Pengantar


Rm. I Ketut Adi Hardana, MSF
Setiap pembicaraan, keputusan dan tindakan yang menyangkut orang banyak dalam arti luas dapat disebut sebagai pembicaraan, keputusan dan tindakan politik. Itu kalau kita mendasarkan istilah itu pada asal-usul munculnya kata itu dalam bahasa Yunani. Istilah Politik berasal dari bahasa Yunani 'polis' yang artinya negara-kota. Dalam negara-kota di zaman Yunani, orang saling berinteraksi guna mencapai kesejahteraan dan kebaikan dalam hidupnya. Ketika manusia mencoba untuk menentukan posisinya dalam masyarakat, ketika mereka berusaha meraih kesejahteraan pribadi melalui sumber daya yang ada, atau ketika mereka berupaya mempengaruhi orang lain agar menerima pandangannya, maka mereka sibuk dengan suatu kegiatan yang kita namai 'politik'. Hal itulah yang mendasari terbentuknya pengertian politik. Dengan Pemahaman seperti itu, dapat dikatakan bahwa kita tengah berpolitik ketika bersaing dengan tetangga sebelah rumah untuk jabatan sekertaris RT, atau sopir angkot berdebat dengan oknum LLAJ bahwa pungli yang mereka lakukan sudah tidak bisa lagi ditolerir. Pengertian politik memiliki cakupan atau muatan yang sangat luas.

Leksikal Politik

Menurut buku A  New Handbook of Political Science,  politik adalah penggunaan kekuasaan sosial yang dipaksakan. Kata kekuasaan sosial ditekankan unuk membedakannya dengan kekuasaan individual, sebab politik berkenaan dengan pengaturan hidup suatu masyarakat secara keseluruhan, melampuai batasan individual. Masyarakat sebagai entitas sosial mengesahkan sekelompok individu melalui Pemilihan Umum untuk memiliki kekuasaan sosial. Aplikasi kekuasaan ini dapat dipaksakan, jika diperlukan, atas setiap individu untuk menjamin keteraturan di dalam masyarakat. Dalam kaitan dengan hal ini, kita mengenal adanya undang-undang darurat sipil atau militer yang dikeluarkan oleh penguasa untuk memulihkan kembali ketertiban dan keamanan masyarakat.

Lebih jauh, menurut Gabriel A. Almond,  politik adalah kegiatan yang berhubungan dengan kendali pembuatan keputusan publik dalam masyarakat tertentu di wilayah tertentu, di mana kendali ini disokong lewat instrumen yang sifatnya otoritatif (berwenang secara sah) dan koersif (bersifat memaksa). Dalam nosi ini, politik mengacu pada penggunaan instrumen otoritatif dan koersif: siapa yang berhak menggunakannya dan dengan tujuan apa? Kata otoritatif merupakan konsep yang ditekankan dalam masalah politik. Otoritatif adalah kewenangan yang absah, diakui oleh seluruh masyarakat yang ada di suatu wilayah untuk menyelenggarakan kekuasaan. Otoritas tersebut ada di suatu lembaga bernama "pemerintah". Bukan suatu kekuasaan politik jika lembaga yang melaksanakannya tidak memiliki otoritas. Pemerintah juga dapat kehilangan otoritasnya tatkala mereka sudah tidak memiliki kekuasaan atas masyarakatnya.

Di dalam perkembangannya, memang istilah politik cenderung digunakan dalam arti sempit. Jadi politik itu bukan masalah lima tahunan, atau masalah pemilihan presiden dan para anggota legislatif saja, melainkan masalah sehari-hari. Dalam arti itu, politik merupakan panggilan dan kewajiban setiap warga Negara. Selaku pemegang kekuasaan, pemerintah mempunyai kewajiban untuk memperjuangkan nilai-nilai seperti: kesejahteraan, keadilan, keamanan, kebudayaan, dan sejenisnya untuk seluruh warga masyarakat. Dalam arti itu, politik dapat dipahami sebagai seni mengatur pemerintahan, artinya bagaimana pemegang kekuasaan mengatur jalannya pemerintahan sehingga tercipta kesejahteraan bersama (bonum commune) bagi seluruh warga masyarakat, tanpa memandang perbedaan agama, suku, bahasa dan budaya.

Dalam Pengertian yang lebih luas, seperti dipahami oleh Aristoteles, politik dimaknai sebagai hubungan publik. Menurut Aristoteles, dalam bukunya Politics, ditegaskan bahwa manusia adalah binatang politik, artinya secara kodrati manusia hanya dapat memperoleh kehidupan yang baik lewat suatu komunitas politik, baik dalam ruang lingkup publik maupun privat. Dalam ruang lingkup publik terletak institusi seperti pengadilan, aparat pemerintah, polisi, tentara, sistem kesejahteraan sosial, dan sejenisnya; sementara dalam 'civil society' yang ranahnya lebih bersifat privat, terletak institusi seperti keluarga, kekerabatan, bisnis swasta, serikat kerja, klub-klub, komunitas dan sejenisnya.
Dalam pemahaman semacam ini, politik mengandung komponen yang disebut dengan kompromi dan konsensus. Sharing atau pembagian kekuasaan antara lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif adalah asumsi politik sebagai kompromi dan konsensus. Dalam kompromi dan konsensus disepakati pembagian kekuasaan, sehingga kekuasaan tidak dipegang oleh satu otoritas, tetapi oleh otoritas lainnya; dengan demikian, terhindarkan apa yang disebut dengan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). 

Kompromi dan konsensus dilawankan dengan brutalitas, pertumpahan darah dan kekerasan. Dalam politik, tidak ada pihak yang kepentingannya terselenggarakan 100 %. Masing-masing pihak berusaha memoderasi tuntutannya agar tercapai persetujuan dengan pihak lain. Ketika pergesekan kepentingan diantara semua pihak diselesaikan lewat kompromi dan konsensus di atas meja dan bukan dengan pertumpahan darah, saat itu dapat dikatakan bahwa politik suatu negara adalah baik atau para politikusnya sudah dewasa dalam berpolitik.

Dalam politik kita senantiasa berbicara mengenai “seni” dan cara, bagaimana masyarakat di suatu wilayah menegosiasikan kepentingan masing-masing untuk melahirkan kesepakatan, agar kepentingan-kepentingan tersebut dapat terselenggara tanpa merugikan pihak lain. Dalam perspektif ini, politik disebut sebagai “seni” untuk mengatur kehidupan bersama agar tercipta kesejahteraan, keadilan, kedamaian, perlindungan terhadap pihak yang lemah serta penghormatan terhadap setiap pribadi manusia dan kepentingan semua pihak serta golongan dilindungi.

Pendasaran Keterlibatan Gereja/Awam dalam Politik 

Setiap orang beriman dipanggil dan diutus untuk mewujudkan imannya melalui perbuatannya (bdk. Yak 2:14, 17). Dengan demikian setiap orang beriman dalam panggilan dan martabatnya masing-masing dipanggil dan diutus untuk mewujudkan imannya. Lebih jauh dekrit tentang kerasulan awam menyebut bahwa panggilan kristiani menurut hakekatnya adalah panggilan untuk merasul. ''Seperti dalam tata susunan tubuh yang hidup tidak satupun anggota bersifat pasif melulu, melainkan beserta kehidupan tubuh juga ikut menjalankan kegiatannya, begitu pula dalam Tubuh Kristus, yakni Gereja, seluruh tubuh menurut kadar pekerjaan masing-masing anggotanya mengembangkan tubuh. Sehingga anggota yang tidak berperan menurut kadarnya demi pertumbuhan tubuh juga harus dipandang tidak berguna bagi Gereja atau bagi dirinya sendiri.'' (Apostolicam Actuositatem, Bab I art. 2.) 

Bentuk keterlibatan kaum awam dalam dunia politik lebih leluasa dibandingkan dengan hirarki, karena justru panggilan khas mereka adalah terlibat dalam tata dunia. Secara kongkrit keterlibatan kaum awam dalam politik adalah keterlibatan dalam bermasyarakat. Kaum awam menyatu dengan masyarakat sebagai makhluk sosial yang peduli dengan sesama dan lingkungannya serta lebih jauh berani mengambil bagian dalam setiap kesempatan sosial dan politik yang terbuka bagi mereka. Misalnya terlibat dalam organisasi  RT atau RW, organisasi kemasyarakatan, terlibat dalam partai politik dan lain-lainnya.

Konsili Vatikan II dalam Dekrit tentang Kerasulan Awam, Apostolicam Actuositatem, no. 14 menyatakan: “Terdorong oleh cinta akan bangsanya dan oleh rasa tanggungjawab akan tugas-tugas sebagai warga negara, orang Katolik harus merasa dirinya bertanggungjawab untuk memajukan kesejahteraan bersama dalam arti kata yang sebenarnya. Mereka berusaha memperbesar pengaruh mereka, supaya perundang-undangan sejalan dengan hukum-hukum kesusilaan dan dengan kesejahteraan bersama...Hendaknya orang-orang Katolik, yang mahir dalam bidang politik, dan sebagaimana wajarnya berdiri teguh dalam iman serta ajaran kristiani, jangan menolak untuk menjalankan urusan-urusan umum”.

Dalam pernyataan ini tampak dengan jelas pandangan Gereja Katolik tentang politik. Keterlibatan dalam bidang politik berpangkal dari cinta akan bangsa dan rasa tanggungjawab akan tugas-tugas sebagai warga negara. Dalam arti ini, keterlibatan dalam dunia politik adalah wujud tanggung jawab dari setiap warga negara untuk memajukan kesejahteraan bersama dan mencapai cita-cita bersama, yakni masyarakat yang adil dan makmur. Untuk itu, diperlukan keterlibatan secara aktif dan menggunakan segala kemampuan atau pengaruh yang dimiliki untuk memastikan bahwa setiap undang-undang yang dibuat sejalan dengan hukum-hukum kesusilaan dan bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan bersama. Tanpa partisipasi aktif dari seluruh warga, khususnya mereka yang berkecimpung dalam dunia politik ada bahaya bahwa undang-undang yang dibuat bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan universal seperti keadilan, perlakuan dan perlindungan terhadap semua golongan, penghormatan terhadap martabat dan hidup manusia serta jaminan terhadap mereka yang lemah.

Dari pandangan ini menjadi jelas bahwa orang Katolik, baik kaum awam maupun para imam, biarawan/wati bukan hanya boleh ikut terlibat dalam dunia politik, tetapi merupakan suatu keharusan. Tentu saja “porsi” keterlibatannya berbeda antara Imam/Biarwan/ti dibandingkan dengan awam sesuai dengan mandat dan tugas masing-masing. Konsep Gereja sebagai umat Allah membuka pintu sangat lebar bagi keterlibatan umat dalam politik. Hal ini dipertegas oleh sejumlah Dokumen Konsili Vat II.

Apostolicam Actuositatem, no. 2, secara khusus menekankan ciri keduniaan dari kehidupan kaum awam beriman kristiani. Dengan ciri khas status hidup awam di tengah masyarakat dan urusan-urusan duniawi, mereka dipanggil Allah untuk dijiwai semangat kristiani, ibarat ragi, menunaikan kerasulan mereka di dunia. Dari dekrit yang sama, no. 9 ditegaskan mengenai pentingnya kerasulan kaum awam, baik internal Gereja maupun dalam masyarakat: “Kaum awam menunaikan kerasulan mereka yang bermacam-ragam dalam Gereja maupun masyarakat. Dalam kedua tatanan hidup itu terbukalah pelbagai bidang kegiatan merasul.” Demikian juga dalam Konstitusi Pastoral tentang Gereja dalam dunia dewasa ini, Gaudium et Spes, no. 52, ditegaskan tentang tanggungjawab semua umat beriman dalam urusan kesejahteraan umum, keamanan, politik, ekonomi, kebudayaan dan hidup berkeluarga, baik dalam menanggung beban keluarga, maupun dalam mendidik anak menuju kepada kesempurnaan.

Lebih jauh Johanes Paulus II, dalam Ensiklik Christi Fideles Laici menyebut bahwa dunia kerasulan kaum beriman kristiani adalah bidang sosial ekonomi, politik, kebudayaan dan pendidikan. Hal ini menemukan pendasaran biblisnya dalam Kis. 2:1-40 yang memberikan inspirasi kepada umat Katolik untuk bergerak keluar dari persembunyian dan berani mewartakan kabar baik kepada semua bangsa. Bagi kita, umat Katolik pada umumnya, usaha kita terlibat dalam politik praktis bukanlah sebagai sarana atau kendaraan untuk melebarkan sayap Gereja. Ekspansionisme dan Proselitisme (mencari kawan sebanyak-banyaknya) sudah bukan waktunya. Tugas utama kita adalah ikut menyumbangkan jasa agar Indonesia semakin menjadi negara dan masyarakat yang lebih baik.

Namun di pihak lain Gereja tetap melarang keterlibatan para uskup, imam, serta rohaniwan dan rohaniwati dalam arena politik praktis. Hukum Kanonik, kan. 287, misalnya mengatakan bahwa para klerus tidak diperbolehkan terlibat dalam dan memimpin partai politik tertentu. Konferensi Wali Gereja Indonesia (2008) membuat pernyataan bahwa demi menjaga objektivitas dan netralitas pelayanan gerejawi, maka pimpinan Gereja tidak dapat merangkap sebagai pengurus partai politik. Mengapa larangan seperti ini dibuat dan terus dipertahankan?

Larangan ini dibuat atas pertimbangan bahwa para Uskup, Imam dan bahkan kaum religious merupakan simbol dan kekuatan yang mempersatukan komunitas umat beriman. Karena itu, apabila terlibat dalam politik praktis dan pada suatu ketika harus berseberangan dengan umat beriman katolik lainnya karena tuntutan politik partisan, maka hal ini akan memperlemah otoritas pengajaran serta posisi mereka sebagai penyatu, pelindung dan pembimbing umat beriman. Kalau demikian, maka pertanyaannya ialah apakah para hirarkis harus tutup mulut terhadap kegelisahan, penderitaan, kemiskinan dan ketidakadilan sosial yang terjadi ditengah masyarakat sebagai akibat dari struktur politik dan ekonomi yang tidak adil?

Ajaran Konsili Vatikan II tentang Gereja di dunia dewasa ini (GS), menyiratkan penegasan yang mengajak seluruh umat beriman untuk mulai bertindak. Adalah saatnya tiba untuk bertindak dan beraksi, bukan berbicara dan berwacana saja. Tindakan dan aksi itu, secara khusus menyasar pada dunia politik dengan komitmen untuk memperjuangkan kesejahteraan bersama. Hal itu ditegaskan oleh Paus Yohanes Paulus II dalam sambutannya pada tgl 1 Januari 1985: “Sudah saatnya kita mengubah kata-kata menjadi tindakan. Tiap individu, masyarakat dan keluarga, penganut agama, organisasi-organisasi nasional dan internasional, hendaknya mengakui bahwa mereka terpanggil untuk memperbaharui komitmen mereka: bekerja bagi perdamaian”. Dalam hal itu Paus sudah menyuarakan bahwa Gereja harus membawa perdamaian, atau Gereja mengajak semua orang untuk merubah dunia agar lebih damai. Inilah seruan politik dari pemimpin Gereja Katolik bagi dunia.

Keterlibatan dan Pendampingan Hirarki dalam Politik

Berkaitan dengan wujud keterlibatan dan pendampingan Hirarki dalam bidang politik, ajaran Sosial Gereja Octogesima Adveniens, no. 48 mengungkapkan dengan jelas: “Hirarki mengemban tugas untuk mengajar dan menafsirkan secara otentik norma moralitas. Setiap umat awam mengemban tanggungjawab pribadi yang berdasarkan iman dan pengharapan, untuk meresapi tata-dunia dengan semangat kristiani”. Memang ada pembatasan keterlibatan para anggota hirarki dalam dunia politik praktis. Mengingat saratnya dunia politik praktis dengan berbagai macam kepentingan partai, kelompok bahkan pribadi, maka para uskup dan imam hendaknya tidak terlibat langsung dalam dunia politik praktis dalam arti mencalonkan diri dalam pemilihan anggota legislatif maupun eksekutif. Ada pembagian tanggung jawab. Para imam bertanggung jawab memberikan pedoman yang dijabarkan dari norma moralitas, kaum awam bertanggung jawab untuk mewujudkannya dalam keterlibatan nyata.

Keterlibatan pimpinan Gereja dalam urusan politik tentunya tidak bisa dimengerti dalam arti keterlibatan politik praktis seperti mendirikan dan memimpin sebuah partai politik atau gerakan politik tertentu. Demikian pula tidak menduduki posisi atau jabatan legislatif, yudikatif atau eksekutif dalam kehidupan politik. Kalaupun terpaksa menduduki jabatan politis tertentu, maka harus terlebih dahulu mendapatkan izin resmi dari institusi Gereja.  Lebih jauh, keterlibatan para hirarkis dalam urusan sosial-politik lebih dimengerti dalam arti memfasilitasi dialog bersama awam dan masyarakat tentang realitas sosial, politik, ekonomi dan budaya sehari-hari dalam rangka membangun suatu budaya dan struktur sosial, politik, ekonomi baru yang lebih adil dan manusiawi. Tanggungjawab dalam urusan sosial-politik terungkap lewat usaha menghimpun dan memberi pendampingan iman, ilmu dan pembentukan karakter kristiani kepada awam supaya menjadi terang dan garam dunia melalui kegiatan sosial, politik dan ekonomi serta budaya yang ditekuni.

Pendapingan terhadap para awam itu dimulai dengan upaya membangun sebuah komunio bersama awam dengan tujuan melakukan refleksi bersama secara berkala dan kontinu tentang kenyataan-kenyataan sosial-politik sehari-hari.Refleksi ini dipertajam dengan membaca dan merenungkan bersama Kitab Suci, khususnya refleksi atas pribadi Yesus sebagai penyelamat dan  pembebas. Refleksi itu kemudian diikuti oleh tindakan konkrit bersama demi suatu perubahan sosial-politik yang lebih adil dan manusiawi. Gustavo Gutierez (1983)  menekankan peranan hirarkis sebagai pengajar dan motivator bagi umat beriman supaya tetap setia mengabdikan diri kepada masyarakat kecil, mengupayakan keadilan dan perdamaian serta kesejahteraan dan kebaikan bersama.

Gereja terpanggil untuk merumuskan suatu eklesiologi baru dimana Gereja tidak lagi dilihat sebagai suatu institusi sosial yang terisolir, malainkan bagian integral dari pengalaman hidup umat beriman dan masyarakat umumnya. Gereja adalah bagian dari pengalaman umat manusia akan kegembiraan, sukacita, harapan serta duka dan kecemasan sehari-hari. Gereja adalah umat Allah. Konsep Gereja sebagai umat Allah ini, dirumuskan secara sangat baik dalam GS 1: “Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga”.

Pernyataan Konsili Vatikan II ini mereflesikan adanya keterbukaan luar biasa dari pihak Gereja terhadap kehidupan publik. Konsep Gereja sebagai Umat Allah mendorong kita supaya  lebih aktif mengintegrasikan diri dengan pengalaman hidup umat manusia dan lebih terbuka terhadap situasi politik, ekonomi, kesehatan, pendidikan, perumahan, keadilan sosial, kesejahteraan serta lingkungan hidup masyarakat. Ketika negara dan masyarakat diselimuti oleh situasi ketidakadilan, pelanggaran hak asasi manusia dan penindasan, maka Gereja perlu tampil membantu dan mendidik masyarakat supaya bisa mendefinisikan dirinya sendiri sebagai agen profetis dan pembaharu yang mampu membebaskan diri dari situasi yang dihadapi dengan kekuatan sendiri.

Dalam kaitan dengan situasi dunia yang demikian itu, Gereja dihadapkan dengan suatu tugas yang mahaberat, yakni tugas untuk memberikan ciri manusiawi dan kristiani kepada peradaban modern, kepada situasi perpolitikan; suatu ciri yang diminta dan hampir dituntut oleh peradaban itu sendiri untuk perkembangannya lebih lanjut, agar peradaban itu tidak musnah. Gereja memenuhi tugas ini terutama melalui putra-putri awamnya, yang harus sanggup melaksanakan kegiatan-kegiatan jabatan tersebut, sebagai penunaian atas suatu kewajiban dan sebagai suatu pengabdian dalam persatuan batiniah dengan Allah dan dengan Kristus dan demi untuk kemuliaan-Nya (bdk. Mater et Magistra, no. 56-57). Ciri manusiawi dan kristiani itu menjadi nampak manakala kaum awam yang terlibat dalam dunia politik sungguh-sungguh menjadikan keterlibatan itu sebagai medan karya perutusan, artinya menjadi kesempatan untuk ikut secara aktif merancang, merumuskan dan memutuskan setiap regulasi dan keputusan politik dengan mendasarkannya pada nilai-nilai kemanusiaan: keadilan, kejujuran, pelayanan, pengorbanan dan perjuangan bagi kesejahteraan bersama.

Konsili Vatikan II dalam Konstitusi Dogmatis tentang Gereja (Lumen Gentium), no. 1, menegaskan fungsi sebagai pemberi ciri kristinai itu dengan merujuk Kristus sebagai Terang para bangsa yang menerangi semua orang, agar para bangsa mampu hidup dalam kebenaran dan keadilan serta berani memperjuangkan kebaikan bagi banyak orang: “Terang Bangsalah Kristus itu. Maka Konsili suci yang terhimpun dalam Roh Kudus, ingin sekali menerangi semua orang dengan cahaya Kristus, yang bersinar dalam wajah Gereja, dengan mewartakan Injil kepada semua makhluk (bdk. Markus 16: 15)”. Pernyataan ini mau mengatakan kepada kita, bahwa Gereja dalam Kristus adalah tanda dan sarana, saluran rahmat Allah yang menyelamatkan. Gereja bermaksud menyatakan kepada umat manusia dan dunia, hakekat dan tugas perutusannya di dalam dunia, yakni menjadi Sakramen bagi dunia, tanda dan sarana keselamatan bagi dunia.

Sebagai anggota tubuh Kristus, Gereja dengan caranya masing-masing mengemban tri-tugas Kristus sebagai Nabi, Imam dan Raja. Itu berarti Gereja ada di dalam dunia dan bertugas menggarami dan menerangi dunia dengan Injil Kristus (bdk. Mrk. 16, 15). Gereja berhubungan erat dengan dunia dewasa ini yang dalam ajaran Konsili Vatikan II tentang Gereja di dunia dewasa ini, Gaudium et Spes, no. 1 dinyatakan bahwa “kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga”. Dengan penegasan itu, menjadi jelas bahwa Gereja (kaum Awam dan Hirarki) tidak bisa menempatkan diri sebagai kelompok yang terpisah dari dunia, seolah-olah urusan dunia dan perkara-perkara duniawi berada di luar tanggungjawabnya; sebaliknya, Gereja harus “membenamkan” diri di dalamnya sebab “urusan” dunia adalah “urusan” Gereja.

Konsolidasi Komitmen

Gereja Katolik memandang politik sebagai salah satu bidang pelayanan demi perwujudan kasih Allah. Bentuk pelayanan ini mengambil wujudnya paling kongkrit dalam upaya setiap umat beriman memajukan kesejahteraan umum. Kitab Suci mengatakan, “Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada Tuhan sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu” (bdk. Yeremia 29:7). Politik merupakan hak, tanggungjawab dan panggilan semua anggota Gereja. Oleh karena itu, kehidupan politik tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia.
Sebagai warganegara yang baik, umat Katolik memiliki kewajiban ikut terlibat dalam memperjuangkan kebaikan umum (bonum commune) yang merupakan tujuan politik (bdk. Kan. 747, § 2). Sebagai insan politik yang mengimani Kristus sudah sepantasnya nilai-nilai Injili  mewarnai cara berpolitik umat Katolik (bdk. Kan. 747, § 1). Nilai-nilai itu adalah: inklusif (nondiskriminatif), preferential option for the poor, HAM, solidaritas, subsidiaritas dan bonum publicum/bonum commune. Nilai – nilai tersebut merupakan dasar visi politik umat Katolik yaitu membangun suatu tatanan politik yang adil, beradab dan mengabdi pada kepentingan umum, terutama kelompok masyarakat yang dirugikan.

Alasan mendasar yang membuat umat Katolik terus terlibat aktif dalam urusan politik terletak pada panggilan Ilahi untuk mempertegas moral politik yang benar yaitu politik demi keadilan, perdamaian, kesejahteraan dan kebaikan bersama serta penghormatan terhadap hak-hak asasi dan martabat manusia. Moral politik ini bertentangan dengan mentalitas individualistik dan etika individualisme. Etika ini mengagung-agungkan kebebasan dan pilihan hidup berdasarkan kepentingan individu semata-mata, tetapi mengabaikan kepentingan dan kebaikan kolektif. Sambil menolak etika individualisme ini, Gereja mengajak semua umat beriman supaya bersikap kritis terhadap setiap idiologi dan etika serta berani menolak idiologi dan etika kehidupan yang berpotensi menghancurkan prinsip kebaikan, kesejahteraan, keadilan, kesatuan dan keselamatan kolektif  yang menjadi tujuan politik yang sesungguhnya.

Merebut Jabatan Publik

Ruang publik dalam kancah perpolitikan adalah ruang yang harus direbut oleh mereka yang ingin berkiprah dalam dunia politik. Kesempatan ditawarkan kepada semua pihak, tetapi tentu saja tidak semua pihak mampu meraihnya. Selain karena kursi atau jabatan yang ditawarkan jumlahnya sangat terbatas dibandingkan dengan pihak “pelamar”, dari lain pihak tiadanya strategi yang tepat dan jitu, ikut menjadi faktor pendukung yang menyebabkan seseorang gagal meraih jabatan publik, baik pada level eksekutif maupun legislatif. Untuk itu perlu dibangun jejaring sosial berupa penguatan dan pemantapan jejaring untuk memupuk modalitas dalam berorganisasi, bersosialisasi dan dalam berwacana. Organisasi menjadi penting karena lewat organisasi seseorang dapat terus mengelola diri secara terpelihara dan berkelanjutan. Melalui modalitas sosialisasi orang mengembangkan kepekaan terhadap lingkungan sosial politik di sekitar, sehingga semakin dikenal oleh pihak lain, dan melalui wacana yang dibangun orang memperkuat kemampuan artikulasi sosial politik, sehingga mampu mengekpresikan diri dan ide-ide politik secara matang dan meyakinkan yang pada akhirnya mampu mempengaruhi pihak lain.

Pilihan Strategi

Menghadapi persaingan yang demikian ketat dalam upaya merebut jabatan publik, selain membangun jejaring sosial serta mengartikulasikan diri melalui modalitas organisasi dan sosialisasi, diperlukan juga sebuah strategi yang tepat. Strategi yang dimaksud adalah cara-cara serta kia-kiat yang diterapkan untuk mencapai tujuan yang dimaksud. Sebelum menentukan pilihan strategi, tentu perlu melakukan pemetaan terhadap kekuatan “lawan” serta kekuatan sendiri beserta kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Sebagai contoh: banyak caleg dianggap memenuhi kriteria-kriteria seperti yang dituntut oleh publik: berasal dari  keluarga yang harmonis, rukun-damai dan tetap bersatu padu, mempunyai kompetensi, integritas dan moralitas/kepribadian yang baik, bukan tipe peminum dan pemabuk, bebas narkoba, dikenal sebagai tokoh yang suka dan mampu menyelesaikan masalah, baik, rajin, aktif sebaga orang beragama, mempunyai hubungan atau kerja sama yang baik dengan pemuka agama dan pemerintah, mempunyai kepedulian sosial, komitment dalam memperjuangkan kesejahteraan umum, jujur, memenuhi janji dan konsisten, terbebas dari kebiasaan KKN, mempunyai dukungan yang signifikan dan peluang untuk menang; sementara jumlah kursi legislatif yang diperebutkan terbatas.

Berhadapan dengan realita yang demikian itu, perlu dibangun konsensus bersama antara para caleg dengan pilihan mengedepankan kepentingan bersama diatas kepentingan pribadi. Di sinilah, pada titik ini dituntut sikap serta kerelaan dari para calon untuk melepaskan hak untuk dipilih ketika kemungkinan untuk menang tidak sebesar yang dimiliki oleh calon lainnya. Dalam perspektif ini, diperlukan keberanian untuk menyatukan sikap, visi, misi dan komitmen untuk mengusung hanya calon-calon yang memiliki peluang besar untuk menang; sementara itu, para calon lainnya yang peluang keterpilihannya lebih kecil diminta dengan sukarela untuk mengundurkan diri.
Dengan terbangunnya komitmen semacam ini, maka seluruh daya dan kemampuan yang ada diarahkan sepenuhnya untuk mendukung calon yang memiliki peluang besar itu, sehingga peluang keberhasilan akan menjadi lebih besar daripada mengajukan banyak calon dengan konsekuensi suara terbagi, sehingga tidak ada yang berhasil menang. Strategi semacam ini telah terbukti ampuh. Di daerah-daerah seperti di Bali dan Pangkal Pinang dimana jumlah umat Katolik minoritas, tetapi berhasil menempatkan cukup banyak wakilnya di lembaga legislatif. Keberhasilan ini terjadi, karena semua pihak sepakat untuk mengedepankan kepentingan yang lebih besar, yakni kepentingan Gereja daripada kepentingan pribadi.

Di sinilah diperlukan adanya kerjasama antara semua pihak, baik antar kaum awam maupun antara hirarki dan kaum awam. Kehadiran hirarki menjadi penting sebagai tonggak pedoman arah bagi kaum awam yang terlibat dalam dunia politik. Dengan memberikan arahan serta pedoman-pedoman etis yang menjadi dasar pijakan dalam pengambilan setiap keputusan, dapat diharapkan bahwa kaum awam yang terlibat dalam dunia politik dapat membangun komitmen bersama untuk menempatkan kepentingan Gereja sebagai kepentingan yang lebih  besar daripada kepentingan pribadi. Untuk itu, diperlukan adanya kenosis, pengosongan diri dan pertobatan yang sejati yang mengandung tuntutan kerendahan hati serta kerelaan untuk berkorban demi kepentingan umum. Bila hal ini dapat diusahakan dan diwujudkan, tentu kehadiran kaum awam dalam dunia politik tidak hanya besar dalam hal kuantitas, tetapi juga berarti dalam kualitas.

Penutup

Kerasulan awam, yang menukik secara sempit kepada kerasulan dalam dunia politik adalah sakramen, yakni jalan menuju kepada keselamatan. Bidang politik sebagai salah satu bentuk kerasulan awam, dalam arti luas, adalah wujud konkret dari keberpihakan kita demi kesejahteraan bersama dengan keterlibatan sepenuh hati dalam usaha mewujudkan kepentingan umum yang adil, damai dan sejahtera. Gereja Katolik melihat politik sebagai sesuatu yang pada hakekatnya baik, sebagai “seni” untuk mengatur kehidupan bersama dan megusahakan kesejahteraan umum. Oleh karena itu, Gereja sebagai entitas yang berjuang bagi terwujudnya keselamatan dan syaloom, tidak bisa bersikap indifferent dalam dunia politik. Gereja, melalui kaum awam harus terlibat secara aktif dalam dunia politik agar kesejahteraan umum yang diperjuangkan itu secara perlahan tetapi pasti dapat terwujud.

Berhadapan dengan kenyataan politik yang tidak sesuai dengan hakekatnya, Gereja Katolik mengajak semua pihak untuk kembali kepada visi dan misi politik yang sebenarnya, yakni sebagai medium bagi perjuangan kesejahteraan umum dengan berlandaskan pada nilai-nilai keadilan, kejujuran, hormat terhadap martabat pribadi manusia, solidaritas dan subsidiaritas. Untuk itu, Gereja Katolik memperjuangkan pembaharuan politik dengan menekankan perubahan dari politik yang bersifat pencitraan dan politik uang  menjadi politik kompetensi dan pengabdian; dari politik sektarian dan primordialis menjadi politik yang terbuka dan pluralistik; dari politik yang bersifat “top down” menjadi politik yang berpola “bottom up”; dari politik struktural authoritatif menjadi politik konstitusional fungsional dan demokratis; dan dari politik kroni menjadi politik yang terbuka bagi persaingan publik.

Untuk ikut menentukan jalannya politik, Gereja, dalam hal ini kaum awam harus secara aktif terlibat dan ikut mewarnai dunia politik. Hanya dengan terlibat secara aktif, Gereja ikut berperan mengubah dunia politik kearah yang lebih baik. Keterlibatan secara aktif dalam dunia politik melalui perebutan jabatan publik (legislatif dan eksekutif) memerlukan suatu strategi yang jitu. Konsolidasi komitmen adalah salah satu strategi yang telah terbukti ampuh dan dapat diterapkan di tempat lain dalam upaya meraih jabatan publik.

Untuk mewujudkan perubahan tersebut di atas, setiap anggota Gereja perlu berperan aktif sebagai “garam dan terang dunia”, sesuai tugas tanggungjawab, situasi dan kemampuannya masing-masing, serta sesuai aturan yang berlaku. Dalam hal ini semua anggota Gereja: kaum klerus, biarawan-biarawati dan kaum awam dapat dan perlu memainkan peranannya sesuai hak dan kewajibannya sebagai warga masyarakat/negara dan serentak warga Gereja. Secara khusus, kaum klerus serta biarawan dan biarawati dapat berperan secara formatif dan tidak langsung, yakni sebagai pembina, pengawal dan pengontrol dunia politik; sedangkan kaum awam berperan secara praktis dan langsung, sebagai politisi, pemimpin eksekutif dan birokrat.

Bila hal itu tidak dilakukan, maka nasib dan masa depan kita akan ditentukan oleh orang lain seperti yang dikatakan oleh Mgr. Soegijapranata kepada politikus Katolik Indonesia I.J. Kasimo:  ''Jangan biarkan orang lain mengambil keputusan mengenai nasibmu, tanpa kamu terlibat di dalamnya.'' Ini merupakan ajakan kepada setiap orang beriman untuk peka akan kecemasan dan harapan, penderitaan dan kegembiraan bangsa ini. Ini merupakan ajakan bagi segenap insan Katolik untuk teribat secara aktif dalam dunia politik, ikut menentukan masa depan diri dan bangsa. Menjadi orang Katolik Indonesia berarti 100 % Katolik dan 100% Indonesia (Rm I Ketut Adi Hardana, MSF)

Bahan Bacaan:

  1. Robert E. Goodin and Hans-Dieter Klingemann, A New Handbook of Political Science, Oxford University, Oxford 1998.
  2. Gustavo Gutierez,  Reflections from a Latin American perspective: finding our way to talk about God," in V. Fabella & S. Torres (eds.) Irruption of the Third World: Challenge to Theology (Maryknoll NY: Orbis, 1983).