Juli 2011

Pengantar


Pada tulisan saya yang lalu, saya sudah membicarakan tentang Liturgi Yang Menyembuhkan (I) yakni Sakrament Tobat. Pada topik ini, saya membicarakan tentang Sakramen Pengurapan Orang Sakit dalam rangka mendalami topik Bulan Liturgi Nasional 2011, yakni Liturgi Yang Menyembuhkan (II).

Di mana pun juga kita akan berjumpa dengan kesakitan atau kematian. Ada orang yang sakit dan sudah beberapa waktu sembuh kembali. Ada juga orang yang sakit berat dan tidak sembuh lagi sampai menghadapi maut.

Bila mana kita sendiri sakit, maka kita mencari penyembuhan dengan berbagai cara, sebab kita ingin hidup terus. Siapa yang ingin cepat meninggal? Dalam keadaan sakit berat, dunia sekitar kita pandang secara lain. Beberapa kondisi berikut yang kita hadapi:
  • Kita harus melepaskan tugas sehari-hari sedangkan teman-teman masih bersekolah, bekerja, bermain terus dan lain-lain.
  • Kita dapat merasa kesepian, hanya terikat pada tempat tidur.
  • Kita akan bergantung pada orang lain, yang membawa makanan dan minuman.
  • Kita menantikan kedatangan orang, sebab kita butuh perhatian.

Kalau demikian, kita manaruh pengharapan dari mana? Mana yang terutama, dari sesama atau dari Tuhan?[ref name="Buku Katekese Liturgi"]Buku Katekese Liturgi 2011, hlm. 53-54[/ref]

Sakramen Pengurapan Orang Sakit


Ada beberapa hal yang perlu kita ketahui dari Sakramen Pengurapan Orang Sakit:
  1. Pengurapan Orang Sakit dalam Perjanjian Lama sering dimaksudkan sebagai obat yang dapat menyembuhkan. Oleh karenanya, tidak mengherankan kalau para rasul dalam perjanjian baru, meneruskan tradisi itu dengan mengoleskan minyak kepada orang sakit untuk menyembuhkan mereka.
  2. Sakramen Pengurapan Orang Sakit biasa diberikan kepada orang yang berada dalam bahaya maut karena sakit keras, luka berat dan lanjut usia. Sakramen ini bukan diperuntukkan bagi mereka yang ada di ambang kematian saja, tetapi juga kepada orang-orang yang mengalami sakit akibat hal-hal tertentu. Oleh karenanya, setiap umat beriman, mendapatkan kemungkinan menerima sakramen ini beberapa kali dalam hidupnya.
  3. Sakramen ini sama dengan sakramen yang lain yakni bukan suatu jimat yang mengandung kesaktian untuk menangkis bahaya maut. Sakramen ada tanda dari Kristus yang hadir sebagai Penyelamat.

Berdasarkan hal-hal di atas, maka alangkah baiknya pengertian yang salah terhadap sakramen ini selama ini dihilangkan. Masih banyak umat yang menganggap bahwa dengan menerima sakramen pengurapan orang sakit, ia akan segera meninggal dunia. Tidaklah demikian harus dimengerti. Mari kita mengartikannya sebagai sakramen penyembuhan yang bisa menyelamatkan jiwa.

P. Frieds Meko, SVD
Seorang imam muda dari Limpopo– Afrika Selatan ketika menjelang acara penerimaan salib misi, perasaannya haru-biru. Ia begitu bahagia, terharu dan sedikit gelisah. Untuk meredam haru-biru perasaannya itu, ia mencoba menulis dalam buku hariannya, “…Tuhan, bagaimana aku dapat melukiskan keajaiban cinta-Mu kepadaku? Bagaimana Engkau mengenal aku dari kumpulan anak-anak kampung, yang setiap hari hanya menghabiskan waktu di pinggir danau untuk memancing ikan buat rejeki keluarga kami?

Engkau sungguh menakjubkan Tuhan. Aku sangka Engkau memanggilku bukan karena aku berasal dari keluarga sederhana, tetapi karena Engkau berkenan melihat sepotong potensi pengabdian dalam hatiku yang bakal berguna untuk karya di medan misi-Mu.

Aku sudah Kau urapi melalui tangan Imam Agung–Uskup kami. Sebentar lagi aku akan menerima salib misi dan akan diutus ke medan karya. Aku tidak tahu, apakah aku akan menjadi seorang gembala yang setia dan tekun dalam mengemban tugas perutusan ini?

Aku gelisah Tuhan, tetapi di balik kegelisahanku aku masih ingat pesan nenekku ketika pertama kali aku melangkahkan kaki di SMP Seminari. Ia mengatakan, cucuku kemungkinan suatu saat engkau ditahbiskan aku sudah tidak ada lagi, tetapi ingatlah, bila kelak engkau menjadi seorang gembala, di mana saja engkau ditugaskan teruhan pertama yang harus engkau berikan adalah HATI-mu. Bila engkau melayani dengan hati yang mengasihi, lemah lembut, penuh pengertian dan rela memaafkan, maka pasti engkau akan dicintai dan dikasihi oleh umatmu dan Tuhan pun tentu akan berkenan padamu….”

Perasaan haru biru sang imam muda Afrika ini sangat eksistensial. Ia mencoba mengandai, mungkinkah ia akan menempatkan diri di medan misi sesuai dengan pesan dan harapan sang nenek-nya, yaitu menjadi gembala yang memiliki HATI bagi umatnya. Harapan itu begitu mulia dan pasti akan terus aktual sampai kapan pun.

Segugus harapan yang mirip dengan harapan sang nenek ini, juga ada pada setiap umat terhadap para gembalanya. Umat sadar bahwa dewasa ini pemandangan dunia sekitar diwarnai dengan kekerasan, perlakuan yang tidak manusiawi dan ketidak-adilan. Ini disebabkan karena manusia moderen begitu mendewakan kekuatan rasionalitas dari pada kekuatan hati nurani. Akibatnya orang lebih mementingkan nilai “kepintaran” dari pada nilai “kebenaran”.

Dalam situasi seperti ini, orang cenderung menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan yang diinginkan (Machiavellian). Seorang gembala misalnya, akan menggunakan cara-cara yang tidak terpuji (keras-kaku, kasar, tidak ramah, masa bodoh, main kuasa, tidak mau dikoreksi, mau menang sendiri, merasa paling benar, dll) dalam pelayanannya, sehingga menyebabkan umatnya mengalami kesulitan. Akibatnya umat akan masa bodoh dan tidak tertarik lagi untuk terlibat dalam kehidupan menggereja.

Umat merasa dan mengalami bahwa ternyata pemandangan hidup dalam Gereja juga “sama saja” dengan pemandangan hidup dunia luar. Sang gembala yang diharapkan menjadi oase rohani, yang dapat membersitkan keteduhan dan suka cita bagi umatnya, ternyata amat jauh dari harapan mereka. Akhirnya akumulasi sakit hati dan ketidak-puasan yang ditahan umat, melahirkan deretan keluhan, tumpukan kekesalan, onggokan isyu dan hujatan terhadap sang gembala. Lalu mungkin umat akan bertanya sambil menggugat: Mutu hati seperti apakah yang dimiliki oleh gembala kita? Allahu ’alam. **

P. Frieds Meko, SVD

Apa itu hidup ? Ah, ternyata sudah sejak dahulu begitu banyak orang berusaha untuk memberikan penjelasan tentang pertanyaan ini. Ada yang mengatakan, hidup adalah sebuah buku putih yang harus ditulis dengan baik dan rapi. Yang lain yang mengartikan, hidup adalah perjuangan yang harus dimenangkan. Lain lagi mengatakan, hidup adalah sebuah mimpi yang harus diwujudkan.

Semua pengertian ini, lebih merupakan rumusan tentang permenungan atas realitas hidup yang dijalankan setiap hari. Namun bila mengacu pada hakekat hidup dengan bertanya “Hidup itu milik siapa dan apakah artinya?”, maka tentunya jawaban kita tidak terlepas dari peran Sang Pemberi kehidupan.

Dalam konteks inilah dapat dikatakan, hidup adalah sebuah anugerah atau hadiah yang sangat istimewa dari Tuhan melalui kandungan seorang ibu. Atau dengan bahasa yang agak simbolis, hidup adalah pemberian istimewa yang diturunkan dari langit suci.

Untuk melengkapi suatu kehidupan, Sang pemberi hidup, telah menitipkan sekurang-kurangnya dua potensi dasar bagi setiap orang yang pernah dilahirkan. Kedua potensi itu adalah : Pikiran dan hati nurani. Dengan berbekal dua potensi dasar inilah, seorang anak manusia dapat mengembangkan hidupnya di dunia ini.

Karena hidup itu “anugerah” maka ia bersifat suci. Ini berarti awal dan akhir dari kehidupan berada dalam tangan Tuhan. Jadi setiap orang yang mengalami kehidupan, diberikan keleluasaan untuk menghayati hidupnya dengan bebas dan bertanggungjawab, namun tetap menyadari bahwa suatu saat hidupnya akan berakhir melalui peristiwa kematian.

Tuhan tidak bisa disogok untuk memperpanjang kehidupan ini. Hidup itu tidak tergantung pada panjang pendeknya, tetapi tergantung pada sejauh mana seseorang membuat hidupnya bermutu.

Sering orang begitu takut menghadapi kematian. Padahal baik lahir maupun mati keduanya memiliki nilai yang luhur dan suci. Kelahiran adalah pintu gerbang untuk memasuki dunia kehidupan yang fana, sedangkan kematian adalah pintu gerbang untuk memasuki dunia kehidupan yang kekal.

Namun dalam kenyataan, terjadi bahwa manusia mencoba untuk mengambil alih kekuasaan Tuhan, melalui upaya membatalkan sebuah kelahiran dengan cara aborsi dan mengakhiri sebuah kehidupan dengan cara membunuh atau dibunuh.

Keberanian manusia untuk memasuki bidang kekuasaan Tuhan seperti ini, jelas membuktikan bahwa manusia telah mengalami tragedi “kematian hati nurani”. Ia tidak lagi menyadari esensi ungkapan iman : “Timor Domini est Initium Sapientia”. (Takut akan Tuhan adalah Permulaan Kebijaksanaan).

Manusia moderen yang begitu menjunjung tinggi peran ilmu pengetahuan justru cenderung untuk bertindak “mengkhianati” Tuhan dengan cara-cara mengintervensi hak Tuhan. Keberanian “konyol” ini ternyata mendatangkan berbagai macam malapetaka dan tragedi yang silih berganti “menghajar” manusia.

Ironisnya, manusia moderen boleh dikenal sebagai manusia “super atau jenius” tetapi sayang, mereka tidak “takut akan Tuhan” untuk bisa menjadi bijaksana dalam banyak hal. Makanya tidak heran kalau terkesan, perkembangan teknologi dan Ilmu pengetahuan ternyata bukanlah jaminan kebahagiaan dan keselamatan manusia.

Jaminan kebahagiaan dan keselamatan manusia justru terletak pada sejauh mana seseorang menghayati hidupnya dengan berusaha menjaga keseimbangan antara kekuatan pikiran dan hati nurani, yang dititipkan Tuhan sejak ia memasuki gerbang kehidupan melalui kelahirannya.
Bagaimana pun, Timor Domini est Initium Sapientia mesti menjadi pegangan dalam menanggapi berbagai peristiwa hidup.**

P. Frieds Meko, SVD

MKRdezign

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget