Januari 2019

"Setelah TUHAN mengucapkan firman itu kepada Ayub, maka firman TUHAN kepada Elifas, orang Teman: 'Murka-KU menyala terhadap engkau dan terhadap ke dua sahabatmu, karena kamu tidak berkata benar tentang AKU seperti hamba-KU Ayub.' "

Ketika seseorang teman jatuh dalam kesalahan dan dosa, seringkali kita 'berusaha' menjadi pendamping untuk dirinya. Namun Pendampingan yang diberikan seringkali salah dan hasilnya gagal. Itu terlihat ketika Elifas dan kedua temannya berusaha memberikan 'pastoral' kepada Ayub, namun bukannya membuat dan menimbulkan damai sejahtera, tapi yang terjadi murka Allah menyala-nyala terhadap mereka.

Di mana Kesalahannya?
Karena mereka TIDAK BERKATA BENAR tentang Allah. Mereka tahu tentang Allah, tapi mereka Tidak berkata benar tentang Allah. Mereka lebih cenderung menghakimi.
Bagaimana dengan kita selaku orang percaya. Apakah kita seorang pelayan Tuhan (apapun kedudukan kita). Sudahkan kita berkata benar tentang Allah? Atau justru ada yang dikecewakan oleh karena PSTORAL kita YANG GAGAL? Berkatalah yang benar tentang Allahmu, timbulkanlah dalam hati setiap orang, Damai Sejahtera Allah. **Yakobus Dapa Toda, S.S.

Sejarah Hukum Gereja


Hukum Gereja atau Hukum Kanon dalam bentuk formal pertama kali disusun oleh Dionisius Exiguus sekitar tahun 500. Dionisius mengumpulkan semua peraturan dan keputusan atau canones (= peraturan, ukuran; Yunani.) yang dikeluarkan oleh sinode, Konsili Ekumenis dalam  Corpus Canonum. Pada abab 12, Gratianus, seorang biarawan Italia, mengumpulkan dan menyelaraskan ketentuan-ketentuan yang ada. Kumpulan itu kemudian hari disebut Decretum Gratiani, yang bersama empat kumpulan lain (Liber Extra dari Gregorius IX, Liber Sextus dari Bonifasius VIII, Clementinae dari Klemens V dan Extravagantes dari Yohanes XXII) membentuk Corpus Iuris Canonici, yang diakui pada tahun 1582. Baru pada tahun 1917 semua peraturan yang dikeluarkan kemudian,  bersama dengan Corpus Iuris Canonici tersebut disusun pertama kali secara sistematis sebagai Codex Iuris Canonici yang lebih dikenal dengan sebutan Kitab Hukum 1917 dan kemudian direvisi menjadi Kitab Hukum Kanonik yang dipromulgasikan pada tahun 1983.

Yoanes XXIII mengatakan bahwa Kitab Hukum dari tahun 1917 itu perlu disesuaikan dengan kebutuhan zaman kita ini. Ajaran Konsili Vatikan II sangat mempengaruhi rumusan hukum Gereja yang baru, terutama dengan – eklesiologinya, yaitu ajarannya bahwa Gereja adalah – communio orang beriman yang dipanggil Tuhan. Selain itu ditentukan bahwa hukum baru harus (1) memperhatikan  keperluan – umat Allah, (2) menjaga hubungan dengan – tradisi, (3) mengungkapkan kedudukan dasar yang sama semua orang beriman dan status kaum awam, (4) menguatkan jabatan uskup, (5) menerapkan prinsip – subsidiaritas, (6) merumuskan batas-batas wewenang seorang pimpinan Gereja dengan jelas, (7) memperluas perlindungan hukum dan (8) merumuskan kembali serta memperpendek pasa-pasal tentang hukuman. Petunjuk-petunjuk ini kurang lebih diperhatikan walaupun belum dirumuskan secara sempurna dalam bahasa yuridis. Pada tahun 1983 Codex Iuris Canonici (CIC) yang baru atau – Kitab Hukum Kanonik (KHK) diterbitkan dan diberlakukan untuk umat Katolik – Ritus Latin.

Teologi Hukum

Ada orang yang mengatakan bahwa ‘Hukum Gereja bertentangan secara fundamental dengan hakikat Gereja’ (R. Sohm). Bagi banyak umat Protestan, Gereja yang sebenarnya bersifat rohani semata-mata dan karena itu tidak (perlu) mempunyai hukum, paling-paling ‘hukum cintakasih’. Peraturan-peraturan gerejani hanya mengatur bidang lahiriah, yang tidak penting untuk keselamatan. Bagi teologi Katolik pun tidak mudah menunjuk dengan jelas dasar teologis (!) bagi hukum Gereja. Sebab, Gereja bukan hanya masyarakat manusiawi yang ditingkatkan oleh rahmat ilahi, sehingga hukumnya dapat begitu saja didasarkan pada – kodrat sosial orang beriman (seperti hukum duniawi). Norma normatif tertinggi Gereja bukan hukum, melainkan – Roh Kudus sendiri. Maka, ada yang menolak sifat teologis hukum Gereja; ada yang mendasarkan hukum itu pada – inkarnasi Sabda Allah atau pada ‘sabda dan Sakramen’ sebagai unsur konstitutif Gereja; dan ada yang mendasarkannya pada ajaran Konsili tentang Gereja; dan ada yang yang mendasarkannya pada ajaran Konsili tentang Gereja, sebagai communio. Segi ini ditekankan kembali oleh Sinode Uskup Sedunia dua puluh tahun sesudah Konsili (1985).

Communio mengungkapkan persekutuan/persatuan adikodrati antar-orang beriman dengan Tuhan dan dengan sesama mereka yang berhubungan dengan Tuhan. Communio itu adalah datum (=pemberian; Lat) yang diterima dan sekaligus – mandatum (=tugas; Latin) yang perlu dilaksanakan. Communio mengungkapkan pengambil-bagianan dalam Tubuh Kristus yang adalah Gereja (G 7). Kedua segi communio tersebut erat berkaitan satu sama lain dan tampak dalam Perjamuan – Ekaristi yang adalah pusat kehidupan Gereja, titik tolak dan tujuan segala kegiatannya. Communio sebagai persekutuan yang kelihatan adalah persatuan yang dikerjakan Roh Kudus, yaitu umat orang beriman yang kelihatan dan tersusun. Inilah sarana bagi Roh Kudus Yang tak kelihatan, mirip Tubuh Kristus Yang dilahirkan Bunda Maria menjadi sarana tak terpisahkan bagi Sabda Allah dan perutusanNya (G 8). Ciri sakramental communio itu dipandang sebagai dasar hukum Gereja. Sebab communio itu mengungkapkan baik segi rohani-ilahi maupun segi lahiriah-manusiawi Gereja, yang adalah suatu – misteri dan sekaligus suatu organisasi. Gagasan communio sebagai persaudaraan orang beriman tidak boleh menggeser tugas hukum sebagai sarana penyelesaian konflik-konflik yang wajar dan kadang-kadang bahkan perlu. Maka, konflik dan orang yang terpaksa menimbulkannya tidak boleh begitu saja dicap perusak communio.

Bagaimanapun, hukum Gereja memperoleh isinya dari iman Kristiani, yang normanya dirumuskan secara berbeda-beda dalam situasi historis dan sosio budaya tertentu. Tentu saja, Kitab Suci lebih utama bagi kehidupan Gereja daripada Kitab Hukum Kanonik. Maka,  “Kitab Hukum sama sekali tidak bermaksud mengganti iman, rahmat, karisma dan lebih-lebih cinta kasih dalam kehidupan Gereja atau kaum beriman Kristiani. Sebaliknya, Kitab Hukum terutama bertujuan menumbuhkan ketertiban dalam masyarakat gerejani sedemikan rupa, sehingga memberikan tempat utama pada cinta, rahmat dan karisma. Maka, Kitab Hukum sekaligus juga ingin memudahkan perkembangan teratur dari semuanya itu baik dalam kehidupan masyarakat gerejani maupun dalam kehidupan tiap-tiap orang yang termasuk di dalamnya” (Yoanes Paulus II, Konstitusi Undang-Undang Tata Tertib Suci’, 1983)

Arti Hukum Gereja

Hukum Gereja yang terdapat dalam KHK dan dokumen yuridis lain hanyalah hukum - Ritus Latin saja; (lihat Kan 1). Belum ada hukum dasar seluruh Gereja Katolik. – Kitab Hukum Ritus-Ritus Timur diterbitkan pada tahun 1990 dan diberlakukan paus pada Oktober 1991. Hukum Gereja adalah hukum rohani, maka tidak dimaksudkan untuk dipaksakan dengan tindakan-tindakan kekerasan dan bantuan alat Negara. Karena sifat rohani itu, hukum Gereja mengenal – epikia atau equitas, yaitu kewajaran yang memberi kelonggaran demi peranan kerahiman (kan 19).

Dalam Hukum Gereja ini perlu dibedakan ius mere ecclesiasticum (hukum yang hanya gerejani, maka manusiawi) dan ius divinum yang berdasarkan wahyu, yakni hukum ilahi positif. (Selain itu terdapat – hukum kodrat yang berdasarkan wahyu kodrati dalam ciptaan). Hukum ilahi tidak berubah, walaupun kesadaran kita akan arti dan lingkupnya dapat berkembang, sebagaimana juga lembaga-lembaga yang diadakan atas petunjuk ilahi dapat berkembang di bawah dorongan Roh Kudus (misalnya, peranan serta kedudukan konsili, - kepausan, diakonat; peranan wanita dalam Gereja). Pernyataaan suatu hukum sebagai ketetapan ilahi harus dilakukan atas dasar yang meyakinkan dan dengan saksama. Jika suatu hukum ditetapkan oleh Gereja berkat  wewenang yang diberikan Kristus kepadanya, maka hukum itu disebut hukum gerejani (melulu) dan dapat berubah (misalnya, - selibat, aturan – puasa). Hukum Gerejani itu dapat berlaku bagi seluruh Gereja atau bagi sebagian saja. Kitab Hukum Kanonik, misalnya, hanya berlaku untuk umat Ritus Latin.

Bidang berlakunya hukum perlu dibedakan atas forum externum atau bidang lahiriah dan forum internum atau bidang batin. Peraturan dan keputusan dalam bidang batin berlangsung hanya antara pejabat gerejani dan orang beriman yang bersangkutan tanpa diketahui umum. Bidang batin tidak sama dengan bidang – suara hati atau forum conscientiae.

Relativisasi Hukum Gereja

Rupanya, cukup banyak imam tidak (bisa) mengerti hukum Gereja universal dan karenanya melalaikannya. ‘Penyakit’ ini tidak dapat disembuhkan dengan menambah peraturan baru, yang kurang dikenal dan tidak diindahkan juga. Dalam Gereja tidak mudah  memaksakan  pengamalan hukum, kadang-kadang bahkan justru menimbulkan kerugian bagi ‘keselamatan jiwa’. Hukum tertinggi dalam Gereja (Kan 1752). Manakah alasan kecenderungan relativisasi hukum dalam Gereja? Tanggungjawab pribadi yang lebih luas tidak akan memperbaiki keadaan. Agak pasti ‘hak orang yang lebih kuasa akan menang: pressure groups dalam umat,, para dermawan yang berkepentingan, imam yang vokal namun tanpa spiritualitas dan akal sehat (iudicium). Sebaliknya, gagasam pembuat hukum (Roma) dan mereka yang mengalami kesulitan pelaksanaannya dalam urusan sehari-hari, bertemu. Sebab, ‘ius sequitur vitam’ – hukum mengikuti hidup. **P. Alex Dato'L, SVD.

MKRdezign

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget