Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mencantumkan batas usia minimal perkawinan untuk perempuan 16 tahun saatnya direvisi karena merugikan dan berdampak luas. Mahkamah Konstitusi mendorong revisi dilakukan lewat DPR. Hal tersebut disampaikan oleh Ketua Mahkamah Konstutusi (MK) Arief Hidayat di Jakarta pada tgl 19 Juni 2015. Sebagai Lembaga Yudikatif, Mahkamah Konstitusi tidak memiliki kewenangan untuk merevisi Undang-Undang Perkawinan tahun 1974; kewenangan itu dimiliki oleh DPR sebagai Lembaga Legislatif atas usulan masyarakat. Oleh karena itu, diusulkan bahwa perubahan itu dapat dilakukan melalui review atau merevisi UU No. 1/1974 tentang Perkawinan.
Keputusan Mahkamah Konstitusi
Ilustrasi dari |
Menurut Arief, batas usia kawin untuk perempuan bukanlah permasalahan konstitusionalitas. Penentuan usia 16 tahun atau pun 18 tahun sebenarnya merupakan kebijakan hukum yang terbuka bagi pembentuk undang-undang. Arief berpandangan, permohonan itu lebih tepat diusulkan kepada Presiden atau DPR selaku pemegang kuasa pembuat undang-undang (pemegang kuasa legislatif). Lebih lanjut ditegaskannya, “misalnya, MK menentukan usia kawin yang konstitusional bagi perempuan adalah 18 tahun, maka selamanya di Indonesia perempuan akan kawin pada usia 18 tahun. Tidak bisa diutak-atik lagi”, ujarnya.
Alasan MK memutus bahwa pasal itu masih tetap relevan adalah tiadanya jaminan yang dapat memastikan bahwa dengan ditingkatkannya batas usia perkawinan untuk perempuan dari 16 tahun menjadi 18 tahun, akan semakin mengurangi angka perceraian, menanggulangi permasalahan kesehatan maupun meminimalisasikan permasalahan sosial lainnya. MK juga menolak penambahan usia nikah perempuan, karena di masa depan kemungkinan batas minimal menikah perempuan di usia 18 tahun bukanlah yang ideal.
Tanggapan Atas Keputusan
Koalisi 18 (plus) atau Koalisi Indonesia untuk Penghentian Perkawinan Anak mengkritik sikap delapan orang Hakim Konstitusi yang menolak permohonan uji materi atas UU Perkawinan dengan alasan ketentuan itu merupakan open legal policy, artinya merupakan kebijakan hukum yang bersifat terbuka sehingga perubahan atasnya tetap saja dimungkinkan hanya saja kewenangan untuk perubahan itu ada di tangan Presiden dan DPR selaku pemegang kuasa pembentuk undang-undang. Sebagian besar Hakim MK berpendapat bahwa di sejumlah negara batas usia bagi perempuan untuk menikah beraneka, mulai dari 17, 19 dan 20 tahun. Namun, dalam keputusan itu, keputusan MK tidak bulat. Satu Hakim Konstitusi, Maria Farida Indrati mengajukan dissenting opinion (pendapat berbeda). Maria menyatakan bahwa usia 16 tahun dalam UU Perkawinan dalam Pasal 7 Ayat 1 telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan melanggar hak-hak anak yang diatur dalam Pasal 1 Ayat 3, Pasal 24b Ayat 2, Pasal 8c Ayat 1 UUD 1945 (Kompas, 24 Juni 2015, hal 6).
Putusan MK ini menuai kritik dari pegiat LSM yang menyatakan bahwa melalui keputusan itu berarti negara membiarkan adanya potensi anak perempuan mengalami kematian dan kecacatan sebagai risiko dari perkawinan usia dini serta melahirkan pada usia anak-anak. Sangat banyak anak perempuan putus sekolah, kesehatan reproduksi sangat buruk, angka kematian ibu dan anak sangat tinggi. Lebih lanjut perlu ditegaskan bahwa kesetaraan antara perempuan dan laki-laki tidak akan pernah terjadi kalau anak-anak perempuan terjebak dalam aturan hukum yang memperbolehkan mereka menjadi korban perkawinan anak-anak. Lebih lanjut ditegaskan bahwa keptusan ini dinilai telah mengandaskan mimpi anak Indonesia untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi. Bahkan, Ketua Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Sarsanto W Sarwono menyatakan keputusan MK ini bisa diartikan “Negara juga berperan melegalkan praktik pedofilia”
Batasan Akil Balig
Menanggapi keputusan MK yang bersifat final dan binding itu, kiranya baik untuk memahami secara lebih mendalam pengertian akil balig yang nampaknya dijadikan sebagai salah satu alasan dalam penetapan usia 16 tahun itu. MK dalam pertimbangannya menyatakan bahwa hukum Islam tidak mengenal batasan usia untuk wanita atau pria untuk menikah. Yang ada hanya batasan akil balig. Usia akil balig ditandai oleh kenyataan bahwa wanita telah datang bulan (haid) dan pria telah mimpi basah (mengeluarkan sperma). Dalam penalaran MK, usia 16 tahun adalah usia yang akil balig untuk wanita, demikian 18 tahun untuk pria. Bagaimana dengan kenyataan dewasa ini, dengan asupan gizi yang baik, perempuan sudah mengalami menstruasi (haid) pada usia 12 tahun, artinya 4 tahun lebih awal daripada usia yang dipahami oleh MK. Apakah usia 12 tahun sudah dapat dianggap sebagai usia akil balig?
Secara filosofis, akil balig tidak semata-mata dimaknai sebagai kematangan jasmaniah, melainkan juga matang secara rohani, sehingga mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Apakah ada jaminan bahwa kematangan jasmaniah akan diikuti oleh kematangan jiwa? Secara sosiologis kita dapat melihat adat budaya tertentu di Nusantara yang menuntun bagaimana orangtua mengawinkan anaknya. Dalam budaya Jawa, misalnya, sudah ratusan tahun orang Jawa, khususnya Jawa Tengah memiliki prinsip kapan mereka layak mengawinkan anak. Mereka akan mengawinkan anak bila telah “kuat gawe”.
Kuat gawe secara induktif-kualitatif diartikan bahwa perempuan dan laki-laki yang hendak dikawinkan telah dinilai kuat raga, jiwa dan benda (harta benda). Kuat raga berarti kuat bekerja dan secara jasmani telah matang dalam berhubungan suami-istri (hubungan seksual). Kuat jiwa menunjukkan kematangan mental dalam berhubungan dengan istri, keluarga istri serta mampu bertetangga yang baik (rukun tetangga). Kuat benda berarti mampu menjamin kelangsungan keluarga secara ekonomi, yaitu memiliki pegawean atau pekerjaan sebagai sumber nafkah.
Ketiga kekuatan inilah yang terus dibina oleh orangtua zaman dulu kepada anak-anaknya meski mereka tidak mengenyam pendidikan, alias buta huruf. Semula, mereka tidak memasok angka tertentu untuk menilai apakah anaknya sudah layak kawin atau belum. Hingga pada tahun 1974, karena tuntutan kepastian hukum, Presiden dan DPR menetapkan batas usia wanita dan pria untuk menikah, yakni 16 tahun untuk wanita dan 19 tahun untuk pria melalui UU No1/1974 tentang Perkawinan, karena ketika itu dengan batas usia perkawinan seperti itu dinilai bahwa wanita dan pria telah “kuat gawe”.
Fakta Perkembangan dan Perubahan
Kini, UU No 1/1974 tentang Perkawinan sudah berlalu selama 41 sejak ditetapkannya. Kita sadar dan membenarkan perkataan Heraclitus bahwa dunia ini pantareich, begerak, beringsut, tanpa pernah henti menuju kepada suatu perubahan dalam berbagai bidang dan dimensi. Fakta dan perkembangan serta tuntutan masyarakat secara dinamis terus berubah maju secara progresif. Demikian halnya dengan hukum. Hukum pun dituntut untuk bertsifat maju secara progresif dalam menanggapi fakta, perkembangan dan tuntutan masyarakatnya. Bila tidak, hukum akan ditinggalkan dan tidak akan dipedulikan oleh masyarakat. Dengan tetap bersikukuh mempertahankan angka 16 dan 19 untuk batas usia perkawinan sebagaimana termaktub dalam Pasal 7 Ayat (1) dan (2) serta menolak usulan usia 18 dan 20 tahun untuk batas usia perkawinan, sama artinya MK melawan adanya fakta, perkembangan serta perubahan yang terjadi dalam masyarakat.
Bila MK menyatakan bahwa tidak ada jaminan yang dapat memastikan bahwa dengan ditingkatkannya batas usia kawin untuk perempuan 18 tahun dan pria 20 tahun akan kian mengurangi angka perceraian, menanggulangi permasalahan kesehatan, maupun meminimalkan permasalahan sosial lain, maka pertanyaan yang sama dapat dibalik: “apa salahnya jika batas usia itu dinaikkan dari 16 dan 19 ke 18 dan 20 tahun? Apakah jika hal itu dilakukan ada pelanggaran moral, etika, agama atau hukum? Apakah perkembangan yang demikian masif di bidang pendidikan, kesehatan serta perlindungan anak dan kesejahteraan sosial tidak cukup menjadi bukti bahwa perkawinan yang dilaksanakan dalam usia 16 dan 19 adalah perkawinan yang terlalu dini, baik secara kualitiatif maupun kuantitatif dan diprediksi akan melahirkan kualitas generasi yang lemah, karena pada kenyataannya pada usia itu mereka belum “kuat gawe” sebagaimana filosofi perkawinan menuntut.
Di sini dan pada sisi ini kita dapat menilai bahwa MK kurang peka dan kurang progresif dalam mengambil keputusan berkaitan dengan penetapan usia perkawinan. Semua fakta serta perkembangan yang terjadi seolah-olah dikesampingkan demi “kesetiaan buta” terhadap hukum yang ada. Bukankah, seperti dikatakan oleh para bijak, hukum bertujuan untuk mensejahterakan masyarakat dan bukan sebaliknya menempatkan masyarakat dalam situasi yang sulit? Bila hukum menyimpang dari raison d'être, maka hukum itu sudah kehilangan legitimasinya untuk ditaati oleh masyarakat dan karena itu tidak mempunyai kekuatan yang bersifat mengikat untuk diterapkan dalam hidup bermasyarakat.
Perlindungan Terhadap Perempuan
Supriyadi Widodo Eddyono dari Koalisi 18 (plus) mengatakan, putusan ini tidak konsisten dengan putusan sebelumnya terkait dengan pengujian UU Pengadilan Anak tahun 2010. Ketika itu, MK dapat mengubah batas bawah usia anak bisa dikenai pidana dari 8 tahun menjadi 12 tahun. Dalam putusan itu, MK menilai perlu penetapan batas umur guna melindungi hak konstitusional anak. Guru besar Hukum dan Masyarakat Universitas Diponogoro, Sutekti berpendapat, sudah waktunya Pasal 7 UU Perkawinan direvisi. Pasal itu bertentangan antara lain dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak serta pasal-pasal lain dalam UU Perkawinan yang menyatakan perkawinan harus dilakukan oleh sepasang calon mempelai yang matang jiwa-raga dan rohani. Menetapkan usia perkawinan pada usia 16 tahun seperti yang termuat dalam UU Perkawinan tahun 1974 jelas menisbikan ketetapan yang diatur dalam UU Prindungan Anak.
Lebih lanjut ditegaskan, bahwa dari sisi sejarah, ketika UU Perkawinan dibuat pada tahun 1974, masyarakat Indonesia masih menargetkan anak untuk bekerja. Anak sudah dianggap matang pada usia 16 tahun karena sudah mengalami pubertas. Akan tetapi, zaman sekarang, standard usia itu tidak relevan karena terbukti secara psikologis remaja belum bisa berpikir jernih dan mampu mengambil keputusan secara bertanggungjawab. Untuk menjawab perubahan tersebut, hukum pun seharusnya mengikuti perubahan yang terjadi, sebab hukum yang baik harus bersifat progresif, yakni disesuaikan dengan perkembangan zaman dan kebutuhan sosial masyarakat.
Dampak Luas
Upaya menaikkan batas usia minimal perkawinan perempuan diharapkan dapat melindungi anak perempuan dari pernikahan dini. Pernikahan usia dini dapat mencerabut hak pendidikan dan hak kesehatan reproduksi anak perempuan. Pernikahan dini juga berdampak buruk bagi pembangunan sumber daya manusia dan memunculkan masalah kependudukan. Berdasarkan data penelitian Pusat Kajian Gender dan Seksualitas Universitas Indonesia tahun 2015, terungkap angka perkawinan dini di Indonesia berada pada peringkat kedua teratas di kawasan Asia Tenggara. Sekitar 2 juta dari 7,3 juta perempuan Indonesia berusia di bawah 15 tahun sudah menikah dan putus sekolah. Jumlah itu diperkirakan naik menjadi 3 juta pada tahun 2010.
Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Budi Wahyuni menjabarkan dari kasus-kasus yang ditangani, umumnya orangtua menganggap anak bisa melanjutkan pendidikan setelah menikah dengan mengikuti Kejar Paket A, B dan C. Kenyataannya, anak yang menikah sudah terlalu lelah untuk ikut sekolah karena seluruh tenaga dan waktu habis terserap untuk mengurus keluarga. Direktur Pendidikan Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional, Subandi Sardjoko mengatakan menaikkan batas minimal usia perkawinan berarti turut membantu anak mendapatkan pendidikan dan mengikuti wajib belajar seperti yang dituntut oleh pihak Pemerintah. Perkawinan usia dini merupakan salah satu faktor penyebab anak putus sekolah.
Ledakan Penduduk
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, Surya Chandra Surapaty menjelaskan dari sisi kesehatan. Dijelaskan bahwa leher rahim remaja perempuan masih sensitif, sehingga jika dipaksakan hamil berisiko menimbulkan kanker leher rahim di kemudian hari. Selain itu, risiko kematian saat melahirkan pada usia muda juga besar. Survey demografi dan Kesehatan Indonesia tahun 2012 menunjukkan, 48 orang dari 1000 remaja putri usia 15-19 tahun sudah melahirkan.
Mantan Direktur Eksekutif Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia, Inang Winarso menambahkan bahwa perkawinan di usia anak dengan sendirinya memperpanjang usia reproduksi serta meningkatkan peluang perempuan untuk lebih sering hamil. Jika tidak dikendalikan, jumlah rata-rata anak per perempuan usia subur Indonesia yang pada 2001-2012 stagnan di angka 2,6 akan sulit untuk diturunkan. Tingginya jumlah kelahiran mempersulit negara meningkatkan kualitas penduduk. Kondisi tersebut mengancam peluang Indonesia yang saat ini memasuki bonus demografi untuk melompat menjadi negara maju. Syarat untuk meraih bonus demografi itu antara lain penduduknya harus berkualitas dan keterlibatan kaum perempuan dalam pasar kerja harus semakin meningkat.
Grand Design Usia Perkawinan
Dari kenyataan tersebut diatas, kita mesti memiliki grand design untuk mengatur secara harmonis apa dan bagaimana usia dewasa yang “kuat gawe”, artinya yang pantas dan mampu mengemban tanggungjawab dalam kehidupan berkeluarga. Untuk menjaga martabat perempuan, batas usia perkawinan mesti progresif terhadap fakta, perkembangan serta tuntutan masyarakat. Peremuan adalah saka guru negara yang menentukan kelangsungan dan kualitas hidup suatu negara. Bila kualitas perempuan buruk atau rendah, negara akan mengalami nasib yang buruk serta kehidupan yang tidak berkualitas; sebaliknya, kualitas kaum perempuan yang baik akan menjamin kemasyuran suatu negara.
Kapan lagi kita harus mulai melindungi kondisi perempuan dari keterpurukan akibat perkawinan usia dini, menjamin pendidikan yang memadai serta memenuhi haknya untuk sejahtera? Kita hormati keputusan MK, namun kita harus dan tetap melawan pernikahan dini di usia 16 dan 19 tahun itu. Hakim Maria Farida Indrati yang berpendapat lain tidak berarti salah berhadapan dengan Hakim-Hakim lainnya yang menolak menaikkan batas usia perkawinan. Boleh jadi di kemudian hari, pendapat hakim Maria yang terbukti benar.
Penutup
MK telah memutuskan bahwa permohonan untuk peninjauan kembali atas UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang diajukan oleh sejumlah kalangan: LSM, Pemerhati hidup Perkawinan, kelompok yang bergerak dalam hal perlindungan anak ditolak. Dengan ditolaknya permohonan ini berarti secara hukum dilegalkan akan terjadinya perkawinan usia dini di kalangan masyarakat Indonesia: 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk pria.
Dari sisi sosial, psikologis dan biologis, usia semacam itu masih dianggap usia berisiko untuk melangsungkan perkawinan karena secara psikologis, bahkan secara biologis pun orang belum sungguh mencapai kematangan untuk melangsungkan perkawinan dan membangun keluarga dengan segala tuntutannya. Oleh karena itu, kita harus secara aktif melakukan sosialisasi mengenai dampak negatif dari perkawinan usia dini bagi kehidupan keluarga dan kualitas generasi yang akan datang. Peranan tokoh-tokoh masyarakat serta pemerhati kehidupan keluarga menjadi penting dalam upaya sosialisasi tersebut, sehingga dampak negatif perkawinan usia dini dapat diminimalisir. (Rm I Ketut Adi Hardana, MSF).
Posting Komentar