Gambar dari: commons.wikimedia.org |
Dalam pembahasan tentang “Perayaan Misteri Kristen” Katekismus Gereja Katolik mengajukan sebuah pertanyaan: “Apa itu liturgi?” dan jawabannya: Liturgi adalah perayaan misteri Kristus, dan secara khusus misteri kebangkitan-Nya. Liturgi juga dipandang sebagai pelaksanaan imamat Yesus Kristus; di situ pengudusan manusia dilambangkan dengan tanda-tanda lahir serta dilaksanakan dengan cara yang khas bagi masing-masing; di situ pula dilaksanakan ibadat umum yang seutuhnya oleh Tubuh Mistik Yesus Kristus yakni Kepala beserta para anggota-Nya. (no. 1069)
Dari definisi tersebut di atas, dapat kita mengerti bahwa Kristus Imam Agung Mahatinggi dan Misteri Paskah: Sengsara, wafat dan Kebangkitan-Nya adalah pusat dari tindakan liturgis Gereja. Nah, Liturgi harus menjadi perayaan yang menampakkan kebenaran teologis ini secara jelas. Dengan kata lain kebenaran teologis ini harus ditampakkan secara jelas dalam setiap perayaan liturgis dalam wujud tanda yang bisa dilihat orang guna mengarahkan tubuh, hati dan pikiran umat selama perayaan atau dengan kata lain salib menjadi kiblat imam dan umat selama perayaan ekaristi. Selama berabad-abad simbol yang dipilih oleh Gereja untuk mengarahkan hati dan tubuh selama liturgi adalah Yesus yang Tersalib atau salib Yesus Kristus.
Sebelum Konsili Vatikan II misa dirayakan oleh imam membelakangi umat. Pada masa itu di depan meja altar selalu diletakkan sebuah salib kecil dan di atasnya tergantung sebuah salib besar yang dapat dipandang oleh semua umat. Dengan demikian misteri paska: sengsara, wafat dan kebangkitan Kristus tetap menjadi pusat perayaan ekaristi yang dihadirkan dalam tanda “salib”. Ke arah salib itu seluruh umat mengarahkan tubuh, hati dan pikirannya selama perayaan ekaristi. Dalam perkembangan selanjutnya salib digantungkan di atas dinding altar. Setelah Konsili Vatikan II terjadi perubahan. Imam dalam merayakan misa kudus tidak lagi membelakangi umat, tetapi menghadapi umat. Nah, supaya misteri paska tetap menjadi pusat atau sentrum dari perayaan liturgis, diletakkan salib kecil di tengah meja altar yang menjadi kiblat imam dan umat.
Teolog dan kardinal Joseph Ratzinger kemudian hari berulang kali menegaskan bahwa “salib harus dipertahankan posisinya di tengah, karena sangat tidak mungkin menggambarkan korban salib Kristus yang dihadirkan dalam perayaan ekaristi tanpa kehadiran sebuah salib di tengah altar. Setelah menjadi Paus, Benediktus XVI menyarankan: “Ketika menghadap ke “timur”, tidak mungkin dilakukan bersama-sama. Karena itu salib dapat berperan sebagai interior “timur” dari iman. Salib harus berdiri di tengah altar dan menjadi titik fokus bersama baik bagi imam dan komunitas yang sedang berdoa”. Dengan pernyataan itu Sri Paus menegaskan kiblat Gereja Katolik dalam perayaan liturgis. Kiblat kita harus ke arah timur, karena dari timur terbit sang Cahaya sejati yakni Yesus Kristus. Kita tidak mungkin selalu berkiblat ke timur, karena itu kiblat kita dalam segala perayaan liturgi adalah Salib Kristus. Karena itu kapan dan di mana saja kita mengadakan perayaan liturgi salib harus selalu di tempatkan di tengah meja altar, kalau kita merayakan ekaristi atau kalau kita mengadakan doa lingkungan, salib harus ditempatkan di sebuah tempat yang memungkinkan setiap orang yang hadir dapat mengarahkan badan, hati dan pikiran kita. Singkat kata, “Salib” harus menjadi kiblat kita bersama dalam setiap tindakan liturgi. “Terpisah dari salib, tidak ada tangga lainnya yang olehnya kita dapat masuk ke surga”. ** P. Alex Dato’ SVD - Sumber: Salib Di Tengah Meja Altar, Kongregasi Liturgi Suci/Lux Veritatis.
Posting Komentar