September 2013

Pertemuan ke-4 pendalaman Kitab Suci BKSN 2013 mengajak keluarga-keluarga Katolik untuk menyadari bahwa tempat pertama dan utama untuk membantu manusia mencapai kekudusan adalah keluarga. Kekudusan atau kesucian ini terwujud dalam kehidupan yang saleh dalam relasi yang erat dan harmonis dengan Tuhan, serta dalam perilaku yang sesuai dengan kehendak-Nya. Adanya suasana kehangatan kasih dalam relasi yang akrab dan harmonis dengan sesama merupakan jalan menuju kesucian (Keluarga Bersekutu Dalam Sabda, BKSN 2013, hal. 27).

Beberapa poin berikut dapat membantu kita untuk mewujudkan keluraga yang sanggup menjadi sarana menuju kesucian. Poin-poin tersebut merupakan rangkaian tema-tema yang disajikan dalam pendalaman BKSN 2013.

  1. Keluarga harus beriman dengan meneladani Abraham dan Sarai. Beriman berarti mendengarkan sabda Tuhan dan siap sedia untuk melaksanakannya.
  2. Keluarga yang beriman, harus berakar pada sabda, seperti Zakharia dan Elisabet. Berakar pada sabda berarti mengutamakan sabda Tuhan dalam kehidupan sehari-hari.
  3. Setelah beriman, berakar pada sabda, keluarga harus bersekutu dalam iman dan sabda itu. Iman yang sudah tumbuh harus dikembangkan dalam keluarga sehingga seluruh anggota keluarga bersama-sama tumbuh dalam iman dan sabda yang sama.
  4. Dengan demikian, keluarga yang beriman, berakar pada sabda dan bersekutu dalam sabda akan menjadi keluarga yang baik. Keluarga tersebut dapat menjadi sarana mencapai kesucian.
Dari poin-poin di atas, kita dapat melihat bahwa pertemuan-pertemuan yang kita laksanakan selama pendalaman Kitab Suci ini saling berkaitan dan saling mendukung. Oleh karena itu, kesetiaan kita untuk menghadiri empat pertemuan menjadikan kita lebih paham secara mendalam akan tema umum KELUARGA BERSEKUTU DALAM SABDA yang dipilih oleh LBI sebagai tema BKSN 2013.

Agar keluarga kita dapat menjadi sarana menuju kesucian, Rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Efesus (Ef. 5:21-6:4) memberi ajaran dan nasihat kepada suami-istri dalam perkawinan dan nasihat kepada anak-anak serta orang tua. Dalam surat ini, Paulus menekankan cinta kasih dan kerendahan hati dalam hubungan suami dengan istri, orang tua dengan anak, anak dengan orang tua, anak dengan saudaranya. Teladan utama adalah Kristus sendiri yang telah mencintai jemaatnya, umatnya sampai rela berkorban.

Tidaklah cukup hanya beriman saja, juga tidak hanya sebatas berakar pada sabda. Keluarga kristiani harus sanggup mewujudkan kesucian dengan cara bersekutu dalam keluarga (berdoa bersama, makan bersama, rekreasi bersama) sehingga di antara anggota keluarga terpelihara komunikasi yang membangun iman. Pertemuan ke-4 ini lebih menekankan hal-hal yang berhubungan dengan katekese keluarga. Paulus memberi nasehat kepada suami, kepada istri, kepada orang tua dan kepada anak. Bila mentaati nasehat-nasehat tersebut, Paulus mengatakan bahwa ada keselamatn sebagai sebuah janji yang akan didapatkan.

Agar lebih memudahkan kita dalam mendalami Kitab Suci pada pertemuan ke-4 ini, beberapa pertanyaan berikut dapat membantu kita:
  1. Adakah salah satu di antara nasehat-nasehat Paulus dalam teks Kitab Suci yang menggugah hati anda? Tergugah karena sudah melaksanakan sepenuhnya, atau justru sebaliknya?
  2. Bagaimana kita menghayati nasehat-nasehat Paulus tersebut dalam keluarga kita, yang saat ini hidup di zaman yang serba canggih?
  3. Apa yang dapat kita lakukan agar nasehat-nasehat ini tetap terpelihara dalam keluarga? Barangkali ada cara-cara yang dapat membantu? (Sharing)
  4. Sejauhmana janji pernikahan diaktualkan kembali dalam keluarga? Mungkin ada contoh-contoh yang lebih memperkaya pengalaman kita.
Pertanyaan-pertanyaan di atas membantu kita untuk meresapi semua nasehat-nasehat Paulus. Semoga sharing-sharing iman yang kita bagikan kepada sesama dapat menumbuhkan iman keluarga yang semakin kuat sehingga bersama-sama terarah kepada kesucian. Selamat berbagi. **Fidelis Harefa

Menerima tugas sebagai "MC"
dalam acara-acara formal
Geliat KOMKA SANUR dalam memaknai kehadirannya sebagai generasi penerus Gereja semakin hari semakin terlihat jelas. Ternyata, pertemuan-pertemuan rohani seperti camping rohani, rekoleksi dan Perayaan Ekaristi bersama memberikan titik terang baru bagi mereka bahwa "hidup harus dimaknai tanpa batas waktu".

Perkembangan yang sangat menonjol adalah kegigihan mereka dalam menata "Keuangan Komunitas" yang sangat berguna untuk mendukung kegiatan-kegiatan mereka. Mereka telah mengalami betapa sulitnya merencanakan suatu kegiatan tanpa dukungan dana. Mereka juga tidak mau bermimpi untuk mengharapkan dukungan dana yang tidak pasti. Meskipun seharusnya Gereja mendukung mereka, baik dari segi materi maupun dari segi pendampingan, rupanya mereka mencoba dengan caranya sendiri memaknai kehadiran mereka sebagai sebuah komunitas.

Berjualan pada saat-saat ada
keramaian di Paroki
Dalam beberapa kesempatan, mereka berusaha menggalang dana sendiri melalui kegiatan-kegiatan 'ngamen', jualan minuman dan snack, dan sekarang mereka mengembangkannya dalam bidang Grafika (sablon). Ini adalah ide-ide yang sangat cemerlang agar mereka tidak disebut berpangku tangan saja.

Menjual aneka Kaos Menarik
dengan desain rohani yang menarik
Kendati demikian, KOMKA SANUR tetap membutuhkan dukungan Gereja. Dukungan yang sangat diharapkan adalah dukungan pendampingan yang terkoordinir dan dukungan agar semua rencana mereka dapat berjalan dengan baik. Dalam hal ini tidak lupa disebutkan dukungan untuk menyukai hasil karya mereka dalam mendapatkan dana.

Sekarang telah tersedia baju-baju kaos dengan beberapa design grafika yang menarik. Harganya sangat variatif dan seluruh umat Katedral St. Maria ditunggu untuk mendukung mereka. Kalau bukan kita yang mendukung mereka, siapa lagi?

Dalam kaitan dengan Pekan Doa Sedunia untuk Persatuan Umat Kristen, kali lalu sudah diturunkan tulisan tentang Gereja Ortodoks yang telah memisahkan diri dari Gereja Katolik Roma. Dalam edisi ini akan diturunkan tulisan tentang Gereja reformasi. Gereja reformasi kemudian hari lebih dikenal dengan sebutan Gereja Protestan.

Bicara tentang Gereja Reformasi mau tidak mau kita harus mengawalinya dengan pembicaraan tentang reformasi yang bergulir dalam Gereja Katolik dan akhirnya berbuntut pada lahirnya Gereja reformasi. Reformasi pada umumnya berarti memberi bentuk (Latin = forma) yang lebih baik, atau kembali ( = re ) ke bentuk yang semestinya, karena keadaan telah merosot dan kurang memuaskan. Maksud reformasi lain daripada restorasi ( = kembali pada yang lama saja ), karena reformasi mau membaharui dengan mengacu kepada yang asli. Semua yang manusiawi sewaktu-waktu perlu diperbaharui, direformasi, antara lain karena kesalahan yang telah dibuat sebelumnya.

Istilah “Reformasi” mulai digunakan sejak abad ke-17 untuk usaha membaharui seluruh Gereja “dari atas ke bawah”  selama abad ke- 15 dan ke- 16. Konsili-Konsili mengeluarkan banyak dekret pembaharuan yang baik (- Konsili Ekumenis di Pisa, Konstanz, Basel, Firenze, Lateran V), tetapi tidak ada yang mempedulikan pelaksanaannya. Terdapat usaha di kalangan biarawan, misalnya “Saudara-Saudara Hidup Bersama” berikhtiar memperdalam dan menyegarkan hidup rohani di antara mereka, antara lain oleh Thomas dari Kempen. Ada yang memprotes kebiasaan-kebiasaan buruk, khususnya sistem fiskal Gereja. Tokoh-tokoh humanis seperti Erasmus dari Rotterdam (+ 153) dan Kardinal G. Contarini (+ 1542) berikhtiar memperbaharui Gereja. Banyak orang awam mulai membaca Kitab Suci sendiri. Tetapi semua usaha itu terbatas pada kelompok atau daerah tertentu saja dan kurang mempengaruhi Gereja seluruhnya.

Gerakan reformasi menggeliat dalam Gereja tentu berkaitan dengan gejala kebobrokan yang sedang menggerogoti Gereja Katolik akibat ulah pejabat tinggi Gereja (abas, prelat uskup, kardinal dan paus) yang bertanggungjawab atas keluhuran dan keagungan Gereja Kristus. Catatan sejarah mengingatkan kita bahwa mereka hanya mengejar kepentingan duniawi, memajukan kesenian serta sastra dan memikirkan sanak-saudara (nepotisme). Peristiwa seperti Skisma Barat (1378-1417) waktu tiga paus menyalahgunakan wewenang rohani mereka, pemilihan paus yang tidak pantas seperi Alexander VI (1492-1503) dan Leo IX (1513-1521), lalu korupsi serta komersialisasi jabatan gerejani yang begitu hebat sehingga membuat orang baik dan saleh pun hampir putus asa. Banyak pejabat Gereja menjadi pangeran duniawi namun melalaikan tugas rohani mereka, imam-imam paroki tidak terdidik, hidup dengan isteri gelap, seringkali bodoh dan tidak mampu berkotbah dan mengajar umat. Teologi skolastik menjadi mandul dan malah dogmatis dianggap sebagai perdebatan tentang hal sepele antara aneka aliran teologis. Humanisme antiklerikal dan konsiliarisme mengaburkan wewenang Roma, karena sering disalahgunakan demi kepentingan dan kekuasaan duniawi.

Gerakan reformasi tidak berhasil memperbaharui keadaan yang begitu bobrok di dalam Gereja. Akibatnya timbul konflik di antara banyak Gereja, yang saling menuduh meninggalkan iman yang benar. Faktor pemicu yang lain adalah banyak masalah teologis pada permulaan abad ke- 16 belum terputuskan, banyak kebiasaan dalam umat yang tidak seragam. Penghayatan iman dicampuradukan dengan takhayul, urusan agama berbaur dengan kepentingan duniawi. Praktek agama sering hanya sekedar rutinitas sehari-hari.

Dalam situasi Gereja seperti itu tampil Martin Luther seorang biarawan dari Ordo St. Agustinus (OSA) mengeritik ajaran dan kebiasaan yang tidak sejalan dengan Kitab Suci. Luther didukung oleh para pengikutnya. Sampai tahun 1530 Luther dan para pengikutnya belum menganggap dirinya sudah berada di luar Gereja Katolik, karena semua kritik dianggap tidak diarahkan kepada Gereja Katolik, tetapi kepada kelompok tertentu di dalam Gereja. Pada saat itu terdapat beberapa pokok ajaran Gereja yang belum dirumuskan secara pasti. Dalam keadaan yang kurang pasti itu, Luther mencanangkan semboyan yang sudah dikemukakan orang lain sebelumnya: “Dalam kebingunan teologi, hanya Kitab Sucilah sumber dan norma ajaran Gereja!” Pandangan itu tersebar luas, juga di antara Reformator Katolik di Italia yang merasa putus asa terhadap pimpinan Gereja. Maka, mau tak mau orang memandang Kitab Suci sebagai sarana pembaharuan Gereja, karena para gembala sudah menjadi “orang upahan” yang tidak peduli (Yoh 10:12).

Luther mula-mula menyerang penjualan indulgensi oleh biarawan Tetzel OP (1517). Kemudian ia membela beberapa pandangan baru, khususnya ajaran tentang pembenaran hanya karena iman (sola fide). Lalu Luther menyerang wewenang paus dan menolak beberapa ajaran para teolog sebelumnya dengan bertumpu pada Alkitab sesuai dengan tafsirannya sendiri.

Luther semula pasti tidak menginginkan perpecahan. Ia ingin memelopori pembaharuan. Tetapi, ia terseret oleh arus yang disebabkan oleh rasa tidak puas yang umum dalam umat yang mendambakan pembaharuan yang bentuknya masih kurang jelas. Dan Luther terbawa juga oleh sikapnya yang amat emosional dan kasar terhadap siapa pun yang menantangnya.

Luther didukung oleh banyak kelompok dengan alasan yang bervariasi, misalnya, oleh para bangsawan yang mengingini milik biara, oleh warga kota yang mendambakan kebebasan berpikir, oleh para tani yang mau lepas dari kerja rodi dan pajak, oleh kaum nasionalis yang membenci privilege Roma, oleh kalangan humanis yang mau membuang kungkungan teologi skolastik, oleh pemerintahan kota-kota kerajaan yang mecium kesempatan memperluas wewenang mereka di dalam kota. Maka, Luther tampil sebagai pahlawan pembebasan. Ia disambut dengan antusias. Orang mengira akhirnya pembaharuan sungguh-sungguh dimulai. Mula-mula Roma kurang menyadari apa yang terjadi, kemudian bereaksi salah, sehingga tidak mampu lagi mengarahkan perkembangan.

Luther pada tahun 1517 menulis 95 dalil dalam bahasa Latin yang dikirim kepada dua uskup sebagai masukan untuk pembaharuan dalam Gereja. Tanpa sepengetahuan Luther ada orang yang menerjemahkan ke 95 dalil itu dalam bahasa Jerman dan kemudian menempelkannya di gereja Wittenberg. Hal itu menimbulkan reaksi keras dari pimpinan Gereja. Luther dituduh sebagai heretikus atau bidaah. Pandangan-pandangan Luther menimbulkan goncangan iman umat. Akhirnya, pada tahun 1520 pimpinan Gereja lewat dokumen Exsurge Domine mengutuk pandangan Luther dan mengumumkan ekskomunikasi (pengucilan) bagi Luther. Itulah awal terjadinya perpecahan baru dalam Gereja dengan lahirnya Gereja Reformasi atau Gereja Protestan, yang kemudian melahirkan ratusan sekte baru dalam Gereja. ** P. Alex Dato’ SVD Sumber: Ensiklopedi Gereja No. 7 

Sejak tanggal 18 Januari 2013 yang lalu, Gereja Katolik sejagat memulai Pekan Doa Sedunia untuk persatuan umat Kristen. Pekan doa ini diadakan berkaitan dengan bencana perpecahan yang menimpa Gereja Katolik dalam perjalanan sejarah Gereja Katolik. Perpecahan itu tentu bertentangan dengan kerinduan Yesus akan persatuan di antara para murid-Nya seperti diungkapkan Yesus dalam doa-Nya pada perjamuan malam terakhir. Gereja yang pertama memisahkan diri dari Gereja Katolik Roma adalah Gereja Ortodoks pada tahun 1054. Untuk itu kita perlu mengenalnya dan karena itu kami turunkan dalam tulisan ini.

Gereja Ortodoks merupakan federasi Gereja-Gereja otokefal (bhs Yunani = mempunyai “kepala sendiri”) di negara-negara Eropa Timur, khususnya Rusia dan negara-negara di pesisir timur Laut Tengah. Pada masa pertentangan kristologis abad ke-4 dan ke-5 Gereja-Gereja ini tetap berpegang pada iman yang benar (bhs.Yunani = orthodox). Iman yang benar (ortodoks) itu berkaitan dengan ajaran tentang Kristus seperti tercantum dalam Syahadat yang dihasilkan oleh Konsili Nikea I (thn 325) dan kemudian ditegaskan kembali dalam Konsili Kalsedon I (thn 381). Syahadat ini kita kenal sampai saat ini sebagai Syahadat panjang atau Syahadat Nikea-Kalsedon. Pada konsili Efesus tahun 431 para bapa Konsili menetapkan bahwa rumusan Syahadat Nikea-Kalsedon itu sudah final dan dilarang untuk dirubah dengan ancaman anathema (bhs. Latin: kutukan)  atau ekskomunikasi (= pengucilan seseorang dari Gereja Katolik).

Pada Konsili Toledo III di Spanyol pada tahun 589 para bapak Konsili merubah Syahadat Nikea-Kalsedon dengan tambahan “Filioque” (bhs Latin: “dan Putera”). Tambahan itu pada kalimat: “Aku percaya akan Roh Kudus, Ia Tuhan yang menghidupkan, Ia berasal dari Bapa “dan Putra”. Tambahan itu dimaksudkan untuk menekankan keilahian dan kesetaraan Putra dan Bapa guna menentang ajaran sesat Arianisme yang mengajarkan bahwa Yesus adalah firman yang diciptakan oleh Bapa. Sri Paus meskipun pada awalnya menentang tambahan itu, akhirnya setuju dan mendukungnya. Tambahan itu dilawan dengan keras oleh Gereja Timur, khususnya ketika Photius menjadi Batrik Konstantinopel selama akhir abad 9, baik atas dasar teologi maupun karena penambahan itu melanggar larangan Konsili Efesus untuk mengubah Syahadat. Penambahan itu menjadi alasan utama terjadinya skisma – perpecahan – antara dua Gereja pada abad 11 dan sejak itu tetap merupakan halangan utama untuk terjadinya penyatuan kembali. Gereja Timur menamakan diri Gereja Ortodoks karena anggapan bahwa merekalah yang masih berpegang pada ajaran benar atau asli tentang Kristus seperti tercantum dalam Syahadat Nikea-Kalsedon.

Sebab-sebab lain terjadinya perpecahan pada abad 11 sangat kompleks, antara lain teologi di bagian timur lebih spekulatif; kristologinya cenderung bersifat mistik; ibadat menekankan ritus dan doa dalam bahasa tertentu. Gereja-Gereja Partikular di bagian timur erat hubungannya dengan kekuasaan duniawi (kaisar, tsar…), sehingga cenderung menjadi Gereja-Gereja nasional: Simfonia antara agama dan pemerintahan dijaga dan dijalin selalu. Sebab perpecahan juga bercorak politis: Perkembangan ini dimulai dengan meningkatnya kedudukan Uskup Byzantium, setelah kota ini menjadi ibukota Kekaisaran Romawi (326). Para kaisar menggunakan Uskup ibukota sebagai alat untuk memanfaatkan Gereja demi kepentingan politik kekaisaran. Akhirnya Uskup Konstantinopel menjadi yang paling tinggi kedudukannya di bagian timur, walaupun masih mengakui bahwa Paus di Roma memiliki kedudukan terhormat dalam seluruh Gereja. Namun demikian, perbedaan dalam banyak bidang semakin luas (cara hidup rohaniwan, bahasa ibadat, tgl hari-hari raya…), sehingga hal-hal sepele menjadi dalih untuk perpecahan total dalam Skisma Timur pada tahun 1054. Paus dan Batrik sama-sama salah. Keadaan itu dikuatkan oleh berbagai anti-Konstantinopel para kesatria barat dalam Perang Salib (abad-13).

Sejak tahun 1054 Gereja Ortodoks tidak lagi mengakui kepemimpinan Uskup Roma atau Paus atas Gereja seluruhnya. Gereja Ortodoks terdiri dari empat Gereja Batrik kuno (Konstantinopel, Aleksandria, Antiokia dan Yerusalem), Batrik baru (Moskow, Belgrad, Sofia dan Bukarest), beberapa Gereja otokefal (Yunani, Georgia, Siprus, Ceko, Slowakia, Polandia, Albania dan Sinai), beberapa Gereja otonom, yang belum seluruhnya independen (Tiongkok, Jepang dan Finlandia) serta banyak propinsi gerejani di seLuruh dunia. Sebagian besar umat Kristen ini (k.l. 150 juta) terpaksa puluhan tahun lamanya hidup di bawah tekanan penganiayaan rezim komunis-ateis di Rusia dan negara-negara Balkan.

Dalam hal ajaran, seluruh Gereja Ortodoks mengakui tujuh Konsili Ekumenis pertama (325-787), - Syahadat Nikea-Konstantinopel dan berpegang pada ajaran-ajaran Bapa-Bapa Gereja, khususnya yang berbahasa Yunani. Maka, dalam hal pokok tiada perbedaan dengan Katolik. Perbedaan sekunder yang mencolok adalah: penolakan (1) ajaran bahwa “Roh Kudus tidak hanya berasal dari Bapa melainkan juga dari Putra” (= filioque; latin), (2) ajaran tentang Maria yang terkandung tanpa noda, (3) ajaran tentang primat dan yurisdiksi Uskup Roma atas seluruh Gereja dan sifat kebal-salahnya bila secara resmi menegaskan ajaran tentang iman dan susila yang mengikat Gereja, (4) Tiada pimpinan Gereja universal, baik dalam hal ajaran maupun dalam hal tata-tertib gerejani.

Perbedaan-perbedaan sekunder dapat kami kemukakan beberapa sebagai berikut. Hari Raya Natal dirayakan pada Hari Raya Penampakan Tuhan (bukan pada 25 Desember), rohaniwannya boleh menikah, tanda salib dari bahu kanan ke kiri (bukan kiri ke kanan), kedua kaki Yesus pada salib lurus atau tidak silang di atas yang lain. Semoga dengan tulisan ini kita dapat lebih memahami bencana perpecahan pertama dalam sejarah Gereja Katolik dan semoga kita tak henti-hentinya berdoa untuk penyatuan kembali. ** P. Alex  Dato’ L., SVD Sumber:1.  Ensiklopedi Gereja; 2. Konsili-Konsili Gereja.

Kita telah melalui dua pertemuan pendalaman Kitab Suci, bertepatan dengan BKSN 2013. Pertemuan-pertemuan yang lalu telah mengingatkan kita bagaimana harus beriman dengan meneladani Abraham, dan bagaimana harus menjunjung tinggi Sabda Allah di atas segalanya dengan meneladani Zakharia dan Elisabet. Pertemuan-pertemuan dalam pendalaman Kitab Suci ini merupakan satu kesatuan sehingga tema-tema yang dihadirkan saling mendukung untuk mencapai sebuah tujuan.

Pertemuan ketiga ini menuntut kita untuk menunjukkan aksi nyata dari pertemuan pertama dan kedua. Bukti nyata dari seorang yang beriman dan seorang yang menjunjung tinggi Sabda Allah adalah harus mampu bersekutu dalam keluarga, dalam masyarakat, dalam bergereja dan bernegara. Inilah yang menjadi alasan, mengapa pertemuan ketiga ini mengetengahkan tema Keluarga yang Bersekutu: Keluarga Nazareth.

Keluarga Kristiani sering disebut Ecclesia Domestica (Gereja Domestik atau Gereja Rumah Tangga). Ini berarti keluarga-keluarga kristiani diharapkan menjadi perwujudan Gereja, persekutuan hidup dalam iman akan Yesus Kristus yang menghadirkan nilai-nilai Injili, yakni cinta kasih, ketaatan kepada Allah dan sesama, serta kerendahan hati. Tiga pilar itu menjadi tiang penyangga persatuan hidup berkeluarga. (BKSN 2013: Keluarga Bersekutu Dalam Sabda, hal. 18).

Beriman dan menjunjung tinggi sabda Allah tidak menginginkan perpecahan, perceraian. Menghayati iman dan berakar pada sabda harus berhasil menjalin persatuan dan kebersamaan. Inilah yang sering disalah artikan oleh sebagian besar umat Katolik. Demi iman, demi sabda Allah, persekutuan dikorbankan. Bukankah dengan mengorbankan persekutuan mementahkan apa yang selama ini kita anut, kita aminkan, kita iakan, yakni beriman dan berakar pada sabda?

Tentu saja ini tidak mudah. Ini menjadi perjuangan kita juga. Pertemuan ketiga ini mencoba memberikan solusi aman dalam pertentangan ini. Cinta kasih, ketaatan dan kerendahan hati menjadi pilar utama dalam membangun persekutuan sejati. Tanpa tiga pilar ini, kita akan mengalami kebingungan karena dalam melaksanakan Sabda Tuhan, banyak hal yang rasa-rasanya tidak menarik, tidak manis dari segi rasa manusiawi kita. St. Fransiskus Assisi pernah mengatakan: Apa yang dulunya pahit, kini menjadi manis? St, Fransiskus Assisi mengatakan ini sebagai ungkapan imannya yang telah mengalami Sabda Tuhan sebagai pedoman hidupnya. St. Fransiskus Assisi yang dulunya adalah anak seorang kaya, berlimpah harta, seorang yang dihargai dalam masyarakat dan tidak banyak terlibat dalam kegiatan sosial (berbagi dengan sesama, merawat orang sakit kusta, dll) berubah menjadi penganut pola hidup miskin dan sederhana, menjadi orang kusta bersama orang kusta, rela berbagi dengan sesama setelah menjalani dan menggunakan Sabda Tuhan sebagai pedoman hidup satu-satunya.

Pertemuan ketiga ini menghadirkan Keuarga Kudus Nazaret sebagai teladan kita dalam bersekutu. Beberapa poin berikut merupakan pesan penting dari pertemuan ketiga ini:

  1. Keluarga kristian dipanggil untuk melayani hal-hal jasmani dan sekaligus hal-hal rohani (bdk. Yesus ditemukan di Bait Allah, Luk. 2:41-52).
  2. Keluarga beriman adalah keluarga yang selalu membangun persekutuan hidup datau kebersamaan dalam hidup harian (ibadah bersama, makan bersama, dan lain sebagainya).
  3. Keluarga beriman adalah keluarga yang patuh pada peraturan peribadatan dan senantiasa menghargai tradisi iman (tidak mengambil sikap seolah-olah berada di luar aturan yang berlaku).
  4. Keluarga beriman adalah keluarga yang mewariskan harta iman dan tradisi-tradisi yang luhur kepada anak dan anggota keluarganya.
  5. Keluarga beriman adalah keluarga yang dalam menghadapi tantangan dan pergumulan hidup beriman tetap bersekutu dan bersama untuk kembali mencari Yesus, menjumpai-Nya dan berdialog dengan-Nya. (bdk. Yosef dan Maria mencari Yesus di Bait Allah).
  6. Keluarga beriman harus bisa bersikap seperti Maria: menyimpan semua perkara dalam hatinya dan merenungkannya. (harus punya waktu untuk merenungkan Sabda Allah).
  7. Keluarga beriman adalah keluarga yang memberikan kesaksian hidup dalam kehangatan kasih sayang dan kesalehan hidup (dalam keluarga terutama, kemudian dalam masyarakat dan Gereja).
  8. Keluarga beriman harus sanggup mengatakan: Apa yang dulunya pahit, kini menjadi manis, seperti St. Fransiskus Assisi.
Poin-poin di atas menjadi sangat penting. Kita tidak cukup beriman saja. Juga tidak cukup hanya menjunjung tinggi Sabda Allah lewat perkataan. Kita harus mewujudkannya secara nyata dalam hidup bersekutu. Persekutuan itu haruslah dimulai dari keluarga sebagai Gereja Kecil. Tidak mungkinlah seseorang sanggup hidup bersama dalam lingkungan yang luas kalau dalam hidup berkeluarga dia tidak sanggup bersekutu, mengalami broken home, tidak searah, tidak kompak dan lain sebagainya.

Beberapa pertanyaan refleksif dapat membantu kita untuk mendalami tema pertemuan ketiga ini:
  1. Adakah keluarga kita menjadikan Yesus sebagai pokok dan pusat perhatian bersama?
  2. Pernahkah kita, dalam keluarga secara bersama-sama mencari Yesus? Atau lebih sering kita mencari Yesus sendiri-sendiri? Barangkali ini bisa kita sharingkan?
  3. Imanmu telah menyelamatkan engkau. Kalimat ini kadang dipahami bahwa iman seseorang tidak mempengaruhi keselamatan orang lain. Bagaimana kita mengartikan kalimat ini dalam konteks hidup bersekutu?
  4. Mari kita mulai sekali lagi, karena sampai saat ini kita belum berbuat apa-apa (St. Fransiskus Assisi). Apakah yang paling tepat kita lakukan saat ini (dalam keluarga, dalam masyarakat dan dalam menggereja) agar persekutuan dapat tercipta?
Semoga pertemuan ketiga pendalam Kitab Suci dengan tema "Keluarga Bersekutu yang Bersekutu: Keluarga Nazaret" memberikan semangat baru bagi kita untuk memperbaharui pola hidup kita sebagai umat kristiani. Kita menjadi orang yang bersekutu, pelaksana sabda dan menjunjung tinggi kebersamaan. Menjadi umat yang mengutamakan bonum comune (kebaikan bersama) dalam menghayati dan melaksanakan sabda Tuhan.**Fidelis Harefa.

Pada pertemuan pertama pendalaman Kitab Suci BKSN 2013 yang lalu, kita sudah mendalami bagaimana seharusnya keluarga yang beriman itu. Dalam pertemuan pertama, Abraham dihadirkan sebagai figur dan teladan bagi kita dalam beriman. Abraham memilih sikap mendengar dan siap sedia melaksanakan panggilan Tuhan tanpa tawar-menawar.

Pertemuan kedua ini mempertegas tema pertemuan pertama. Kiranya pertanyaan lain muncul yakni: Bagaimanakah seharusnya keluarga yang beriman itu? Pertemuan kedua mencoba menjawabnya dengan tema: Keluarga beriman adalah keluarga yang berakar pada Sabda Allah. Pertemuan kedua ini menghadirkan keluarga Zakharia dan Elisabet sebagai teladan keluarga yang berakar pada Sabda Allah.

Setiap keluarga Katolik diharapkan hidup berdasarkan pada Sabda Allah. Namun, Sabda Allah sering kali tidak begitu jelas dan sering dikaburkan oleh suara-suara lain. Sebagai pegangan hidup, Sabda Allah harus bersaing dengan norma-norma, aturan-aturan, atau tradisi yang ada dan berlaku dalam masyarakat, sehingga tidak mengherankan jika keluarga-keluarga katolik kurang taat dan melanggar Sabda Allah, namunt tak menyadarinya (BKSN 2013, Keluarga Bersekutu Dalam Sabda, hal. 11).

Dengan pertanyaan di atas dan diperkuat oleh gagasan pokok pertemuan kedua ini, kita semua diajak untuk merenungkan sejauhmana kita mengutamakan Sabda Allah sebagai pedoman hidup. Tidak bisa dipungkiri bahwa kehidupan kita di dunia ini diatur oleh hukum, norma, peraturan dan adat istiadat. Oleh karenanya, dalam menjalani hidup kita harus bertarung untuk mempertimbangkan banyak hal agar apa yang kita putuskan, apa yang kita lakukan tidak bertentangan dengan hukum, norma, peraturan dan adat istiadat. Sebagai orang Katolik yang beriman, pernahkah kita mempertimbangkan sesuatu, lebih mengutamakan kehendak Tuhan daripada kehendak manusia? Ini yang selalu menjadi pertanyaan berulang dalam pertemuan kedua ini.

Keluarga Zakharia dan Elisabet dengan tegas dan berani mengatakan bahwa semua yang mereka lakukan haruslah berdasarkan Sabda Allah. Contoh: ketika Zakharia dan Elisabet mendapatkan seorang anak, mereka harus menamainya Yohanes karena demikianlah disabdakan oleh Allah. Meskipun banyak pertimbangan budaya, adat dari sanak saudara yang tidak mendukung pemberian nama Yohanes, dengan berbagai alasan yang masuk akal, Zakharia dan Elisabet tetap menjunjung tinggi apa yang telah dikatakan oleh Tuhan.

Bagaimana dengan kita yang mengaku beriman? Adakah kita memiliki ciri khas sebagai umat beriman dalam setiap kegiatan kita? Misalnya dalam hidup bernegara, adakah kita menunjukkan ciri khas orang beriman dalam menjalani kehidupan bernegara, berpolitik, berorganisasi dan lain sebagainya? Atau kita tidak berani karena takut kehilangan perhatian negara (pemerintah), takut kehilangan perhatian publik, takut kehilangan pengaruh, sehingga meskipun kebijakan dan peraturan yang berlaku sesungguhnya bertentangan dengan suara hati kita, lalu kita diam saja dan mengaminkannya sebagai kebijakan yang benar?

Apakah kita terlalu menjunjung tinggi tradisi, baik dalam keluarga maupun masyarakat sehingga nilai-nilai kebenaran Sabda Allah menjadi tidak jelas lagi? Atau kita hanya sanggup melebur dalam bias berbagai macam aturan agar kita mendapatkan posisi aman, sehingga kita tidak berani mengatakan apa yang sebenarnya menurut Sabda Tuhan?

Pertanyaan-pertanyaan di atas tidak mudah untuk dijawab. Inilah perjuangan kita sebagai orang beriman. Inilah pertarungan kita sebagai orang yang telah menerima pembaptisan dalam Kristus. Inilah tugas kita sebagai perpanjangan tangan Tuhan dalam mewartakan Sabda-Nya.

Semoga dengan pendalaman Kitab Suci pertemuan kedua ini, kita memperoleh semangat baru dalam memaknai keberadaan/kehadiran kita sebagai umat Katolik yang beriman dalam hidup bernegara, bermasyarakat, bergereja dan terutama dalam kehidupan keluarga kita. **Fidelis Harefa

Perjalanan iman Abraham ditampilkan kepada kita secara khusus pada bulan Kitab Suci Nasional ini agar menjadi model bagi setiap kita. Sama seperti Abraham dipanggil dan diberi janji akan menjadi berkat bagi segala bangsa, kita juga dipanggil dan diberi janji oleh Allah untuk menjadi berkat bagi sesama kita. Bagaimana kita menanggapi dan mewujudkan panggilan serta janji Allah itu?

Hal yang paling pertama adalah iman. Karena iman Abraham berani menanggapi panggilan Allah dan menerima janji yang diberikan kepadanya. Iman artinya berani meloncat ke dalam ketidak pastian, karena yakin Allah tidak pernah berbohong dan dalam Allah ada kepastian. Dan karena yakin Abraham hidup seolah sudah menerima apa yang dijanjikan. Ia hidup dalam harapan akan pemenuhan janji itu. Harapan berarti menanti dengan pasti. Abraham menanti dengan pasti akan mendapatkan apa yang dijanjikan. Meskipun tidak segera terpenuhi, Abraham tetap menanti penuh kepastian. Sedikitpun ia tidak merasa kecewa dan putus asa. Dan sekalipun tidak ada dasar untuk percaya dan berharap, karena ia dan isterinya Sara sudah lanjut usia, ia tetap percaya dan berharap juga. Itu sebabnya ia akhirnya mendapatkan apa yang ia percaya dan harapkan.

Iman merupakan tuntutan utama agar dapat menanggapi dan mewujudkan panggilan dan janji Allah. Kita dipanggil Allah dan dijanjikan untuk menjadi berkat bagi orang lain. Pertama-tama menjadi berkat bagi keluarga kita masing-masing dan Lingkungan kita. Untuk itu seperti Abraham kita harus meninggalkan “negeri” kita yang boleh dikatakan simbol dari “ego” kita yang memberi kita rasa nyaman, enak, senang dan lain sebagainya.

Memang tidak mudah meninggalkan “ego” kita, karena semua orang pasti mau hidup enak dan kalau perlu tanpa pengorbanan. Kita butuh iman yang memberi kekuatan pendorong sehingga kita berani tinggalkan ego dan siap berkorban. Kita yakin akan kepastian janji Allah bagi kita.bahwa hidup kita pasti diberkati Allah (dalam berbagai wujud sep. kesehatan) dan kita menjadi berkat bagi sesama kita. Iman menjadi dasar untuk berharap bahwa janji itu pasti terpenuhi. Semoga!**P. Alex Dato’ L., SVD

Peranan Orang Muda Katolik sangat dibutuhkan oleh Gereja. Demikianlah pesan Paus Fransiskus menutup WYD yang dilaksanakan di Brazil beberapa bulan yang lalu. Tanpa Generasi Muda, Gereja akan mati karena Kaum Muda adala masa depan Gereja.

Pesan OMK Dalam Simbol
"Kamilah Generasi Penerus Gereja"
Orang Muda Katolik (OMK) St. Ursula adalah salah satu bagian dari Orang Muda Katolik di seluruh dunia yang terkoordinasi di Paroki Katedral St. Maria Palangka Raya. Kehadiran mereka sangat memberi warna akan kehadiran Gereja itu sendiri. Bila kita melihat peran mereka dalam mempersiapkan HUT 50 Tahun Paroki Katedral Palangka Raya, seharusnya kita bisa tergugah untuk memberikan dukungan yang lebih dengan cara melibatkan OMK dalam berbagai kegiatan. Dukungan yang paling mereka butuhkan saat ini adalah pendampingan dan pengarahan.

OMK Menggalang Kebersihan Lingkungan
Menjelang hari puncak Perayaan HUT 50 Tahun Paroki Katedral St. Maria Palangka Raya, kita patut berterima kasih atas berbagai kegiatan yang dilakukan oleh orang muda kita. Mereka aktif dan berinisiatif untuk mengerjakan hal-hal yang perlu dikerjakan saat ini, misalnya membantu dalam kepanitiaan, menggalang aksi kebersihan lingkungan, dan membantu mempersiapkan seluruh perlengkapan pesta. Orang Muda Kita dengan ini membuktikan keberadaannya dan hadir di tengah-tengah kita.

Dengan melihat aksi OMK di atas, kita harus mulai berpikir bagaimana memberdayakan OMK kita ke depan. Pemberdayaan ini dapat berupa berbagi peran dengan memberikan mereka kesempatan untuk belajar dalam menata kehidupan Gereja di masa yang akan datang. Kita tidak bisa menutup mata akan hal yang selama ini terjadi. Kadang kala, orang tua tidak percaya kepada orang muda karena dianggap belum berpengalaman. Kepedulian untuk pembinaan dan mendukung mereka pun ditangani tidak sepenuh hati. Kalau pola pikir ini dibenahi dan ditata kembali, kita semua yakin bahwa Gereja untuk sepuluh tahun ke depan akan berada di tangan kaum muda yang terlatih, terdidik dan terarah, dan tidak lain adalah OMK kita yang saat ini hadir bersama kita.**Kairos

Pertemuan pertama, Pendalaman Kitab Suci, Bulan Kitab Suci Nasional (BKSN) 2013 mengetengahkan topik “Keluarga yang Beriman”. Topik ini merupakan penjabaran dari tema BKSN 2013 yakni “Keluarga Bersekutu dalam Sabda”. Pertemuan pertama ini berusaha mengingatkan sekaligus mengajak keluarga-keluarga Katolik untuk menyadari arti pentingnya panggilan keluarga beriman yang berakar dan bersumber serta berpedoman pada sabda Allah dan senantiasa bersekutu sebagai satu saudara dalam melaksanakan sabda Allah.

Keluarga adalah kelompok manusia yang anggotanya disatukan oleh hubungan darah: semuanya berasal dari orangtua atau nenek moyang yang sama. Selain itu, keluarga adalah kelompok manusia yang anggotanya disatukan oleh iman dan misi serta ajaran dan tradisi yang sama. Dalam konteks iman, keluarga Katolik adalah kelompok manusia yang disatukan dalam ajaran iman Katolik, disatukan oleh Sabda dan tradisi Katolik.

Pertemuan pertama menghadirkan kembali seorang tokoh besar, tokoh beriman, yang lebih dikenal sebagai bapak semua orang beriman yakni Abraham. Kitab Kejadian 12: 1-6, memberikan gambaran bagaimana Abraham menjadi figur yang tepat dalam menjawab panggilan Tuhan. Abraham mendengarkan Tuhan dan tidak mengenal tawar-menawar dalam melaksanakannya. Tuhan memerintahkan, Abraham melaksanakan.
Karena Abraham sangat setia pada Tuhan, akhirnya Abraham pun menerima mukzijat dari Tuhan. Sesuatu yang menurut manusia tidak mungkin, Abraham menerimanya dari Tuhan. Di usia yang sudah lanjut, Abraham mendapatkan keturunan karena kesetiaannya. Abraham memilih dan melaksanakan pilihan yang tepat. Mendengar dan melaksanakan adalah dua hal besar yang dapat kita lihat dalam keteladanan Abraham. Abraham tidak perlu berbicara, juga tidak perlu membuat penawaran. Abraham menaruh kepercayaan pada apa yang didengarnya, kemudian dilaksanakan.

Bagi kita, umat beriman, khususnya umat Katolik yang saat ini bersama-sama merenungkan tema yang sama di Bulan Kitab Suci Nasional ini, sering kali kita lebih banyak berbicara daripada mendengarkan. Oleh karenanya, inti dari pesan Tuhan melalui Sabda-Nya menjadi luput dari perhatian kita. Ada kecenderungan untuk menerjemahkannya sesuai dengan situasi dan kondisi kita. Pada hal, Sabda Tuhan tidak demikian. Sabda Tuhan tidak membutuhkan penjelasan dan pengertian dari kita. Sabda Tuhan memberi penjelasan dan pengertian untuk kita. Kita dituntut untuk mendengarkan dan melaksanakan. Sabda Tuhan sudah kaya makna dan arti. Kita tinggal memetik makna dan arti itu, dan tidak perlu menambahkannya.

Abraham menjadi teladan yang tepat bagi kita dalam hal beriman.  Dalam melaksanakan Sabda Tuhan, Abraham bersekutu dengan orang lain. Dia bersekutu dengan istrinya, Sarai, Lot anak saudaranya dan orang-orang yang menjadi pengikutnya (pekerja, budak). Abraham tidak dapat melaksanakan kehendak Tuhan tanpa orang lain. Keterlibatan bersama sesama adalah sangat penting dalam menghidupi dan menjalani perintah Tuhan.

Kita pun dapat menjadi seperti Abraham. Karena kita adalah keluarga yang disatukan oleh ajaran iman, Sabda Tuhan dan tradisi yang sama, kita mempunyai peluang besar untuk menjadi seperti Abraham dalam keluarga kita. Keluarga yang berpegang teguh pada Sabda Tuhan adalah keluarga beriman. Kita tidak boleh mengaku "beriman" sementara kita tidak mengindahkan "Sabda Tuhan". Pengakuan keberimanan kita senantiasa tidak lepas dari sejauhmana kita bergantung pada Sabda dan Perintah Tuhan.

Pertemuan pertama ini mau menegaskan kepada kita bahwa dalam melaksanakan perintah Tuhan yang disampaik lewat Sabda-Nya, kita diharkapkan mendengarkan dan kesiapsediaan untuk melaksanakannya. Dua hal ini yang paling penting. Dua hal inilah yang diharapkan oleh Tuhan karena Tuhan tidak membuka dialog dalam rencana penyelamatan-Nya. Tuhan sudah tahu apa yang kita butuhkan. Oleh karena itu, Tuhan, atas keinginannya sendiri mau menyelamatkan kita, bukan karena kita butuh diselamatkan. Tuhan bersabda bukan karena kita mempunyai kepentingan, tetapi, Tuhanlah yang punya kepentingan untuk bersabda dan kita harus mendengarkan dan melaksanakan.

Semoga pendalaman Kitab Suci di Bulan Kitab Suci Nasional 2013 memberi kesegaran iman bagi kita semua, terutama dalam memperbaharui sikap kita terhadap Sabda dan perintah-perintah Tuhan. **Kairos.

Drs. Wilhelmus Y. Ndoa, M.Pd
Usia 50 tahun, adalah satu fase kehidupan yang sungguh dewasa, mapan dan stabil. Demikian pula dalam kehidupan beriman, usia ini menunjukkan kedewasaan iman yang semakin kuat dan mengakar. Iman yang dewasa adalah iman yang mandiri dan dapat mempertanggungjawabkan baik terhadap Tuhan dan sesamanya seiring dengan berjalannya waktu yang cukup panjang. Lalu bagaimana dengan kehidupan imanku, di Parokiku, di Lingkungan dan termasuk di Keluargaku? Untuk mencapai iman yang dewasa tentu harus melalui pembinaan iman, pengajaran, siraman rohani, dan lain sebagainya, yang kita sebut “berkatekese”.

Berkatekese adalah menyampaikan ajaran Yesus oleh umat bagi calon-calon permandian. Dalam Gereja Purba, berkatekese lebih dimengerti sebagai penyampaian segala macam pengetahuan tentang ajaran gereja yang sifatnya ilmiah dan moralistis, penuh semangat kebaktian dan tertutup. Dengan ini ditegaskan bahwa melalui katekeselah iman akan semakin terarah dan terang.

Apakah paroki kita yang sudah berusia 50 tahun ini masih membutuhkan katekese? Sebagai umat beriman Katolik, kita harus secara terus-menerus mengupayakan agar iman yang sudah diterima didewasakan, terutama dalam hal penghayatannya melalui perbuatan-perbuatan. Yang menjadi persoalan adalah ketika kita melihat tantangan zaman yang serba canggih sekarang ini. Pasti pertanyaan muncul, bagaimana cara dan upaya mendewasakan iman kita saat ini? Kita perlu belajar dari pola hidup Gereja Perdana (Kis 2: 41-47) dengan melihat kecocokannya pada zaman kita sekarang. Hidup sebagai umat yang dewasa harus senantiasa berliturgi, mewartakan Sabda Allah, bersekutu, melayani dan pada akhirnya sanggup dan berani memberi kesaksian. Tahun emas ini seyogyanya menjadi saat yang tepat untuk memberikan kesaksian setelah sekian lama kita berusaha mendalami iman kita.

Usia 50 tahun ini bukanlah saat untuk mempertanyakan siapa yang bertanggungjawab dalam mengembangkan iman. Dengan kata lain bukanlah saatnya untuk saling menyalahkan. Sebagai umat Katolik yang sudah setengah abad disirami dengan pembinaan rohani, kita harus sudah mampu mandiri, membina iman sendiri dengan cara belajar dan mencari pengetahuan iman yang lebih banyak. Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang semakin canggih sangat mendukung dalam hal ini. Kita bisa membaca majalah-majalah rohani, buku-buku rohani dan buku-buku yang mengajarkan hal-hal pokok iman. Kita tidak boleh menunggu penjelasan dari para pastor dan katekis. Sikap ketergantungan justru membuat iman kita lemah dan tak berdaya.

Selamanya kurun waktu 10-20 tahun terakhir, paroki telah banyak memberikan dirinya, dalam pelayanan terutama bidang pewartaan, liturgi dan pelayanan sosial seperti : pendalaman Iman, Pendalaman Liturgi,Pembinaan Sakramern-sakramen seperti Komuni pertama, Krisma, Kursus Perkawinan, Pendidikan Katekumen, Pewartaan Lewat Mimbar, Pengetahuan melalui teks Warta Paroki dan berbagai bentuk pendampingan. Ini patut kita syukuri. Ini menjadi tanda bahwa dengan berbagai cara, diupayakan agar senantiasa kita semakin kuat dalam beriman.

Dalam kurun waktu ini juga kita semakin kaya terutama dalam melihat partisipasi umat. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa masih ada umat yang belum terlibat aktif dalam kegiatan lingkungan. Tetapi dalam kenyataan ada cukup banyak yang terlibat, ada kemandirian dalam finansial, tenaga pastoral cukup memadai,
sarana/prasarana sangat memadai, ada banyak potensi umat yang dapat dikembangkan.

Kendala-kendala Yang Dihadapi Saat Ini 

Beberapa hal berikut adalah merupakan hambatan, tantangan yang sering kita temui dalam upaya pendewasaan iman:

  1. Ada saja umat terlalu sibuk dengan dirinya (bekerja, tugas kantor, usaha) hampir tidak sempat mendalami imannya melalui kegiatan yang diadakan oleh paroki (seperti yang diharapkan).
  2. Pemahaman/Penyadaran tentang pentingnya Pengetahuan iman/agama masih dirasa kurang.
  3. Kurangnya bahan katekese/pendalaman iman untuk umat dari pastor/imam.
  4. Katekese lewat renungan, homili dan kotbah dirasakan kurang, monoton,(skill individu).
  5. Ada santa/santo baru dalam gereja Katolik (HP,TV, internet, facebook) dunia baru yakni dunia maya. Hal-hal yang baru sangat menarik sehingga umat tidak menyadari lagi kesakralan liturgi. Ada saja yang berinternet ria, buka facebook, chatting pada saat mengikuti perayaan Ekaristi dan pendalaman iman.
  6. Kurangnya tersedia pustaka rohani /buku-buku rohani. Tentu juga hal ini sangat berhubungan dengan minat baca yang kurang.
  7. Ada persaingan dakwa, pewartaan, katekisasi, antar agama.

Tantangan-tantangan di atas harus diketahui dan disadari agar kita bisa membenahinya. Kelemahan yang tidak dikoreksi akan menjadi batu sandungan secara terus-menerus hingga akhirnya tidak ada perubahan. Tetapi bila disadari dan ada upaya untuk membenahinya, saya yakin segala sesuatu bisa berjalan dengan baik.

Disamping kendala, hambatan, ada juga hal-hal yang memggembirakan bahwa umat sudah dapat mengungkapkan iman/ekspresi agamanya dengan bebas, tanpa tekanan, melalui perayaan Ekaristi mingguan/harian, Doa-doa pribadi (relasi denganTuhan). Kita patut bersyukur karena dalam dekade ini sudah banyak terbentuk kelompok-kelompok kategorial yang aktif. Hadirnya Kelompok Membaca Kitab Suci, Legio Maria, PDK, KTM, Peguyuban Lansia dan kelompok lainnya adalah bukti bahwa sudah terjadi perkembangan dalam iman. Pelaksanaan rekoleksi, meditasi lewat pendalaman iman/Kitab suci di ingkungan/
komunitas juga menjadi pendukung yang baik.

Harapan dan Cita-cita Setelah 50 Tahun

Ada banyak harapan yang menjadi impian kita bersama. Tentu ini berhubungan erat dengan keadaan zaman yang makin berkembang. Hidup di tengah sosial yang telah dirasuki oleh demam teknologi, Gereja tidak boleh ketinggalan. Gereja harus sanggup melihat hal-hal baru yang lagi ngetrend saat ini. Melalui itu, pewartaan gaya baru dapat dilaksanakan. Contoh: pewartaan melalui media elektronik (TV, Radio), media online (Forum, Website, Jejaring Sosial), media cetak (bulletin, majalah dan sebagainya).

Perlu juga untuk diperhatikan kesinambungan dari pembinaan-pembinaan yang telah dilaksanakan selama ini (dimensi mistagogi). Contohnya Pembinaan Keluarga: selama ini, sudah dimulai dengan memberikan Kursus Perkawinan. Ada baiknya kursus untuk keluarga berlanjut hingga terwujud dalam bentuk pendampingan keluarga, pendampingan Lansia dan sebagainya. Umat harus sadar bahwa hidup mati kegiatan rohani umat sangat bergantung kepada partisipasi seluruh umat. Oleh karena itu, salah satu harapan yang penting adalah keterbukaan dan kesediaan umat untuk lebih terlibat secara aktif. Paroki ini adalah milik kita semua. Mari kita membangun bersama satu hati satu pelayanan menuju paroki yang mandiri, dewasa dan bertangung jawab iman terhadap Tuhan. **Drs. Wilhelmus Y. Ndoa, M.Pd.

MKRdezign

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget