Juli 2019

Penghitungan Suara Pemilihan Ketua Lingkungan
St. Yohanes Paroki Katedral St. Maria Palangka Raya
Pedoman ini adalah pedoman yang berlaku secara umum. Artinya, inilah yang menjadi garis besar yang dapat diperhatikan oleh setiap Ketua Lingkungan di mana-mana. Namun demikian, di setiap paroki pasti ada pengaturan lain disesuaikan dengan kebijakan pastoral. Misalnya, untuk Paroki Katedral St. Maria Palangka Raya, ada pedoman khusus yang telah dibukukan dan boleh diminta di sekretariat paroki.

Ketua Lingkungan diangkat dengan keputusan oleh Dewan Pastoral Paroki Harian dari antara calon-calon yang diusulkan melalui musyawarah umat lingkungan yang bersangkutan.

1. Susunan  Pengurus Lingkungan disesuaikan dengan kebutuhan, tetapi sebaiknya terdiri dari ketua, sekertaris, bendahara dan beberapa ketua seksi tingkat Lingkungan.
2. Para Ketua Lingkungan dalam periode pelayanan tertentu seyogyanya dilantik oleh Pastor Kepala dalam suatu Perayaan Ekaristi.
3. Tugas-tugas Pengurus Lingkungan:

  • melakukan pendataan warga Lingkungan dengan tujuan supaya mereka makin terlayani;
  • mengatur penyelenggaraan ibadat bersama, pendalaman iman dan Ekaristi bagi warga Lingkungan;
  • mengusahakan terwujudnya semangat persaudaraan dan pelayanan antar warga Lingkungan dan dengan warga masyarakat sekitar;
  • mendorong warga Lingkungan agar berperanserta dalam kegiatan-kegiatan RT/RW setempat;
  • mengikutsertakan umat Lingkungan dalam peristiwa-peristiwa penting dalam keluarga warga Lingkungan, seperti kelahiran, pembaptisan, pertunangan, perkawinan, sakit dan kematian;
  • mewujudkan solidaritas kepada warga Lingkungan yang menderita dan berkekurangan, yang sakit dan yang lanjut usia;
  • memperhatikan anak-anak supaya mereka mendapatkan pendidikan Katolik sejak dini dan memperhatikan kaum muda agar mereka didampingi dalam pembentukan nilai-nilai Kristiani;
  • bekerjasama dengan seluruh warga Lingkungan untuk menemukan ungkapan - ungkapan kreatif yang melibatkan semakin banyak warga;
  • mengusahakan agar warga Lingkungan yang belum bisa aktif tetap disapa dan dijadikan bagian dari persaudaraan Lingkungan.
4. Pengurus Lingkungan bertanggung jawab kepada Dewan Paroki Harian.

Selain memperhatikan kebijakan pastoral yang ditetapkan oleh Pastor Paroki, Ketua Lingkungan juga harus bekerjasama dengan anggota ligkungan agar Lingkungan dapat mengelola Kas Lingkungan untuk keperlua Lingkungan itu sendiri.**fh

P. Karl Klein, MSF
Pastor Karl Klein, MSF - adalah seorang misionaris asal Jerman dari Kongregasi Misionaris Keluarga Kudus atau Congregatio Missionariorum a Sacra Familia (MSF). Biografi pastor ini belum diperoleh hingga peluncuruan tulisan ini. Kita berharap bahwa biografi para misionaris yang pernah berkarya di Keuskupan Palangka Raya dapat diperoleh dari sumber-sumber terpercaya (sedang dalam pencarian dokumen).

Yang dapat disebutkan di sini adalah bahwa Pastor Karl Klein, MSF merupakan pastor paroki pertama di Paroki St. Maria Palangka Raya. Beliau ditetapkan sebagai pastor paroki oleh Mgr. W. Demarteau, MSF bersamaan pada saat pemberkatan gedung (tempat Aula Nasareth saat ini) pada tanggal 01 Maret 1963. Tanggal ini kemudian didedikasikan sebagai Hari Ulang Tahun Paroki Katedral St. Maria Palangka Raya.

Kehadiran P. Karl Kalein, MSF di Kota Palangka Raya pada masa itu sangat membantu perkembangan kehidupan iman umat, bukan hanya di kota Palangka Raya, tetapi juga di daerah-daerah sekitar yang sering dikunjungi seperti Pulang Pisau, Sungai Kayu, dan lain-lain. Dari Palangka Raya misi Gereja Katolik melebar ke Kuala Kapuas dan Kuala Kurun. Pada tahun 1965 dibuka karya misi yang baru di daerah Barito Selatan yaitu wilayah Tamiyang Layang dan Ampah.

Pada tahun 1964 P. Karl Klein, MSF mendirikan pastoran. Pastoran yang dibangun ini kemudian menjadi rumah suster-suster SFD. Bangunan tersebut telah dibongkar dan Pastoran yang baru, rumah Pastor saat ini, dibangun di tempat itu. Jumlah umat Katolik di Palangka Raya dan sekitarnya semakin berkembang sehingga gedung gereja yang ada sudah tidak dapat menampung lagi jumlah umat yang beribadat. Berdasarkan situasi ini, tercetuslah ide untuk membangun gereja baru. Pembangunan Gereja baru dimulai pada tahun 1965. Perayaan peletakan batu pertama dihadiri Mgr. W Demarteau,MSF, Bapak Tjilik Riwut dan disaksikan oleh Pastor Paroki dan segenap umatnya. Batu pertama tersebut diletakkan di sebuah tembok segi empat, di sebelah kanan altar dan di dalamnya juga diletakan dokumen pembangunan pendirian gereja.

Gedung gereja baru dirancang oleh Bruder Longinus MSF. Kepada bruder ini, Bapak Tjilik Riwut berpesan agar memasukkan unsur-unsur angka 17, 8 dan 45. Hal ini dapat dilihat pada jumlah tiang gereja yang berjumlah 17 (tujuh belas), bentuk gereja
merupakan segi (8) delapan dan tegel pertama altar berjumlah 45 (empat puluh lima) buah.Seluruh biaya pembangunan gereja ini ditanggung oleh Keuskupan Banjarmasin. Gedung gereja ini (sekarang Gedung Serba Guna Tjilik Riwut) diberkati dan diresmikan penggunaannya oleh Mgr. W.Demarteau, MSF pada tanggal 03 April 1967.

Pada masa Pastor Klein sebagai pastor paroki, yakni pada tahun 1967, dibangun gedung pendidikan yakni gedung SD Katolik St. Yohanes Don Bosco dan gedung SMP Katolik St. Paulus.

Pada tahun 1969, Pastor Karl Klein menyerahkan jabatan sebagai pastor paroki kepada Pastor Frans Yan, MSF.

Dikutip dari Buku Kenangan 50 Tahun Paroki Katedral St. Maria Palangka Raya.

Pada tahun 1907 Misi Gereja Katolik mulai dirintis kembali di wilayah Kalimantan Timur tepatnya di Laham oleh para misionaris Ordo Kapusin yang berpusat di Pontianak–Kalimantan Barat. Ordo Kapusin merasakan daerah pelayanannya terlalu luas, maka pada tahun 1926 Ordo Kapusin menyerahkan wilayah Kalimantan Timur, Tengah dan Selatan kepada Kongregasi Misionaris Keluarga Kudus (MSF) .

Pada peristiwa penyerahan itu, wilayah Kalimantan Tengah dan Selatan disebut “Bagian Selatan” (Zuederafdeling). Tahun 1835 Zending Protestan sudah masuk ke daerah Kalimantan Selatan dan Tengah. Menurut sebuah perjanjian dalam Artikel 177 RR (Regerings Reglement) tentang Zending Ganda, tidak diperbolehkan misi Katolik dan sending Protestan berkarya bersama-sama pada satu daerah. Ternyata aturan ini tidak lagi diberlakukan lagi setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tahun 1945.

Jika antara tahun 1907–1935 karya misi hanya berkembang pesat di Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur, maka setelah Artikel 177 tidak berlaku lagi, wilayah Kalimantan Selatan dan Tengah terutama di pedalaman sangat menarik perhatian para misionaris MSF (Keluarga Kudus). Pada awal tahun 1935 Kota Banjarmasin mendapat kunjungan oleh para pastor MSF dari Kalimantan Timur. Kunjungan-kunjungan itu lebih merupakan pelayanan atas beberapa umat Katolik yang tinggal di kota Banjarmasin dari berbagai bangsa terutama penduduk yang datang dari Eropa, Jawa dan Cina.

Tanggal 21 Mei 1938, Prefektur Apostolik Banjarmasin didirikan, setelah proses pendiriannya memakan waktu selama tujuh tahun. Wilayah Prefektur Apostolik ini meliputi Kalimantan Selatan, Timur dan Tengah dengan Prefektur Apostolik pertama P.Y Kusters, MSF. Sebelas tahun kemudian, yakni, pada tahun 1949 setelah kemerdekaan Indonesia, status Prefektur Apostolik ditingkatkan menjadi Vikariat Apostolik dengan Vikaris Apostolik dijabat oleh Mgr. J. Groen, MSF.

Dari Banjarmasin inilah, karya misi Gereja Katolik melebarkan sayapnya ke pedalaman Kalimantan Tengah di kalangan suku Dayak. Hingga tahun 1952 masih diadakan penjajakan-penjajakan. Namun sebelum mencapai kemungkinan pengembangan lebih lanjut karya misi Gereja Katolik di Kalimantan
Tengah, Mgr. Groen, MSF meninggal dunia pada tahun 1953. Sebagai penggantinya, pada tahun 1954 Pastor muda W. Demarteau, MSF yang baru berusia 34 tahun diangkat sebagai Vikaris Apostolik Banjarmasin.

Dalam kurun waktu 1952–1965 baru dibuka stasistasi sentral sebagai pusat pelayanan. Pada tahun 1954, Stasi pertama dibuka di Sungai Barito (Kalimantan Tengah) tepatnya di Muara Teweh. Stasi ini kemudian menjadi pusat pelayanan wilayah sungai Barito. Dari Muara Teweh berkembang ke Buntok (1965), Puruk Cahu (1966) lalu masuk sungai-sungai kecil antara lain, Teweh, Montalat, Ayuh dan sekitarnya.

Mgr. W. Demarteau, MSF
Foto dari: www.keukupan-banjarmasin.org

Mengingat wilayah karya Vikariat Apostolik Banjarmasin terlalu luas dan untuk mempermudah karya pastoral, maka Mgr. W. Demarteau, MSF selain membuka stasi-stasi baru sebagai pusat pelayanan, juga berusaha untuk menyelesaikan pemisahan Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan yang telah diusulkan oleh pendahulunya Mgr. Y. Groen, MSF.

Dengan data-data aktual tentang Kalimantan Timur yang dikumpulkan oleh Mgr. W. Demarteau, MSF dan setelah melalui berbagai proses yang melelahkan, akhirnya Roma menyetujui pemisahan Kalimantan Timur dari Vikariat Apostolik Banjarmasin. Pada tanggal, 25 Februari 1955 Vikariat Apostolik Samarinda didirikan dan Mgr. W.Demarteau, MSF diangkat menjadi Administrator Apostolik sampai dengan empat bulan kemudian tanggal 10 Juli 1955, P. J. Romeijn, MSF diangkat menjadi Vikaris Apostolik Samarinda yang pertama dan ditahbiskan di Wessenar Belanda pada tanggal 15 September 1955.

Setelah daerah misi Kalimantan Timur resmi menjadi Vikariat Apostolik yang baru, dan terlepas dari
Banjarmasin maka Mgr. W. Demarteau, MSF lebih berkonsentrasi untuk mengembangkan misi di pedalaman Kalimantan Tengah secara intensif. Pada tahun 1952 Sampit ditetapkan sebagai Stasi Pusat pelayanan di wilayah sungai Mentaya, Seruyan, Katingan dan sekitarnya. Pangkalan Bun dibuka
menjadi stasi pada tahun 1965 sebagai sentra pelayanan di daerah sungai Lamandau, Arut dan sekitarnya.

Dikutip dari Buku Kenangan 50 Tahun Paroki St. Maria Palangka Raya

MKRdezign

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget