P. Silvanus Subandi, Pr
Tahun ini paroki katedral St. Maria genap berusia 50 tahun. Banyak hal yang dilakukan dalam rangka perayaan ini, mulai dari menyelenggarakan pertandingan olah raga antar lingkungan, seminar Kitab Suci, seminar keluarga dan politik serta pelbagai kegiatan pendalaman iman. Ya intinya sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan maka peringatan 50 tahun paroki ini mau dirayakan semeriah mungkin. Namun, ibarat sebuah perjalanan, peringatan 50 tahun ini juga perlu direfleksi dan dievaluasi oleh umat paroki (bukan hanya oleh para pastornya saja), lebih-lebih karena paroki Katedral St. Maria merupakan ibu dari semua paroki yang ada di wilayah keuskupan Palangkaraya. sebagai ibu, maka model gereja  yang dihidupi oleh umat paroki Katedral senantiasa menjadi sorotan dan menjadi contoh yang patut ditiru oleh umat paroki lain. Karena itu kita perlu merefleksi kembali model yang selama ini kita hidupi. Dalam hal ini kita perlu merefleksikan beberapa hal sebagai berikut:

1. Gereja lokal yang bersifat universal

Gereja katolik merupakan gereja universal, dia hadir dan ada di seluruh bagian dunia. Dalam hal ini gereja katedral St. Maria Palangkaraya merupakan bagian tak terpisahkan dari gereja universal yang digembalakan oleh Sri Paus selaku wakil Kristus di dunia. Sebagian dari gereja universal maka kita menyadari bahwa diri kita adalah anggota keluarga katolik yang bersifat satu, kudus, katolik dan apostolik ini. di mana-mana dan ke mana pun kita pergi, di sana kita menemukan anggota keluarga kita yang memiliki iman, pemimpin dan struktur liturgi yang sama. Dalam hal ini kita patut bersyukur bahwa di dalam gereja katolik semua bangsa termasuk orang Dayak bersatu sebagai keluarga besar dan bersama-sama memuji Allah dalam budaya dan bahasa yang berbeda yang merupakan anugerah Allah sebagai tanda cinta-Nya.

Namun sebagai bagian dari gereja universal tidak berarti bahwa kita harus menampilkan wajah dan model gereja yang kebarat-baratan. Model gereja yang kebarat-baratan menurut hemat penulis merupakan bentuk pengingkaran terhadap inkarnasi Kristus dalam budaya setempat. Allah sendiri mengkomunikasikan diri-Nya dengan umat-Nya dalam bahasa dan budaya setempat, artinya Allah menghargai budaya setempat. Kalau Allah saja menghargai budaya setempat  lalu mengapa kita harus membangun image gereja yang kebarat-baratan?

Perlu diketahui bahwa membangun image gereja yang kebarat-baratan di Kalimantan Tengah memiliki implikasi yang kurang baik. Pertama, menimbulkan kesan agama Katolik sebagai agama orang barat (penjajah), bukan agama uluh itah  dan karenanya panggilan kurang, dan semangat paternalisme kuat. Karena itu prinsip umum,” di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung,” yang memiliki makna mendekati gambaran inkarnasi Kristus dalam budaya setempat perlu menjadi pijakan dalam misi dan karya pastoral gereja, sehingga umat merasa ini adalah gereja kita dan dengan demikian turut bertanggungjawab atas perkembangan gerejanya. Kedua, gambaran gereja yang kebarat-baratan menimbulkan gambaran bahwa gereja kita kaya. Model yang kebarat-baratan identik dengan kekayaan dan triumpalistik, orang luar lalu memandang gereja katolik itu kaya dan karenanya tidak perlu dibantu secara finansial.

2. Gereja Partisipatif

Gereja uluh itah menghadirkan semangat falsafah huma betang. Falsafat huma betang atau rumah betang menandakan semangat kekeluargaan dan kebersamaan dari orang yang tinggal dalam rumah betang. Untuk menghidari bahaya (pengayauan dan binatang buas) orang Dayak pada zaman dahulu tinggal di sebuah rumah besar dan panjang yang mampu menampung sampai tiga puluhan keluarga. Tentu tidaklah mudah hidup dalam keluarga yang demikian besar, maka untuk menjaga relasi yang harmonis di antara anggota penghuni betang maka dibuatlah norma yang mesti dihayati bersama yang antara lain:

Pertama, semangat kekeluargaan. Penghuni rumah betang memandang sesama penghuni sebagai keluarga. Dengan rasa senasib sepenanggungan mereka membangun sikap saling menghargai dan menghormati serta bekerjasama menjaga keamanan dan membangun kehidupan komunitas yang bahagia. Penderitaan satu keluarga dihayati sebagai penderitaan bersama.

Kedua, untuk menjaga suasana harmonis dalam relasi antar anggota dan dalam hubungan dengan alam maka dibangunlah  norma etika yang menjadi pegangan bersama dan  kemudian dikenal sebagai belum bahadat. Orang yang melanggar etika seperti menginjak atau menghina orang lain, melanggar hukum adat dan lain sebagainya dianggap sebagai uluh je belum dia bahadat dan  orang yang demikian dikenakan denda adat atau di kalangan masyarakat Dayak Ngaju disebut jipen.

Ketiga, karena seluruh penghuni betang dilihat sebagai keluarga maka orang Dayak tidak mengenal budaya feodalisme, semua memiliki kedudukan yang sama, laki perempuan, tua dan muda semuanya memiliki kedudukan serta hak dan kewajiban yang sama.  Dalam kerangka berpikir demikian maka tidak perlu heran bila umat di kampung-kampung menyapa imamnya “kamu,” misalnya pastor, kamu dari mana? Ini tidak berarti mereka tidak hormat kepada pastornya tetapi itu merupakan ungkapan bahwa kita sesungguhnya sederajad. Umat dan pastor memiliki kedudukan yang sama dalam gereja, yang membedakan antara keduanya adalah fungsi dan peran masing-masing. Karena itu metode pastoral yang diharapkan adalah metode pastoral yang dapat membangun umat untuk berpartisipasi secara aktif. Dan karena itu pula imam harus ada di tengah umat.

Secara eklesiologis, gambaran egaliter masyarakat Dayak sebenarnya juga dimiliki oleh murid-murid Yesus Kristus (bdk. Kis 2: 41 – 47). Kepada para murid-Nya Yesus mengajarkan semangat kebersamaan dan persaudaraan. Dalam semangat ini  seluruh umat dalam suatu paroki merupakan keluarga dan dalam semangat kekeluargaan dan persaudaraan ini semestinya semua umat berpartisipasi penuh dalam pelbagai aspek kehidupan menggereja. Santo Paulus menggambarkan gereja merupakan tubuh Kristus. Kita semua yang datang dari pelbagai latarbelakang karena baptisan yang diterima diinkorporasikan (disatukan) dengan Kristus dan ambil bagian dalam tritugas Kristus sebagai imam, nabi dan raja. Imam hadir di tengah umat, bersatu dan bersama dengan umat berziarah bersama sambil melanjutkan misi Kristus mewartakan warta gembira kepada segala bangsa.

3. Duc in altum

Pada perayaan dua ribu tahun gereja, Paus Paulus II menekankan kepada umat katolik untuk bertolak ke tempat yang lebih dalam (duc in altum) dalam artian umat kristiani harus semakin aktif dan berani mewartakan kabar keselamatan dalam semua level kehidupan dunia (ipoleksusbuthankam). Umat katolik tidak cukup hanya berkumpul di sekitar altar tetapi juga harus terjun dalam tata dunia sambil membawa kabar keselamatan. Umat harus berani masuk dalam dunia politik, ekonomi, sosial dan budaya, untuk menggaraminya dari dalam dengan nilai-nilai kristiani sehingga wajah dunia dapat menjadi semakin adil dan benar. Dalam hal ini umat keuskupan Palangkaraya pada umumnya dan umat paroki katedral pada khususnya semakin berani untuk terjun dalam dunia politik, sehingga semakin banyak kader katolik yang berjuang bagi gereja dan negara.

Akhirnya kepada seluruh umat paroki Katedral St. Maria penulis mengucapkan Proficiat dan Tuhan memberkati anda semua. Semoga kita semakin bersatu membangun kekuatan dalam mengembangkan paroki Katedral yang menjadi ibu dari semua paroki di wilayah Keuskupan Palangkaraya.