Para medis mempunyai tugas pokok untuk memahami nilai-nilai manusiawi yang perlu dipertahankan dan dikembangkan dalam pelayanan medis. Pendasarannya terletak pada penghargaan nilai hidup manusia, mulai dari awal kehidupan sampai pada akhir kehidupan manusia. Dengan kata lain, mereka memiliki satu prinsip dasar yang harus dipegang teguh, yakni perikemanusiaan. Prinsip itu adalah pengkuan bahwa manusia harus diperlakukan secara manusiawi, diperlakukan sesuai dengan martabatnya, sesuai dengan dirinya sebagai manusia.


Dari segi biologis pun orang segera dapat melihat bahwa manusia itu berbeda dari tumbuh-tumbuhan dan binatang. Perbedaan itu terutama tampak pada susunan dan besarnya otak, susunan syaraf yang memerintah bagian-bagian tubuh, kehalusan dan susunan jari-jari tangan, susunan kromosom dan gen-gen pembawa sifat, ciri-ciri seksualitas manusia dan proses kehamilan dan perkembangan pribadi. Manusia itu suatu kesatuan yang utuh dan nilainya yang tertinggi terletak pada pribadinya seutuh-utuhnya, rohani-jasmani.

Dengan akalnya, manusia mampu membandingkan nilai-nilai. Ia mampu memahami mana nilai yang lebih tinggi, mana nilai yang lebih rendah. Akhirnya dari kenyataan bahwa manusia itu memiliki 'hati nurani' dan karenanya mampu bertindak secara 'moral' orang dapat menarik satu prinsip etis lain, yang biasa disebut prinsip otonomi moral.

Penghargaan terhadap nilai hidup manusia yang berperikemanusiaan tentu dimulai sejak awal kehidupan manusia itu sendiri dan berakhir hingga matinya. Pertanyaa sekarang adalah kapan mulai/awal kehidupan seseorang? Dan kapan kehidupan seseorang dapat dikatakan telah berakhir? Tenaga medis "tradisional" pada umumnya mengakui bahwa hidup manusia harus dilindungi sejak pembuahan (yakni pertemuan antara sperma dan telur dalam saluran telur). Itulah awal kehidupan seseorang. Memang tidak ada kepastian, bahwa zygote itu sudah ada sejak pembuahan. Tetapi ada keyakinan umum, bahwa amat mungkin hidup manusia sudah mulai sejak saat pembuahan.

Penghargaan akan nilai hidup manusia sebenarnya sudah harus dimulai sejak adanya keinginan kehamilan. Tenaga medis hendaknya bersedia membantu suami-isteri yang menginginkan kehamilan dengan persiapan yang sebaik mungkin. Calon suami-isteri dan suami-isteri muda pantas memdapat bimbingan dari tenaga medis tentang cara-cara yang baik untuk mempersiapkan kehamilan yang sehat. Calon isteri harus memahami dengan tepat perihal masa subur, sehingga bersama suami nanti dapat mengatur waktu yang paling tepat untuk merencanakan kehamilan yang sehat. Pengetahuan tentang daur haid wanita dan kesehatan seksual pria tidak hanya penting untuk mencegah kehamilan, melainkan juga penting untuk memungkinkan kehamilan yang sehat.

Lebih lanjut, penghargaan terhadap nilai hidup manusia itu dialami sejak seseorang lahir dan bertumbuh. Hal ini dapat dilihat bila seseorang datang dan mengeluh karena mengalami gangguan kesehatan. Pertama-tama tenaga medis harus menyadari bahwa orang itu diperlakukan sebagai manusia seutuhnya. Tenaga medis tidak boleh menghadapinya semata-mata sebagai barang atau hewan yang perlu ditangani. Dalam proses pemeriksaan dan penyembuhan, tenaga medis harus mendasarkan tindakan-tindakannya pada pemahaman yang utuh tentang nilai kesehatan dan penderitaan manusia.

Pada akhirnya, penghargaan terhadap nilai hidup manusia itu, harus berakhir pada saat berakhirnya kehidupan seseorang. Tenaga medis tidak dapat menghalangi akhir kehidupan seseorang. Meskipun nilai hidup manusia itu tinggi, namun tenaga medis dalam batas-batas dan pertimbangan-pertimbangan tertentu tidak bisa memperpanjang kehidupan manusia yang sudah dianggap berakhir. Kapan persisnya akhir dari kehidupan seseorang? Pada umumnya orang mengandaikan bahwa manusia akan mati pada usia yang cukup tua. Tetapi cukup banyak orang yang mati pada usia muda. Kecuali itu, tak dapat dipastikan, pada usia mana orang akan mati. Maka, tenaga medis tidak dapat menentukan saat berakhirnya kehidupan dari jumlah usia seseorang.

Sejak dulu sampai sekarang, orang-orang pada umumnya menyatakan bahwa nilai hidup seseorang berakhir pada saat ia tidak bernyawa lagi. Pernyataan ini menimbulkan soal: kapan nyawa mulai tidak ada? Jawaban yang bisa diberikan ialah: bila orang tersebut tidak bernafas lagi. Memang, jawaban ini dulu memuaskan kebanyakan orang, termasuk tenaga medis. Akan tetapi, jawaban serupa itu tidak begitu memuaskan tenaga medis lagi. Sebab, kini sudah ditemukan berbagai cara untuk membantu seseorang dapat bernafas lagi. Kecuali berhentinnya pernafasan, berhentinya detak jantung dulu juga dianggap sebagai pedoman bahwa hidup seseorang sudah berakhir. Akan tetapi, dewasa ini dikenal berbagai cara untuk meneruskan detak jantung, supaya hidup seseorang dapat diteruskan. Karena itu, tenaga medis modern memerlukan pedoman baru, kapankah kehidupan seseorang sungguh-sungguh berakhir.

Dewasa ini, kebanyakan ahli dalam bidang medis maupun etika berpendapat bahwa akhir kehidupan terutama ditentukan oleh berhentinya kerja otak. Sebab, hanya otaklah satu-satunya bagian tubuh manusia yang mendasari kehidupan yang khas manusiawi. Tanpa kerja otak, tubuh manusia tidak mampu melakukan tindakan-tindakan manusiawi lagi. Kalaupun nafas dan jantung seseorang masih berfungsi, ia tidak akan hidup lagi sebagai manusia, bila otaknya sudah mati. Jika mesin pernafasan diteruskan sesudah kematian otak, sampai kegiatan jantung berhenti dengan sendirinya, maka organ-organ dalam mulai mengurai.

Kadang-kadang, sebagai tanda, kaki dan tangan mulai membusuk. Membiarkan hal ini terjadi berarti melanggar hak pasien untuk meninggal secara terhormat. Selain itu juga memperpanjang kesedihan pasien yang sebenarnya tidak perlu. Manusia memiliki kekhasan yang unggul daripada ciptaan lainnya. Hal inilah yang mendasari para medis untuk menghargai hidup manusia. Seorang manusia diperhatikan tidak hanya sejak pertemuan sperma dengan telur dalam saluran telur, lebih awal lagi mulai ketika persiapan kehamilan.

Pada akhirnya, perhatian para medis akan seseorang itu berakhir pada saat kematian si pasien, yakni ketika otaknya telah mati. Dalam hal ini, para medis harus berjiwa besar melepaskan kepergian si pasien kepada penciptanya, dengan tidak lagi memasang alat-alat lain yang tidak memungkinkan bagi kesembuhannya. Akhirnya harus diakui bahwa misi para medis dalam menjunjung nilai hidup manusia adalah sangat tinggi, yakni mulai dari pembuahan (sebelumnya ada persiapan kehamilan) sampai kepada kematian. Hal ini terungkap dalam pernyataan Geneva yang dikeluarkan oleh World Medical Association: "Saya akan mempertahankan dan menjunjung tinggi rasa hormat terhadap hidup manusia dari saat pembuahan; dan bahkan di bawah ancaman sekalipun, saya tidak akan menggunakan pengetahuan medis saya secara bertentangan dengan hukum-hukum perikemanusiaan". Semoga para medis sungguh-sungguh menjadi pejuang-pejuang nilai hidup manusia. **Frieds Meko, SVD