Januari 2014

Bagaiamana harus beriman? Barangkali ini pertanyaan yang sering menggejolak dalam setiap hati umat beriman, dalam hal ini secara khusus bagi Umat Katolik yang telah percaya dan beriman kepada Kristus. Pertanyaan yang sangat sederhana, namun rumit untuk menjawabnya. Kendati rumit untuk menyatakan sebuah jawaban yang pasti, sebuah teladan iman sejati dari Bunda Maria dapat dituturkan sebagai salah satu sikap yang militan dalam iman.

Sikap Bunda Maria dalam beriman sederhana sekali, yakni menyimpan segala perkara dalam hatinya. Sikap yang sederhana namun maknanya sangat dalam. Gejolak perasaan manusiawi dirasakan oleh Bunda Maria dalam hidupnya. Bunda Maria merasakan kebahagiaan, merasakan kecemasan, merasakan kebimbangan bahkan merasakan rasa duka yang mendalam. Itu semua mewarnai perasaan hati manusia.

Bunda Maria mengalami keragu-raguan ketika menerima kunjungan dari Malaikat Gabriel. Bunda Maria dihadapkan dengan sesuatu hal yang bertentangan dengan tradisi yakni harus mengandung tanpa suami. Tapi dalam keyakinan dan penyerahan diri secara total, Bunda Maria menjawab "aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut perkataanmu. Ketika Maria mengunjungi Elisabet, hati Maria berbunga-bunga setelah mendengarkan bahwa dia akan menjadi Ibu Tuhan, kemudian dia melambungkan pujian yang dikenal dengan Magnifikat.

Bagaimana Bunda Maria mengalami kedukaan yang sangat mendalam? Berawal dari peristiwa ketika Yesus berusia 12 tahun, Maria mendengarkan jawaban yang tidak mengenakan hati dari Yesus ketika mereka seharian mencari Yesus dan ternyata mereka menemukan-Nya di Bait Allah. Yesus menjawab: "mengapa kamu mencari Aku, bukankah Aku harus tinggal di rumah Bapa-Ku?" Hati seorang Ibu yang melahirkan dan membesarkan anaknya tersayat sembilu mendengar jawaban dari si buah hati seperti itu. Ada kesan dalam hati Bunda Maria bahwa Yesus ternyata bukan anaknya, meskipun dia melahirkannya dengan susah payah. Kedukaan semakin bertambah ketika Anak yang dilahirkannya itu harus mati dengan cara yang keji, disalibkan di Bukit Golgota. Tapi Bunda Maria tetap sabar untuk menghadapi semua itu. Bahkan SEGALA PERKARA DISIMPANNYA DALAM HATI. Sikap Bunda Maria ternyata memiliki arti yang sangat dalam. Menyimpan segala perkara dalam hati berarti melakukan permenungan mendalam hingga menemukan arti iman yang sesungguhnya.

Kita, umat beriman, sebagai manusia pasti mengalami hal yang sama seperti yang di alami oleh Bunda Maria. Pada zaman sekarang, iman kita digoncang oleh berbagai peristiwa yang terjadi. Bencana alam yang terjadi di mana-mana, kejahatan yang semakin meningkat, pelecehan HAM yang kian tak terbendung, krisis keteladanan, bahkan kita dikejutkan dengan berbagai peristiwa yang bertentangan dengan iman kita, seperti peristiwa-peristiwa aneh yang terjadi dalam tubuh Gereja. Ratusan imam di "suspensi" atau dinonaktifkan oleh Paus karena hidupnya tidak sesuai lagi dengan tugasnya. Biarawan dan biarawati yang hidup dalam kaul kemurnian ternyata melahirkan anak. Demikian juga pelecehan seksual terjadi di mana-mana dan merongrong iman kita. Bukan hanya itu, kaum hirarki yang hidup dalam kaul kemiskinan, ternyata menimbun harta dan menyalah gunakan. Bahkan gaya hidup materialisme dan hedonisme mewarnai corak kehidupan yang dilingkari oleh ketiga kaul yakni kemiskinan, ketaatan dan kemurnian.

Apakah kita perlu tergoncang dengan semua itu? Tidak perlu. Setiap orang punya pilihan masing-masing dalam beriman. Kita harus tetap menjadi militan seperti Bunda Maria. Segala peristiwa tidak boleh mengurangi keberimanan kita. Mari kita menyimpan dalam hati dan merenungkannya. Kita tidak perlu berputus asa. Kita harus tetap beriman dan semakin beriman. Segala sesuatu yang berasal dari kebenaran, akan kembali juga pada kebenaran. Setiap orang yang melanggar titah-Nya, akan mendapatkan ganjarannya juga. Jadi, tetaplah beriman seperti Maria. ** Fidelis Harefa

Francois Voltaire (1431-1465) adalah seorang filsuf berkebangsaan Prancis. Pikiran-pikirannya banyak dikenal oleh orang-orang kaum intelek. Ia banyak bicara soal politik, filsafat, sastra dll. Begitu pandainya Voltaire, sampai ia sangat mendewakan peran ratio dan berani berkata: “saya tidak percaya akan adanya Allah”. Sikap atheisnya begitu mendalam sehingga pada suatu saat ia berani meramal, “Alkitab adalah sebuah buku yang akan musnah”. Ketika ia mengatakan demikian, waktu itu Alkitab baru diterjemahkan dalam beberapa bahasa. Kini setelah 5 abad kematiannya,  Alkitab beredar lebih luas menjangkau berbagai bangsa dan diterjemahkan dalam ribuan bahasa yang dapat memudahkan untuk dipahami dan dihayati dalam hidup.

Dengan adanya kenyataan ini, jelas terbukti bahwa Voltaire bukanlah segala-galanya untuk semua. Ia ternyata begitu gegabah meramal dan berani menentukan suatu kepastian terhadap kemusnahan Alkitab. Ternyata ia dipermalukan oleh ungkapan sendiri. Bukanlah Alkitab yang musnah, tetapi justru teori-teorinya tentang politik dan sebagainya yang perlahan menjadi samar-samar dan hampir musnah tergusur oleh adanya teori-teori modern yang lebih aktual dan akurat. Voltaire menjadi tumbal untuk ungkapannya sendiri. Ia peramal yang gagal membuktikan kebenaran ramalannya.

Dia rupanya ia begitu enteng menyejajarkan Alkitab dengan roman-roman klasik, sehingga ia seperti cukup yakin bahwa sebagaimana roman karya sastra klasik suatu saat dapat musnah, begitupun halnya dengan Alkitab. Voltaire agaknya lupa satu hal yang dilukiskan begitu bagus oleh Yohanes dalam prolognya yakni,  “Pada mulanya adalah sabda, sabda itu bersama-sama dengan Allah, dan sabda itu adalah Allah.” (Yoh 1:1).

Kalau seandainya Voltaire tidak lebih dahulu “muak” mendalami Alkitab, barangkali ayat ini tidak akan lepas dari perhatiannya. Ayat ini tentu akan menjadi sapaan mesra yang dapat menyadarkan dia bahwa,  “Sabda itu menjadi manusia, memberi daya hidup untuk manusia dan sabda itu tetap hidup sepanjang masa”. Kalau ia sempat memahami seperti ini, ia pasti tidak gegabah untuk berani berkata yakin bahwa Alkitab adalah sebuah buku yang akan musnah.

Voltaire sudah lama meninggal. Kitalah yang masih hidup dan menjadi saksi untuk ungkapannya yang nampak “ngawur”. Kini tinggal satu pertanyaan untuk kita, mungkinkah dalam dunia yang serba gemerlap dapat muncul kembali Voltaire modern ? Hanya anda dan Tuhan yang tahu pasti !! ** Frieds Meko, SVD

MKRdezign

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget