Juli 2015

Cinta Orangtua akan mengisi relung jiwa anak untuk melewati tahun-tahun perkembangan psikologinya. Anak yang terus memperoleh cinta dari orangtua dan seluruh keluarga terdekatnya akan memiliki ‘kantong jiwa’ penuh. Psikolog Ratih Ibrahim menjelaskan bahwa anak dengan 'kantong jiwa' penuh akan tumbuh lebih baik dibanding yang terisi sebagaian atau kosong sama sekali

Layaknya balon, 'kantong jiwa' yang utuh memungkinkan anak tidak mudah terombang-ambing melewati perkembangannya. Anak juga tidak mudah terkena pengaruh buruk dari hal negatif di sekelilingnya. Ikatan keluarga yang kuat ibarat menyediakan rumah bagi jiwa anak untuk kembali pulang.

Ikatan kuat tidak dimiliki anak dengan 'kantong jiwa' yang hanya terisi sebagian. Anak dengan 'kantong jiwa' nyaris kosong tak memperoleh cukup cinta dan perhatian dari orangtua dan lingkungannya. Akibatnya mereka akan melakukan apapun asal memperoleh cinta dan perhatian yang diinginkannya. Ternasuk perbuatan kurang baik. Anak 'berkantong jiwa'  kosong mudah terkena pengaruh negatif.

Sementara anak dengan 'kantong jiwa' tak terisi penuh, rentan terkena gangguan emosi  di masa mendatang. "Mereka lebih mudah depresi, rendah diri, dan mengalami ketidakseimbangan emosi lainnya. Kurangnya ikatan dengan keluarga juga menyebabkan anak mencari 'rumah' lain untuk pulang. Akibatnya anak makin rentan kecemplung dalam lingkungan pergaulan negatif," kata Ratih.

Tentunya ibu tidak harus menjadi sentral kegiatan untuk mengisi ‘kantong Jiwa’ buah hati. Seluruh keluarga secara rutin dapat berperan dalam kegiatan yang bertujuan meningkatkan nilai kebersamaan. Misalnya, dengan memasak bersama tiap akhir pekan. Kegiatan ini njuga memiliki efek yang sama besar dengan ibu memasak untuk anggota keluarganya.
Ratih mengingatkan untuk tidak berkonsentrasi pada hasil. Dalam proses memasak ada kerja sama yang terjalin antar keluarga, Kerja sama tersebut meningkatkan jalinan keterikatan antar anggota keluarga. Jalinan keterikatan antar keluarga tentu lebih penting daripada hasil masakan yang diperoleh.

Senada dengan Ratih, Asep  Haekal menyatakan pentingnya kegiatan bersama untuk meningkatakan bonding keluarga, "Sebanyak 8 dari 10 ibu di Indonesia percaya makan bersama bisa memperat jalianan antar keluarga. Apalagi bila yang dimakan adalah hasil masakan sendiri," kata Haekal.

Tak Perlu Ragu Lagi

Seorang ibu tak perlu ragu memasak untuk keluarganya, termasuk bila ibu merasa tidak memiliki kemampuan memasak. “Ada ungkapan, cinta dari ibu terwujud dalam masakan”. Ungkapan khas ini tidak terdapat di tempat lain kendati hidangannya lebih enak. Jadi tak perlu khawatir, masakan ibu pasti jadi yang terenak di seluruh dunia, kata Ratih.

Keyakinan para ibu terwujud dalam survei yang dilakukan Royco terhadap ibu di Indonesia. Hasil survei menyatakan , 90 persen ibu di Indonesia selalu berusaha memasak bagi keluarganya dengan menu masakan rumah.  Selanjutnya 88 persen ibu selalu mengajak keluarganya makan bersama di rumah., bahkan mereka merasa perlu memasak menu favorit demi moment tersebut.

Sesuai dengan kenyataan tersebut, Ratih menyarankan keluarga untuk menjadikan makan bersama sebagai rutinitas. Kegiatan bersama akan memantapkan ikatan relasi antar anggota keluarga. Hasilnya sejauh apapun melangkahkan kaki, mereka selalu mengingat rumah dan momen indah dengan keluarga.

Tidak perlu heran bila hanya dengan moment sederhana, anak dengan mudah mengingat nilai luhur yang diajarkan di rumah. Kegiatan bersama menyakinkan nilai tersebut berakar kuat dalam diri tiap anggota keluarga. Melalui akar kepribadian positif yang kuat, anak dapat menjadi dewasa yang bijak dan berbudi luhur.

Dengan manfaat yang diperoleh, ratih menyarankan tiap keluarga menyediakan waktu kegiatan bersama. "Dengan manajemen waktu yang baik, tiap keluarga pasti bisa menyediakan waktu untuk kegiatan bersama. Tidak perlu masakan yang komplek dan berbahan mahal, cukup nasi goreng sudah bisa meningkatan kebersamaan. Orangtua harus berusaha menginvestasikan waktu demi masa depan anak," kata Ratih.

Memasak bersama memang bukan satu-satunya kegiatan yang bisa menunjukan cinta dan meningkatakan kebersamaan antar keluarga. "Lewat memasak ada hasil instan yang langsung bisa dinikmati seluruh anggota keluarga. Tentu ada kegiatan lain yang juga bisa meningkatkan nilai terikatan antara anggota keluarga,"kata Ratih.

Kegiatan tersebut misalnya membersihkan rumah dan mencuci bersama. Anggota keluarga bisa bermusyawarah terlebih dulu terkait tugas yang akan dilaksanakan. Melakukan kegiatan bersama akan menimbulkan rasa penghormatan dan penghargaan dalam diri anak. Dalam prosesnya, anggota keluarga tidak perlu terlalu berkonsentrasi pada hasil. Ratih mengingatkan untuk menomorsatukan kebersamaan.

Selanjutnya adalah kegiatan olah fisik bersama. Kegiatan ini cukup dilakukan di areal luas dekat rumah yang menungkinkan untuk berlari dan bermain secara outdoor. Olah fisik menjadi alternatif kegiatan yang murah, mudah, dan menyenangkan dilakukan seluruh anggota keluarga.

Contoh kegiatan lain yang menonjolkan kebersamaan adalah kunjungan ke sanak saudara. Selain kebersamaan antar anggota keluaraga, kunjungan juga bisa memperat silahturahim antar saudara lainnya. Cara ini juga bisa mengajarkan anak menghormati keluarga yang lebih tua maupun sesamanya.

Keluarga juga bisa mencoba berwisata bersama untuk meningkatkan kebersamaan. Namun, keluarga sebaiknya memilih tujuan wisata edukatif, dan bukan belanja. Wisata edukatif akan meningkatakan pengetahuan dan kemandirian anak dalam berinteraksi dengan orang lain.

Rm I Ketut Adi Hardana, MSF. 
(Diambil - dengan sejumlah perbaikan redaksional - dari Rosmha Widiyani, Harian Nasional, 22 April 2015, hal C26)

Pengantar

Ledakan populasi penduduk di kota-kota besar, seperti Jakarta menjadi salah satu faktor pendorong bagi tumbuhnya gaya hidup khas masyarakat modern:”childfree”! Kepraktisan hidup, tidak mau repot-repot dengan pelbagai urusan menyangkut banyak hal, termasuk mengurus pihak lain menjadi “ideologi” baru untuk merebut kebahagiaan. Hidup manusia seolah dipenuhi dan “disesaki” oleh kerja dan pemenuhan kebutuhan lainnya, seperti penekunan hobby, perjuangan meraih karier dan perjuangan menuju kesuksesan dalam pelbagai bidang kehidupan lainnya, membuat orang mengambil pilihan: “childfree”. Kehadiran anak, lalu dianggap sebagai penghambat dalam meraih impian tersebut diatas. Selain itu, mentalitas selfisness serta pend-aku-an yang sebetulnya merupakan pengejawantahan dari mentalitas individualisme telah menjadi faktor pendorong atas pilihan “childfree” tersebut.

1. Kota Modern dan Childfree 

Ilustrasi dari www.pulsk.com
Ketika sedang studi dan bekerja di Jerman pada thn 1970-an, seperti ditulis dalam harian Kompas, tgl 12 April 2015, hal 1, Jaya Suparna (66) mulai mengenal terminologi childfree atau pilihan hidup tanpa anak. Kala itu masih abad XX, pilihan untuk tidak mempunyai anak masih menjadi keputusan yang langka. Memasuki abad keXXI, ketika kota-kota besar, seperti Jakarta merangkak menjadi kota modern, makin banyak pasangan memutuskan untuk tidak mempunyai anak. “Saya mulai menyadari bahwa mempunyai atau tidak mempunyai anak pada hakikatnya merupakan pilihan, bukan paksaan. Alasan utama adalah fakta planet Bumi yang overpopulasi, maka saya tidak ingin memperparah masalah tersebut dengan menambah anak”, kata Jaya. Sensus penduduk memperkirakan, jumlah penduduk Indonesia akan meningkat dari 255,5 juta menjadi 305,7 juta jiwa pada tahun 2035. Hal ini tampaknya menjadi pertimbangan bagi mereka yang mengusung “idologi” childfree untuk memilih tidak mempunyai anak.

Kepetusan ini ternyata disetujui sang ayah. Ibunya yang awalnya tidak setujui, kemudian perlahan-lahan bisa diyakinkan bahwa childfree adalah keputusan pribadi terhadap diri sendiri tanpa niat merugikan siapapun. “Saya sendiri adalah anak adoptif yang sangat dicintai dan mencintai. Bagi saya, kasih sayang anak kandung atau anak adoptif sama saja”, tambahnya. Karena tidak mempunyai anak kandung, Jaya berusaha untuk membantu anak-anak miskin dengan mendirikan asrama yatim piatu. Asrama itu sudah tutup karena semua anak asuh sudah selesai sekolah dan bekerja mandiri. Ada yang berwirausaha, ada yang buka bengkel dan beberapa bekerja di PTJamu Jago. Kini, Jaya juga mempunyai banyak anak binaan di Jaya Suprana School of Performing Arts (JSSPArts).

2. Mengurus Anak Orang lain

Di sekolah itu, ia menyediakan kelas angklung untuk anak miskin serta program Racital-Master-Class untuk Pianis muda berbakat kelas dunia, seperti Ade, Jesslyn, Lita, Ryan dan Jennice yang kini sedang studi musik di Amerika Serikat. Salah satu anak binaan kebanggaannya adalah Muhamad Iqbal, pemegang rekor rekaman karya-karya etude MacDowell dan Pianis professional yang tidak pernah mempunyai piano sendiri dan kini menjadi guru kepala bagian pianoforte di JSSPArts. “Mereka semua bukan anak kandung, melainkan anak-anak binaan berbasis kebudayaan. Karena saya sendiri tidak mempunyai anak, saya bisa fokus memperhatikan dan membantu anak orang lain. Hubungan saya dengan anak-anak ini adalah hubungan saling pengertian, saling menghormati dan menghargai tanpa pamrih”, kata Jaya.

3. Rekonstruksi Sosial

Pasangan Wira Dillon (30) dan Citra Dillon (31) juga menemukan kenyamanan ketika mengambil keputusan untuk tidak mempunyai anak, alias childfree. Merasa mantap dengan jalan dan pilihan hidup tanpa anak, Citra sempat sepuluh kali putus pacaran karena tidak menemukan calon pasangan yang  mendukung keputusannya. Beruntung, Citra kemudian bertemu dengan Wira yang ternyata juga mempunyai pilihan dan keputusan yang sama, tidak bersedia punya anak.

Di apartemennya yang mungil di Kalibata City, Citra segera menyodorkan keuntungan dari pilihan ekstrem yang mereka jalani selama enam tahun menikah. Karena tidak mempunyai anak, hidup menjadi praktis. Di apartemen dengan 1 kamar tidur, 1 ruang tamu, 1 kamar mandi dan dapur mini itu, pasangan ini bisa menjalani hidup berkualitas.

Keuntungan lainnya, mereka memiliki lebih banyak waktu bagi diri sendiri. Pengeluaran bulanan menjadi lebih hemat dan bisa menyisakan uang lebih banyak untuk jalan-jalan. Untuk menikmati kelimpahan waktu, Citra memutuskan keluar dari pekerjaan mengajar sejak delapan bulan terakhir dan memilih membuat kerajinan tangan dari bahan kain batik. Wira bekerja sebagai Koordinator program nasional di LSM Pelangi.
Pasangan ini pun berusaha meyakinkan keluarga besar tentang pilihan chilfree yang mereka ambil. Ayah Wira HS Dillon, yang merupakan tokoh hak asasi manusia, berulang-ulang mengajak mereka berdikusi tentang pentingnya anak. “Aku belum pernah seyakin ini dalam hidup. Ini yang aku mau. Semakin dipikir semakin banyak hal yang membuat kurang nyaman memiliki anak”, kata Citra.

Keputusan untuk tidak mempunyai anak juga menjadi bentuk perlawanan dari trauma masa kecil. Sebagai anak sulung dari 5 bersaudara, Citra harus turut merawat adik-adiknya sejak duduk di bangku SD. “Masa kanak-kanakku tidak bahagia. Begitu besar mulai kritis. Masyarakat kita masih stereotip. Perempuan harus menikah, harus mempunyai anak. Aku punya pilihan untuk bahagia, tambahnya.

Pasangan lainnya, Mitha 30) dan Putra (37), bukan nama sebenarnya, juga telah memeutuskan untuk tidak mempunyai anak sejak pacaran. Kesamaan tujuan itu yang menyatukan mereka dalam pernikahan yang telah berjalan 3 tahun. Seringkali, keputusan itu memang berbenturan dengan pandangan umum yang menganggap bahwa mereka egois karena tidak ingin mempunyai anak. “Tubuh perempuan menjadi domain di mana anak dilahirkan. Keputusannya harus dipegang perempuan itu. Tetapi masyarakat terkonstruksi bahwa tubuh perempuan boleh diapa-apain. Kesannya, tubuh itu bukan milik pribadi, tetapi masyarakat. Keputusan harus di tangan yang punya badan. Namun, sayangnya, tidak dikembalikan ke yang punya badan. Aku belajar itu dan merasa nyaman dengan apapun keputusan yang aku ambil”, kata Mitha, seorang dosen.  

4. Panggilan Hidup

Makin banyak jumlah pasangan yang tidak mau punya anak sejak lima tahun terakhir, menurut Psikolog Liza Marielly Djaprie menjadi bagian dari teori belajar sosial. Ketika banyak pasangan memilih untuk tidak punya anak, semakin banyak orang yang akan mengadopsi pemebelajaran itu. Seiring perkembangan zaman, perempuan menemukan pilihan hidup yang lain, tidak harus melahirkan.

Secara alamiah, manusia cenderung mencari kenyamanan, kemudahan dan kepraktisan. Tekanan hidup perkotaan yang semakin tinggi, mahalnya pendidikan anak dan tingginya harga rumah menjadi beberapa alasan yang menjadi pendukung bagi keputusan untuk tidak mempunyai anak. Apalagi, lingkungan sosial perkotaan makin cuek dan individualistis yang membuat orang merasa harus berjuang sendirian dalam mengatasi kerasnya kehidupan kota. Dalam situasi yang demikian, perasaan kurang nyaman serta ketidakmampuan menjalani kehidupan dengan segala tuntutannya itu, menemukan justifikasinya dalam keputusan untuk tidak mempunyai anak.

Kenyamanan itu pula yang diimpikan oleh Intan Febriani sehingga dia memutuskan untuk tidak punya anak dari sejak pacaran. Ia mengaku takut kehilangan hal sederhana, seperti waktu luang untuk membaca buku. Keputusan itu makan menjadi-jadi karena dia aktif dalam kegiatan sosial untuk anak-anak jalanan. Niatnya untuk tidak punya anak semakin diteguhkan ketika melihat banyak anak jalanan yang tidak terurus: “makin enggak mau punya anak, karena melihat banyak anak enggak keurus”, ujar Intan.

Bagi Nuki Adiati, memiliki anak merupakan ikatan seumur hidup yang belum tentu bisa dijalaninya bersama dengan pasangannya. Konsekuensi tanggungjawab yang besar hingga takut terbebani, membuatnya memilih untuk tidak punya anak. “Jumlah manusia ada 7 miliar sekarang. Konon, bumi hanya menampung 11 miliar. Punya anak di zaman ini susah”, tam bahnya.

Sosiolog Universitas Gajah Mada, Arie Sujito mengatakan ada perubahan orientasi dalam melihat reproduksi dan regenerasi. Semakin modern, orang makin melihat dimensi kemanusiaan. Regenerasi tidak lagi dilihat dari akar keluarga bilogis. “Tantangan di kota makin besar, bahkan juga di desa. Populasi penduduk juga semakin besar. Mengurangi beban dan pilihan sadar itu, ke depan makin menjadi tren”, kata Arie.
  
Pengendalian jumlah penduduk oleh pemerintah, kata Arie, harus diiringi perubahan paradigma pembangunan agar tidak terus menerus sentralistik. Pemerintah perlu lebih mendorong lahirnya keluarga berkualitas. “Satu atau dua anak, tetapi berkualitas. Jika tidak punya anak pun tidak menjadi masalah, tetap ada spirit kemanusiaan. Sebagai pilihan, tidak memilih untuk tidak punya anak tidak masalah”, ujarnya.

5. Pemenuhan Panggilan Tuhan
Memang benar, bahwa keputusan untuk memilih punya anak atau tidak, sepenuhnya adalah keputusan suami-istri, tidak seorang pun yang dapat mengintervensi keputusan ini. Sejumlah pertimbangan yang telah disampaikan diatas nampaknya valid untuk dijadikan sebagai justifikasi atas keputusan tersebut. Namun dari sisi lain, adalah benar bahwa pasangan suami istri dipanggil oleh Tuhan untuk menjadi kolaborator dalam penerusan generasi baru. Hal ini sudah ditegaskan dalam sejarah Gereja melalui ajaran yang disampaikan oleh para Bapa Gereja.

Dengan menyediakan diri untuk bekerjasama dengan Sang Pencipta, berarti pasangan suami-istri ikut bekerjasama dengan Sang Pencipta dalam penerusan generasi baru. Oleh karena itu, Gereja menghimbau pasangan suami-istri dengan tetap mempertimbangkan keondisi pribadi masing-masing untuk bersikap murah hati dalam pemenuhan panggilan Tuhan tersebut. Dengan bersikap murah hati, pasangan suami-istri memnuhi dua tanggungjawab. Pertama ambil bagian dalam penerusan generasi baru dan kedua memastikan bahwa masa depan umat manusia akan terus berlangsung karena kehadiran generasi baru yang akan mengambil alih estapet kepemimpinan dalam Gereja dan masyarakat.

Pengalaman dari negara-negara maju dimana warganya menolak untuk punya anak telah mendatangkan masalah ekonomi dan sosial yang sangat serius. Masalah ekonomi karena jumlah pekerja produktif semakin sedikit, sementara jumlah warga pensiun semakin banyak. Dengan demikian akan muncul masalah ekonomi, siapa yang harus menanggung dan membayar warga yang pensiun manakala jumlah pekerja semakin sedikit. Masalah sosial akan muncul, terutama berkaitan dengan gap generation yang terjadi dalam masayarakat.

Tentu saja, situasi demikian ini tidak akan mengntungkan bagi perkembangan suatu masyarakat yang sehat.
Oleh karena itu, tidak mengherankan di negara-negara maju tersebut, seperti Singapura dan negara-negara Scandinavia (Norwegia, Finlandia) memberikan insentif yang besar bagi warganya yang mau punya anak. Tunjangan tidak hanya diberikan untuk kemudahan dan keringan biaya melahirkan, tetapi juga untuk biaya pendidikan serta tunjangan hidup lainnya yang membuat keluarga bisa hidup secara layak sebagai manusia. Semakin banyak punya anak, maka tunjangan yang diberikan juga semakin meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa policy childfree telah ditolak di sejumlah negara karena dampak sosial ekonomi yang ditimbulkannya lebih besar daripada dampak personal.   Rm I Ketut Adi Hardana, MSF.

Pengantar

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mencantumkan batas usia minimal perkawinan untuk perempuan 16 tahun saatnya direvisi karena merugikan dan berdampak luas. Mahkamah Konstitusi mendorong revisi dilakukan lewat DPR. Hal tersebut disampaikan oleh Ketua Mahkamah Konstutusi (MK) Arief Hidayat di Jakarta pada tgl 19 Juni 2015. Sebagai Lembaga Yudikatif, Mahkamah Konstitusi tidak memiliki kewenangan untuk merevisi Undang-Undang Perkawinan tahun 1974; kewenangan itu dimiliki oleh DPR sebagai Lembaga Legislatif atas usulan masyarakat. Oleh karena itu, diusulkan bahwa perubahan itu dapat dilakukan melalui review atau merevisi UU No. 1/1974 tentang Perkawinan.

Keputusan Mahkamah Konstitusi

Ilustrasi dari www.falkhi.com
Seperti diwartakan, Kamis 20 Juni 2015, MK menolak permohonan yang diajukan oleh Yayasan Pemantau Hak Anak, Koalisi Perempuan Indonesia dan sejumlah pribadi yang peduli pada hak perempuan. Mereka meminta MK menguji Pasal 7 Ayat (1) UU Perkawinan, khususnya terkait batas usia perkawinan 16 tahun. MK diminta membatalkan batas usia itu dan menetapkan batas baru menjadi 18 tahun.

Menurut Arief, batas usia kawin untuk perempuan bukanlah permasalahan konstitusionalitas. Penentuan usia 16 tahun atau pun 18 tahun sebenarnya merupakan kebijakan hukum yang terbuka bagi pembentuk undang-undang. Arief berpandangan, permohonan itu lebih tepat diusulkan kepada Presiden atau DPR selaku pemegang kuasa pembuat undang-undang (pemegang kuasa legislatif). Lebih lanjut ditegaskannya, “misalnya, MK menentukan usia kawin yang konstitusional bagi perempuan adalah 18 tahun, maka selamanya di Indonesia perempuan akan kawin pada usia 18 tahun. Tidak bisa diutak-atik lagi”, ujarnya.

Alasan MK memutus bahwa pasal itu masih tetap relevan adalah tiadanya jaminan yang dapat memastikan bahwa dengan ditingkatkannya batas usia perkawinan untuk perempuan dari 16 tahun menjadi 18 tahun, akan semakin mengurangi angka perceraian, menanggulangi permasalahan kesehatan maupun meminimalisasikan permasalahan sosial lainnya. MK juga menolak penambahan usia nikah perempuan, karena di masa depan kemungkinan batas minimal menikah perempuan di usia 18 tahun bukanlah yang ideal.

Tanggapan Atas Keputusan

Koalisi 18 (plus) atau Koalisi Indonesia untuk Penghentian Perkawinan Anak mengkritik sikap delapan orang Hakim Konstitusi yang menolak permohonan uji materi atas UU Perkawinan dengan alasan ketentuan itu merupakan open legal policy, artinya merupakan kebijakan hukum yang bersifat terbuka sehingga perubahan atasnya tetap saja dimungkinkan hanya saja kewenangan untuk perubahan itu ada di tangan Presiden dan DPR selaku pemegang kuasa pembentuk undang-undang. Sebagian besar Hakim MK berpendapat bahwa di sejumlah negara batas usia bagi perempuan untuk menikah beraneka, mulai dari 17, 19 dan 20 tahun. Namun, dalam keputusan itu, keputusan MK tidak bulat. Satu Hakim Konstitusi, Maria Farida Indrati mengajukan dissenting opinion (pendapat berbeda). Maria menyatakan bahwa usia 16 tahun dalam UU Perkawinan dalam Pasal 7 Ayat 1 telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan melanggar hak-hak anak yang diatur dalam Pasal 1 Ayat 3, Pasal 24b Ayat 2, Pasal 8c Ayat 1 UUD 1945 (Kompas, 24 Juni 2015, hal 6).

Putusan MK ini menuai kritik dari pegiat LSM yang menyatakan bahwa melalui keputusan itu berarti negara membiarkan adanya potensi anak perempuan mengalami kematian dan kecacatan sebagai risiko dari perkawinan usia dini serta melahirkan pada usia anak-anak. Sangat banyak anak perempuan putus sekolah, kesehatan reproduksi sangat buruk, angka kematian ibu dan anak sangat tinggi. Lebih lanjut perlu ditegaskan bahwa kesetaraan antara perempuan dan laki-laki tidak akan pernah terjadi kalau anak-anak perempuan terjebak dalam aturan hukum yang memperbolehkan mereka menjadi korban perkawinan anak-anak. Lebih lanjut ditegaskan bahwa keptusan ini dinilai telah mengandaskan mimpi anak Indonesia untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi. Bahkan, Ketua Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Sarsanto W Sarwono menyatakan keputusan MK ini bisa diartikan “Negara juga berperan melegalkan praktik pedofilia”

Batasan Akil Balig

Menanggapi keputusan MK yang bersifat final dan binding itu, kiranya baik untuk memahami secara lebih mendalam pengertian akil balig yang nampaknya dijadikan sebagai salah satu alasan dalam penetapan usia 16 tahun itu. MK dalam pertimbangannya menyatakan bahwa hukum Islam tidak mengenal batasan usia untuk wanita atau pria untuk menikah. Yang ada hanya batasan akil balig. Usia akil balig ditandai oleh kenyataan bahwa wanita telah datang bulan (haid) dan pria telah mimpi basah (mengeluarkan sperma). Dalam penalaran MK, usia 16 tahun adalah usia yang akil balig untuk wanita, demikian 18 tahun untuk pria. Bagaimana dengan kenyataan dewasa ini, dengan asupan gizi yang baik, perempuan sudah mengalami menstruasi (haid) pada usia 12 tahun, artinya 4 tahun lebih awal daripada usia yang dipahami oleh MK. Apakah usia 12 tahun sudah dapat dianggap sebagai usia akil balig?

Secara filosofis, akil balig tidak semata-mata dimaknai sebagai kematangan jasmaniah, melainkan juga matang secara rohani, sehingga mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Apakah ada jaminan bahwa kematangan jasmaniah akan diikuti oleh kematangan jiwa? Secara sosiologis kita dapat melihat adat budaya tertentu di Nusantara yang menuntun bagaimana orangtua mengawinkan anaknya. Dalam budaya Jawa, misalnya, sudah ratusan tahun orang Jawa, khususnya Jawa Tengah memiliki prinsip kapan mereka layak mengawinkan anak. Mereka akan mengawinkan anak bila telah “kuat gawe”.

Kuat gawe secara induktif-kualitatif diartikan bahwa perempuan dan laki-laki yang hendak dikawinkan telah dinilai kuat raga, jiwa dan benda (harta benda). Kuat raga berarti kuat bekerja dan secara jasmani telah matang dalam berhubungan suami-istri (hubungan seksual). Kuat jiwa menunjukkan kematangan mental dalam berhubungan dengan istri, keluarga istri serta mampu bertetangga yang baik (rukun tetangga). Kuat benda berarti mampu menjamin kelangsungan keluarga secara ekonomi, yaitu memiliki pegawean atau pekerjaan sebagai sumber nafkah.

Ketiga kekuatan inilah yang terus dibina oleh orangtua zaman dulu kepada anak-anaknya meski mereka tidak mengenyam pendidikan, alias buta huruf. Semula, mereka tidak memasok angka tertentu untuk menilai apakah anaknya sudah layak kawin atau belum. Hingga pada tahun 1974, karena tuntutan kepastian hukum, Presiden dan DPR menetapkan batas usia wanita dan pria untuk menikah, yakni 16 tahun untuk wanita dan 19 tahun untuk pria melalui UU No1/1974 tentang Perkawinan, karena ketika itu dengan batas usia perkawinan seperti itu dinilai bahwa wanita dan pria telah “kuat gawe”.

Fakta Perkembangan dan Perubahan

Kini, UU No 1/1974 tentang Perkawinan sudah berlalu selama 41 sejak ditetapkannya. Kita sadar dan membenarkan perkataan Heraclitus bahwa dunia ini pantareich, begerak, beringsut, tanpa pernah henti menuju kepada suatu perubahan dalam berbagai bidang dan dimensi. Fakta dan perkembangan serta tuntutan masyarakat secara dinamis terus berubah maju secara progresif. Demikian halnya dengan hukum. Hukum pun dituntut untuk bertsifat maju secara progresif dalam menanggapi fakta, perkembangan dan tuntutan masyarakatnya. Bila tidak, hukum akan ditinggalkan dan tidak akan dipedulikan oleh masyarakat. Dengan tetap bersikukuh mempertahankan angka 16 dan 19 untuk batas usia perkawinan sebagaimana termaktub dalam Pasal 7 Ayat (1) dan (2) serta menolak usulan usia 18 dan 20 tahun untuk batas usia perkawinan, sama artinya MK melawan adanya fakta, perkembangan serta perubahan yang terjadi dalam masyarakat.

Bila MK menyatakan bahwa tidak ada jaminan yang dapat memastikan bahwa dengan ditingkatkannya batas usia kawin untuk perempuan 18 tahun dan pria 20 tahun akan kian mengurangi angka perceraian, menanggulangi permasalahan kesehatan, maupun meminimalkan permasalahan sosial lain, maka pertanyaan yang sama dapat dibalik: “apa salahnya jika batas usia itu dinaikkan dari 16 dan 19 ke 18 dan 20 tahun? Apakah jika hal itu dilakukan ada pelanggaran moral, etika, agama atau hukum? Apakah perkembangan yang demikian masif di bidang pendidikan, kesehatan serta perlindungan anak dan kesejahteraan sosial tidak cukup menjadi bukti bahwa perkawinan yang dilaksanakan dalam usia 16 dan 19 adalah perkawinan yang terlalu dini, baik secara kualitiatif maupun kuantitatif dan diprediksi akan melahirkan kualitas generasi yang lemah, karena pada kenyataannya pada usia itu mereka belum “kuat gawe” sebagaimana filosofi perkawinan menuntut.

Di sini dan pada sisi ini kita dapat menilai bahwa MK kurang peka dan kurang progresif dalam mengambil keputusan berkaitan dengan penetapan usia perkawinan. Semua fakta serta perkembangan yang terjadi seolah-olah dikesampingkan demi “kesetiaan buta” terhadap hukum yang ada. Bukankah, seperti dikatakan oleh para bijak, hukum bertujuan untuk mensejahterakan masyarakat dan bukan sebaliknya menempatkan masyarakat dalam situasi yang sulit? Bila hukum menyimpang dari raison d'être, maka hukum itu sudah kehilangan legitimasinya untuk ditaati oleh masyarakat dan karena itu tidak mempunyai kekuatan yang bersifat mengikat untuk diterapkan dalam hidup bermasyarakat.    

Perlindungan Terhadap Perempuan

Supriyadi Widodo Eddyono dari Koalisi 18 (plus) mengatakan, putusan ini tidak konsisten dengan putusan sebelumnya terkait dengan pengujian UU Pengadilan Anak tahun 2010. Ketika itu, MK dapat mengubah batas bawah usia anak bisa dikenai pidana dari 8 tahun menjadi 12 tahun. Dalam putusan itu, MK menilai perlu penetapan batas umur guna melindungi hak konstitusional anak. Guru besar Hukum dan Masyarakat Universitas Diponogoro, Sutekti berpendapat, sudah waktunya Pasal 7 UU Perkawinan direvisi. Pasal itu bertentangan antara lain dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak serta pasal-pasal lain dalam UU Perkawinan yang menyatakan perkawinan harus dilakukan oleh sepasang calon mempelai yang matang jiwa-raga dan rohani. Menetapkan usia perkawinan pada usia 16 tahun seperti yang termuat dalam UU Perkawinan tahun 1974 jelas menisbikan ketetapan yang diatur dalam UU Prindungan Anak.

Lebih lanjut ditegaskan, bahwa dari sisi sejarah, ketika UU Perkawinan dibuat pada tahun 1974, masyarakat Indonesia masih menargetkan anak untuk bekerja. Anak sudah dianggap matang pada usia 16 tahun karena sudah mengalami pubertas. Akan tetapi, zaman sekarang, standard usia itu tidak relevan karena terbukti secara psikologis remaja belum bisa berpikir jernih dan mampu mengambil keputusan secara bertanggungjawab. Untuk menjawab perubahan tersebut, hukum pun seharusnya mengikuti perubahan yang terjadi, sebab hukum yang baik harus bersifat progresif, yakni disesuaikan dengan perkembangan zaman dan kebutuhan sosial masyarakat.

Dampak Luas

Upaya menaikkan batas usia minimal perkawinan perempuan diharapkan dapat melindungi anak perempuan dari pernikahan dini. Pernikahan usia dini dapat mencerabut hak pendidikan dan hak kesehatan reproduksi anak perempuan. Pernikahan dini juga berdampak buruk bagi pembangunan sumber daya manusia dan memunculkan masalah kependudukan. Berdasarkan data penelitian Pusat Kajian Gender dan Seksualitas Universitas Indonesia tahun 2015, terungkap angka perkawinan dini di Indonesia berada pada peringkat kedua teratas di kawasan Asia Tenggara. Sekitar 2 juta dari 7,3 juta perempuan Indonesia berusia di bawah 15 tahun sudah menikah dan putus sekolah. Jumlah itu diperkirakan naik menjadi 3 juta pada tahun 2010.

Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Budi Wahyuni menjabarkan dari kasus-kasus yang ditangani, umumnya orangtua menganggap anak bisa melanjutkan pendidikan setelah menikah dengan mengikuti Kejar Paket A, B dan C. Kenyataannya, anak yang menikah sudah terlalu lelah untuk ikut sekolah karena seluruh tenaga dan waktu habis terserap untuk mengurus keluarga. Direktur Pendidikan Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional, Subandi Sardjoko mengatakan menaikkan batas minimal usia perkawinan berarti turut membantu anak mendapatkan pendidikan dan mengikuti wajib belajar seperti yang dituntut oleh pihak Pemerintah. Perkawinan usia dini merupakan salah satu faktor penyebab anak putus sekolah.

Ledakan Penduduk

Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, Surya Chandra Surapaty menjelaskan dari sisi kesehatan. Dijelaskan bahwa leher rahim remaja perempuan masih sensitif, sehingga jika dipaksakan hamil berisiko menimbulkan kanker leher rahim di kemudian hari. Selain itu, risiko kematian saat melahirkan pada usia muda juga besar. Survey demografi dan Kesehatan Indonesia tahun 2012 menunjukkan, 48 orang dari 1000 remaja putri usia 15-19 tahun sudah melahirkan.

Mantan Direktur Eksekutif Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia, Inang Winarso menambahkan bahwa perkawinan di usia anak dengan sendirinya memperpanjang usia reproduksi serta meningkatkan peluang perempuan untuk lebih sering hamil. Jika tidak dikendalikan, jumlah rata-rata anak per perempuan usia subur Indonesia yang pada 2001-2012 stagnan di angka 2,6 akan sulit untuk diturunkan. Tingginya jumlah kelahiran mempersulit negara meningkatkan kualitas penduduk. Kondisi tersebut  mengancam peluang Indonesia yang saat ini memasuki bonus demografi untuk melompat menjadi negara maju. Syarat untuk meraih bonus demografi itu antara lain penduduknya harus berkualitas dan keterlibatan kaum perempuan dalam pasar kerja harus semakin meningkat.

Grand Design Usia Perkawinan

Dari kenyataan tersebut diatas, kita mesti memiliki grand design untuk mengatur secara harmonis apa dan bagaimana usia dewasa yang “kuat gawe”, artinya yang pantas dan mampu mengemban tanggungjawab dalam kehidupan berkeluarga. Untuk menjaga martabat perempuan, batas usia perkawinan mesti progresif terhadap fakta, perkembangan serta tuntutan masyarakat. Peremuan adalah saka guru negara yang menentukan kelangsungan dan kualitas hidup suatu negara. Bila kualitas perempuan buruk atau rendah, negara akan mengalami nasib yang buruk serta kehidupan yang tidak berkualitas; sebaliknya, kualitas kaum perempuan  yang baik akan menjamin kemasyuran suatu negara.

Kapan lagi kita harus mulai melindungi kondisi perempuan dari keterpurukan akibat perkawinan usia dini, menjamin pendidikan yang memadai serta memenuhi haknya untuk sejahtera? Kita hormati keputusan MK, namun kita harus dan tetap melawan pernikahan dini di usia 16 dan 19 tahun itu. Hakim Maria Farida Indrati yang berpendapat lain tidak berarti salah berhadapan dengan Hakim-Hakim lainnya yang menolak menaikkan batas usia perkawinan. Boleh jadi di kemudian hari, pendapat hakim Maria yang terbukti benar.
 
Penutup

MK telah memutuskan bahwa permohonan untuk peninjauan kembali atas UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang diajukan oleh sejumlah kalangan: LSM, Pemerhati hidup Perkawinan, kelompok yang bergerak dalam hal perlindungan anak ditolak. Dengan ditolaknya permohonan ini berarti secara hukum dilegalkan akan terjadinya perkawinan usia dini di kalangan masyarakat Indonesia: 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk pria.

Dari sisi sosial, psikologis dan biologis, usia semacam itu masih dianggap usia berisiko untuk melangsungkan perkawinan karena secara psikologis, bahkan secara biologis pun orang belum sungguh mencapai kematangan untuk melangsungkan perkawinan dan membangun keluarga dengan segala tuntutannya. Oleh karena itu, kita harus secara aktif melakukan sosialisasi mengenai dampak negatif dari perkawinan usia dini bagi kehidupan keluarga dan kualitas generasi yang akan datang. Peranan tokoh-tokoh masyarakat serta pemerhati kehidupan keluarga menjadi penting dalam upaya sosialisasi tersebut, sehingga dampak negatif perkawinan usia dini dapat diminimalisir. (Rm I Ketut Adi Hardana, MSF).

Pada tgl 16-17 Maret diadakan pertemuan Forum Pemerhati Keluarga yang ke-6, bertempat di Pusat Pendampingan Keluarga MSF, Jl. Guntur, No. 20, Semarang. Hadir dalam pertemuan ini, sebanyak 75 orang peserta yang terdiri dari: Ketua-Ketua Komisi Keluarga Keuskupan yang dipercayakan kepada MSF (Banjarmasin, Jakarta, Palangka Raya, Pangkal Pinang dan Semarang). Selain itu, juga hadir para Romo MSF, Projo, SJ dari paroki-paroki Kevikepan Semarang dan Solo beserta kaum awam pemerhati keluarga bersama sejumlah Biarawati.

Pertemuan dimulai pada Pk. 17. 30 WIB dengan menghadirkan Nara Sumber, Uskup Agung Jakarta, Mgr. Ign. Suharyo. Beliau secara khusus diundang untuk membagikan oleh-oleh dalam mengikuti Sinode Luar Biasa tentang Keluarga dengan Tema: “Tantangan-tantangan Keluarga Dalam Konteks Evangelisasi, yang berlansgung di Roma, dari tanggal 5 – 20 Oktober 2014 yang lalu. Sinode ini menjadi luar biasa, karena dihadiri oleh Ketua-Ketua Konferensi Wali Gereja sedunia (ex-officio), beserta sejumlah undangan khusus, para ahli dan pengamat. Dalam sinode ini disampaikan beberapa hal yang menjadi gambaran umun yang dihadapi oleh keluarga-keluarga di seluruh dunia, seperti: kemiskinan, migrasi, kekerasan dalam rumah tangga, perpisahan yang  berlanjut kepada “perceraian” sipil yang pada akhirnya membuat pasutri hidup dalam situasi yang tidak biasa, kekerasan terhadap perempuan beserta perlakuan tidak adil yang mendahuluinya, perkawinan homosexual, single parents dengan hak untuk mengadopsi anak dan perkawinan beda agama.

Selain itu juga dipaparkan mengenai situasi budaya kontemporer yang semakin menegaskan dirinya sebagai budaya individualisme yang membawa dampak dan pengaruh yang kuat bagi “pembangunan” keutuhan keluarga. Manakala budaya ini sudah menguasi keluarga dan hati setiap orang, maka kan sulit untuk menemukan titik temu dan kompromi dalam hidup bersama. Hidup dalam keluarga adalah hidup yang ditandai oleh kesediaan untuk menemukan titik temu atau berkurban bagi kepentingan keluarga dan siap melakukan kompromi bagi kebaikan bersama.

Budaya individualisme, pada gilirannya mendorong kepada sikap dimana orang pada akhirnya hanya mau mencari dan memenuhi apa yang menjadi keinginan pribadinya. Dengan pola pikir semacam ini, maka sangat sulit untuk membangun dan mempertahankan suatu komitmen dalam hidup bersama. Kehidupan keluarga adalah salah satu bentuk dimana komitemn dari kedua belah pihak diperlukan. Komitmen, hanya mungkin bisa dilakukan jika orang rela dan bersedia untuk “berbagi” dan mengedepankan kepentingan bersama sebagai tujuan yang hendak dicapai secara bersama. Sayang sekali sikap individualisme telah mengikis nilai-nilai yang diperlukan untuk “pembangunan” sebuah komitmen dalam hidup perkawinan dan keluarga.

Ilustrasi dari korannonstop.com
Lebih lanjut disampaikan oleh Mgr. Suharyo bahwa berhadapan dengan situasi iregularitas dari pasangan-pasangan Katolik, Gereja mengalami kesulitan dalam menentukan sikap bersama. Ada pihak yang dengan sangat keras menentang segala bentuk ”kemurahan”: (pemberian komuni kudus, sakramen tobat pada saat-saat khusus) yang dapat diberikan kepada pasangan-pasangan demikian itu dengan argumentasi bahwa “kemurahan” semacam itu akan menjungkirbalikan doktrin dan ajaran Gereja tentang perkawinan yang sudah diperhankan berabad-abad lamanya. Posisi semacam ini, terutama muncul dari kalangan para Uskup Afrika dan sejumlah Uskup dari negara lain yang dikategorikan sebagai pihak konservatif. Mencoba mencari terobosan-teobosan baru dalam rangka membantu keluarga-keluarga yang hidup dalam situasi yang iregularitas itu tanpa mengkhianati kebenaran dan ortodoksi ajaran Gereja justru dianggap sebagai tindakan yang membahayakan eksistensi Gereja.

Meskipun tidak secara langsung dapat dikatakan bahwa Sinode Keluarga ini mempersiapkan Pertemuan Keluarga Mondial, namun demikian permasalahan tentang keluarga yang dibicarakan dalam Sinode ini pasti akan memberikan inspirasi dalam Pertemuan Keluarga Mondial thn 2016. Dengan demikian secara amat terbatas dapat dikatakan bahwa Sinode Keluarga ini dapat dipandang sebagai persiapan untuk pelaksanaan Peretemuan Keluaga Mondial 2016 yang akan datang.

Beberapa isue menonjol yang dibicarakan selama sinode luar biasa ini antara lain yang kiranya juga akan dibahas dalam Pertemuan Keluarga Mondial antara lain:

1. Kesetiaan Suami-Istri. 
Tantangan besar yang dihadapi oleh keluarga dewasa ini adalah menyangkut soal kesetiaan dalam kasih antara suami-istri. Sudah bukan rahasia lagi bahwa cukup banyak pasangan Katolik pisah dan memilih hidup dengan pasangan baru. Janji kesetiaan yang diucapkan pada waktu melangsungkan perkawinan ternyata tidak mampu dipelihara dan dihayati dengan baik dalam keseharian hidup. Dan yang mengherankan bahwa kebersamaan hidup dengan pasangan baru justru memberikan kebahagiaan yang lebih dibandingkan dengan pasangan sebelumnya.

2. Iman yang semakin Lemah
Iman yang semakin lemah, sikap acuh tak acuh terhadap nilai-nilai sejati, sikap individualisme yang semakin menguat dimana segala sesuatu diukur dari sudut pandang individu, pada akhirnya mengarahkan orang kepada sikap relativisme. Pola pandang semacam ini, yang merelatifkan semua hal, termasuk kebenaran iman dan moral, pada kahirnya akan mengarahkan orang untuk membangun tatanan moral berdasarkan pandangan pribadi semata, dengan demikian menolak semua hal atau pandangan lain yang tidak sesuai dengan pandangan pribadinya. Sikap semacam ini, tentu saja membahayakan tatanan nilai dan moralitas yang sudah diakui dan dihidupi secara bersama dalam suatu masyarakat.
Iman sebagai salah satu tatanan nilai yang ditawarkan dari luar termasuk hal yang sulit untuk diterima dan dihayati dalam hidup pribadi. Kalaupun diterima, lebih sebatas ritualitas belaka yang baik untuk dilakukan sebagai penegasan atas identitas personal dan komunal, tetapi miskin pemaknaan dan penghayatan pribadi. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila iman tidak membawa dampak atau pengaruh dalam kehidupan pribadi maupun komunal.  

3. Kemiskinan Relasi
Relasi yang semakin miskin dan tekanan hidup yang tidak menyisakan waktu untuk merenung, mempengaruhi juga hidup keluarga. Tidak jarang terjadi krisis perkawinan yang seringkali dihadapi dengan tergesa-gesa, tidak sabar memberi waktu untuk merenung, berkurban dan saling memaafkan. Kegagalan ini membuka pintu untuk terjadinya relasi-relasi baru, hidup dengan pasangan baru yang didasarkan pada ikatan sipil semata dan kemungkinan terjadinya perkawinan baru dengan pasangan baru. Dengan semua situasi tersebut, keluarga-keluarga dimasukkan kedalam keadaan yang semakin kompleks dan penuh masalah untuk dapat mengambil keputusan secara Kristiani dan bertanggungjawab.

4. Beban Keluarga
Diantara tantangan-tantangan tersebut diatas, juga terpikirkan mengenai beban yang ditimpakan kepada keluarga-keluarga oleh penderitaan hidup itu sendiri. Penderitaan yang dapat muncul karena adanya anak yang berkebutuhan khusus, sakit berat, melemahnya kesadaran karena usia lanjut serta kematian orang yang dikasihi. Meski demikian, patut digarisbawahi kesetiaan sekian banyak keluarga yang menghadapi cobaan-cobaan ini dengan keberanian, pengurbanan, iman dan kasih. Mereka tidak memandangnya sebagai beban yang ditimpakan ke atas mereka, tetapi sebagai sesuatu yang diberikan kepada mereka, sambil memandang Kristus yang menderita dalam kelemahan jasmani. Dalam arti ini, keluarga yang demikian telah berhasil mengatasi beban hidup itu dan bahkan telah mampu mengubahnya menjadi berkat dalam kehidupan mereka. Beban dan penderitaan yang dialami tidak membuat keluarga semakin lemah, justru sebaliknya, menguatkan dan memampukan mereka untuk mengubah penderitaan itu menjadi berkat bagi hidup mereka.

5. Pemujaan Uang
Para Bapa Sinode juga berpikir mengenai kesulitan-kesulitan yang diakibatkan oleh sistem ekonomi, yang tidak mendatangkan kesejahteraan bagi keluarhga-keluarga, tetapi sebaliknya, justru kemiskinan. Sistim ekonomi yang bersifat impersonal, yang tidak memiliki tujuan manusiawi sejati” seperti ditegaskan oleh Paus Fransiscus dalam Evangelii Gaudium, no. 55 telah merendahkan martabat pribadi manusia dan pada gilirannya keluarga-keluarga. Pemujaan uang dan kediktatoran ekonomi yang sedang berkembang pesat dewasa ini telah menisbikan nilai-nilai luhur manusia sebagai citra Allah dan mendegradasikannya sebatas komoditi yang laku dijual.

Dalam kaitan dengan ini, perlu digarisbawahi meluasnya praktik prostitusi yang dijalankan dalam bentuk profesional dan teroganisir oleh-oleh oknum tertentu, khususnya di kalangan negara-negara berkembang dan telah mendatangkan penderitaan dan korban untuk begitu banyak anak-anak. Senada dengan itu, human trafficking-perdagangan manusia juga marak terjadi dan melibatkan aparat pemerintahan. Perempuan-perempuan mengalami kekerasan serta eksploitasi.

Demikian halnya dengan anak-anak yang dilecehkan oleh orang-orang yang seharusnya melindungi dan menjamin perkembangan mereka. Fenomen tersebut mau menegaskan dalil yang telah disampaikan oleh Bapa Suci Fransiscus bahwa pemujaan terhadap uang yang sedemikian kuat telah menisbikan dan merelativirkan nilai-nilai dasariah manusia: hormat terhadap martabat manusia dan kesucian perkawinan serta keluhuran sexualitas manusia.

6. Kesulitan Pekerjaan
Para Bapa Sinode juga memberikan perhatian khusus kepada keluarga-keluarga yang tidak mempunyai pekerjaan tetap. Konsekuensi yang muncul dari situasi itu, bahwa keluarga-keluarga semacam itu, bahkan tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar untuk anggota keluarga mereka.  Lebih lanjut, situasi yang demikian itu tentu membawa konsekuensi yang lebih jauh. Konsekuensi logis yang muncul dari situasi itu, tidak hanya membawa dampak jangka pendek berupa tidak terpenuhinya hak-hak dan kebutuhan dasar bagi suatu keluarga: pangan, sandang dan papan; tetapi juga membawa pengaruh yang serius untuk masa depan anak-anak.

Karena ketiadaan biaya, pendidikan anak-anak akan terbengkalai. Pada gilrannya hal ini akan menciptakan suatu “lingkaran setan” bagi kesejahteraan segenap anggota keluarga. Kita selalu meyakni bahwa pendidikan adalah pintu masuk (entry point) menuju kepada suatu perubahan, termasuk didalamnya kesempatan untuk mengubah masa sekarang yang dinilai kurang baik ke arah yang lebih baik. Tidak mengherankan dalam situasi semacam itu, orang-orang muda memandang ke masa depan dengan harapan kosong dan rentan menjadi korban obat bius dan kejahatan.

Situasi kemiskinan yang dialami oleh keluarga-keluarga kerap memaksa mereka harus berangkat dengan transportasi seadanya, dengan perahu untuk mencapai pantai negara lain yang dianggap lebih menjanjikan untuk kehidupan yang lebih baik. Ribuan jumlah keluarga-keluarga semacam itu yang mempertaruhkan hidup mereka. Ada yang berhasil mencapai negara “impian” dan berhasil “mengubah” hidup dan masa depan mereka; tetapi, tidak terbilang pula jumlahnya yang menjadi korban ganasnya badai dan ombak yang dahsyat, sehingga tidak pernah sampai menginjakkan kakinya di negeri impian. Selain itu, tidak terbilang jumlah para pengungsi yang mengembara di padang gurun tanpa harapan, akibat dari peperangan yang berkepanjangan di negara masing-masing. Mereka terhempas dari lingkungan keluarga dan budaya yang selama ini memberikan rasa aman dan kenyaman.  

7. Keluarga yang Mengalami Penganiayaan Iman
Situasi yang mirip juga dialami oleh keluarga-keluarga yang dianiaya karena iman, karena nilai-nilai kemanusiaan dan harta rohani yang mereka yakini. Situasi yang demikian itu, secara khusus dialami oleh keluarga-keluarga yang hidup di negara-negara yang menganut sistim pemerintahan otokrasi atau semi otokrasi yang menempatkan agama kelompok mayoritas sebagai agama negara dengan konsekuensi menjadikan warga minoritas sebagai warga negara kelas dua dengan segala bentuk perlakuan yang diskriminatif. Hak-hak dasar dan kebebasan mereka untuk beribadah dan menjalankan kewajiban keagamaan kerapkali terhalang atau sengaja dihalangi oleh pihak penguasa. Situasi yang demikian itu, tentu saja tidak menguntungkan bagi kelompok minoritas.

Selain itu, perlakuan diskriminatif karena perbedaan keyakinan juga merambah dalam dunia pekerjaan dan pendidikan. Kerapkali karena keyakinan yang berbeda dengan kelompok mayoritas, mereka mengalami kesulitan dalam menemukan pekerjaan dan terhalang dalam menempuh pendidikan. Walaupun tidak ada relasi yang bersifat langsung antara pekerjaan dengan iman, sebab pekerjaan mensyaratkan pendasarannya pada kemampuan/kualifikasi dan kompetensi, dan bukan pada pilihan atas keyakinan keagamaan tertentu; namun dalam realita, pecampuradukan semacam itu sungguh terjadi dan kerap dijadikan sebagai justifikasi atau pembenaran untuk perlakukan diskriminatif. Menjadi kelompok minoritas di negara-negara semacam ini, sungguh dialami sebagai kenyataan yang menyakitkan.  

8. Keluarga dan Budaya Kesejahteraan 
Budaya kesejahteraan yang menguasai dunia dewasa ini, di satu sisi menawarkan begitu banyak bentuk kenyamanan dan kesejahteraan kepada keluarga-keluarga; namun dari sisi lain, budaya yang sama telah mematikan perasaan kita. Kita bergairah ketika pasar menawarkan sesuatu yang baru untuk dibeli; namun pada saat yang sama, mereka yang hidupnya terhambat karena kurangnya kemampuan dan kesempatan untuk dapat membeli dan memilikinya, tawaran-tawaran itu tampak hanya sekedar sebuah tontonan belaka yang baik untuk dipandang tetapi terlalu “jauh” untuk dapat diraih. Oleh karena itu, budaya semacam itu ternyata tidak mampu menggerakkan hati keluarga-keluarga yang secara ekonomi tidak tergolong kedalam keluarga yang berada (bdk.Evangelii Gaudium 54).

Berhadapan dengan situasi yang demikian itu, para Bapa Sinode menghimbau pemerintah-pemerintah dan organisasi-organisasi internasional untuk mempromosikan hak-hak keluarga, memberikan perlindungan dan bantuan finansial agar keluarga dapat memenuhi kebutuhan dan kewajiban dasarnya sebagaimana yang diamanatkan oleh St. Joh Paul II, yakni menjadi “komunitas cinta” (bdk. Familiaris Consortio, no. 18).

9. Gereja sebagai “Rumah” dan Pancaran Cahayanya
Berhadapan dengan situasi yang demikian itu, Gereja diharapkan mampu menjadi sebuah “rumah” dengan pintu yang selalu terbuka untuk menyambut semua orang, tanpa mengecualikan seorang pun, sebagaimana yang diamanatkan oleh Kristus. Dalam kaitan dengan hal ini, patut untuk digarisbawahi peranan dari para Gembala, kaum awam, dan komunitas-komunitas yang senantiasa siap untuk mendampingi pasangan-pasangan dan keluarga-keluarga yang berada dalam kesulitan serta merawat “luka-luka” mereka. Mereka hadir, ibaratnya seperti seorang ibu yang selalu siap memberikan kesejukan, kenyamanan dan perlindungan bagi anak-anaknya manakala situasi menuntut Gereja harus bertindak demikian.

Dalam kehangatan yang demikian, dapat diharapkan bahwa keluarga-keluarga masih mampu memancarkan cahayanya. Cahaya tersebut bersinar dari rumah di  kota-kota, di kediaman-kediaman sederhana pinggiran-pinggiran kota dan desa-desa, dan bahkan dalam gubuk-gubuk belaka. Cahaya ini adalah karunia, rahmat yang terungkap – sebagaimana dikatakan Kitab Kejadian (2:18) –  ketika keduanya “bertatap muka” sebagai pribadi yang setara dan sebagai penolong satu bagi yang lain.

Kasih pria dan wanita mengajarkan kepada kita, bahwa masing-masing membutuhkan pasangannya agar dapat menjadi diri sendiri. Masing-masing tetap berbeda dari yang lain dalam jati dirinya, yang membuka diri dan mengungkapkan diri sebagai anugerah timbal balik. Inilah yang dikidungkan oleh sang pengantin dalam Kidung Agung : “Kekasihku kepunyaanku, dan aku kepunyaan dia… Aku kepunyaan kekasihku, dan kepunyaanku kekasihku” (Kid 2:16; 6:3).

“Perjalanan” menuju kepada pemberian diri ini – agar menjadi otenteik – dimulai dengan pacaran, sebagai saat penantian dan persiapan. Perjumpaan ini terjadi secara penuh dalam sakramen di mana Allah menetapkan meterai-Nya, dan menyatakan kehadiran serta rahmat-Nya. Perjalanan ini juga mencakup seksualitas, kelembutan, keintiman, dan keindahan yang mampu berlangsung lebih lama daripada daya dan kesegaran kaum muda. Kasih, dari kodratnya, terarah untuk menjadi selamanya hingga titik memberikan hidupnya bagi orang yang dikasihi (bdk. Yoh 15:13). Dalam terang ini kasih suami-istri, yang adalah satu dan tak terpisahkan, bertahan meskipun banyak kesulitan karena keterbatasan manusia. Kasih seperti ini adalah satu dari antara mukjizat yang paling indah meskipun juga yang paling umum.

Kasih ini menyebar melalui kesuburan dan kesediaan untuk melahirkan, yang tidak hanya berarti kelahiran anak-anak, tetapi juga karunia hidup ilahi dalam baptisan, katekese, dan pendidikan mereka. Ini mencakup kemampuan untuk memberikan hidup, kasih sayang, dan nilai-nilai – pengalaman yang mungkin bahkan bagi mereka yang belum mampu melahirkan anak-anak. Keluarga-keluarga yang menjalani petualangan penuh cahaya ini menjadi sebuah tanda bagi semua orang, terutama bagi kaum muda.

10. Kehadiran Allah dan Tanggungjawab Keluarga
Dalam perjalanan yang kadang-kadang seperti mendaki jalur pegunungan,  dengan kesulitan-kesulitan dan kegagalan-kegagalannya,  Allah selalu hadir dan menemani. Keluarga mengalaminya dalam kasih sayang dan dialog antara suami dan istri, antara orang tua dan anak-anak, antara saudara laki-laki dan saudara perempuan. Keluarga mengalaminya dalam mendengarkan bersama Sabda Allah dan dalam doa bersama – sebuah oase rohani yang harus diciptakan beberapa saat setiap hari.

Untuk itu, kepada segenap anggota keluarga dibebankan tugas dan tanggungjawab sehari-hari untuk pembinaan iman, hidup “baik” dan “indah” sesuai dengan Injil serta pembinaan menuju kepada kesucian. Para kakek-nenek seringkali juga ikut menjalankan tugas ini dengan penuh kasih sayang dan dedikasi. Keluarga dengan demikian merupakan “Gereja rumah” sejati yang meluas hingga menjadi keluarga yang terdiri dari keluarga-keluarga dan merupakan komunitas gerejani. Dengan demikian, suami-istri Kristiani dipanggil untuk menjadi guru-guru iman dan guru-guru kasih bagi para suami-istri muda.

Sebagai realita yang terbuka bagi semua pihak, Gereja pun diharapkan berperan nyata dalam membangun kasih persaudaraan, menjalankan karya amal, berada pada pihak mereka yang paling kecil, terpinggirkan, miskin, kesepian, sakit (option for the poor), orang-orang asing, dan keluarga-keluarga yang berada dalam krisis. Kedekatan dan sikap amal kasih komunitas Gereja, bukan tanpa dasar. Sabda Tuhan dengan sangat jelas menegaskan perihal kerelaan untuk berbagi dengan sesama daripada kehendak untuk menerima dan memperoleh keuntungan dari pihak lain. “Adalah lebih berbahagia memberi daripada menerima” (Kis 20:35). Yang dimaksudkan di sini adalah pemberian yang berwujud barang, persahabatan, kasih dan kamurahan hati, kesaksian terhadap kebenaran, terang, dan makna hidup yang pada gilirannya mampu mendorong orang lain untuk menempuh “peziarahan” hidup yang sama.
 
11. Ekaristi dan Keluarga
Puncak yang mencakup dan menyatukan semua unsur persekutuan dengan Allah dan sesama adalah Ekaristi hari Minggu,  ketika keluarga bersama dengan seluruh Gereja duduk di sekitar meja bersama dengan Tuhan. Dalam Ekaristi, Ia memberikan diri-Nya bagi kita semua, yang berziarah dalam sejarah menuju tujuan yaitu perjumpaan akhir ketika “Kristus adalah semua dan di dalam segala sesuatu” (Kol 3:11). Oleh karena itu, dengan bertolak dari “roh” Ekaristi yang adalah roh pengurbanan, yakni pemberian diri Kristus bagi manusia, para Bapa Sinode telah merenungkan mengenai cara memberikan pendampingan pastoral bagi mereka yang telah bercerai dan menikah lagi dan tentang kemungkinan bagi mereka untuk menerima sakramen-sakramen, termasuk sakramen ekaristi dan rekonsiliasi. Melalui pilihan sikap semacam ini, tanpa bermaksud untuk mencederai kebenaran dan ortodoksi iman, Gereja hendak menghadirkan dirinya sebagai seorang ibu yang sungguh memahami kesulitan yang dialami oleh putra-putrinya, dan karena itu berusaha untuk membantu agar kesulitan itu dapat diatasi dengan baik.

12. Ajaran Gereja dan Pemahaman Umat
Para Bapa Sinode, seperti yang dijelaskan dalam Instrumentum Laboris Sinode Luar Biasa tentang keluarga, tgl 5-20 Oktober 2015 sungguh menyadari bahwa ada suatu keprihatinan pastoral yang hidup di tengah-tengah umat  berkaitan dengan pemahaman umat tentang perkawinan pada khususnya, sebagaimana yang dituangkan dalam ajaran Gereja, dan ajaran Gereja pada umumnya. Dengan kata lain, disadari bahwa ada jarak yang amat jauh antara  ajaran Gereja tentang perkawinan dengan realita yang dihayati oleh umat. Selain karena bahasa dan ulasan ajaran Gereja memerlukan pemahaman filosofis dan teologis tertentu untuk dapat memahaminya, namun dari sisi lain, munculnya kebebasan individual yang dimutlakkan membuat orang sulit untuk menerima kebenaran yang sifatnya obyektif. Kesulitan itu akan semakin bertambah manakala kebenaran yang disampaikan oleh Gereja tidak sesuai dengan pemahaman pribadi atau individual.

Dengan kata lain, untuk dapat memahami dan pada akhirnya menghayati ajaran Gereja, sekurang-kurangnya diperlukan pemahaman filosofis dan teologis tertentu. Dan persis persyaratan semacam ini sulit dipenuhi oleh umat. Umat belum banyak yang berminat untuk mendalami study teologi seperti halnya mendalami bidang-bindang ilmu lainnya. Selain itu, pengaruh budaya tertentu yang masih demikian kuat turut mempersulit umat dalam menerima dan menghayati ajaran Gereja, meskipun mereka memahami ajaran Gereja dengan baik. Seperti disampaikan oleh para Bapa Sinode, sejumlah Uskup dari Afrika mendukung bentuk perkawinan poligamy.

Tentu saja, hal ini disampaikan bukan karena tidak mengetahui atau memahami ajaran Gereja tentang perkawinan, tetapi lebih karena pengaruh budaya. Budaya setempat menerima dan mengakui poligamy sebagai bentuk perkawinan yang normal dan secara luas dipraktikkan oleh masyarakat. Oleh karena itu, tantangan yang dihadapi oleh Gereja dalam hal mendorong umat menerima dan menghayati ajaran Gereja tentang perkawinan, tidak saja berpangkal pada pemahaman teologis yang belum memadai, tetapi juga karena pengaruh budaya yang dihidupi oleh umat Katolik yang justru menampilkan pemahaman yang berbeda tentang perkawinan dibandingkan dengan pemahaman Gereja. Untuk itu, perlu dilakukan kajian pastoral yang serius berkaitan dengan budaya tertentu, agar nilai-nilai luhur yang dihayati oleh umat dalam budaya masing-masing tidak menjadi penghalang atau penghambat bagi umat dalam penghayatan iman, tetapi sebaliknya, mendukung. Kajian inkulturasi adalah salah satu upaya yang dapat diusahakan untuk semakin “mendekatkan” ajaran Gereja dengan nilai-nilai budaya yang “dihidupi” oleh umat.

13. Keluarga mengalami Krisis Budaya
Krisis budaya terkait dengan semakin menguatnya budaya individualisme yang dihayati oleh masyarakat luas dan umat Katolik. Dalam budaya individualisme, yang mewujud dalam penguatan otonomi manusia, dimana nilai-nilai dan kebenaran individual dimutlakkan membuat orang sulit untuk menerima sistim nilai yang datang atau ditawarkan dari luar, termasuk nilai-nilai yang diajarkan oleh Gereja. Demikian juga, upaya untuk meyakinkan orang lain akan kebenaran yang diyakini oleh Gereja mengalami benturan dan halangan yang kuat manakala kebenaran yang disampaikan itu berbeda dengan kebenaran yang diyakini secara individual.
Dalam perspektif ini, dengan mudah dapat dimengerti mengapa orang pada zaman ini semakin sulit untuk menerima nilai-nilai tradisional perkawinan, seperti kesetiaan dalam perkawinan, monogami dan tidak terputusnya ikatan perkawinan. Manakala otonomi manusia dimutlakkan, maka satu-satunya kebenaran yang ada adalah kebenaran yang bersifat individual, dan dalam pemahaman semacam itu, tidak dimungkinkan adanya keterbukaan sikap terhadap penerimaan nilai yang datang dari luar. Inilah krisis budaya yang dialami oleh keluarga zaman sekarang ini. Di satu sisi ada tuntutan untuk menghayati nilai-nilai dan kebenaran ajaran Gereja tentang perkawinan dan hidup keluarga, namun dari sisi lain, berkembang sikap dan pola pikir yang ingin menegasikan semua tatanan nilai yang berasal dari luar, termasuk yang disampaikan oleh Gereja.

14. Gereja dan Kesetiaan pada Ajaran       
Berhadapan dengan situasi demikian itu, Gereja tidak boleh menyesuaikan diri atau mengambil sikap kompromi dengan arus pemikiran yang sedang berkembang dalam masyarakat. Sebaliknya, Gereja harus tetap setia berpegang pada ajaran yang diyakini kebenarannya, walau berbeda dengan pemahaman umum yang berkembang dalam masyarakat. Sikap kompromis, tentu bukan pilihan tepat yang harus diambil oleh Gereja. Sikap semacam itu dapat memunculkan persepsi bahwa Gereja tidak setia pada ajarannya atau telah mengubah ajarannya. Anggapan semacam itu, tentu merugikan Gereja. Oleh karena itu, Gereja harus kembali kepada Injil sebagai sumber kebenaran ajaran.

Ajaran Gereja berkembang dalam perjalanan sejarah manusia, mengalir dari pengalaman umat yang dihayati sebagai sebuah keniscayaan. Ajaran Gereja tidak pernah bersifat kaku dan beku, tetapi mengalir dari pengalaman umat dalam sejarah yang bersumber dari Injil. Dengan kata lain, ajaran Gereja bersifat “cair” dalam pengertian hidup dalam sejarah umat yang mengalami perkembangan, selalu berusaha menanggapi situasi “kekinian” yang dihadapi oleh manusia pada zamannya.
Apa yang dulu dianggap sebagai kebenaran mutlak, yang karenanya tidak dapat dipersoalkan, seperti hukuman ekskomunikasi yang dikenakan kepada pasangan Katolik yang hidup dengan pasangan baru tanpa ikatan perkawinan yang sah, sebagaimana ditegaskan dalam KHK 1917, tidak lagi dipahami secara demikian dalam KHK 1983. Dengan kata lain, ada perkembangan baru dalam  hal pemahaman berkaitan dengan “hukuman” yang dikenakan kepada pasangan yang hidup dalam situasi yang tidak sesuai dengan ajaran Gereja (iregularitas) tanpa harus mengingkari kebenaran ajaran Gereja.  

15. Gereja dan Ketetapan Tuhan tentang Perkawinan
Perpisahan, perceraian dan persoalan lain yang terkait dengan perkawinan bukanlah persoalan baru yang muncul dalam Gereja dewasa ini. Persoalan yang sama sudah ada seiring dengan keberadaan umat manusia. Bahkan kitab Kejadian bab 2, sudah membicarakan hal itu. Solusi yang diberikan sangat jelas bahwa “apa yang telah dipersatukan oleh Allah tidak dapat dipisahkan oleh manusia” (Kej 2, 14). Dengan kata lain, sejak awal mula sudah ada kasus perceraian, sejak awal mula sudah ada pasangan suami-istri yang tidak mampu mempertahankan kesetiaan dalam ikatan perkawinan sebagaimana yang diharapkan oleh Tuhan.

Berhadapan dengan kasus semacam itu, orang berusaha untuk mencari solusi yang tepat atasnya. Tindakan apa yang harus diambil berhadapan dengan kasus semacam itu? Solusi yang diberikan oleh Kitab Kejadian bab 2 hanya satu, yakni tidak mengizinkan adanya perceraian. Alasan pokok atau pendasaran atas larangan perceraian didasarkan pada Sabda Tuhan yang menegaskan bahwa Tuhan telah mempersatukan suami-istri dalam perkawinan, maka manusia tidak dapat memisahkan mereka. Hak pemisahan hanya diberikan kepada Tuhan, sebab Dialah yang telah mempersatukan suami-istri. Tidak membuka alternatif atau kemungkinan lain bagi terjadinya penyelesaian secara berbeda.

Dalam perkembangan, Musa dihadapkan juga dengan kasus perceraian. Umat meminta supaya mereka diizinkan untuk bercerai. Menanggapi hal itu, Musa sebagai penjaga dan pembela ajaran yang benar tidak memberikan izin untuk bercerai. Musa mau megingatkan umatnya akan kewajiban dan tanggungjawab dalam menjaga, memelihara dan mempertahankan ikatan kesetiaan dalam perkawinan, sebab Allah yang telah menetapkan aturan tersebut tidak menghendaki manusia melanggarnya, sebaliknya, Ia menghendaki manusia memegang teguh ketetapan itu seperti halnya ketetapan lain yang dibuat oleh Tuhan bagi umat-Nya.

Sebagai utusan Tuhan, Musa sungguh percaya bahwa apa yang telah ditetapkan oleh Tuhan tentang perkawinan itulah yang terbaik bagi umat-Nya, oleh karena itu manusia tidak mempunyai hak untuk menolak atau membuat aturan baru, sebab aturan Tuhan bersifat sempurna dan tidak memerlukan adanya perubahan atau tambahan dari pihak manusia. Apa yang dituntut dari pihak manusia adalah kerelaan untuk menerima serta kesetiaan untuk menghayati ketetentuan tersebut agar shalom yang dijanjikan oleh Tuhan menjadi kenyataan dalam hidup manusia. Kalaupun akhrinya Musa memberikan izin untuk bercerai seperti dikisahkah dalam Injil, itu bukanlah izin yang diberikan secara umum, artinya berlaku untuk semua orang dan dalam semua kasus. Izin itu diberikan karena kekerasan hati manusia yang tidak mau mengikuti ketetapan Tuhan. Kekerasan dan kedegilan hati telah “membutakan”   manusia, sehingga tidak lagi mampu membedakan antara kebaikan dan keburukan, antara apa yang diperbolehkan dan apa yang dilarang.

Apa yang ditegaskan oleh Penulis Kitab Kejadian dan Musa tentang perkawinan dipertegas lagi oleh Yesus. Dalam pengajaran-Nya, sebagaimana terekam dalam ke-4 Injil, nampak dengan jelas bahwa bagi Yesus tidak memberikan kompromi atau jalan tengah berkaitan dengan peraturan tentang perkawinan. Bagi Yesus, ketetapan atau peraturan tentang perkawinan itu sifatnya final karena sudah ditetapkan oleh Bapa sejak awal penciptaan dan sampai saat ini tidak pernah direvisi atau dirubah, artinya ketetapan itu tetap berlaku seperti sediakala, saat pertama ditetapkan oleh Bapa. Oleh karena itu, Yesus dengan sangat tegas menolak permintaan untuk bercerai yang diajukan oleh orang Yahudi pada masa itu. Jawaban penolakan Yesus itu tidak didasarkan pada aturan baru, tetapi didasarkan kepada ketetapan sebagaimana yang sudah ditetapkan sejak awal mula ”Apa yang telah dipersatukan oleh Allah, tidak dapat diceraikan oleh manusia” (Mat 10, 18-19).                

16. Gereja dan Kerahiman Allah
Dalam sejarah iman umat Allah, nampak dengan sangat jelas adanya situasi yang bersifat kontradiksi antara kesetiaan Allah di satu sisi, dan ketidaksetiaan manusia di sisi lain. Berulangkali manusia tidak setia, namun Allah tetap menunjukkan kerahiman dan belaskasih-Nya. Kerahiman Allah senantiasa mengatasi ketidaksetiaan dan kedosaan manusia, dan karena sikap Allah yang demikian itu, manusia masih tetap mendapatkan kesempatan untuk memperbaiki diri dan bertobat. Dengan kata lain, Allah – dalam kerahiman-Nya – tidak menghukum, melainkan menyelamatkan manusia dengan memberi kesempatan untuk bertobat. Pintu pertobatan senantiasa terbuka bagi manusia yang menghendaki keselamatan.

Dalam perspektif kerahiman Allah itu, para Bapa Sinode mencoba untuk membuat terobosan baru berkaitan dengan situasi iregularitas yang dialami oleh pasangan-pasangan akibat dari perpisahan dengan pasangan. Dari data yang ada, harus dikatakan bahwa situasi demikian jumlahnya sangat banyak. Itu berarti ada sekian banyak pasangan suami-istri Katolik yang mengalami kehidupan yang tidak normal dan terus hidup didalam situasi ketidaknormalan itu, sampai nanti (entah kapan) Gereja mengambil sikap yang dapat mengatasi situasi demikian itu.

Berhadapan dengan situasi yang demikian itu, Gereja tidak bisa berdiam diri. Sebagai  penerus karya keselamatan Allah, Gereja berkewajiban untuk mengambil sikap berupa pencarian terobosan baru untuk membantu pasangan-pasangan yang hidup dalam situasi tersebut diatas. Dengan kata lain, Gereja harus mampu menghadirkan kerahiman Allah bagi umat-Nya. Kerahiman Allah bagi pasangan-pasangan yang hidup dalam ketidak teraturan itu, berarti membantu mereka agar bisa hidup kembali dalam keteraturan sebagaimana mestinya, bisa hidup layaknya orang Katolik lainnya: berpartisipasi secara penuh dalam kehidupan menggereja.

Dalam perspektif ini, para Bapa Sinode telah mendiskusikan tentang kemungkinan “pemberesan” perkawinan bagi pasangan yang hidup dalam situasi iregularitas itu dengan konsekuensi positif yang mengikutinya, yakni berpartisipasi penuh dalam kehidupan sakramental Gereja. Dasar pertimbangan atau argumentasi yang dipakai oleh para Bapa Sinode (walau tidak semua) adalah kerahiman Allah. Kalau Allah saja tidak menghukum, haruskah Gereja bersikap lebih keras dengan menghukum mereka, tanpa memberikan jalan lain bagi suatu solusi yang bersifat membebaskan dan menyelamatkan?

Pendasaran Biblis atas posisi sebagaian Bapa Sinode yang mengetengahkan kerahiman Allah dan yang didukung penuh oleh Paus Fransicus mengacu kepada beberapa teks:


  • 2 Ptr 2:4-6: “Sebab jikalau Elohim tidak menyayangkan malaikat-malaikat yang berbuat dosa… dan jikalau Elohim tidak menyayangkan dunia purba, tetapi hanya menyelamatkan Nuh, pemberita kebenaran itu, dengan tujuh orang lain, ketika Ia mendatangkan air bah atas dunia orang-orang yang fasik; dan jikalau Elohim membinasakan kota Sodom dan Gomora dengan api, dan dengan demikian memusnahkannya dan menjadikannya suatu peringatan untuk mereka yang hidup fasik di masa-masa kemudian”. Lewat kutipan ini, sebagain Bapa Sinode bersama dengan Paus Fransiscus mau menegaskan soal keramiman Allah yang lebih memilih untuk menyelamatkan manusia daripada menghacurkannya, meski manusia telah berdosa.
  • Lukas 11:29-32.  Menurut Paus yang dikutip oleh Radio Vatican, ”Para ahli Kitab adalah para pelindung Torah yang keluar dari kasih. Mereka lupa semua hal-hal yang Elohim telah berbuat di dalam sejarah.” Mereka tidak mampu melihat apa yang Yeshua saat itu sedang perbuat, sebuah tanda menunjukkan…”waktunya telah tiba”. Paus mengutip sabda Yeshua, ”Generasi ini adalah sebuah generasi yang jahat, sebab mencari jenis tanda yang salah,” Lebih lanjut dengan bertolak dari teks Luk 11, 29-32, Paus menambahkan bahwa Yeshua selalu berada bersama dengan orang-orang berdosa untuk mempertobatkan mereka agar selamat dari hukuman dosa – dan Ia memerintahkan mereka semua ”jangan berbuat dosa lagi!” Perintah Torah berasal dari YAHWEH, bersumber dari 10 Perintah YAHWEH yang ditulis oleh jari-Nya sendiri. Sepanjang sejarah Alkitab, Elohim tetap sama, dahulu, sekarang dan selamanya bahwa Dia membenci Dosa, sebab Dosa adalah pembunuh manusia yang adalah ciptaan-Nya yang spesial: sesuai gambar dan rupa Elohim dan tercipta dengan jari-jari-Nya sendiri.
  • Sekretaris jenderal Sinode, Card. Coccopalmerio, dengan mengutip Sabda Yesus tentang perbuatan baik yang dilakukan oleh Yesus pada hari Sabat meski tindakan itu dilarang oleh hukum Sabat, mengingatkan kembali kepada para Bapa Sinode tentang interogasi yang disampaikan oleh Kristus dua ribu tahun yang lalu kepada khalayak ramai: “Ketika dombamu jatuh atau anakmu jatuh ke dalam sumur pada hari Sabtu, apa yang akan kau lakukan? Hukum Sabat tetap berlaku, kita menghormatinya, tetapi ada kasus-kasus yang mengharuskan intervensi dari pihak Gereja, intervensi mana membawa konsekuensi kepada sikap perlawanan terhadap “hukum Sabat”. 

Ada orang-orang yang memerlukan bantuan Gereja. Oleh sebab itu, jawaban harus diberikan kepada “orang-orang yang sungguh-sungguh berada dalam kondisi yang parah dan mendesak”. Orang-orang semacam itu, ibaratnya adalah orang-orang yang “jatuh kedalam sumur” dan memerlukan bantuan supaya mereka tidak mati karena terus “berenang” dalam air sumur kedosaan. Yesus telah memberikan contoh nyata berhadapan dengan kasus-kasus semacam itu dalam karya pewartaan-Nya membawa kabar gembira kepada manusia zaman itu. Sebagai penerus karya Kristus, Gereja pun harus berani menganbil pilihan yang berbeda dari kebanyakan orang dalam upaya untuk  menyelamatkan manusia. “Manusia lebih penting daripada hari Sabbat”.

17. Ortodoksi dan Ortopraksi Ajaran Gereja
Sekilas nampak dua posisi yang muncul diantara para Bapa Sinode selama Sinode berlangsung. Satu posisi menegaskan kesetiaan kepada doktrin Gereja tentang pernikahan yang tidak terceraikan, dan posisi lain, menekankan pendekatan pastoral yang penuh belas kasih dan murah hati tanpa bersikap murahan. Jadi tidak ada antagonisme, pertentangan atau permusuhan antara kedua posisi ini; sebaliknya, sikap yang muncul adalah saling mendengarkan dengan penuh perhatian, dengan kerendahan hati dan kejujuran satu terhadap yang lain.

Sebagai realitas historis, Gereja tidak bisa menutup diri terhadap perkembangan sejarah manusia, termasuk juga terhadap berbagai perkembangan yang terjadi dalam praksis internal Gereja. Salah satu diantaranya adalah praksis pastoral perkawinan berhadapan dengan situasi zaman sekarang ini. Berhadapan dengan kasus pepisahan, bahkan sampai kepada kasus dimana masing-masing pihak hidup dengan pasangan baru tanpa ikatan apapun, sementara itu mereka hidup lebih berbahagia dibandingkan dengan ketika hidup dengan pasangan sebelumnya, Gereja diharapkan mengambil pilihan pastoral yang bersifat cura animarum, tentu saja dengan tidak meninggalkan ortodoksi iman.

Persoalan pastoral praktis yang muncul adalah bagaimana Gereja harus bersikap berhadapan dengan orang-orang semacam ini? Apakah tidak akan menimbulkan batu sandungan bagi umat ketika Gereja menunjukkan “kemurahan hati” dengan memberi izin untuk berpartisipasi secara penuh dalam perayaan ekaristi? Apakah tindakan semacam itu tidak menimbulkan “perbantahan” di kalangan umat seolah-olah Gereja telah mengubah pendiriannya mengenai perkawinan? Kalau demikian, apa yang masih dapat dianggap sebagai kebanggaan dari Gereja Katolik? Bukankah karena Gereja Katolik berpegang kepada monogamitas dan indissolubilitas perkawinan telah membuat pihak lain menaruh hormat kepada Gereja Katolik?

Pertanyaan-pertanyaan semacam itu memang harus dijawab oleh Gereja seandainya Gereja mengambil pilihan pastoral demikian itu, tanpa harus meninggalkan ortodoksi iman. Perjalanan sejarah menunjukkan bahwa Gereja harus mengambil pilihan pastoral yang bertujuan untuk menyelamatkan jiwa-jiwa daripada sebatas mentaatti peraturan dan hukum yang berlaku. Pertimbangan kemanusiaan serta keselamatan jiwa adalah pertimbangan yang mendasari keputusan Gereja manakala harus mengambil kebijakan yang mungkin kelihatannya agak menyimpang dari ortodoksi iman, tetapi sebenarnya justru menghadirkan ortodoksi iman itu dalam situasi kongkret yang dialami oleh manusia pada zamannya.

Kerahiman Allah hendaknya dijadikan dasar dalam pengambilan setiap pilihan pastoral itu. Manakala hal itu dijadikan sebagai pendasaran, tentu dipastikan tidak akan membawa dampak negatif dalam ortopraksi ajarannya. Tentu saja, pertimbangan pastoral, moral dan hukum akan tetap dijadikan sebagai acuan dalam pengambilan keputusan itu, seraya menegaskan bahwa kebijakan yang diambil harus dipahami bukan sebagai kebijakan yang bersifat umum, artinya berlaku dalam setiap kasus; sebaliknya adalah kebijakan yang bersifat kausitik, artinya tergantung kepada kasus-kasus yang ditemui dalam karya pastoral. Karena sifatnya kasuistik, maka penyelesainnya pun bersifat partikular, artinya tergantung kepada kasus-kasus itu sendiri. Kasus yang satu penyelesainnya bisa berbeda dari kasus lainnya.

Tentu kita berharap dengan pelaksanaan sinode keluarga yang akan datang (thn 2016) dengan melibatkan utusan-utusan dari setiap negara, kita berharap akan mendapatkan pegangan yang pasti berkaitan dengan reksa pastoral terhadap pasangan-pasangan yang hidup dalam situasi iregularitas itu, sehingga semakin banyak pasangan yang dibantu untuk hidup secara normal dalam pangkuan Gereja Katolik. Semoga!
(Rm I Ketut Adi Hardana, MSF).

MKRdezign

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget