Dalam kaitan dengan Pekan Doa Sedunia untuk Persatuan Umat Kristen, kali lalu sudah diturunkan tulisan tentang Gereja Ortodoks yang telah memisahkan diri dari Gereja Katolik Roma. Dalam edisi ini akan diturunkan tulisan tentang Gereja reformasi. Gereja reformasi kemudian hari lebih dikenal dengan sebutan Gereja Protestan.
Bicara tentang Gereja Reformasi mau tidak mau kita harus mengawalinya dengan pembicaraan tentang reformasi yang bergulir dalam Gereja Katolik dan akhirnya berbuntut pada lahirnya Gereja reformasi. Reformasi pada umumnya berarti memberi bentuk (Latin = forma) yang lebih baik, atau kembali ( = re ) ke bentuk yang semestinya, karena keadaan telah merosot dan kurang memuaskan. Maksud reformasi lain daripada restorasi ( = kembali pada yang lama saja ), karena reformasi mau membaharui dengan mengacu kepada yang asli. Semua yang manusiawi sewaktu-waktu perlu diperbaharui, direformasi, antara lain karena kesalahan yang telah dibuat sebelumnya.
Istilah “Reformasi” mulai digunakan sejak abad ke-17 untuk usaha membaharui seluruh Gereja “dari atas ke bawah” selama abad ke- 15 dan ke- 16. Konsili-Konsili mengeluarkan banyak dekret pembaharuan yang baik (- Konsili Ekumenis di Pisa, Konstanz, Basel, Firenze, Lateran V), tetapi tidak ada yang mempedulikan pelaksanaannya. Terdapat usaha di kalangan biarawan, misalnya “Saudara-Saudara Hidup Bersama” berikhtiar memperdalam dan menyegarkan hidup rohani di antara mereka, antara lain oleh Thomas dari Kempen. Ada yang memprotes kebiasaan-kebiasaan buruk, khususnya sistem fiskal Gereja. Tokoh-tokoh humanis seperti Erasmus dari Rotterdam (+ 153) dan Kardinal G. Contarini (+ 1542) berikhtiar memperbaharui Gereja. Banyak orang awam mulai membaca Kitab Suci sendiri. Tetapi semua usaha itu terbatas pada kelompok atau daerah tertentu saja dan kurang mempengaruhi Gereja seluruhnya.
Gerakan reformasi menggeliat dalam Gereja tentu berkaitan dengan gejala kebobrokan yang sedang menggerogoti Gereja Katolik akibat ulah pejabat tinggi Gereja (abas, prelat uskup, kardinal dan paus) yang bertanggungjawab atas keluhuran dan keagungan Gereja Kristus. Catatan sejarah mengingatkan kita bahwa mereka hanya mengejar kepentingan duniawi, memajukan kesenian serta sastra dan memikirkan sanak-saudara (nepotisme). Peristiwa seperti Skisma Barat (1378-1417) waktu tiga paus menyalahgunakan wewenang rohani mereka, pemilihan paus yang tidak pantas seperi Alexander VI (1492-1503) dan Leo IX (1513-1521), lalu korupsi serta komersialisasi jabatan gerejani yang begitu hebat sehingga membuat orang baik dan saleh pun hampir putus asa. Banyak pejabat Gereja menjadi pangeran duniawi namun melalaikan tugas rohani mereka, imam-imam paroki tidak terdidik, hidup dengan isteri gelap, seringkali bodoh dan tidak mampu berkotbah dan mengajar umat. Teologi skolastik menjadi mandul dan malah dogmatis dianggap sebagai perdebatan tentang hal sepele antara aneka aliran teologis. Humanisme antiklerikal dan konsiliarisme mengaburkan wewenang Roma, karena sering disalahgunakan demi kepentingan dan kekuasaan duniawi.
Gerakan reformasi tidak berhasil memperbaharui keadaan yang begitu bobrok di dalam Gereja. Akibatnya timbul konflik di antara banyak Gereja, yang saling menuduh meninggalkan iman yang benar. Faktor pemicu yang lain adalah banyak masalah teologis pada permulaan abad ke- 16 belum terputuskan, banyak kebiasaan dalam umat yang tidak seragam. Penghayatan iman dicampuradukan dengan takhayul, urusan agama berbaur dengan kepentingan duniawi. Praktek agama sering hanya sekedar rutinitas sehari-hari.
Dalam situasi Gereja seperti itu tampil Martin Luther seorang biarawan dari Ordo St. Agustinus (OSA) mengeritik ajaran dan kebiasaan yang tidak sejalan dengan Kitab Suci. Luther didukung oleh para pengikutnya. Sampai tahun 1530 Luther dan para pengikutnya belum menganggap dirinya sudah berada di luar Gereja Katolik, karena semua kritik dianggap tidak diarahkan kepada Gereja Katolik, tetapi kepada kelompok tertentu di dalam Gereja. Pada saat itu terdapat beberapa pokok ajaran Gereja yang belum dirumuskan secara pasti. Dalam keadaan yang kurang pasti itu, Luther mencanangkan semboyan yang sudah dikemukakan orang lain sebelumnya: “Dalam kebingunan teologi, hanya Kitab Sucilah sumber dan norma ajaran Gereja!” Pandangan itu tersebar luas, juga di antara Reformator Katolik di Italia yang merasa putus asa terhadap pimpinan Gereja. Maka, mau tak mau orang memandang Kitab Suci sebagai sarana pembaharuan Gereja, karena para gembala sudah menjadi “orang upahan” yang tidak peduli (Yoh 10:12).
Luther mula-mula menyerang penjualan indulgensi oleh biarawan Tetzel OP (1517). Kemudian ia membela beberapa pandangan baru, khususnya ajaran tentang pembenaran hanya karena iman (sola fide). Lalu Luther menyerang wewenang paus dan menolak beberapa ajaran para teolog sebelumnya dengan bertumpu pada Alkitab sesuai dengan tafsirannya sendiri.
Luther semula pasti tidak menginginkan perpecahan. Ia ingin memelopori pembaharuan. Tetapi, ia terseret oleh arus yang disebabkan oleh rasa tidak puas yang umum dalam umat yang mendambakan pembaharuan yang bentuknya masih kurang jelas. Dan Luther terbawa juga oleh sikapnya yang amat emosional dan kasar terhadap siapa pun yang menantangnya.
Luther didukung oleh banyak kelompok dengan alasan yang bervariasi, misalnya, oleh para bangsawan yang mengingini milik biara, oleh warga kota yang mendambakan kebebasan berpikir, oleh para tani yang mau lepas dari kerja rodi dan pajak, oleh kaum nasionalis yang membenci privilege Roma, oleh kalangan humanis yang mau membuang kungkungan teologi skolastik, oleh pemerintahan kota-kota kerajaan yang mecium kesempatan memperluas wewenang mereka di dalam kota. Maka, Luther tampil sebagai pahlawan pembebasan. Ia disambut dengan antusias. Orang mengira akhirnya pembaharuan sungguh-sungguh dimulai. Mula-mula Roma kurang menyadari apa yang terjadi, kemudian bereaksi salah, sehingga tidak mampu lagi mengarahkan perkembangan.
Luther pada tahun 1517 menulis 95 dalil dalam bahasa Latin yang dikirim kepada dua uskup sebagai masukan untuk pembaharuan dalam Gereja. Tanpa sepengetahuan Luther ada orang yang menerjemahkan ke 95 dalil itu dalam bahasa Jerman dan kemudian menempelkannya di gereja Wittenberg. Hal itu menimbulkan reaksi keras dari pimpinan Gereja. Luther dituduh sebagai heretikus atau bidaah. Pandangan-pandangan Luther menimbulkan goncangan iman umat. Akhirnya, pada tahun 1520 pimpinan Gereja lewat dokumen Exsurge Domine mengutuk pandangan Luther dan mengumumkan ekskomunikasi (pengucilan) bagi Luther. Itulah awal terjadinya perpecahan baru dalam Gereja dengan lahirnya Gereja Reformasi atau Gereja Protestan, yang kemudian melahirkan ratusan sekte baru dalam Gereja. ** P. Alex Dato’ SVD Sumber: Ensiklopedi Gereja No. 7
Posting Komentar