Bawalah Hatimu Ke Medan Misi

P. Frieds Meko, SVD
Seorang imam muda dari Limpopo– Afrika Selatan ketika menjelang acara penerimaan salib misi, perasaannya haru-biru. Ia begitu bahagia, terharu dan sedikit gelisah. Untuk meredam haru-biru perasaannya itu, ia mencoba menulis dalam buku hariannya, “…Tuhan, bagaimana aku dapat melukiskan keajaiban cinta-Mu kepadaku? Bagaimana Engkau mengenal aku dari kumpulan anak-anak kampung, yang setiap hari hanya menghabiskan waktu di pinggir danau untuk memancing ikan buat rejeki keluarga kami?

Engkau sungguh menakjubkan Tuhan. Aku sangka Engkau memanggilku bukan karena aku berasal dari keluarga sederhana, tetapi karena Engkau berkenan melihat sepotong potensi pengabdian dalam hatiku yang bakal berguna untuk karya di medan misi-Mu.

Aku sudah Kau urapi melalui tangan Imam Agung–Uskup kami. Sebentar lagi aku akan menerima salib misi dan akan diutus ke medan karya. Aku tidak tahu, apakah aku akan menjadi seorang gembala yang setia dan tekun dalam mengemban tugas perutusan ini?

Aku gelisah Tuhan, tetapi di balik kegelisahanku aku masih ingat pesan nenekku ketika pertama kali aku melangkahkan kaki di SMP Seminari. Ia mengatakan, cucuku kemungkinan suatu saat engkau ditahbiskan aku sudah tidak ada lagi, tetapi ingatlah, bila kelak engkau menjadi seorang gembala, di mana saja engkau ditugaskan teruhan pertama yang harus engkau berikan adalah HATI-mu. Bila engkau melayani dengan hati yang mengasihi, lemah lembut, penuh pengertian dan rela memaafkan, maka pasti engkau akan dicintai dan dikasihi oleh umatmu dan Tuhan pun tentu akan berkenan padamu….”

Perasaan haru biru sang imam muda Afrika ini sangat eksistensial. Ia mencoba mengandai, mungkinkah ia akan menempatkan diri di medan misi sesuai dengan pesan dan harapan sang nenek-nya, yaitu menjadi gembala yang memiliki HATI bagi umatnya. Harapan itu begitu mulia dan pasti akan terus aktual sampai kapan pun.

Segugus harapan yang mirip dengan harapan sang nenek ini, juga ada pada setiap umat terhadap para gembalanya. Umat sadar bahwa dewasa ini pemandangan dunia sekitar diwarnai dengan kekerasan, perlakuan yang tidak manusiawi dan ketidak-adilan. Ini disebabkan karena manusia moderen begitu mendewakan kekuatan rasionalitas dari pada kekuatan hati nurani. Akibatnya orang lebih mementingkan nilai “kepintaran” dari pada nilai “kebenaran”.

Dalam situasi seperti ini, orang cenderung menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan yang diinginkan (Machiavellian). Seorang gembala misalnya, akan menggunakan cara-cara yang tidak terpuji (keras-kaku, kasar, tidak ramah, masa bodoh, main kuasa, tidak mau dikoreksi, mau menang sendiri, merasa paling benar, dll) dalam pelayanannya, sehingga menyebabkan umatnya mengalami kesulitan. Akibatnya umat akan masa bodoh dan tidak tertarik lagi untuk terlibat dalam kehidupan menggereja.

Umat merasa dan mengalami bahwa ternyata pemandangan hidup dalam Gereja juga “sama saja” dengan pemandangan hidup dunia luar. Sang gembala yang diharapkan menjadi oase rohani, yang dapat membersitkan keteduhan dan suka cita bagi umatnya, ternyata amat jauh dari harapan mereka. Akhirnya akumulasi sakit hati dan ketidak-puasan yang ditahan umat, melahirkan deretan keluhan, tumpukan kekesalan, onggokan isyu dan hujatan terhadap sang gembala. Lalu mungkin umat akan bertanya sambil menggugat: Mutu hati seperti apakah yang dimiliki oleh gembala kita? Allahu ’alam. **

P. Frieds Meko, SVD

Posting Komentar

[blogger]

MKRdezign

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget