Dunia Tanpa Anak

Pengantar

Ledakan populasi penduduk di kota-kota besar, seperti Jakarta menjadi salah satu faktor pendorong bagi tumbuhnya gaya hidup khas masyarakat modern:”childfree”! Kepraktisan hidup, tidak mau repot-repot dengan pelbagai urusan menyangkut banyak hal, termasuk mengurus pihak lain menjadi “ideologi” baru untuk merebut kebahagiaan. Hidup manusia seolah dipenuhi dan “disesaki” oleh kerja dan pemenuhan kebutuhan lainnya, seperti penekunan hobby, perjuangan meraih karier dan perjuangan menuju kesuksesan dalam pelbagai bidang kehidupan lainnya, membuat orang mengambil pilihan: “childfree”. Kehadiran anak, lalu dianggap sebagai penghambat dalam meraih impian tersebut diatas. Selain itu, mentalitas selfisness serta pend-aku-an yang sebetulnya merupakan pengejawantahan dari mentalitas individualisme telah menjadi faktor pendorong atas pilihan “childfree” tersebut.

1. Kota Modern dan Childfree 

Ilustrasi dari www.pulsk.com
Ketika sedang studi dan bekerja di Jerman pada thn 1970-an, seperti ditulis dalam harian Kompas, tgl 12 April 2015, hal 1, Jaya Suparna (66) mulai mengenal terminologi childfree atau pilihan hidup tanpa anak. Kala itu masih abad XX, pilihan untuk tidak mempunyai anak masih menjadi keputusan yang langka. Memasuki abad keXXI, ketika kota-kota besar, seperti Jakarta merangkak menjadi kota modern, makin banyak pasangan memutuskan untuk tidak mempunyai anak. “Saya mulai menyadari bahwa mempunyai atau tidak mempunyai anak pada hakikatnya merupakan pilihan, bukan paksaan. Alasan utama adalah fakta planet Bumi yang overpopulasi, maka saya tidak ingin memperparah masalah tersebut dengan menambah anak”, kata Jaya. Sensus penduduk memperkirakan, jumlah penduduk Indonesia akan meningkat dari 255,5 juta menjadi 305,7 juta jiwa pada tahun 2035. Hal ini tampaknya menjadi pertimbangan bagi mereka yang mengusung “idologi” childfree untuk memilih tidak mempunyai anak.

Kepetusan ini ternyata disetujui sang ayah. Ibunya yang awalnya tidak setujui, kemudian perlahan-lahan bisa diyakinkan bahwa childfree adalah keputusan pribadi terhadap diri sendiri tanpa niat merugikan siapapun. “Saya sendiri adalah anak adoptif yang sangat dicintai dan mencintai. Bagi saya, kasih sayang anak kandung atau anak adoptif sama saja”, tambahnya. Karena tidak mempunyai anak kandung, Jaya berusaha untuk membantu anak-anak miskin dengan mendirikan asrama yatim piatu. Asrama itu sudah tutup karena semua anak asuh sudah selesai sekolah dan bekerja mandiri. Ada yang berwirausaha, ada yang buka bengkel dan beberapa bekerja di PTJamu Jago. Kini, Jaya juga mempunyai banyak anak binaan di Jaya Suprana School of Performing Arts (JSSPArts).

2. Mengurus Anak Orang lain

Di sekolah itu, ia menyediakan kelas angklung untuk anak miskin serta program Racital-Master-Class untuk Pianis muda berbakat kelas dunia, seperti Ade, Jesslyn, Lita, Ryan dan Jennice yang kini sedang studi musik di Amerika Serikat. Salah satu anak binaan kebanggaannya adalah Muhamad Iqbal, pemegang rekor rekaman karya-karya etude MacDowell dan Pianis professional yang tidak pernah mempunyai piano sendiri dan kini menjadi guru kepala bagian pianoforte di JSSPArts. “Mereka semua bukan anak kandung, melainkan anak-anak binaan berbasis kebudayaan. Karena saya sendiri tidak mempunyai anak, saya bisa fokus memperhatikan dan membantu anak orang lain. Hubungan saya dengan anak-anak ini adalah hubungan saling pengertian, saling menghormati dan menghargai tanpa pamrih”, kata Jaya.

3. Rekonstruksi Sosial

Pasangan Wira Dillon (30) dan Citra Dillon (31) juga menemukan kenyamanan ketika mengambil keputusan untuk tidak mempunyai anak, alias childfree. Merasa mantap dengan jalan dan pilihan hidup tanpa anak, Citra sempat sepuluh kali putus pacaran karena tidak menemukan calon pasangan yang  mendukung keputusannya. Beruntung, Citra kemudian bertemu dengan Wira yang ternyata juga mempunyai pilihan dan keputusan yang sama, tidak bersedia punya anak.

Di apartemennya yang mungil di Kalibata City, Citra segera menyodorkan keuntungan dari pilihan ekstrem yang mereka jalani selama enam tahun menikah. Karena tidak mempunyai anak, hidup menjadi praktis. Di apartemen dengan 1 kamar tidur, 1 ruang tamu, 1 kamar mandi dan dapur mini itu, pasangan ini bisa menjalani hidup berkualitas.

Keuntungan lainnya, mereka memiliki lebih banyak waktu bagi diri sendiri. Pengeluaran bulanan menjadi lebih hemat dan bisa menyisakan uang lebih banyak untuk jalan-jalan. Untuk menikmati kelimpahan waktu, Citra memutuskan keluar dari pekerjaan mengajar sejak delapan bulan terakhir dan memilih membuat kerajinan tangan dari bahan kain batik. Wira bekerja sebagai Koordinator program nasional di LSM Pelangi.
Pasangan ini pun berusaha meyakinkan keluarga besar tentang pilihan chilfree yang mereka ambil. Ayah Wira HS Dillon, yang merupakan tokoh hak asasi manusia, berulang-ulang mengajak mereka berdikusi tentang pentingnya anak. “Aku belum pernah seyakin ini dalam hidup. Ini yang aku mau. Semakin dipikir semakin banyak hal yang membuat kurang nyaman memiliki anak”, kata Citra.

Keputusan untuk tidak mempunyai anak juga menjadi bentuk perlawanan dari trauma masa kecil. Sebagai anak sulung dari 5 bersaudara, Citra harus turut merawat adik-adiknya sejak duduk di bangku SD. “Masa kanak-kanakku tidak bahagia. Begitu besar mulai kritis. Masyarakat kita masih stereotip. Perempuan harus menikah, harus mempunyai anak. Aku punya pilihan untuk bahagia, tambahnya.

Pasangan lainnya, Mitha 30) dan Putra (37), bukan nama sebenarnya, juga telah memeutuskan untuk tidak mempunyai anak sejak pacaran. Kesamaan tujuan itu yang menyatukan mereka dalam pernikahan yang telah berjalan 3 tahun. Seringkali, keputusan itu memang berbenturan dengan pandangan umum yang menganggap bahwa mereka egois karena tidak ingin mempunyai anak. “Tubuh perempuan menjadi domain di mana anak dilahirkan. Keputusannya harus dipegang perempuan itu. Tetapi masyarakat terkonstruksi bahwa tubuh perempuan boleh diapa-apain. Kesannya, tubuh itu bukan milik pribadi, tetapi masyarakat. Keputusan harus di tangan yang punya badan. Namun, sayangnya, tidak dikembalikan ke yang punya badan. Aku belajar itu dan merasa nyaman dengan apapun keputusan yang aku ambil”, kata Mitha, seorang dosen.  

4. Panggilan Hidup

Makin banyak jumlah pasangan yang tidak mau punya anak sejak lima tahun terakhir, menurut Psikolog Liza Marielly Djaprie menjadi bagian dari teori belajar sosial. Ketika banyak pasangan memilih untuk tidak punya anak, semakin banyak orang yang akan mengadopsi pemebelajaran itu. Seiring perkembangan zaman, perempuan menemukan pilihan hidup yang lain, tidak harus melahirkan.

Secara alamiah, manusia cenderung mencari kenyamanan, kemudahan dan kepraktisan. Tekanan hidup perkotaan yang semakin tinggi, mahalnya pendidikan anak dan tingginya harga rumah menjadi beberapa alasan yang menjadi pendukung bagi keputusan untuk tidak mempunyai anak. Apalagi, lingkungan sosial perkotaan makin cuek dan individualistis yang membuat orang merasa harus berjuang sendirian dalam mengatasi kerasnya kehidupan kota. Dalam situasi yang demikian, perasaan kurang nyaman serta ketidakmampuan menjalani kehidupan dengan segala tuntutannya itu, menemukan justifikasinya dalam keputusan untuk tidak mempunyai anak.

Kenyamanan itu pula yang diimpikan oleh Intan Febriani sehingga dia memutuskan untuk tidak punya anak dari sejak pacaran. Ia mengaku takut kehilangan hal sederhana, seperti waktu luang untuk membaca buku. Keputusan itu makan menjadi-jadi karena dia aktif dalam kegiatan sosial untuk anak-anak jalanan. Niatnya untuk tidak punya anak semakin diteguhkan ketika melihat banyak anak jalanan yang tidak terurus: “makin enggak mau punya anak, karena melihat banyak anak enggak keurus”, ujar Intan.

Bagi Nuki Adiati, memiliki anak merupakan ikatan seumur hidup yang belum tentu bisa dijalaninya bersama dengan pasangannya. Konsekuensi tanggungjawab yang besar hingga takut terbebani, membuatnya memilih untuk tidak punya anak. “Jumlah manusia ada 7 miliar sekarang. Konon, bumi hanya menampung 11 miliar. Punya anak di zaman ini susah”, tam bahnya.

Sosiolog Universitas Gajah Mada, Arie Sujito mengatakan ada perubahan orientasi dalam melihat reproduksi dan regenerasi. Semakin modern, orang makin melihat dimensi kemanusiaan. Regenerasi tidak lagi dilihat dari akar keluarga bilogis. “Tantangan di kota makin besar, bahkan juga di desa. Populasi penduduk juga semakin besar. Mengurangi beban dan pilihan sadar itu, ke depan makin menjadi tren”, kata Arie.
  
Pengendalian jumlah penduduk oleh pemerintah, kata Arie, harus diiringi perubahan paradigma pembangunan agar tidak terus menerus sentralistik. Pemerintah perlu lebih mendorong lahirnya keluarga berkualitas. “Satu atau dua anak, tetapi berkualitas. Jika tidak punya anak pun tidak menjadi masalah, tetap ada spirit kemanusiaan. Sebagai pilihan, tidak memilih untuk tidak punya anak tidak masalah”, ujarnya.

5. Pemenuhan Panggilan Tuhan
Memang benar, bahwa keputusan untuk memilih punya anak atau tidak, sepenuhnya adalah keputusan suami-istri, tidak seorang pun yang dapat mengintervensi keputusan ini. Sejumlah pertimbangan yang telah disampaikan diatas nampaknya valid untuk dijadikan sebagai justifikasi atas keputusan tersebut. Namun dari sisi lain, adalah benar bahwa pasangan suami istri dipanggil oleh Tuhan untuk menjadi kolaborator dalam penerusan generasi baru. Hal ini sudah ditegaskan dalam sejarah Gereja melalui ajaran yang disampaikan oleh para Bapa Gereja.

Dengan menyediakan diri untuk bekerjasama dengan Sang Pencipta, berarti pasangan suami-istri ikut bekerjasama dengan Sang Pencipta dalam penerusan generasi baru. Oleh karena itu, Gereja menghimbau pasangan suami-istri dengan tetap mempertimbangkan keondisi pribadi masing-masing untuk bersikap murah hati dalam pemenuhan panggilan Tuhan tersebut. Dengan bersikap murah hati, pasangan suami-istri memnuhi dua tanggungjawab. Pertama ambil bagian dalam penerusan generasi baru dan kedua memastikan bahwa masa depan umat manusia akan terus berlangsung karena kehadiran generasi baru yang akan mengambil alih estapet kepemimpinan dalam Gereja dan masyarakat.

Pengalaman dari negara-negara maju dimana warganya menolak untuk punya anak telah mendatangkan masalah ekonomi dan sosial yang sangat serius. Masalah ekonomi karena jumlah pekerja produktif semakin sedikit, sementara jumlah warga pensiun semakin banyak. Dengan demikian akan muncul masalah ekonomi, siapa yang harus menanggung dan membayar warga yang pensiun manakala jumlah pekerja semakin sedikit. Masalah sosial akan muncul, terutama berkaitan dengan gap generation yang terjadi dalam masayarakat.

Tentu saja, situasi demikian ini tidak akan mengntungkan bagi perkembangan suatu masyarakat yang sehat.
Oleh karena itu, tidak mengherankan di negara-negara maju tersebut, seperti Singapura dan negara-negara Scandinavia (Norwegia, Finlandia) memberikan insentif yang besar bagi warganya yang mau punya anak. Tunjangan tidak hanya diberikan untuk kemudahan dan keringan biaya melahirkan, tetapi juga untuk biaya pendidikan serta tunjangan hidup lainnya yang membuat keluarga bisa hidup secara layak sebagai manusia. Semakin banyak punya anak, maka tunjangan yang diberikan juga semakin meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa policy childfree telah ditolak di sejumlah negara karena dampak sosial ekonomi yang ditimbulkannya lebih besar daripada dampak personal.   Rm I Ketut Adi Hardana, MSF.

Posting Komentar

[blogger]

MKRdezign

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget