Pada tahun 1907 Misi Gereja Katolik mulai dirintis kembali di wilayah Kalimantan Timur tepatnya di Laham oleh para misionaris Ordo Kapusin yang berpusat di Pontianak–Kalimantan Barat. Ordo Kapusin merasakan daerah pelayanannya terlalu luas, maka pada tahun 1926 Ordo Kapusin menyerahkan wilayah Kalimantan Timur, Tengah dan Selatan kepada Kongregasi Misionaris Keluarga Kudus (MSF) .
Pada peristiwa penyerahan itu, wilayah Kalimantan Tengah dan Selatan disebut “Bagian Selatan” (Zuederafdeling). Tahun 1835 Zending Protestan sudah masuk ke daerah Kalimantan Selatan dan Tengah. Menurut sebuah perjanjian dalam Artikel 177 RR (Regerings Reglement) tentang Zending Ganda, tidak diperbolehkan misi Katolik dan sending Protestan berkarya bersama-sama pada satu daerah. Ternyata aturan ini tidak lagi diberlakukan lagi setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tahun 1945.
Jika antara tahun 1907–1935 karya misi hanya berkembang pesat di Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur, maka setelah Artikel 177 tidak berlaku lagi, wilayah Kalimantan Selatan dan Tengah terutama di pedalaman sangat menarik perhatian para misionaris MSF (Keluarga Kudus). Pada awal tahun 1935 Kota Banjarmasin mendapat kunjungan oleh para pastor MSF dari Kalimantan Timur. Kunjungan-kunjungan itu lebih merupakan pelayanan atas beberapa umat Katolik yang tinggal di kota Banjarmasin dari berbagai bangsa terutama penduduk yang datang dari Eropa, Jawa dan Cina.
Tanggal 21 Mei 1938, Prefektur Apostolik Banjarmasin didirikan, setelah proses pendiriannya memakan waktu selama tujuh tahun. Wilayah Prefektur Apostolik ini meliputi Kalimantan Selatan, Timur dan Tengah dengan Prefektur Apostolik pertama P.Y Kusters, MSF. Sebelas tahun kemudian, yakni, pada tahun 1949 setelah kemerdekaan Indonesia, status Prefektur Apostolik ditingkatkan menjadi Vikariat Apostolik dengan Vikaris Apostolik dijabat oleh Mgr. J. Groen, MSF.
Dari Banjarmasin inilah, karya misi Gereja Katolik melebarkan sayapnya ke pedalaman Kalimantan Tengah di kalangan suku Dayak. Hingga tahun 1952 masih diadakan penjajakan-penjajakan. Namun sebelum mencapai kemungkinan pengembangan lebih lanjut karya misi Gereja Katolik di Kalimantan
Tengah, Mgr. Groen, MSF meninggal dunia pada tahun 1953. Sebagai penggantinya, pada tahun 1954 Pastor muda W. Demarteau, MSF yang baru berusia 34 tahun diangkat sebagai Vikaris Apostolik Banjarmasin.
Dalam kurun waktu 1952–1965 baru dibuka stasistasi sentral sebagai pusat pelayanan. Pada tahun 1954, Stasi pertama dibuka di Sungai Barito (Kalimantan Tengah) tepatnya di Muara Teweh. Stasi ini kemudian menjadi pusat pelayanan wilayah sungai Barito. Dari Muara Teweh berkembang ke Buntok (1965), Puruk Cahu (1966) lalu masuk sungai-sungai kecil antara lain, Teweh, Montalat, Ayuh dan sekitarnya.
|
Mgr. W. Demarteau, MSF
Foto dari: www.keukupan-banjarmasin.org |
Mengingat wilayah karya Vikariat Apostolik Banjarmasin terlalu luas dan untuk mempermudah karya pastoral, maka Mgr. W. Demarteau, MSF selain membuka stasi-stasi baru sebagai pusat pelayanan, juga berusaha untuk menyelesaikan pemisahan Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan yang telah diusulkan oleh pendahulunya Mgr. Y. Groen, MSF.
Dengan data-data aktual tentang Kalimantan Timur yang dikumpulkan oleh Mgr. W. Demarteau, MSF dan setelah melalui berbagai proses yang melelahkan, akhirnya Roma menyetujui pemisahan Kalimantan Timur dari Vikariat Apostolik Banjarmasin. Pada tanggal, 25 Februari 1955 Vikariat Apostolik Samarinda didirikan dan Mgr. W.Demarteau, MSF diangkat menjadi Administrator Apostolik sampai dengan empat bulan kemudian tanggal 10 Juli 1955, P. J. Romeijn, MSF diangkat menjadi Vikaris Apostolik Samarinda yang pertama dan ditahbiskan di Wessenar Belanda pada tanggal 15 September 1955.
Setelah daerah misi Kalimantan Timur resmi menjadi Vikariat Apostolik yang baru, dan terlepas dari
Banjarmasin maka Mgr. W. Demarteau, MSF lebih berkonsentrasi untuk mengembangkan misi di pedalaman Kalimantan Tengah secara intensif. Pada tahun 1952 Sampit ditetapkan sebagai Stasi Pusat pelayanan di wilayah sungai Mentaya, Seruyan, Katingan dan sekitarnya. Pangkalan Bun dibuka
menjadi stasi pada tahun 1965 sebagai sentra pelayanan di daerah sungai Lamandau, Arut dan sekitarnya.
Dikutip dari Buku Kenangan 50 Tahun Paroki St. Maria Palangka Raya