarkan kesesuaian kata-kata nyanyian itu dengan bacaan-bacaan dalam ibadat itu.

Berikut langkah konkret:

  1. Membaca bacaan Injil, bacaan pertama dan mazmur tanggapan; Dibaca secara berulang-ulang, merenungkan dan mencari istinya. Pada hari Raya dan hari Minggu, Gereja memilih bacaan pertama yang ada hubungannya dengan bacaan Injil, dan memilih mazmur tanggapan yang ada hubungannya dengan bacaan pertama yang ditanggapinya. Mazmur tanggapan itu menanggapi bacaan yang baru saja kita dengarkan, jadi bukan sembarang mazmur. Mazmur tanggapan itu menggarisbawahi bacaan pertama. Maka istilah: ‘Mazmur antar bacaan’ sudah tidak tepat lagi dan harus dihilangkan atau ditinggalkan.
  2. Memilih nyanyian pembuka, persiapan persembahan, madah syukur sesudah komuni dan nyanyian pengutusan sesuai dengan bacaan Injil, bacaan pertama dan mazmur tanggapan. Kalau sulit memilih atau menemukan empat nyanyian yang sesuai dengan isi bacaan-bacaan tersebut, maka sekurang-kurangnya kita memilih nyanyian pembuka dan nyanyian pengutusan atau penutup sesuai dengan isi bacaan-bacaan tersebut. Nyanyian persiapan persembahan dapat dipilih dari kelompok nyanian yang bertema persembahan. Nyanyian pengiring komuni atau madah syukur sesudah komuni dapat dipilih nyanyian yang bertemakan perjamuan atau soal tubuh dan darah Kristus.
  3. Pilihan nyanyian jangan terikat pada pengelompokkan seperti dalam buku Puji Syukur, Madah bakti, Kidung Adi atau yang lain yang digunakan di Paroki atau Keuskupan masing-masing, melainkan nyanyian-nyanyian itu bisa digunakan di bagian yang lain selain dalam pengelompokkan itu. Misalnya: Minggu Paskah V tahun B: Bacaan Injil dari Yohanes 15:1-8 tentang pokok anggur yang benar. Maka pilihan nyanyian untuk pembuka dan madah syukur sesudah komuni dapat dipilih “Yesus t’lah bersabda” (Puji Syukur no. 365 atau Madah Bakti no. 215 atau Kidung Adi no. 200) meskipun nyanyian tersebut dikelompokkan dalam kelompok “Pujian Sabda” (dalam Puji Syukur), nyanyian “Antar Bacaan” (dalam Madah Bakti), dan “Kidung Antara” (dalam Kidung Adi).
  4. Kalau tidak ada nyanyian yang sesuai dengan bacaan Injil, bacaan pertama, dan mazmur tanggapan pilihlah nyanyian yang sesuai dengan bacaan kedua.
  5. Dalam masa-masa khusus (misalnya Masa Prapaskah, Paskah dan lain-lain), nyanyian boleh diambil dari nyanyian umum atau masa biasa, asal syairnya sesuai dengan isi bacaan-bacaan yang digunakan. Sebaliknya nyanyian-nyanyian masa khusus juga dapat dipakai dalam masa biasa. Contoh: Nyanyian “Curahkan Rahmat Dalam Hatiku” (MB no, 423 atay PS no. 603 atau KA no 348) dapat digunakan dalam banyak kesempatan.
  6. Usahakan agar nyanyian-nyanyian dalam suatu ibadat bertangga nada sama, atau sejenis. Kalau isinya tidak sesuai dengan bacaan-bacaan, boleh dicari nyanyian dengan tangga nada yang bermacam-macam seperti nyanyian Gregorian, mayor/minor, pelog, slendro, pentatonic.
  7. Kalau bukan perayaan Ekaristi atau ibadat untuk menghormati Bunda Maria, nyanyian-nyanyian Maria sebaiknya tidak digunakan karena tema nyanyian harus senantiasa sesuai dengan tema Misa atau tema yang sesuai dengan bacaan-bacaan hari itu. Nyanyian-nyanyian devosional umumnya dapat dinyanyikan pada Misa khusus (berkaitan dengan perayaan devosi).
  8. Pilihan nyanyian dapat disesuaikan dengan Antifon-Antifon dalam perayaan Ekaristi (terutama antifon pembuka dan atau antifon komuni). 
  9. Sesudah mengadakan pemilihan nyanyian, perlu membuat daftar nyanyian dan dikomunikasikan dengan imam yang akan memimpin Ekaristi jauh-jauh sebelum perayaan Ekaristi berlangsung. Mengadakan latihan-latihan dengan kor, kalau perlu dengan umat (sebelum perayaan Ekaristi dimulai).

dari Bahan Katekese Liturgi
Bulan Liturgi Nasional 2008

Pendahuluan

Lewat Rubrik ini pernah dimuat tulisan tentang “Perkawinan Ekumenis”. Setelah membaca tulisan tersebut ada umat yang meminta untuk ditulis tentang “Halangan Perkawinan” sebagaimana diumumkan dalam pengumuman perkawinan. Menanggapi permintaan itu lewat Rubrik ini kami ingin mengupas hal-hal yang berkaitan dengan perkawinan. Hal yang paling pertama adalah “Penyelidikan Kanonik”.

Pengertian

Penyelidikan Kanonik adalah sebuah proses penelitian yang dilakukan oleh seorang pastor Paroki menyangkut pribadi calon pasangan yang akan menikah sesuai dengan ketentuan hukum kanon Gereja Katolik tentang perkawinan. Penelitian itu hanya mencakup hal ikhwal yang berkaitan dengan perkawinan seperti agama / Gereja, pengertian tentang hakekat dan hukum perkawinan Katolik, status bebas (status liber) dll.

Hukum Gereja

Hukum Gereja Katolik sudah mengatur hal ikhwal menyangkut penyelidikan kanonik seperti dicantumkan di bawah ini. Hal ini perlu diperhatikan oleh mereka yang akan menikah supaya tidak bingung. Karena pernah terjadi ada calon pasangan yang berdomisili di Jawa, minta penyelidikan kanonik di Palangka Raya. Bahkan ada pastor yang meminta izin kepada Pastor Paroki Palangka Raya untuk mengadakan penyelidikan kanonik untuk calon pasangan yang berdomisili di parokinya, hanya karena pasangan itu mau menikah di gereja Katedral Palangka Raya. Nah, untuk mencegah kerancuan seperti itu baiklah kita perhatikan ketentuan menurut hukum kanon Gereja (kanon 1066-1067; 1070) seperti tercantum di bawah ini.

  1. Sebelum mengizinkan para calon mempelai melangsungkan pekawinan, pastor hendaknya melakukan penyelidikan kanonik dengan mempergunakan formulir Penyelidikan Kanonik.
  2. Penyelidikan kanonik hendaknya dilakukan oleh pastor secara pribadi demi pastoral persiapan perkawinan yang lebih individual dan intensif, maka jangan diserahkan kepada awam.
  3. Penyelidikan mengenai status bebas para calon mempelai dilakukan oleh pastor dari pihak wanita sebagai prioritas, jika calon mempelai keduanya katolik; atau oleh pastor pihak katolik, jika pihka yang lain bukan katolik.
  4. Kewajiban untuk melakukan penyelidikan kanonik itu tetap pada pastor dari tempat kediaman mempelai, meskipun perkawinan dilangsungkan di tempat lain. Untuk menghindarkan kesulitan yang sering timbul, hendaknya para pastor menaruh perhatian atas pedoman ini.
  5. Jika salah seorang dari calon mempelai sulit untuk dapat menghadap pastor tersebut, penyelidikan kanonik diserahkan kepada pastor dari tempat ia sedang berada. Pastor tersebut hendaknya selekas mungkin mengirimkan formulir penyelidikan kanonik yang telah diisi itu.


Tidak semua ketentuan hukum kanon tentang penyelidikan kanonik kami cantumkan, hanya yang perlu diketahui umat.

Tujuan Penyelidikan Kanonik

Penyelidikan kanonik, yang dilakukan sebelum perkawinan, dimaksudkan untuk:

  1. Sebagai persiapan terakhir untuk perkawinan. Persiapan itu sudah dimulai dengan Kursus Persiapan Perkawinan dan disempurnakan dalam penyelidikan kanonik. Penyelidikan kanonik tidak cukup dengan mengisi formulir, tetapi harus diawali dengan bimbingan pastor untuk lebih memahami hakekat perkawinan katolik sehingga dapat menghayati dengan baik dan dapat mencapai apa yang dicita-citakan yakni kebahagiaan dalam keluarga.
  2. Memastikan bahwa calon mempelai tahu dan dengan sadar serta penuh tanggungjawab menerima ketentuan-ketentuan hukum Gereja Katolik menyangkut perkawinan (perkawinan tak terpisahkan, seumur hidup, hanya satu pasangan dll). Perkawinan adalah sebuah keputusan dan kesepakatan pribadi yang bersifat bebas dan bertanggungjawab.
  3. Memastikan bahwa calon mempelai bebas dari halangan untuk perkawinan. Bilamana ada halangan, diusahakan untuk mendapatkan dispensasi dari Uskup seperti halangan beda agama, beda Gereja. Hal ini akan dibicarakan pada kesempatan lain.

Penutup

Calon pasangan yang mau menikah sangat diharapkan untuk memperhatikan hal-hal tersebut di atas. Penyelidikan kanonik idealnya dilakukan paling lambat dua bulan sebelum perkawinan. Dengan demikian tersedia waktu yang memadai untuk persiapan perkawinan lebih lanjut. Jauh sebelum itu sebaiknya mengambil formulir di sekretariat  paroki agar dapat mengetahui persyaratan yang dituntut untuk melangsungkan perkawinan. Semoga calon pasangan lebih siap untuk memasuki hidup baru. Rm. Alex Dato, SVD

Foto dari Pustaka Digital Kristiani
Pada saat pembaptisan anak, orangtua menghantar anaknya untuk dipersatukan dengan Kristus lewat Skr. Pembaptisan. Anak seperti ranting anggur dicangkokkan pada Kristus yang adalah pokok anggur, pokok kehidupan. Lewat persatuan dengan Kristus itulah orangtua mengharapkan hidup anak akan menghasilkan banyak buah yang menggembirakan bagi anak itu sendiri dan bagi kedua orangtuanya.

Persatuan dengan Kristus pada saat pembaptisan belum disadari, dirasakan dan dihayati oleh seorang anak yang masih bayi. Maka adalah tugas dan tanggungjawab orangtua untuk menghantar anak guna bersatu dengan Kristus secara lebih mesra, lebih disadari dan dihayati oleh anaknya yakni pada saat anak mencapai usia untuk menerima Komuni Pertama yakni kelas 4 SD ke atas. Pada usia seperti itu seorang anak sudah dapat memahami makna iman dari Sakramen Ekaristi yang diterimanya. Karena itu diharapkan anak dapat menghayati makna iman itu lebih baik.

Orangtua punya kewajiban dan tanggungjawab untuk mempersiapkan anak agar dapat menerima Komuni Pertama dengan penuh makna. Persiapan itu harus sudah dilakukan sejak anak itu dibaptis yakni setiap hari Minggu anak dibawa oleh orangtua ke gereja, mengikuti bina iman kalau sudah sampai usia untuk itu. Dan menjelang anak menerima Komuni Pertama, anak dipersiapkan di rumah lewat doa bersama, membaca Kitab Suci bersama. Selain itu anak juga diajarkan bagaimana caranya menerima Komuni, mengikuti perayaan Ekaristi dengan baik dan khidmat, mengaku dosa. Dengan demikian anak dapat lebih siap untuk bersatu dengan Kristus dalam Ekaristi.

Tanggungjawab orangtua terhadap persatuan anak dengan Kristus tidak berhenti pada penerimaan Komuni Pertama, tetapi masih terus berlanjut sampai anak itu dapat bertanggungjawab sendiri atas persatuannya dengan Kristus. Karena itu setelah penerimaan Komuni Pertama orangtua berkewajiban untuk memelihara persatuan anak dengan Kristus. Setiap Minggu anak harus dibawa ke gereja untuk mengikuti perayaan Ekaristi. Ekaristi adalah santapan rohani yang dibutuhkan seorang beriman untuk memelihara persatuannya dengan Kristus, karena dalam Ekaristi seseorang bersatu dengan Kristus. Dengan sering menerima Ekaristi Kudus anak diharapkan dapat menjalani hidupnya sehari-hari dalam persatuan dengan Kristus dan menjadikan Kristus sebagai peserta aktif dalam hidupnya, dalam segala aktivitasnya. Kristus menjadi sahabat seperjalanan sepanjang hidupnya.

Selanjutnya ketika anak sudah mencapai usia menerima Skr. Krisma, orangtua berkewajiban untuk mempersiakannya guna menerima sakramen tersebut. Skr. Krisma adalah Sakramen kedewasaan. Anak yang siap menerima Skr. Krisma dianggap sudah cukup dewasa untuk mempertanggungjawabkan persatuannya dengan Kristus dan dapat memberikan kesaksian tentang persatuannya dengan Kristus dalam hidupnya sehari-hari. Pada usia ini orangtua dapat secara perlahan melepaskan anaknya untuk menghayati persatuannya dengan Kristus secara mandiri. Anak diharapkan dapat ke gereja tanpa disuruh atau diatur orangtua, tetapi karena kesadaran sendiri. Namun orangtua masih mempunyai kewajiban dan tanggungjawab mendampingi anak memelihara persatuannya dengan Kristus. Semoga oleh pendampingan yang berkesinambungan seperti itu seorang anak dapat bertumbuh menuju kedewasaan persatuan dalam Kristus. Hidupnya sebagai orang Kristen sungguh berbuah baik dan dapat menjadi kebanggaan orangtua dan Gereja. Semoga! Rm. Alex Dato, SVD

Sejak awal mula Allah mengajarkan kepada kita hari untuk berdiam sejenak dari rutinitas kita. Ingat kisah penciptaan. Allah mengambil satu hari khusus untuk merangkum segala karya yang telah dilakukan-Nya.

Orang-orang Yahudi dalam Perjanjian Lama juga mengenal hari untuk “berhenti” sejenak, yang dinamakan hari Sabat. Berhenti dari rutinitas sehari-hari, dari segala sesuatu yang bersifat duniawi agar dapat meluangkan waktu bersama Dia, Sang pemberi segala Sesutu yang telah memungkinkan kita melakukan segala sesuatu. Dan itu dilakukan pada hari ketujuh atau hari Minggu. Oleh karenanya Gereja hingga saat ini juga menganjurkan agar umat beriman berhimpun, mendengarkan sabda Tuhan dan berdoa bersama pada hari Minggu. Para hari Minggu umat beriman wajib berkumpul untuk mendengarkan Sabda Allah dan ikut serta dalam perayaan Ekaristi (Konstitusi Liturgi No. 106).

Perayaan Sabda yang seringkali diikuti umat Katolik, menjadi tempat nomor dua setelah perayaan Ekaristi. Yang penting adalah persiapan hati untuk menerima komuni, begitu biasanya orang berseloroh…  Hal itu menunjukkan betapa perayaan Sabda belum benar-benar mendapatkan tempat di hati kita. Kita belum dapat menemukan nilai agung sebuah perayaan Sabda. Seolah-olah apa yang diperdengarkan atau dibacakan dalam ibadat atau perayaan itu adalah kata-kata yang kosong, yang tak bermakna. Sabda Allah itu penuh daya, artinya apa yang diungkapkan terwujud juga dalam realitas. Misalnya saja, ketika Allah menciptakan langit dan bumi, Ia bersabda, “Jadilah terang!” Lalu terang itu jadi (Kej 1:3). Sabda Allah itu efektif, penuh daya. Maka tidak bisa dipungkiri dalam menghadapi berbagai macam persoalah hidup, kita butuh kekuatan rohani. Kekuatan itu akan kita dapatkan dari Sabda Allah sendiri, yang telah menjelma menjadi manusia dan tinggal di antara kita. Oleh karenanya sukacita yang kita dapatkan pun nyata adanya.

Di dalam suatu perayaan, jika kita menginginkan Allah benar-benar hadir, maka kehdiran Allah itu pertama-tama adalah dalam Sabda. Sabda yang selalu diperdengarkan dan menjadi landasan dari misteri yang kita rayakan atau perayaan itu sendiri. Dari Sabda itulah kita mampu mengimani dengan nyata, serta mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Yang merupakan juga wujud dari pewartaan nilai-nilai iman yang terkandung dalam Sabda itu.

Bagaimana hati para murid bersukacita bahkan lebih dari itu berkobar-kobar ketika mendengarkan Sabda Allah yang hadir dalam diri Yesus. Hal itu menjadi contoh yang jelas bagi kita. Semoga kita pun mampu seperti para murid itu. Memaknai sabda yang diperdengarkan. Sehingga perayaan Sabda bukan hanya sekedar urutan dalam perayaan yang harus dilalui tetapi benar-benar mewarnai suasana sepanjang hari itu. Sehingga kita juga merindukan hari untuk berkumpul bersama sebagai umat beriman untuk mendengarkan sabda-Nya, berdoa bersama dan mengamalkan karya kasih sebagai nilai pewartaan.

Hal pokok yang dapat kita ambil dari suatu perayaan sabda adalah pertama: Sabda Allah itu sendiri. Bila Injil dibacakan, saat itu pula Tuhan kita Yesus Kristus bersabda. Bila Tuhan bersabda, maka Dia juga berkarya untuk melaksanakan penyelamatan bagi kita. Kedua: tanggapan seluruh umat beriman. Sabda Allah itu sapaan dari Allah. Sapaan itu membutuhkan tanggapan dari kita, bisa berupa mazmur tanggapan, nyanyian selingan dan doa-doa kita. Semoga dengan memahami kedua hal yang pokok ini kita dapat merayakan Sabda dalam perayaan Ekaristi pada hari Minggu dengan penuh makna.

Diambil dari Bahan Katekese Liturgi
Bulang Liturgi Nasional 2008

Palangkaraya, KAIROS

Sabtu, 22 Juni 2013, di Bukit Doa Karmel-Tangkiling, Forum Katekis Kota Palangkaraya menyelenggarakan rekoleksi bersama. Rekoleksi yang berlangsung selama dua hari itu (22-23), mengetangahkan tema "The Man of Others". Sesama untuk yang lain, teman untuk yang lain, manusia untuk manusia lain, kurang lebih begitulah tema ini bila diterjemahkan secara harafiah.

Dalam rekoleksi tersebut, P. Novem, O.Carm menegaskan bahwa menjadi The Man of Others tidaklah mudah. Di kalangan umat beriman, hal ini kadang dilihat sebagai sesuatu yang mustahil. Akan tetapi, karena panggilan sebagai Katekis, menjadi The Man of Others haruslah menjadi prioritas untuk direnungkan dan dipikirkan. P. Novem menegaskan: "Manusia (Katekis) harus gelisah memikirkan orang lain untuk berbagi keselamatan. Itulah panggilan dasar seorang Katekis yakni siap menderita demi Kerajaan Allah.

Para Katekis se kota Palangkaraya yang ikut rekoleksi tersebut merasa tertantang dan diingatkan kembali akan tugas dan tanggung jawab menjadi seorang Katekis. Tentu saja, selain menjadi manusia untuk diri sendiri, harus menjadi manusia yang berkorban untuk yang lain. Itu yang menggaung dan menggema setelah mengikuti rekoleksi yang sangat menyegarkan ini. Harapan kita, semoga para katekis senantiasa diberi kekuatan agar mereka juga bisa tetap bertahan dalam pelayanan dan panggilannya. **Yakobus Dapa Toda, S.S.

Tangkiling, Bukit Karmel - Kairos. 
Rekoleksi Forum Katekis Se-Kota Palangka Raya yang dilaksanakan mulai tanggal 22-23 Juni 2013, yang seharusnya dihadiri sekitar 60 katekis, namun karena pelbagai aktivitas dan kesibukan hanya dihadiri sekitar 28 katekis. Jumlah yang demikian tidak menyurutkan semangat dari para Katekis yang hadir untuk terus dengan setia mengikuti rekoleksi hingga selesai. Dalam rekoleksi ini dihadirkan 2 (dua) pembicara, yakni Drs. willhelmus Y.Ndoa, M.Pd, selaku Pembimas Agama Katolik dari Kementrian Agama Propinsi Kalimantan Tengah, dan Pastor Andreas Novem M.W, O.Carm dari Paroki Maria Bunda KarmelKasongan.

Rekoleksi Forum Katekis ini mengangkat sebuah tema yang sangat menarik yaitu Peningkatan dan Penghayatan Panggilan sebagai Katekis/Guru Agama Katolik se-Kota Palangka Raya. Dalam rekoleksi yang dibagi menjadi 2 (dua) sesi ini, membahas dua tema yang sangat menarik dan bermanfaat. Drs. Willhelmus Y. Ndoa, M.Pd yang akrab disapa (Pak Wil), lebih menekankan kepada para Katekis untuk menyadari indentitas dirinya, bahwa Katekis adalah figur/contoh yang baik bagi umat dan keluarga, sehingga diharapkan melalui Rekoleksi ini, para Katekis bangkit kembali menjadi garam dan terang dunia ditengah masyarakat. Diharapkan pula pembinaan-pembinaan yang hendaknya diikuti oleh katekis adalah: Meningkatkan kualitas katekis, baik hidup pribadi maupun tugas perutusannya, meningkatkan kerjasama antar katekis, mewujudkan regenerasi dan kaderisasi katekis dengan cara membuka diri dan hati terhadap keterlibatan katekis yang masih muda dan belum berpengalaman. Dimana pembinaan tersebut bisa terjadi bilamana katekis mempunyai kesetaraan, keterbukaan dan tanggungjawab.

Dalam sesi lain, Pastor Andreas Novem M.W, O.Carm yang akrab di sapa Pastor Novem, O. Carm, mengajak Katekis untuk tidak berdiam diri, dalam arti, jangan menunggu tugas baru melaksanakan. "Katekis itu harus gelisah", ungkap P. Novem, O, Carm dengan nada lantang. Kegelisahan yang dimaksud mau terbuka tidak hanya untuk diri sendiri, melainkan terbuka untuk memikirkan hidup orang lain. Keterbukaan untuk memikirkan hidup orang lain, bisa dilaksanakan dengan sikap peduli, saling membantu, peka terhadap permasalahan yang dihadapi umat. Tantangan yang besar ini harus benar-benar di jalankan, agar tidak menjadi permasalahan dalam pribadi sebagai Katekis. Momentum ini pula dimanfaatkan oleh para Katekis untuk salingn sharing, berbagi pengalaman, keluh kesah, yang mencapai satu komitmen bersama, bahwa menjadi katekis adalah panggilan hidup, tidak semua manusia mendapat panggilan tersebut, hendaknya pula untuk dapat terlibat aktif dalam kegiatan Gereja, terbuka terhadap sesama, karena Katekis adalah ujung tombak Gereja. ** MORITA B. ELIANANDA,S.Ag

Gereja Katolik adalah sakramen Kristus atau tanda kehadiran Kristus di dunia. Lewat Gereja-Nya, Kristus hadir menyertai umat-Nya sejak pembaptisan hingga kematiannya dan pemakamannya. Pendampingan itu diharapkan mendatangkan keselamatan bagi yang bersangkutan. Karena itu pendampingan Kristus lewat Gereja-Nya tidak berakhir dengan kematian seorang pengikut-Nya, tetapi sampai pada pemakaman dan juga sesudah pemakaman. Gereka Katolik punya kepedulian kasih terhadap keselamatan jiwa warganya. Untuk itu, Gereja Katolik menetapkan sejumlah norma hukum yang mengatur pemakaman gerejawi agar pemakaman itu berguna juga untuk keselamatan orang bersangkutan. Kanon 1176 § 1: "Bagi orang-orang beriman kristiani yang telah meninggal dunia haruslah diselenggarakan pemakaman gerejawi, seturut norma hukum".

Ada norma hukum Gereja yang mengatur pemakaman orang beriman Katolik. Norma hukum itu tercantum dalam Hukum Kanon Gereja No. 1176 - 1185. Rangkaian norma hukum tersebut di atas mengatur pemakaman setiap orang Katolik. Pada Kanon 1183-1185 diatur secara khusus "Pemberian dan Penolakan Pemakaman Gerejawi". Hal ini patut menjadi perhatian seluruh umat.

Pemberian Pemakaman Gerejawi

Kanon 1183

§ 1. Sejauh mengenai upacara pemakaman, para katekumen diperlakukan sebagai orang beriman kristiani. (Boleh dimakamkan secara Katolik di pemakaman Katolik).
§ 2. Ordinaris Wilayah (Uskup) dapat mengizinkan agar anak-anak kecil yang sebanarnya mau dibaptis oleh orangtuanya, namun telah meninggal dunia sebelumnya, diberi pemakaman gerejawi. (Pemakaman bayi/anak yang belum dibaptis harus mendapatkan izin dari uskup).

Penolakan Pemakaman Gerejawi

Kanon 1184

§ 1. Tidak boleh diberi pemakaman gerejawi, kecuali jika sebelum meninggal menampakkan sekedar tanda-tanda tobat:

  • Mereka yang nyata-nyata murtad, mengikuti bidaah dan skisma
  • Mereka yang memilih kremasi jenazah mereka sendiri demi alasan yang bertentangan dengan iman kristiani
  • Pendosa-pendosa publik lainnya yang tidak dapat diberi pemakaman gerejawi tanpa menimbulkan sandungan bagi kaum beriman
  • Jika ada keragu-raguan, hendaknya Ordinaris Wilayah dihubungi yang keputusannya harus dituruti.
Kanon 1185. 

Bagi orang yang tidak boleh dimakamkan secara gerejawi, juga tidak boleh dipersembahkan Misa pemakaman apa pun.

Norma hukum tentang Penolakan Pemakaman Gerejawi tersebut di atas perlu mendapatkan perhatian serius dri Ketua Lingkungan khususnya dan seluruh umat. Adanya norma tentang penolakan itu mau mengingatkan semua orang Katolik bahwa pemakaman gerejawi adalah sebuah upacara suci yang hanya diberikan kepada orang yang tidak berhalangan untuk menerimanya. Makna "berhalangan" untuk menerima upacara pemakaman punya makna yang sama dengan berhalangan menerima Komuni Kudus. Orang yang bertahun-tahun tidak pernah ke gereja, dia berhalangan untuk menerima Komuni Kudus, sebelum dia menerima Sakramen Tobat. Orang yang sama juga berhalangan untuk menerima pemakaman gerejawi, kecuali kalau dia bertobat sebelum meninggal yakni menerima Sakramen Tobat dan Sakramen Pengurapan Orang Sakit. Orang seperti itu sering dijuluki kafir modern.  Mereka hanya masuk gereja pada saat baptis dan sesudah itu cuti besar. Hal ini bisa menjadi batu sandungan bagi umat yang lain. Bisa saja orang beranggapan, "Meskipun tidak aktif ke gereja dan lingkungan, yang penting waktu mati dimakamkan secara Katolik". Jelas hal ini dapat mempengaruhi semangat iman umat yang lain.

Memperhatikan norma Penolakan Pemakaman Gerejawi tersebut di atas, para Ketua Lingkungan diwajibkan untuk mengingatkan umatnya terlebih yang tidak aktif ke gereja agar menegaskan kekatolikannya. Jangan sampai ada orang menjadi katolik abu-abu. Rasul Yohanes menulis: "Aku tahu segala pekerjaanmu: engkau tidak dingin dan tidak panas. Alangkah baiknya jika engkau dingin atau panas! Jadi karena engkau suam-suam kuku, dan tidak dingin atau panas, Aku akan memuntahkan engkau dari mulut-Ku" (Why 3:16). Rasul Yohanes mengingatkan kita untuk tegas dalam penghayatan dan perwujudan iman Katolik kita. Kalau beriman Katolik, hayati dan wujudkan iman Katolik itu atau menjadi orang Katolik yang panas atau bersemangat mewujudkan iman Katolik. Dan kalau tidak mau lagi menjadi orang Katolik, kiranya dinyatakan secara tegas. Jangan kita jadi orang Katolik yang suam-suam kuku, karena akan dimuntahkan oleh Allah. Mari pada tahun iman ini kita mengadakan pembaharuan semangat iman kita! *P. Alex Dato, SVD.



Ketika masih di Dublin-Irlandia, seorang teman kelasku Gronya namanya, bertanya kepada saya: "Frieds, menurut anda, apa yang tertulis di dalam Kitab Suci itu sungguh-sungguh Sabda Tuhan atau hanya kumpulan ceritera dari orang-orang yang kebetulan tidur malam dan bermimpi melihat Tuhan?"

Saya merasa "tersinggung" mendengar pertanyaannya. Itu bukan karena saya berasal dari Asia yang masih memiliki tradisi hidup beragama yang kental, tetapi karena saya tahu ia seorang anak Kristen (Katolik) yang tidak harus bertanya seperti itu. Tapi akhirnya saya berusaha untuk memahami pertanyaannya dengan berpikir, nampaknya ia ingin tahu lebih dalam tentang Kitab Suci, bukannya mau menghojat.

Lalu dengan hati dan kepala yang dingin saya menjelaskan padanya, Kitab Suci itu bukan buku primbon atau kumpulan mimpi-mimpi. Kitab Suci adalah buku yang berisi rahasia langit suci. Ribuan tahun yang lalu orang bertanya tentang siapa yang menciptakan bumi dan segala isinya. Lalu manusia merupakan makhluk yang paling hebat di atas dunia ini pun resah dan gelisah sambil bertanya: "setelah hidup ini berakhir, ke manakah ia akan pergi?"

Semua pertanyaan ini ternyata tidak bisa dijawab oleh teori-teori ilmiah. Terbukti, banyak ahli mengalami kepalanya hampir "pecah" karena berusaha untuk mencari jawabannya, tetapi ternyata yang ditemukan adalah kesia-siaan. Justru dari Kitab Sucilah, kita temukan jawaban yang paling jelas, memuaskan dan membahagiakan.

Dalam Kitab Suci, terdapat rahasia mengapa Allah menciptakan bumi dan segala isinya. Dan kita, manusia, walau oleh para filsuf dan biolog disebut "binatang" tetapi dalam Kitab Suci manusia justru disebut sebaai ciptaan yang memancarkan citra Sang Pencipta yaitu Allah sendiri. Dalam Kitab Suci pun akhirnya hidup kita mendapat jawabannya melalui Yesus, ketika Ia berbicara tentang Rumah Bapa dan ketika Ia membangkitkan Lazarus dari kubur.

Jadi, kalau mau, supaya memahami hidup ini lebih baik, usul saya, tetaplah belajar berbagai macam teori untuk menjadi pintar. Tetapi sempurnakanlah kepintaran itudengan membaca buku yang berisi tentang rahasia langit yakni Kitab Suci. Kalau anda bergaul dengan buku yang satu ini, dijamin anda mengerti secara baik tentang siapa diri anda yang tengah hidup di atas dunia ini. Anda pun akan merasa bahagia, karena sungguh-sungguh mengenal siapa pencipta yang telah memberi segalanya kepadamu. *Frieds Meko, SVD.

Sebuah pertanyaan yang sangat mengejutkan disampaikan oleh seorang bapak dalam suatu Pendalaman Iman. Mengejutkan karena penanya adalah seorang aktivis gereja dan banyak terlibat dalam banyak hal berhubungan dengan kegiatan-kegiatan gereja. Tapi, adalah suatu kewajaran kalau pertanyaan seperti ini muncul karena tidak semua umat mengetahui tentang hakekat Perayaan Ekaristi.

Dalam tradisi gereja, setiap ibadat, doa atau sembahyang, baik dalam kelompok besar sampai pada doa pribadi, selalu diawali dengan membuat tanda salib dan diakhir dengan membuat tanda salib juga. (+Dalam nama Bapa dan Putra dan Roh Kudus). Penjelasan tentang tanda salib akan dibicarakan nanti pada topik lain.

Perayaan Ekaristi (Misa) adalah suatu perayaan yang satu dan utuh. Walaupun Perayaan Ekaristi mempunyai bagian-bagian yakni ritus pembuka, ibadat sabda, liturgi ekaristi dan ritus penutup, semua bagian-bagian itu merupakan satu kesatuan yang utuh yakni Perayaan Ekaristi. Oleh karena itu, tidak perlu kita membuat banyak tanda salib. Tanda salib dalam Perayaan Ekaristi hanya dua kali saja, yakin mengawali dan mengakhiri perayaan. Tanda salib awal adalah ketika Imam membuka perayaan dan tanda salib kedua adalah ketika Imam menyampaikan berkat dan perutusan.

Praktek yang Salah

Bukan hanya dari kalangan umat yang membuat kesalahan dalam hal ini. Kadang-kadang kita temukan seorang pastor mengakhiri Homili dengan mengajak umat membuat tanda salib. Hal itu dilihat oleh umat sebagai sesuatu yang benar. Sesungguhnya itu adalah praktek yang salah karena tidak dibenarkan menurut prinsip perayaan yang satu kesatuan dan utuh seperti dituturkan di atas. Setelah Konsili Vatikan II, tradisi-tradisi ini diluruskan kembali dan ditetapkan bahwa cukup dua kali saja membuat tanda salib. Walaupun dikemudian hari, beberapa teolog mencari makna tanda salib-tanda salib yang lain, yang dibuat oleh imam dan umat lain dalam perayaan, tapi mereka membahasakan sebagai "tanda salib devosional".

Efek dari Penjelasan ini

Di beberapa tempat, di mana dilaksanakan perayaan Misa, ada saja umat yang meninggalkan gereja setelah menyambut komuni kudus dan tidak menunggu hingga Pastor memberi berkat dan pengutusan. Ini berarti umat tersebut tidak mengikuti Perayaan Ekaristi secara utuh. Oleh karena itu, agar kita tetap dikatakan mengikuti Perayaan Ekaristi secara utuh, setiap umat diwajibkan untuk tetap dalam perayaan dari awal ketika Imam membuka perayaan dan pada akhir ketika ditutup dengan pemberian berkat.

Semoga bermanfaat. *Kairos

Dua hari yang lalu, saya mendengar pengakuan beberapa teman dalam diskusi yang sangat menarik, berhubungan dengan kehidupan iman. Beberapa kutipan pengakuan tersebut saya tuliskan seperti berikut ini.

"Saya sudah 10 tahun menganut Agama A, dan sesudah itu saya pindah ke Agama B. Alasan
utama saya pindah waktu itu adalah karena kehidupan iman saya kering dan tidak berkembang. Ternyata setelah pindah ke Agama B, saya pun mengalami hal yang sama. Hidup rohani saya kering dan akhirnya pindah ke Agama C hingga saat ini. Pengalaman kekeringan hidup rohani itu ternyata terus mengikuti saya. Barangakali ada sesuatu yang bisa dibagikan untuk saya, membantu saya dalam menghadapi suasana ini".
Pengakuan di atas sangat menarik dan menggugah hati kita sebagai orang beriman. Mari kita lihat pengakuan teman lain sebagai berikut:

"Sejak lahir, saya sudah mengenal dan menganut Agama A, dan hingga sekarang pun saya tetap menganut Agama A. Saya mengalami kekeringan rohani dan juga mengalami kebalikan dari suasana itu. Pengalaman saya, mengalami kering dan sehat rohani itu datang bergantian dalam hidup saya. Yang membuat saya bertahan hingga sekarang adalah keyakinan bahwa apapun yang terjadi dalam kehidupan rohani saya itu desebabkan oleh suasana batin saya yang menjalankan kehidupan bergama. Semakin sering saya diuji dalam iman, semakin kuat pertahanan saya dalam bertahan dan bertumbuh".


Dua pengakuan yang sangat berbeda. Yang satu pindah terus untuk mencari kedamaian dan hidup rohani yang sehat, yang lain bertahan menikmati segala suasana yang dialami dalam menjalani imannya.

Sebagai manusia biasa, kita tidak punya kuasa untuk menghakimi dan memberi penilaian bahwa yang satu benar dan yang lain salah. Akan tetapi, ilustrasi berikut barangkali dapat membantu kita dalam memberi pencerahan kepada sesama yang senantiasa mencari hidup rohani yang sehat.

Seorang petani durian menanam dua pokok durian pada hari yang bersamaan. Keesokan harinya, satu dari pokok durian itu dipindahkan ke tempat yang lain yang menurut dia lebih baik tanahnya. Sedangkan yang satu dibiarkannya tetap tertanam di tempat semula. Satu minggu kemudian, pokok durian yang pernah dipindahkannya itu tidak terlalu baik pertumbuhannya. Akhirnya dia pindahkan lagi ke tempat lain. Alhasil, pokok yang dari awal dipindah-pindahkan itu mengalami pindah tempat hingga 5 sampai 6 kali dengan tempat yang variatif.

Apa yang terjadi? Dua pokok durian tersebut bertumbuh dengan perbedaan yang sangat jauh. Pokok durian yang tidak dipindah-pindahkan itu hari demi hari berakar dan semakin kuat, meskipun tanah disekitarnya tidak terlalu baik. Pokok durian ini semakin sulit dicabut karena akar-akarnya telah tumbuh dan merayap ke sana kemari untuk mendapatkan sumber makanan dari dalam tanah.
Pokok durian yang lain, yang tadinya dipindah-pindahkan mengalami hal berbeda. Jangankan dicabut, disentuh saja sudah tumbang. Alasannya adalah satu akar pun tidak ada yang tumbuh. Pernah mengalami pertumbuhan akar, tetapi terputus lagi karena dicabut dan dipindahkan ke tempat lain. Hingga akhirnya, pohon ini tidak menumbuhkan akar lagi dan mati kekeringan.

Saudara-saudari seiman. Dalam kehidupan beriman pun kita mengalami hal yang sama. Kalau kita bertumbuh dan berakar dalam iman yang satu dan sama, kita akan semakin kuat dan bertahan. Tetapi bila kita hidup dalam iman yang berpindah-pindah, kekuatan kita pun pasti berbeda bahkan boleh dikatakan tidak memiliki satu kekuatan apa pun.

Ilustrasi diatas sudah menjawab dua sharing dari teman-teman diskusi tadi. Tanpa banyak penjelasan, tanpa banyak kata, diskusi diakhiri dengan membawa bahan permenungan masing-masing. Hal yang sama pun berlaku untuk kita yang sedang membaca tulisan ini. MARI KITA PULANG DAN MERENUNGKAN PERJALANAN IMAN KITA SELAMA INI, APAKAH SEPERTI SHARING PERTAMA ATAU KEDUA. **Fidelis Harefa

Secara spesifik, tindakan membuat tanda salib dengan air suci saat masuk gereja adalah devosi yang bermakna, namun bukan pula bagian integral dari liturgi. Hal ini hanyalah praktek-praktek devosional populer yang bercorak mendukung penghayatan hidup beriman. Oleh karena itu, tidak ada aturan yang membatasi ataupun yang mengharuskan seseorang menggunakan air suci ketika masuk atau keluar gereja.

Sakramen pembaptisan menjadi konteks untuk membahas hal ini. Tanda salib dengan air kudus itu hanyalah saran bantu untuk mengenangkan pembaptisan (dalam Nama Bapa dan Putra dan Roh Kudus) yang dulu sudah pernah diterima. Di beberapa gereja tua, bejana baptis masih di tempatkan di dekat pintu masuk gereja, bahkan di tempat-tempat tertentu, kapel pembaptisan dibangun di depan atau di luar gereja utama.


Sakramen baptis bermakna membersihkan manusia dari dosa, mengangkat seseorang menjadi putra-putri Allah, menjadi anggota keluarga Allah. Mengingat akan pemaknaan ini maka tanda salib dengan air suci saat memasuki gereja pun bermakna membersihkan dan menguduskan kita untuk mengikuti perayaan Tuhan. Selain makna di atas, dengan membuat tanda salib dengan air suci, makna pengutusan ada di dalamnya. Orang diutus untuk menjadi penghadir terang Kristus bagi dunia.

Barangkali, hal ini yang jauh lebih penting kita perhatikan yakni kesadaran. Tanda salib dengan air suci ketika masuk dan keluar gereja bukan sekedar memenuhi kebiasaan, bukan otomatisme. Tindakan ini merupakan tindakan devosional yang sangat kaya makna. Sangat disayangkan kalau orang yang membuat tanda salib tersebut kurang (bahkan tidak) menyadari: karena dan untuk apa tanda salib dengan air suci itu dibuatnya sebelum dan sesudah perayaan Ekaristi. Savera Mongi, S.Ag


*Kairos 2013

Karl Rahner, seorang teolog mengatakan bahwa masalah yang dihadapi manusia modern sekarang ini adalah bukan pertama-tama pada isi dari iman kepercayaan itu, atau dari dogma Gereja, akan tetapi pada ketidakmampuan orang itu sendiri untuk percaya, untuk membuka diri pada tuntunan Roh Ilahi. Kata Rahner di atas ada benarnya (ada salahnya juga karena isi iman dan dogma juga jadi problem).


Di zaman kita ini, setiap detik, kita dibanjiri dengan berbagai nilai-nilai kenikmatan sesaat, kenikmatan sementara dan semu. Katakanlah konsumerisme, eksploitas seksual, ambisi kekuasaan, dan sebagainya yang membawa kita tercebur di dalamnya. Berhadapan dengan situasi seperti itu, orang lalu sulit untuk percaya atau membiarkan diri untuk dituntun oleh Roh Kudus. Yang muncul di dalamnya adalah sebuah sikap pesimis akan imannya dan mulai meragukan iman atau dogma itu sendiri.

Banyak diskusi tentang iman, kebenaran-kebenaran iman, Kitab Suci dan mungkin bermuara pada topik diskusi bahwa Tuhan itu tidak ada. Diskusi-diskusi tersebut bisa dilihat sebagai bentuk keragu-raguan akan iman kepercayaan atau faith pessimism. Apakah ini bahaya? Tentu saja! Jika jawaban yang diterima atas keragu-raguan itu tidak memuaskan, orang lalu meninggalkan iman kepercayaannya dan beralih pada sesuatu yang lain, iman kepercayaan lain. Dan ini sudah terjadi dan terus terjadi.

Untuk keluar dari area tersebut atau minimal kita bisa bertahan dan tidak hanyut atau tenggelam, maka perlu ada sikap atau prinsip hidup yang konsisten terhadap iman kepercayaannya, terhadap apa yang dianutnya termasuk segala impilkasi moral dari apa yang dianut tersebut. Tentang hal ini, Timotius menjadi aktor dalam Kitab Suci. Timotius yang merupakan teman sekerja Paulus, ditinggalkan di Efesus oleh Paulus untuk menjadi pembimbing Jemaat di sana.

Di Efesus, Timotius berhadapan dengan situasi seperti digambarkan Paulus dalam II Timotis 3: 2-5. Manusia lebih mencintai dirinya sendiri, menjadi hamba uang. Manusia menjadi suka membual dan berbohong. Manusia berpusat pada kepentingan diri sendiri dan tidak pernah mendekatkan diri pada Allah. Dalam situasi itu, Timotius tidak tehanyut. Ia tetap bertahan dan berpegang teguh pada iman kepercayaannya.

Barangkali situasi di atas juga menggambarkan situasi zaman ini. Orang lebih tergiur untuk memperjuangkan popularitas diri, memperoleh kekuasaan dan uang. Manusia di zaman ini merasa tidak perlu lagi kegiatan-kegiatan berbau rohani. Tingkat apatis terhadap Gereja semakin tinggi. Apakah kita memupuk situasi ini? Bila bertahan dalam situasi ini, maka iman kita akan pergi dan hilang. Cara satu-satunya untuk bertahan dalam iman adalah dengan mengikuti tuntunan Roh Kudus. Benyamin T, S.Fil.

Kolekte dalam Kamus Liturgi (Ernest Maryanto) diartikan sebagai uang yang dikumpulkan dalam ibadat. Dalam perayaan Ekaristi kolekte merupakan tanda partisipasi umat dalam “kurban” persembahan Gereja dan menyatakan tanggungjawab umat terhadap keperluan Gereja setempat seperti “ibadat”, “reksa” pastoral umat, kegiatan sosial, dan lain-lain. Karena merupakan partisipasi dalam persembahan Gereja, dalam perayaan Ekaristi kolekte selalu dikumpulkan pada saat persiapan persembahan. Dalam “perayaan” sabda, kolekte lebih dilihat sebagai tanda kepedulian umat untuk kegiatan-kegiatan pelayanan umat. Maka biasanya dikaitkan dengan “pengumuman, dan dikumpulkan menjelang akhir ibadat.


Kolekte pertama-tama merupakan wujud partisipasi umat dalam kurban Kristus. Perayaan Ekaristi adalah perayaan kurban Kristus. Dalam perayaan Ekaristi kurban Kristus dihadirkan kembali agar menjadi sumber keselamatan bagi umat. Sebagai murid Kristus kita dituntut untuk ambil bagian dalam kurban Kristus itu. “Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak dapat menjadi murid-Ku” (LK 14:27). Karena kita mengikuti Kristus yang telah lebih dahulu berkurban, memikul salib untuk kita, kita pun harus ikut berkurban bersama Kristus.

Kolekte yang kita berikan adalah kurban kita bersama Kristus. Tentu saja kita mau memberikan kurban yang terbaik untuk Kristus, karena Kristus telah banyak berkurban untuk keselamatan kita. Kalau demikian kurban persembahan kita itu harus disiapkan dengan baik dari rumah dan dalam wujud yang baik. Jangan sampai uang persembahan kita adalah uang yang mungkin sudah tidak diterima orang dalam transaksi karena sudah sobek atau lusuh sekali. Pernah ditemukan uang dalam rupa seperti itu. Itu berarti kita memberikan yang tersisa atau yang terbuang untuk Tuhan. Tuhan mendapatkan apa yang sudah tidak laku lagi bagi manusia atau tidak bisa digunakan. Mungkin pernah mendengar “teologi anjing”. Nah, anjing biasanya makan sisa-sisa dari tuannya entah tulang atau bentuk yang lain. Tuhan mungkin kita perlakukan seperti anjing, karena Dia hanya mendapatkan sisa-sisa yang terbuang. Karena itu kita harus persiapkan persembahan yang terbaik untuk Tuhan.

Jumlahnya tidak ditentukan atau dengan kata lain terserah kepada masing-masing orang. Tetapi menilik arti kedua dari kolekte yakni sebagai wujud kepedulian dan tanggungjawab terhadap kebutuhan Gereja, diharapkan kesadaran iman umat untuk memberikan sepantasnya untuk Gereja. Kalau Tuhan sudah memberikan banyak, kiranya kita mau memberi juga sebagai ungkapan syukur kita. Orang mengatakan, “Semakin banyak memberi, semakin banyak diberi”. P. Alex Dato’ L., SVD

*Kairos 2013

Berbagai Istilah Untuk Ekaristi

Dalam sejarah Ekaristi muncul banyak istialah. Kenyataan ini menunjukkan banyaknya pemahaman dan pengartian Gereja atas misteri Ekaristi. Selain itu, Ekaristi merupakan misteri iman yang tidak pernah habis digali.


  • Ekaristi: Berasal dari bahasa Yunani eucharistia yang berarti puji syukur. Kata kerja eucharistein yang berarti memuji, mengucap syukur (bdk Mat 26:27; Lk 22:19.20). Ada kesamaan dengan eulogein yang berarti memuji-bersyukur. Dua kata ini sering digunakan untuk menerjemahkan barekh dalam bahasa Ibrani yang berarti memuji, memberkati. Kata bendanyan barekhah berarti pujian, syukur. Istilah ini digunakan Gereja perdana sampai abad keempat dan selanjutnya digunakan istialh “kurban” (sacrificium) dan “persembahan” (oblatio). Istilah ini muncul kembali dalam Konsili Vatikan II.
  • Misa: Istilah ini populer dalam Gereja Barat sejak abad V-VI sampai saat ini. Istilah ini muncul dari rubrik pembubaran umat “Ite missa est”. Istilah ini mau menekankan aspek perutusan kita sebagai murid Kristus.
  • Pemecahan Roti: Istilah ini berasal dari tradisi doa syukur sebelum perjamuan keluarga Yahudi dan digunakan untuk menekankan kesatuan kita dengan Tuhan dan sesama.
  • Perjamuan Tuhan (Dominica Cena): Istilah ini digunakan untuk menunjukkan aspek eskatologis perayaan Ekaristi (bdk Mat 25:10. Mat 22:1-10) . Paulus menggunakan istilah ini untuk menghubungkan Ekaristi dengan kedatangan Tuhan pada akhir zaman (1Kor 11:26).
  • Sacrificium dan OblatioIstilah “kurban” (sacrificium) dan “Persembahan” (oblatio) populer dalam Gereja sejak abad IV sampai dengan Konsili Vatikan II. Istilah ini berhubungan dengan persembahan material yang dibawa umat ke altar.

Ekaristi Dalam Ajaran Konsili Vatikan II

Konsili Vatikan II menyampaikan ajaran mengenai Ekaristi dalam berbagai dokumen, terutama Konstitusi Lumen Gentium, Sacrosanctum Concilium dan dekret Pressbyterorum Ordinis. Namun tidak ada suatu tulisan khusus dan sistematis tentang Ekaristi yang dihasilkan Konsili Vatikan II.

1. Dasar Kristologis

Ekaristi ditetapkan dan diperintahkan oleh Yesus sendiri pada perjamuan malam terakhir sebagai kenangan akan diri-Nya dan karya penebusan-Nya yang berpuncak pada wafat dan kebangkitan-Nya. Kristus merupakan dasar yang memberi makna kepada perayaan Ekaristi. Karena itu dalam Kristus Ekaristi menjadi sangat kaya akan makna.


  • Ekaristi sebagai Kurban. Ajaran Konsili Vatikan II tentang Ekaristi sebagai kurban berhubungan erat dengan tradisi teologis. Konsili Trente menegaskan bahwa “Kurban Misa identik dengan kurban salib Kristus dan perbedaan keduanya terletak dalam cara”. Konsili Vatikan II menghubungkan kurban Ekaristi dengan perjamuan malam terakhir dan kurban salib. Kurban Salib Kristus dirayakan dan dihadirkan pada setiap perayaan Ekaristi. Kurban Ekaristi dan kurban salib merupakan satu kesatuan. Ekaristi merupakan satu kurban dalam mana Yesus Kristus mengabadikan kurban salib-Nya yang sekali untuk selamanya itu di dalam, melalui dan dengan Gereja. 
  • Ekaristi sebagai perayaan kenangan (Anamnese). Konsili Vatikan II mengajarkan bahwa dalam Perayaan Ekaristi, kurban salib Kristus yang sekali untuk selamanya itu kini dikenang, artinya dihadirkan dalam Gereja. Namun, kurban salib Kristus yang satu dan sama itu dirayakan oleh Kristus melalui dan bersama dengan Gereja-Nya dalam rupa lambang, yaitu roti dan anggur.
  • Ekaristi sebagai Sakramen. Konsili Vatikan II menyatakan bahwa Kristus “mempercayakan kepada Gereja, Mempelai-Nya yang terkasih, kenangan wafat dan kebangkitan-Nya: sakramen cinta kasih, lambang kesatuan ikatan cinta kasih” (SC 47). Ekaristi yang menghadirkan kurban salib Kristus itu disebut juga sakramen. Konsep sakramen dan kurban tidak terpisahkan. Istilah ini menunjukkan kehadiran Kristus (realis praesentia) dalam Sakramen Mahakudus atau hosti suci. 
  • Ekaristi sebagai Perjamuan.  Konsili Vatikan II juga mengajarkan Ekaristi sebagai perjamuan Paskah (SC 47). Istilah perjamuan harus dipahami dalam kaitan dengan konsep Ekaristi sebagai kenangan. Istilah perjamuan mau menunjukkan makna perjamuan dari Ekaristi yang berpangkal dari perjamuan malam terakhir Yesus, yang dalam tradisi sinoptik merupakan perjamuan Paskah (Yahudi). 

2. Dimensi Eklesiologis

  • Ekaristi sebagai Perayaan Gereja. Konsili Vatikan II (SC 47) menegaskan bahwa Ekaristi adalah sesuatu yang ditetapkan yakni “dipercayakan” oleh Kristus kepada Gereja. Dalam Ekaristi Gereja mengungkapkan dan melaksanakan dirinya sebagai sakramen keselamatan Allah. Dalam Ekaristi terbentuk dan lahirlah Gereja. Ekaristi adalah perayaan seluruh Gereja (SC 48) yang menuntut keikutsertaan aktif seluruh umat.
  • Ekaristi sebagai Pusat Liturgi. Misteri Ekaristi dipandang oleh Vatikan II sebagai pusat seluruh liturgi (SC 6), karena dalam kurban ilahi Ekaristi terlaksana karya penebusan kita (SC 2). Ekaristi merupakan sumber yang mengalirkan rahmat kepada kita.
  • Ekaristi sebagai Sumber dan Puncak Kehidupan Gereja. Konsili Vatikan II (LG 11) menegaskan bahwa Ekaristi adalah sumber dan puncak kehidupan Gereja. Ekaristi adalah sumber yang mengalirkan rahmat yang dibutuhkan oleh Gereja dalam kegiatan hidupnya sehari-hari dan mengarahkan hidupnya untuk kembali bersyukur dalam Ekaristi. Ekaristi tidak terpisah dari kehidupan sehari-hari. Hidup adalah sebuah ibadah (Rm 12:1; Yak 1:26-27).

3. Aspek Teologis Rahmat

Konsili Vatikan II (SC 47) menegaskan daya guna Ekaristi.dengan mengatakan: “Dalam perjamuan itu Kristus disambut, jiwa dipenuhi rahmat, dan kita dikurniai jaminan kemuliaan yang akan datang”. Dalam Ekaristi umat beriman menerima rahmat keselamatan dan rahmat kesatuan dengan Kristus serta sesama.

4. Prespektif Eskatologis

Ekaristi merupakan kurnia eskatologis. Dalam Ekaristi yang dirayakan Gereja di dunia ini, “kita ikut mencicipi liturgi surgawi, yang dirayakan di kota suci Yerusalem, tujuan peziarahan kita” (SC 8). Perayaan Ekaristi adalah perayaan perjamuan surgawi di bumi.

Struktur Dasar Liturgi Ekaristi

1. Ritus Pembuka

Ritus pembuka bertujuan untuk mempersatukan umat yang berkumpul dan mempersiapkan mereka agar mereka dapat mendengarkan Sabda Allah dan merayakan Ekaristi dengan layak. Ritus pembuka ini dapat dihilangkan atau dilaksanakan secara khusus apabila Misa didahului perayaan lain, namun asalkan sesuai dengan kaidah buku-buku liturgy (PUMR 46). Salah satu contoh ialah Misa hari Rabu Abu.

2. Liturgi Sabda

Liturgi Sabda bersama dengan Liturgi Ekaristi merupakan dua bagian pokok Perayaan Ekaristi. Setelah Ritus Pembuka diakhiri dengan Doa Pembuka, kita memasuki Liturgi Sabda. Liturgi Sabda tersusun atas dua struktur pokok, yakni Pewartaan Sabda Allah dan Tanggapan umat atas Sabda Allah itu. Dengan demikian, Liturgi Sabda memuat suatu dialog perjumpaan antara Allah yang bersabda dan umat yang menanggapi Sabda Allah itu. Pewartaan Sabda allah dilaksanakan dalam pembacaan Kitab Suci dan Homili yang memperdalam Sabda Allah itu. Tanggapan umat atas Sabda Allah itu terungkap melalui Mazmur Tanggapan dan Bait Pengantar Injil, serta Syahadat dan Doa Umat yang memperdalam tanggapan umat tersebut.
Struktur dasar Liturgi Sabda terdiri atas:

  • Bacaan Pertama: Pada hari Minggu dan hari raya diambil dari Perjanjian Lama. Bacaan pertama ini memiliki hubungan tematis dengan Injil sehingga terungkaplah kesinambungan sejarah keselamatan Allah dari Perjanjian Lama dan berpuncak pada diri Yesus Kristus yang diwartakan dalam Injil.
  • Mazmur Tanggapan: Mazmur Tanggapan merupakan tanggapan umat terhadap Sabda Allah yang baru saja diwartakan dan didengarkan. Mazmur Tanggapan sungguh-sungguh termasuk bagian pokok liutrgi sabda. Di samping sebagai ungkapan tanggapan umat juga untuk mendorong umat dalam merenungkan dan meresapkan Sabda Allah. Idealnya mazmur tanggapan dinyanyikan, sekurang-kurangnya bagian refren yang untuk umat. Jika terpaksa dibacakan harus diciptakan suasana khidmat dan meditatif yang cocok bagi perenungan sabda.
  • Bacaan Kedua: Bacaan kedua berfungsi mempersiapkan umat kepada puncak perayaan sabda, yakni Injil. Biasanya diambil dari tulisan Perjanjian Baru dan sering disebut epistola (= surat). Tema bacaan kedua tidak memiliki hubungan dengan bacaan pertama dan Injil.
  • Bait Pengantar Injil: Bait Pengantar injil mempersiapkan umat untuk mendengarkan bacaan Injil. BP digunakan untuk mengiringi perarakan Injil ke mimbar dan bermakna untuk mengungkapkan pujian atas kemuliaan Kristus yang akan hadir dan berbicara melalui Injil. Umat menghormati kedatangan Kristus dengan sikap berdiri. Bait Pengantar Injil selalu dinyanyikan sesuai dengan sifat dasarnya yang merupakan ungkapan pujian sukacita kepada Tuhan yang bangkit. Jika tidak dinyanyikan sebaiknya dilewatkan saja.
  • Injil: Bacaan Injil merupakan puncak Liturgi Sabda. Bacaan Injil lebih mulia daripada bacaan-bacaan lainnya. Gereja menghormati pembacaan Injil karena pada saat Injil dibacakan, Tuhan Yesus Kristus sendiri hadir dan bersabda kepada Gereja-Nya. 
  • Homili: Homili (Yunani: Homilia yang berarti percakapan dan komentar), merupakan pewartaan sabda Allah yang bertolak dari bacaan Kitab Suci. Homili bertujuan menjelaskan dan mengajarkan misteri Kristus sehingga menjadi relevan bagi kehidupan umat. Homili beda dengan khotbah (bhs Arab). Khotbah merupakan pewartaan Sabda Allah dan pewartaan iman kristiani yang bertolak dari pengalaman iman dan tidak selalu merupakan penjelasan suatu teks Kitab Suci. 
  • Syahadat atau Credo: adalah pernyataan iman seluruh umat beriman dan ungkapan tanggapan umat terhadap sabda Allah yang telah didengarkan melalui bacaan-bacaan dan homili. Syahadat mesti dinyanyikan atau diucapkan oleh seluruh umat beriman.
  • Doa Umat: merupakan bentuk pelaksanaan imamat umum seluruh umat beriman. Umat beriman berdoa bersama secara resmi bukan hanya untuk diri sendiri dan kepentingan kelompok melainkan untuk seluruh Gereja semesta.

3. Liturgi Ekaristi

Liturgi Ekaristi menjadi pusat seluruh Perayaan Ekaristi. Sebab, dalam Liturgi Ekaristi ini terdapat Doa syukur Agung yang menjadi pusat dan puncak seluruh Perayaan Ekaristi.
Susunan Liturgi Ekaristi:

  • Persiapan Persembahan
  • Doa Syukur Agung
  • Komuni

4. Ritus Penutup

Berfungsi untuk mengakhiri seluruh rangkaian Perayaan Ekaristi dan sekaligus mengantar umat beriman untuk kembali ke perjuangan hidup sehari-hari dan menalankan perutusannya di dunia. Inti pokok Ritus Penutup: Berkat dan Pengutusan.

*Kairos 2013

Pengertian Liturgi:

Liturgi adalah suatu kegiatan perayaan kudus yang dengannya hidup dan karya Imam Agung Yesus Kristus demi kemuliaan Allah dan keselamatan manusia, dialami (dihayati) kembali secara terus menerus melalui tanda-tanda dalam gereja dan oleh Gereja hingga kedatangan Tuhan (S. Marsili OSB).



Unsur-Unsur Liturgi

  • Kegiatan kudus: yaitu tindakan dari Allah yang Mahakudus untuk menguduskan manusia yang berdosa.
  • Perayaan Misteri Paska Kristus. Dalam Liturgi kehidupan dan karya Yesus Kristus yang menyelamatkan dihayati kembali.
  • Perayaan dalam tanda dan simbol yang terjadi sesuai dengan suatu tata susunan ibadat.
  • Perayaan bersama yang dilaksanakan dalam gereja dan oleh Gereja.
  • Perayaan dengan ciri Eskatologis, karena dirayakan oleh Gereja yang sedang dalam berziarah.

Tempat Liturgi Dalam Gereja

Liturgi merupakan puncak dan sumber segala kegiatan Gereja. Liturgi punya hubungan dengan semua kegiatan Gereja. Semua kegiatan gereja bertujuan menghantar semua orang untuk berhimpun, sehati dan sesuara memuliakan Tuhan di dalam gereja dan mengambil bagian dalam korban pujian perjamuan Tuhan.

Liturgi menjadi sumber kekuatan bagi umat untuk meneruskan karya Kristus dan Gereja di tengah masyarakat.

Liturgi sebagai Pertemuan Allah dan Manusia

Liturgi adalah kegiatan Allah yang menyelamatkan manusia dan tanggapan manusia terhadap anugerah kebaikan Allah yang dirayakan dalam bentuk tanda.

Liturgi adalah tindakan Allah dan tindakan manusia yang terlibat dalam pertemuan itu. Liturgi pertama-tama adalah tindakan Allah untuk menyelamatkan manusia. Manusia yang mengalami tindakan Allah itu memberikan respons atau tanggapan. Liturgi adalah dialog Allah dan manusia yang menuntut partisipasi aktif dari manusia. Partisipasi aktif merupakan hakekat liturgi.

Pelaksana Liturgi

  • Jemaat
  • Pemimpin (Selebran = Peraya).
  • Diakon
  • Pelayan Musik: organis dan pemain alat musik lain, dirigen dan anggota kor, solis, pemazmur.
  • Lektor
  • Akolit (1): Putera-Puteri Altar
  • Akolit (2): Pelayan Komuni
  • Penyambut Jemaat
  • Komentator
  • Koster dan seniman
*Kairos 2013



MKRdezign

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget