Bagaiamana harus beriman? Barangkali ini pertanyaan yang sering menggejolak dalam setiap hati umat beriman, dalam hal ini secara khusus bagi Umat Katolik yang telah percaya dan beriman kepada Kristus. Pertanyaan yang sangat sederhana, namun rumit untuk menjawabnya. Kendati rumit untuk menyatakan sebuah jawaban yang pasti, sebuah teladan iman sejati dari Bunda Maria dapat dituturkan sebagai salah satu sikap yang militan dalam iman.
Sikap Bunda Maria dalam beriman sederhana sekali, yakni menyimpan segala perkara dalam hatinya. Sikap yang sederhana namun maknanya sangat dalam. Gejolak perasaan manusiawi dirasakan oleh Bunda Maria dalam hidupnya. Bunda Maria merasakan kebahagiaan, merasakan kecemasan, merasakan kebimbangan bahkan merasakan rasa duka yang mendalam. Itu semua mewarnai perasaan hati manusia.
Bunda Maria mengalami keragu-raguan ketika menerima kunjungan dari Malaikat Gabriel. Bunda Maria dihadapkan dengan sesuatu hal yang bertentangan dengan tradisi yakni harus mengandung tanpa suami. Tapi dalam keyakinan dan penyerahan diri secara total, Bunda Maria menjawab "aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut perkataanmu. Ketika Maria mengunjungi Elisabet, hati Maria berbunga-bunga setelah mendengarkan bahwa dia akan menjadi Ibu Tuhan, kemudian dia melambungkan pujian yang dikenal dengan Magnifikat.
Bagaimana Bunda Maria mengalami kedukaan yang sangat mendalam? Berawal dari peristiwa ketika Yesus berusia 12 tahun, Maria mendengarkan jawaban yang tidak mengenakan hati dari Yesus ketika mereka seharian mencari Yesus dan ternyata mereka menemukan-Nya di Bait Allah. Yesus menjawab: "mengapa kamu mencari Aku, bukankah Aku harus tinggal di rumah Bapa-Ku?" Hati seorang Ibu yang melahirkan dan membesarkan anaknya tersayat sembilu mendengar jawaban dari si buah hati seperti itu. Ada kesan dalam hati Bunda Maria bahwa Yesus ternyata bukan anaknya, meskipun dia melahirkannya dengan susah payah. Kedukaan semakin bertambah ketika Anak yang dilahirkannya itu harus mati dengan cara yang keji, disalibkan di Bukit Golgota. Tapi Bunda Maria tetap sabar untuk menghadapi semua itu. Bahkan SEGALA PERKARA DISIMPANNYA DALAM HATI. Sikap Bunda Maria ternyata memiliki arti yang sangat dalam. Menyimpan segala perkara dalam hati berarti melakukan permenungan mendalam hingga menemukan arti iman yang sesungguhnya.
Kita, umat beriman, sebagai manusia pasti mengalami hal yang sama seperti yang di alami oleh Bunda Maria. Pada zaman sekarang, iman kita digoncang oleh berbagai peristiwa yang terjadi. Bencana alam yang terjadi di mana-mana, kejahatan yang semakin meningkat, pelecehan HAM yang kian tak terbendung, krisis keteladanan, bahkan kita dikejutkan dengan berbagai peristiwa yang bertentangan dengan iman kita, seperti peristiwa-peristiwa aneh yang terjadi dalam tubuh Gereja. Ratusan imam di "suspensi" atau dinonaktifkan oleh Paus karena hidupnya tidak sesuai lagi dengan tugasnya. Biarawan dan biarawati yang hidup dalam kaul kemurnian ternyata melahirkan anak. Demikian juga pelecehan seksual terjadi di mana-mana dan merongrong iman kita. Bukan hanya itu, kaum hirarki yang hidup dalam kaul kemiskinan, ternyata menimbun harta dan menyalah gunakan. Bahkan gaya hidup materialisme dan hedonisme mewarnai corak kehidupan yang dilingkari oleh ketiga kaul yakni kemiskinan, ketaatan dan kemurnian.
Apakah kita perlu tergoncang dengan semua itu? Tidak perlu. Setiap orang punya pilihan masing-masing dalam beriman. Kita harus tetap menjadi militan seperti Bunda Maria. Segala peristiwa tidak boleh mengurangi keberimanan kita. Mari kita menyimpan dalam hati dan merenungkannya. Kita tidak perlu berputus asa. Kita harus tetap beriman dan semakin beriman. Segala sesuatu yang berasal dari kebenaran, akan kembali juga pada kebenaran. Setiap orang yang melanggar titah-Nya, akan mendapatkan ganjarannya juga. Jadi, tetaplah beriman seperti Maria. ** Fidelis Harefa
Posting Komentar