Pertemuan ketiga ini menuntut kita untuk menunjukkan aksi nyata dari pertemuan pertama dan kedua. Bukti nyata dari seorang yang beriman dan seorang yang menjunjung tinggi Sabda Allah adalah harus mampu bersekutu dalam keluarga, dalam masyarakat, dalam bergereja dan bernegara. Inilah yang menjadi alasan, mengapa pertemuan ketiga ini mengetengahkan tema Keluarga yang Bersekutu: Keluarga Nazareth.
Keluarga Kristiani sering disebut Ecclesia Domestica (Gereja Domestik atau Gereja Rumah Tangga). Ini berarti keluarga-keluarga kristiani diharapkan menjadi perwujudan Gereja, persekutuan hidup dalam iman akan Yesus Kristus yang menghadirkan nilai-nilai Injili, yakni cinta kasih, ketaatan kepada Allah dan sesama, serta kerendahan hati. Tiga pilar itu menjadi tiang penyangga persatuan hidup berkeluarga. (BKSN 2013: Keluarga Bersekutu Dalam Sabda, hal. 18).
Beriman dan menjunjung tinggi sabda Allah tidak menginginkan perpecahan, perceraian. Menghayati iman dan berakar pada sabda harus berhasil menjalin persatuan dan kebersamaan. Inilah yang sering disalah artikan oleh sebagian besar umat Katolik. Demi iman, demi sabda Allah, persekutuan dikorbankan. Bukankah dengan mengorbankan persekutuan mementahkan apa yang selama ini kita anut, kita aminkan, kita iakan, yakni beriman dan berakar pada sabda?
Tentu saja ini tidak mudah. Ini menjadi perjuangan kita juga. Pertemuan ketiga ini mencoba memberikan solusi aman dalam pertentangan ini. Cinta kasih, ketaatan dan kerendahan hati menjadi pilar utama dalam membangun persekutuan sejati. Tanpa tiga pilar ini, kita akan mengalami kebingungan karena dalam melaksanakan Sabda Tuhan, banyak hal yang rasa-rasanya tidak menarik, tidak manis dari segi rasa manusiawi kita. St. Fransiskus Assisi pernah mengatakan: Apa yang dulunya pahit, kini menjadi manis? St, Fransiskus Assisi mengatakan ini sebagai ungkapan imannya yang telah mengalami Sabda Tuhan sebagai pedoman hidupnya. St. Fransiskus Assisi yang dulunya adalah anak seorang kaya, berlimpah harta, seorang yang dihargai dalam masyarakat dan tidak banyak terlibat dalam kegiatan sosial (berbagi dengan sesama, merawat orang sakit kusta, dll) berubah menjadi penganut pola hidup miskin dan sederhana, menjadi orang kusta bersama orang kusta, rela berbagi dengan sesama setelah menjalani dan menggunakan Sabda Tuhan sebagai pedoman hidup satu-satunya.
Pertemuan ketiga ini menghadirkan Keuarga Kudus Nazaret sebagai teladan kita dalam bersekutu. Beberapa poin berikut merupakan pesan penting dari pertemuan ketiga ini:
- Keluarga kristian dipanggil untuk melayani hal-hal jasmani dan sekaligus hal-hal rohani (bdk. Yesus ditemukan di Bait Allah, Luk. 2:41-52).
- Keluarga beriman adalah keluarga yang selalu membangun persekutuan hidup datau kebersamaan dalam hidup harian (ibadah bersama, makan bersama, dan lain sebagainya).
- Keluarga beriman adalah keluarga yang patuh pada peraturan peribadatan dan senantiasa menghargai tradisi iman (tidak mengambil sikap seolah-olah berada di luar aturan yang berlaku).
- Keluarga beriman adalah keluarga yang mewariskan harta iman dan tradisi-tradisi yang luhur kepada anak dan anggota keluarganya.
- Keluarga beriman adalah keluarga yang dalam menghadapi tantangan dan pergumulan hidup beriman tetap bersekutu dan bersama untuk kembali mencari Yesus, menjumpai-Nya dan berdialog dengan-Nya. (bdk. Yosef dan Maria mencari Yesus di Bait Allah).
- Keluarga beriman harus bisa bersikap seperti Maria: menyimpan semua perkara dalam hatinya dan merenungkannya. (harus punya waktu untuk merenungkan Sabda Allah).
- Keluarga beriman adalah keluarga yang memberikan kesaksian hidup dalam kehangatan kasih sayang dan kesalehan hidup (dalam keluarga terutama, kemudian dalam masyarakat dan Gereja).
- Keluarga beriman harus sanggup mengatakan: Apa yang dulunya pahit, kini menjadi manis, seperti St. Fransiskus Assisi.
Poin-poin di atas menjadi sangat penting. Kita tidak cukup beriman saja. Juga tidak cukup hanya menjunjung tinggi Sabda Allah lewat perkataan. Kita harus mewujudkannya secara nyata dalam hidup bersekutu. Persekutuan itu haruslah dimulai dari keluarga sebagai Gereja Kecil. Tidak mungkinlah seseorang sanggup hidup bersama dalam lingkungan yang luas kalau dalam hidup berkeluarga dia tidak sanggup bersekutu, mengalami broken home, tidak searah, tidak kompak dan lain sebagainya.
Beberapa pertanyaan refleksif dapat membantu kita untuk mendalami tema pertemuan ketiga ini:
- Adakah keluarga kita menjadikan Yesus sebagai pokok dan pusat perhatian bersama?
- Pernahkah kita, dalam keluarga secara bersama-sama mencari Yesus? Atau lebih sering kita mencari Yesus sendiri-sendiri? Barangkali ini bisa kita sharingkan?
- Imanmu telah menyelamatkan engkau. Kalimat ini kadang dipahami bahwa iman seseorang tidak mempengaruhi keselamatan orang lain. Bagaimana kita mengartikan kalimat ini dalam konteks hidup bersekutu?
- Mari kita mulai sekali lagi, karena sampai saat ini kita belum berbuat apa-apa (St. Fransiskus Assisi). Apakah yang paling tepat kita lakukan saat ini (dalam keluarga, dalam masyarakat dan dalam menggereja) agar persekutuan dapat tercipta?
Semoga pertemuan ketiga pendalam Kitab Suci dengan tema "Keluarga Bersekutu yang Bersekutu: Keluarga Nazaret" memberikan semangat baru bagi kita untuk memperbaharui pola hidup kita sebagai umat kristiani. Kita menjadi orang yang bersekutu, pelaksana sabda dan menjunjung tinggi kebersamaan. Menjadi umat yang mengutamakan bonum comune (kebaikan bersama) dalam menghayati dan melaksanakan sabda Tuhan.**Fidelis Harefa.
Posting Komentar