Desember 2014

Sakramentali ialah tanda-tanda suci yamg memiliki kemiripan dengan sakramen-sakramen. Sakramentali itu menandakan kurnia-kurnia, terutama yang bersifat rohani dan yang diperoleh berkat doa permohonan Gereja (SC 60). Istilah sakramentali muncul pada abad XII (pada tulisan Petrus Lombardus), bersamaan dengan pembukaan istilah sakramen bagi ketujuh ritus Gereja.

Sakramentali Terarah dan Bersumber pada Sakramen

Sakramentali sebagai tanda suci berhubungan erat dengan sakramen. Konstitusi Liturgi menyatakan bahwa sakramentali memiliki kemiripan dengan sakramen. Menurut saya sakramentali dalam arti tertentu menghadirkan perayaan sakramen Gereja. Perayaan sakramentali adalah perayaan kerinduan akan sakramen dan perayaan yang diarahkan kepada perayaan sakramen. Perayaan sakramentali dapat menghantar dan mempersiapkan orang beriman kepada sakramen-sakramen Gereja. Dengan sakramentali, misteri yang dirayakan semakin diperjelas dan disposisi umat bagi penerimaan sakramen dipersiapkan secara optimal.

Hal ini tampak dalam berbagai upacara sakramentali. Pemberkatan air suci, pemberkatan dengan tanda salib di dahi anak-anak atau katekumen merupakan upacara dalam rangka menuju atau mengenangkan sakramen baptis; pemberkatan roti, buah atau doa sebelum atau sesudah makan berhubungan dengan Sakramen Ekaristi; berbagai doa untuk orang sakit merupakan kerinduan dan perwujudan sakramen pengurapan orang sakit; upacara pertunangan merupakan perayaan kerinduan akan sakramen perkawinan; upacara tobat terarah kepada sakramen tobat.

Sakramentali sebagai Doa Permohonan Gereja

Sakramentali dibedakan dengan sakramen menurut dayaguna atau  akibat sakramentalnya. Dayaguna sakramen terjadi secara  ex opere operato (berkat tindakan yang dilakukan oleh Kristus). Atinya, sakramen pertama-tama tindakan Kristus. Dalam sakramen, Kristuslah yang melayani dan menguduskan si penerima. Jadi dengan istilah ex opere operato   ini mau ditekankan bahwa sakramen merupakan  karya Allah dan bukan usaha manusia. Karya Allah ini tidak bersangkut paut dengn keadaan moral si pelayan. Lepas dari disposisi dan keadaan si pelayan manusia, sakramen tetap berlangsung dan berdayaguna. Misalnya, meskipun imam yang memimpin misa itu berdosa, tetapi Perayaan Ekaristi yang dirayakan tetap sah dan di sana benar-benar terjadi Tubuh dan Darah Kristus karena Kristuslah yang berkarya.

Berbeda dengan sakramen, dayaguna sakramentali terjadi secara  ex opere operantis ( berkat tindakan manusia yang mengerjakan). Itu berarti sakramentali pertama-tama karya, tindakan dan usaha manusia, yaitu  Gereja. Sakramentali adalah doa permohonan Gereja agar Allah memberkati dan menguduskan orang atau benda itu. Kalau dalam sakramen rahmat pengudusan terjadi secara tidak tergantung pada disposisi dan usaha si pelayan manusia, dalam sakramentali pemberkatan dan pengudusan itu terjadi sejauh itu dimohonkan oleh Gereja.

Sakramentali dipahami Gereja tidak secara magis, bahwa seolah-oleh sesudah orang atau barang itu diberkati, maka orang atau barang itu menjadi sakti. Dengan ungkapan sakramentali sebagai "doa permohonan Gereja" itu, mau dinyatakan bahwa orang atau barang yang diberkati oleh Allah melalui doa permohonan Gereja kini memiliki arah dan nilai baru yang terarah kepada Allah Sang Pencipta dan Penebus.

Pelayan Sakramentali

Pelayan sakramentali tidak  harus seorang klerus atau orang tertahbis, tetapi dapat juga awam. Pelayan awam dalam upacara sakramentali dimungkinkan atas dasar imamat umum yang diperolehnya dalam sakramen baptis dan krisma. Lain halnya dengan sakramen, pelayan sakramen (kecuali baptisan darurat) adalah pimpinan jemaat yang resmi, yaitu uskup, imam, diakon, sebab dalam sakramen ditampakkan dan dilaksanakan hakikat dan diri Gereja sendiri. **Fidelis Harefa.

Maraknya dan kompleksnya masalah perkawinan dalam abad ini membuat kaum muda merasa bimbang dan ragu tentang peluang mereka untuk mencapai sukses dalam perkawinan. Di satu pihak mereka merasa cinta kasih sudah cukup untuk menjamin kelanggengan  hidup perkawinan. Di lain pihak mereka menghadapi kenyataan bahwa penyelewengan terhadap perkawinan semakin meluas di tengah  masyarakat bahkan sering diakhiri dengan perceraian.

Zaman berubah dengan pesatnya di seluruh kawasan dunia, juga di Indonesia. Sedemikian pesat perubahan zaman, sehingga manusia belum sempat menyesuaikan diri dengan satu situasi baru. Perubahan tersebut melanda pemahaman, pengkhayatan dan pola laku individu dan masyarakat. Kehidupan seks, perkawinan dan hidup berkeluarga tidak luput dari lindasan perubahan tersebut. Besarnya pengaruh perubahan jaman itu, juga diungkapkan oleh J. Riberu:
Tadi kehidupan seks, kehidupan nikah  dan kehidupan keluarga dianggap sesuatu yang sacral, yang tidak dibicarakan begitu saja di depan umum. Sekarang dipertontonkan, malahan direkayasakan dan diperjualbelikan. Adegan-adegan seks sampai yang paling berani disajikan dalam film-film […]. Yang lebih merisaukan ialah beredarnya pelbagai paham yang merubah citra seks, citra nikah dan citra kehidupan keluarga di dalam tata pikir manusia.
Melihat reaksi masyarakat seperti itu, Gereja lewat kursus persiapan perkawinan melayani kebutuhan anggota Gereja, khususnya kaum muda. Gereja melalui kursus persiapan perkawinan memberikan pemahaman dan pandangan kristiani tentang perkawinan. Oleh karena itu kursus persiapan perkawinan sebagai salah satu bentuk pelayanan bagi kaum muda hendaknya menyentuh seluruh lapisan kaum muda.

Dengan kata lain, mereka yang sederhana dan secara formal kurang berpendidikan jangan diabaikan.
Oleh karena itu kursus persiapan perkawinan bagi kaum muda sangat penting dan tidak perlu disangsikan lagi.  Kursus persiapan perkawinan ini dimaksudkan untuk mempersiapkan perkawinan yang stabil dan langgeng  yang merupakan faktor mutlak untuk tercapainya kebahagiaan suami istri, masyarakat dan Gereja. Dengan demikian nilai-nilai luhur hidup perkawinan yang sudah diterima lewat kursus  persiapan perkawinan akan  menjiwai pemahaman kaum muda tentang perkawinan.

Kaum muda memandang perkawinan tidak lagi sebatas legalisasi hubungan seks, tetapi perkawinan akan mereka pahami  juga sebagai sesuatu yang luhur dan agung itu, nilai-nilai luhur perkawinan yang menentukan pandangan hidup mereka tentang perkawinan. Bahkan, menurut pengalaman pembinaan kursus, kaum muda yang dibina lewat kursus persiapan perkawinan akan lebih berhasil dalam hidup perkawinannya dibandingkan dengan mereka yang tidak pernah mengikuti kegiatan ini. **Fidelis Harefa.

Kalau kita mencermati berbagai persoalan korupsi, yang marak di Tanah Air tercinta khususnya, kita kadang berdecak kagum. Kagum karena walaupun korupsi selalu disoroti bahkan dikutuki public tetapi masih  ada yang berani “bermain” dengan-nya. Anehanya, orang begitu nekat korupsi, walau akibatnya secara moral ia akan mengalami keluluhan harga diri. Sementara itu ada yang katakan, lebih baik kehilangan sekantong emas dari pada kehilangan harga diri. Ini berarti harga diri jauh lebih mahal (suci)  dari pada emas sekantong. Tapi, mengapa korupsi terus-menerus terjadi?

Di batas pertanyaan ini, muncul suatu kesadaran bahwa setiap orang, siapapun dia-kaya atau miskin memiliki harga diri yang suci. Kesuciaan harga diri itu tidak bisa diukur secara materil karena ia adalah harta terberi sejak lahir. Oleh harta terberi itu, setiap orang mengalami bahwa ia berharga di mata sesamanya. Akibat dari rasa berharga, ia akan menerima sikap dihormati, disayangi, dicintai dan dikagumi.

Kesadaran ini secara alamiah ada dalam diri setiap orang. Sementara itu setiap orang pun menyadari bahwa ia memiliki sederetan kelemahan yang berpotensi untuk melukai atau meluluhkan harga dirinya. Akibat dari kesadaran ini, orang selalu berhati-hati dan  penuh pertimbangan sebelum melakukan suatu perbuatan yang berakibat  melukai atau meluluhkan harga dirinya sendiri.
Herannya walau kesadaran ini terus melekat pada setiap orang,  tetapi begitu berhadapan dengan setumpuk “duit” orang   seperti  “rabun mata”. Semua kesadaran moralnya, (takut akan rasa malu, takut nanti dicerca, takut bila dimaki)  pun hilang seketika. Prinsip menyesal selalu datangnya terlambat  seperti  tidak terlintas  lagi dalam benaknya. Yang ada hanya, rencana-rencana “liar” tentang apa yang akan dibeli dan  mau melancong ke mana nanti setelah “merogoh” uang milik rakyat,  yang kebetulan dipercayakan padanya untuk dikelola demi kesejahteraan bersama.

Inilah dinamika jiwa orang yang menatap langsung setumpuk duit di hadapnnya. Dilemma antara mau ambil atau tidak biasanya sangat kuat. Karena begitu kuat dilemma yang dirasakan, orang lalu membuat proyeksi-proyeksi positif dengan membangun prinsip imbangan untuk menetralisir rasa ragunya dalam berbuat salah, seperti “ Ah…kalau orang lain bisa korupsi mengapa saya tidak ?“

Ketika prinsip ini  begitu dominant dalam dirinya, ia makin berani untuk bertindak. Ia tidak akan berpikir tentang konsekuensi  yang akan menyusul menimpa dirinya. Yang ada hanya sejuta bayangan tentang bentuk dan gaya hidupnya nanti, setelah mengantongi ratusan juta atau milliaran rupiah.
Di sinilah orang memiliki keberanian yang salah letak. Tetapi keberaniannya bagaikan sepotong belati yang kelak menyayat dan melukai dirinya, ketika namanya diobok-obok sebagai KORUPTOR dalam TV, radio, koran dan lebih keji lagi kalau  ia didemo rame-rame  sambil diumpat, dimaki dan  dihojat oleh masyarakat yang dulu sangat menghormati dan mencintai dia.
Perlu di sadari juga bahwa realitas tercemplung dan hidup dalam masyarakat dengan ragam sistemnya, juga menjadi satu ujian terberat untuk tetap mempertahankan kesucian sebuah harga diri. Fakta diseretnya wakil wali kota Bogor, menjadi contoh untuk hal ini. Secara pribadi ia katakan, mengapa aku saja yang harus dipersalahkan,  padahal persoalan ini (Korupsi) merupakan persoalan komunal – melibatkan beberapa orang.

Kasat benar, bahwa secara pribadi wakil wali kota Bogor mempunyai kesadaran akan kesucian harga dirinya, tetapi karena ia berada dalam sistem komunal, yang sama-sama memiliki kesepakatan untuk “bermain api”, maka ia pun  berani mempertaruhkan kesucian harga dirinya.
Akibatnya, ia ditangkap sendiri tanpa teman-teman sekongkolannya. Ia sendiri mengalami dirinya dihujat, dicerca, dimaki dan dibenci. Tak terbayangkan betapa tersayat hatinya ketika sebelumnya, ia dihormati, dipuja dan disegani tetapi sekarang ia seperti orang yang tidak ada harganya. Apalagi membayangkan, bagaimana perasaan istri / keluarga bila berhadapan dengan tetangga dan masyarakat sekitarnya dan perasaan anak-anak bila berada di lingkungan sekolah. Singkatnya terlalu banyak angan kelam di hati orang yang sedang dilanda luka dan luntur harga dirinya.

Untuk menghindari keberanian yang salah letak memang tidak gampang segampang membalik telapak tangan. Perlu dicari mengapa orang nekat memiliki keberaniaan yang salah letak ? Barangkali salah satu sebabnya adalah adanya budaya SOGOK atau UPETI sebelum menjadi seorang aparat pemerintah. Rasa rugi yang ia berikan dalam bentuk sogokan ketika berjuang menjadi seorang pegawai negeri akan  menjadi semacam satu “sindrom balas dendam” yang tersimpan rapi di bawa alam sadarnya. Suatu saat ketika ia sudah menjadi “orang” dalam jajaran kepemimpinan structural, ia akan berusaha untuk mengembalikan kerugiannya dalam bentuk KORUPSI.

Ini adalah suatu “penyakit” yang bersifat tangga pilin – tak berujung. Penyakit ini sudah menjadi heredit. Lalu siapa yang harus dan berani menyembuhkan atau memberantasnya ? Yang pasti untuk memberantasnya, perlu seorang pemimpin yang berani “BANTING STIR” dan tidak takut  untuk mengubah sistem yang selama ini memberi peluang bagi orang untuk korupsi.  Jelas, upaya pemberantasan penyakit ini tidak mudah. Pemimpin yang berani menjadi “dokter penyembuh” haruslah pemimpin yang memiliki ketangguhan moral dan spiritual. Tanpa ketangguhan moral dan spiritual, semua apaya pemberantasan hanya akan bersifat kamuflase belaka.
Memang factor eksternal – pengawasan dari luar,  sesungguhnya tetap diperlukan. Namun justeru yang paling menentukan adalah factor internal – kesadaran dari dalam diri orang yang kebetulan memegang jabatan public. Kalau ia menyadari bahwa dirinya sebagai seorang yang bermoral dan bermartabat,  lalu “kebetulan” dipercayakan negara  untuk mengatur suatu sistem demi kesejahteraan bersama, maka ia akan lebih berhati-hati dalam mengambil tindakan-tindakan yang salah letak.

Sebagai seorang pejabat, ia bagaikan “lentera” di atas bukit yang senantiasa dipandang semua orang. Terang dan redupnya cahaya lentera itu akan langsung dilihat secara kasat mata oleh khalayak ramai. Pejabat yang bermoral baik, tentu tidak akan membiarkan “cahaya lentera” jabatannya redup,  hanya karena “silau”  oleh kucuran-kucuran dana yang diperuntukan bagi rakyat.

Secara pribadi, saya sungguh  sangat yakin bahwa setiap pejabat mempunyai kehendak baik untuk mengabdi masyarakatnya. Karena itu  mereka yang sedang  dan kini  memangku sebuah jabatan public, pasti memiliki kesadaran moral untuk menghindari keberanian yang salah letak,  apalagi didukung dengan program Presiden Bambang untuk memberantas penyakit korupsi dalam masa kepemimpinannya. Tentunya program presiden akan sangat membantu menjernihkan kesadaran moral para pejabat dalam meciptakan suatu kondisi pemerintahan yang bersih.

Lalu sebagai warga masyarakat, sebaiknya kita tidak hanya menunggu di “tikungan kelemahan” para pejabat untuk menyerang tanpa ampun bila mereka terjebak dalam kesalahan, tetapi hendaknya kita tetap  mendoakan mereka, agar selalu dilindungi dan dihindarkan dari berbagai cobaan, sehingga mereka tidak terjebak dalam keberanian yang salah letak.**

Oleh: P. Frieds Meko, SVD

Akhir-akhir ini, dunia pendidikan kita diramaikan oleh ide-ide cemerlang dari pengamat pendidikan, pelaku pendidikan dan para pengelola pendidikan di negeri ini. Pendidikan Karakter menjadi “trend topic” dalam menentukan arah dan pola pendidikan saat ini. Pendekatan-pendekatan pengetahuan pun dipilih berdasarkan kebutuhan. Pembahasan mengenai NILAI PRIORITAS yang harus dijalankan dan diseminarkan di sana-sini. Koridor moral, psikologis, budi pekerti, kepribadian menjadi tempat dan lahan galian para ahli untuk menyukseskan topik yang sedang popular ini.


Setelah dibekali dengan berbagai teori, dasar-dasar pengajaran dan metode yang sudah terpola, tenaga kependidikan di dunia pendidikan menemukan satu masalah vital dalam melaksanakan Pendidikan Karakter ini. Mulai terasa bahwa ada ruang kosong yang tak terisikan, ada sisi gelap yang tak diterangi, ada komponen yang hilang dan susah mencari gantinya. KEHADIRAN FIGUR atau keteladanan menjadi masalah utama.

Kita sanggup berteriak dengan lantang tentang KEJUJURAN, MORAL YANG SEHAT, BUDI PEKERTI, dan hal lainnya yang berhungan dengan perkembangan kepribadian, tetapi susah untuk menyebutkan satu pribadi yang menjadi FIGUR sebagai sarana mempertajam bahan ajaran. Menemukan figur yang real, dekat, hidup yang hadir KINI DAN DI SINI, adalah sebuah kesulitan yang hampir tak punya solusi. Apa yang akan terjadi?

Peserta didik mulai berimajinasi sendiri. Menciptakan angan tanpa model. Peserta didik bingung menentukan idola. Ujung-ujungnya, mulailah mengatakan Persetan dengan Pendidikan Karakter.

Siapa peserta didik itu? Kita, anak-anak kita dan cucu kita adalah peserta didik yang dimaksud. Pola-pola pengajaran baru berkembang seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.  Akan tetapi, pola-pola itu pun menemukan masalah dalam dirinya sendiri karena diantara kekayaan sarana dan prasarana yang menunjang, ada satu sisi yang hilang dan sangat vital yakni FIGUR.

Idola Anak-anak Kita

Saya pernah bertanya kepada seorang anak, yang sedang duduk di bangku SD, Kelas I, tentang cita-citanya kelak kalau sudah besar. Spontanitas anak ini membuat saya terkejut ketika dia menyebutkan salah satu nama artis yang sering tampil di Layar Televisi. Artis yang dia maksud adalah seorang bintang Televisi Indonesia, yang bila tampil selalu didampingi oleh gadis-gadis cantik dan pelakon karakter campuran pria-wanita. Tanpa menyebut nama artis itu dan juga tanpa membahas lebih dalam tentang alasan sang anak tadi memilih idolanya, mari kita melirik sejenak apa yang sedang terjadi.

Dari sekian banyak acara Televisi yang disuguhkan, kita susah menemukan acara yang mengajarkan tentang semangat patriotisme, wawasan nusantara, tokoh-tokoh pembela kebenaran yang real dalam sejarah dan acara-acara yang langsung menyentuh perkembangan pribadi anak. Kita lebih banyak disuguhkan dengan masalah-masalah yang didramatisir berlebihan, masalah putus cinta dan sambung lagi, masalah cerai kawin dan kawin lagi, masalah tipu muslihat yang susah masuk logika. Bintang publik kita mulai didominasi oleh pelakon pria-wanita. Program suguhan bagi pemirsa lebih bertujuan ke hal-hal  euphoria semata tanpa memperhitungkan nilai pendidikan apa yang disampaikan. Secara tegas bahwa televisi kita tidak memiliki ideologi sehingga membangun karakter bangsa yang hancur lebur. Sanggup melarang anak untuk tidak menonton?

Dalam gambaran di atas, mampukah sang anak menemukan idolanya? Di saat kita susah menyebutkan nama seorang tokoh yang dikenal oleh anak, acara televisi kita sudah berlomba masuk lebih duluan. Di saat kita mengalami ambiguitas menyebutkan tokoh sejarah bangsa ini, tokoh-tokoh baru bermunculan dengan berbagai penyimpangan. Di saat kita sedang berteriak tentang budi pekerti, kejujuran, moral dan sebagainya, pelaku-pelaku pelanggaran pun tampil mengaburkan segala makna pendidikan kita. **Fidelis Harefa

MKRdezign

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget