Ada hal yang mengganjal di hati saya setiap hari Minggu saat berada di dalam Gereja. Hal itu adalah melihat sikap umat yang memberikan hormat saat masuk gereja, sebelum mengambil tempat duduk. Tradisi kita adalah bila masuk gereja, kita menandai diri kita dengan tanda salib dengan mencelupkan tangan pada air suci yang disediakan di pintu masuk. Kemudian kita melangkah menuju ke tempat duduk, tapi sebelum itu, kita memberi hormat dulu kepada Kristus yang tersalib dan Kristus yang hadir dalam Sakramen Maha Kudus. Penghormatan terarah kepada Tabernakel dan juga pada salib. Ada macam-macam cari penghormatan yang saya lihat. Ada yang berlutut seperti biasanya saya buat, ada yang hanya menundukkan kepala, dan yang paling membuat saya bertanya-tanya adalah cara penghormatan yang "bukan berlutut, bukan pula menundukkan kepala, tapi hanya menekuk sedikit lutut, terkesan menggoyangkan badan saja ke arah yang tidak jelas. Pertanyaan saya, bagaimana seharusnya sikap tubuh memberi penghormatan saat kita masuk ke dalam gereja?
INA Lingk. St. Anna
Jawaban:
Saudari INA, pertanyaan yang sangat bagus. Atas pertanyaan ini KAIROS menjawab sebagai berikut. Dalam Gereja Katolik, kita mengenal dua sikap tubuh yang menjadi simbol penghormatan, yakni berlutut dan menundukkan kepala. Perlu diketahui bahwa memberi penghormatan adalah sikap manusiawi yang menyadari bahwa ada yang lebih agung, ada yang lebih tinggi, ada yang lebih hebat yang sedang berhadapan dengan kita. Ketika kita masuk gereja, kita menyadari bahwa ada yang lebih tinggi di sana yakni Kristus Sang Raja sekaligus Sang Penyelamat. Bagaimana kita menunjukkan sikap hormat?
Cara wajar untuk berlutut adalah dilakukan dengan menekuk lutut kanan sampai menyentuh lantai. Ini adalah tanda sembah sujud (PUMR 274), untuk menghormati. Tentu saja hal itu bukan sekedar tindakan ritual. Ada makna yang mendalam. Berlutut mengungkapkan pengakuan iman kita akan Misteri Paskah, sekaligus menandakan kerinduan kita untuk hadir dalam misteri wafat dan kebangkitan Kristus, Tuhan kita. Gerak berlutut merupakan bentuk perendahan diri karena hadir di hadapan Tuhan. Seperti kata Paulus: “supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, dan segala lidah mengaku: `Yesus Kristus adalah Tuhan,' bagi kemuliaan Allah Bapa!” (Fil 2:10-11). Kita pun melakukannya untuk meniru kesengsaraan Kristus ketika disalib, supaya boleh mengalami anugerah kebangkitan-Nya. Sikap ini mengajar kita untuk hidup sehari-hari seperti yang dilakukan Kristus. Kita diantar untuk bersatu dalam persembahan diri dan korban-Nya yang suci. [ref]
Beberapa alasan yang tidak tepat dilontarkan oleh umat mengapa tidak sanggup berlutut dengan baik. Di antaranya adalah:
- Usia sudah lanjut, jadi agak susah untuk menekuk lutut kanan hingga menyentuh lantai.
- Pakaian yang dikenakan tidak mendukung untuk melakukan gerakan tubuh tersebut.
- Sedang mengalami sakit dibagian lutut dan pinggang.
- Banyak lagi alasan yang dilontarkan untuk membela diri.
Hal itu tidak menjadi soal. Kalau berlutut tidak bisa dilakukan, buatlah sikap lain yang lebih baik. Berlutut dapat digantikan dengan menundukkan kepala. Untuk kesempatan tertentu, berlutut (juga membungkuk) bisa diganti dengan menundukkan kepala. Misalnya, ketika para pelayan misa (putera altar, lektor, diakon) sedang membawa salib, lilin, dupa, atau Kitab Injil harus menghormati Sakramen Mahakudus atau altar. Menurut PUMR 275a “menundukkan kepala” dilakukan juga ketika mengucapkan nama Tritunggal Mahakudus, nama Yesus, nama Santa Perawan Maria, dan nama para orang kudus yang diperingati dalam Misa yang bersangkutan. Mengapa perlu diganti? Alasannya praktis saja dan mungkin juga estetis serta teologis. Pembawa benda-benda itu biasanya akan kerepotan jika harus berlutut sementara masih membawa sesuatu. Lagi pula, bisa tampak tidak indah dan kurang menarik jika salib yang mestinya tetap tegak ternyata jadi miring lantaran pemegangnya sedang berlutut atau membungkuk. Atau, lelehan lilinnya jatuh ke lantai atau ke tangan putera altar yang memegangnya karena dia harus berlutut. Khusus untuk benda-benda simbolis yang berkaitan dengan diri Kristus seperti Kitab Injil dan Salib, kita diminta tetap menunjukkan nilai kehormatannya. Maka, benda-benda simbol Kristus itu harus tetap tampak anggun, tidak tampil naik-turun, miring ke kiri-ke kanan, karena si pemegang harus berlutut dan berdiri segala. [ref]
Meskipun sikap ini ditujukkan kepada pelayan perayaan, tidak ada salahnya dilakukan oleh umat yang memiliki gangguan untuk berlutut saat masuk gereja dan menggantinya dengan menundukkan kepala. Jauh lebih berarti daripada membuat gerekan-gerakan yang tidak jelas, hanya sekedar menggoyangkan badan, tapi bukan berlutut atau menunduk. Semoga pertanyaan memuaskan. **Kairos
Posting Komentar