Kalau kita mencermati berbagai persoalan korupsi, yang marak di Tanah Air tercinta khususnya, kita kadang berdecak kagum. Kagum karena walaupun korupsi selalu disoroti bahkan dikutuki public tetapi masih ada yang berani “bermain” dengan-nya. Anehanya, orang begitu nekat korupsi, walau akibatnya secara moral ia akan mengalami keluluhan harga diri. Sementara itu ada yang katakan, lebih baik kehilangan sekantong emas dari pada kehilangan harga diri. Ini berarti harga diri jauh lebih mahal (suci) dari pada emas sekantong. Tapi, mengapa korupsi terus-menerus terjadi?
Di batas pertanyaan ini, muncul suatu kesadaran bahwa setiap orang, siapapun dia-kaya atau miskin memiliki harga diri yang suci. Kesuciaan harga diri itu tidak bisa diukur secara materil karena ia adalah harta terberi sejak lahir. Oleh harta terberi itu, setiap orang mengalami bahwa ia berharga di mata sesamanya. Akibat dari rasa berharga, ia akan menerima sikap dihormati, disayangi, dicintai dan dikagumi.
Kesadaran ini secara alamiah ada dalam diri setiap orang. Sementara itu setiap orang pun menyadari bahwa ia memiliki sederetan kelemahan yang berpotensi untuk melukai atau meluluhkan harga dirinya. Akibat dari kesadaran ini, orang selalu berhati-hati dan penuh pertimbangan sebelum melakukan suatu perbuatan yang berakibat melukai atau meluluhkan harga dirinya sendiri.
Herannya walau kesadaran ini terus melekat pada setiap orang, tetapi begitu berhadapan dengan setumpuk “duit” orang seperti “rabun mata”. Semua kesadaran moralnya, (takut akan rasa malu, takut nanti dicerca, takut bila dimaki) pun hilang seketika. Prinsip menyesal selalu datangnya terlambat seperti tidak terlintas lagi dalam benaknya. Yang ada hanya, rencana-rencana “liar” tentang apa yang akan dibeli dan mau melancong ke mana nanti setelah “merogoh” uang milik rakyat, yang kebetulan dipercayakan padanya untuk dikelola demi kesejahteraan bersama.
Inilah dinamika jiwa orang yang menatap langsung setumpuk duit di hadapnnya. Dilemma antara mau ambil atau tidak biasanya sangat kuat. Karena begitu kuat dilemma yang dirasakan, orang lalu membuat proyeksi-proyeksi positif dengan membangun prinsip imbangan untuk menetralisir rasa ragunya dalam berbuat salah, seperti “ Ah…kalau orang lain bisa korupsi mengapa saya tidak ?“
Ketika prinsip ini begitu dominant dalam dirinya, ia makin berani untuk bertindak. Ia tidak akan berpikir tentang konsekuensi yang akan menyusul menimpa dirinya. Yang ada hanya sejuta bayangan tentang bentuk dan gaya hidupnya nanti, setelah mengantongi ratusan juta atau milliaran rupiah.
Di sinilah orang memiliki keberanian yang salah letak. Tetapi keberaniannya bagaikan sepotong belati yang kelak menyayat dan melukai dirinya, ketika namanya diobok-obok sebagai KORUPTOR dalam TV, radio, koran dan lebih keji lagi kalau ia didemo rame-rame sambil diumpat, dimaki dan dihojat oleh masyarakat yang dulu sangat menghormati dan mencintai dia.
Perlu di sadari juga bahwa realitas tercemplung dan hidup dalam masyarakat dengan ragam sistemnya, juga menjadi satu ujian terberat untuk tetap mempertahankan kesucian sebuah harga diri. Fakta diseretnya wakil wali kota Bogor, menjadi contoh untuk hal ini. Secara pribadi ia katakan, mengapa aku saja yang harus dipersalahkan, padahal persoalan ini (Korupsi) merupakan persoalan komunal – melibatkan beberapa orang.
Kasat benar, bahwa secara pribadi wakil wali kota Bogor mempunyai kesadaran akan kesucian harga dirinya, tetapi karena ia berada dalam sistem komunal, yang sama-sama memiliki kesepakatan untuk “bermain api”, maka ia pun berani mempertaruhkan kesucian harga dirinya.
Akibatnya, ia ditangkap sendiri tanpa teman-teman sekongkolannya. Ia sendiri mengalami dirinya dihujat, dicerca, dimaki dan dibenci. Tak terbayangkan betapa tersayat hatinya ketika sebelumnya, ia dihormati, dipuja dan disegani tetapi sekarang ia seperti orang yang tidak ada harganya. Apalagi membayangkan, bagaimana perasaan istri / keluarga bila berhadapan dengan tetangga dan masyarakat sekitarnya dan perasaan anak-anak bila berada di lingkungan sekolah. Singkatnya terlalu banyak angan kelam di hati orang yang sedang dilanda luka dan luntur harga dirinya.
Untuk menghindari keberanian yang salah letak memang tidak gampang segampang membalik telapak tangan. Perlu dicari mengapa orang nekat memiliki keberaniaan yang salah letak ? Barangkali salah satu sebabnya adalah adanya budaya SOGOK atau UPETI sebelum menjadi seorang aparat pemerintah. Rasa rugi yang ia berikan dalam bentuk sogokan ketika berjuang menjadi seorang pegawai negeri akan menjadi semacam satu “sindrom balas dendam” yang tersimpan rapi di bawa alam sadarnya. Suatu saat ketika ia sudah menjadi “orang” dalam jajaran kepemimpinan structural, ia akan berusaha untuk mengembalikan kerugiannya dalam bentuk KORUPSI.
Ini adalah suatu “penyakit” yang bersifat tangga pilin – tak berujung. Penyakit ini sudah menjadi heredit. Lalu siapa yang harus dan berani menyembuhkan atau memberantasnya ? Yang pasti untuk memberantasnya, perlu seorang pemimpin yang berani “BANTING STIR” dan tidak takut untuk mengubah sistem yang selama ini memberi peluang bagi orang untuk korupsi. Jelas, upaya pemberantasan penyakit ini tidak mudah. Pemimpin yang berani menjadi “dokter penyembuh” haruslah pemimpin yang memiliki ketangguhan moral dan spiritual. Tanpa ketangguhan moral dan spiritual, semua apaya pemberantasan hanya akan bersifat kamuflase belaka.
Memang factor eksternal – pengawasan dari luar, sesungguhnya tetap diperlukan. Namun justeru yang paling menentukan adalah factor internal – kesadaran dari dalam diri orang yang kebetulan memegang jabatan public. Kalau ia menyadari bahwa dirinya sebagai seorang yang bermoral dan bermartabat, lalu “kebetulan” dipercayakan negara untuk mengatur suatu sistem demi kesejahteraan bersama, maka ia akan lebih berhati-hati dalam mengambil tindakan-tindakan yang salah letak.
Sebagai seorang pejabat, ia bagaikan “lentera” di atas bukit yang senantiasa dipandang semua orang. Terang dan redupnya cahaya lentera itu akan langsung dilihat secara kasat mata oleh khalayak ramai. Pejabat yang bermoral baik, tentu tidak akan membiarkan “cahaya lentera” jabatannya redup, hanya karena “silau” oleh kucuran-kucuran dana yang diperuntukan bagi rakyat.
Secara pribadi, saya sungguh sangat yakin bahwa setiap pejabat mempunyai kehendak baik untuk mengabdi masyarakatnya. Karena itu mereka yang sedang dan kini memangku sebuah jabatan public, pasti memiliki kesadaran moral untuk menghindari keberanian yang salah letak, apalagi didukung dengan program Presiden Bambang untuk memberantas penyakit korupsi dalam masa kepemimpinannya. Tentunya program presiden akan sangat membantu menjernihkan kesadaran moral para pejabat dalam meciptakan suatu kondisi pemerintahan yang bersih.
Lalu sebagai warga masyarakat, sebaiknya kita tidak hanya menunggu di “tikungan kelemahan” para pejabat untuk menyerang tanpa ampun bila mereka terjebak dalam kesalahan, tetapi hendaknya kita tetap mendoakan mereka, agar selalu dilindungi dan dihindarkan dari berbagai cobaan, sehingga mereka tidak terjebak dalam keberanian yang salah letak.**
Oleh: P. Frieds Meko, SVD
Posting Komentar