Desember 2013

Ternyata waktu berlari begitu cepat. Rentangan Januari hingga Desember sepertinya hanya sejengkal. Tigaratus enam puluh lima hari berlalu begitu ”enteng”,  se-enteng  deras air mengalir ke hilirnya. Tumpukan hari – hari yang terkemas dalam ”setahun” sepertinya terlewati tanpa merasa terengah-engah dan tanpa merasa bosan menanti berlalunya guliran waktu. Toh sekarang mau tidak mau, kita mesti mengayunkan langkah menapaki satu babak waktu yang penuh dengan tanda tanya. Babak waktu itu adalah tahun 2014.

Melangkah masuk ke dalam tahun 2014

Melangkah masuk ke dalam babak waktu yang baru ini,  nampak sangat otomatis terjadi  karena di ujung tahun 2013 kita toh masih  “dipinjami“ kesempatan untuk hidup.  Jadi sepertinya tanpa canggung kita melangkah masuk di gerbang 2014. Walaupun langkah kita ke dalam rentang waktu tahun yang baru ini berlangsung otomatis, namun sebetulnya “otomatisasi langkah“ kita, tidak serta-merta menjadi garansi kemudahan dan keselamatan saat menyusuri ruas-ruas waktu yang terbentang dalam tahun 2014.

Ketika kita beranjak masuk pada tepi tahun 2014, sebetulnya langkah kita langsung ”terhadang” sebuah tanda tanya yang paling besar. Soalnya kita tidak tahu pasti, warna hidup seperti apakah yang akan kita alami di tahun 2014. Kita juga tidak tahun persis, apakah kita masih bisa menikmati hidup pada akhir tahun 2014 nanti. Yang tahu pasti hanya Tuhan. Dan tentunya Tuhan tidak bisa ”disogok” untuk membuka semua rahasia yang tersimpan rapi dalam lambung tahun yang baru ini. Kita hanya bisa melakoni hidup dengan menggunakan semua potensi yang kita miliki, sambil tetap mengandalkan Tuhan sebagai Sang Pemilik semesta dan hidup kita.

Warna hidup seperti apa yang akan terjadi nanti, jelas kita tidak ketahui. Namun yang paling pasti, bahwa semua rentetan peristiwa yang pernah terjadi dalam sejarah peradaban manusia akan selalu terulang dalam setiap babak waktu yang baru. Dari segi politik, selalu ada harapan untuk mewujudkan kehidupan demokratis yang didukung dengan kesadaran untuk memperjuangkan nilai keadilan dan kebenaran, namun kadang kita terpaksa sesak dada menerima bergitu banyak kasus ketidakadilan yang terjadi.

Dari segi ekonomi, selalu ada impian untuk mewujudkan sebuah masyarakat yang sejahtera dan hidup layak, namun kita pun pada akhirnya terpaksa menerima kenyataan, begitu banyak orang yang tega merampas ”hak bersama” menjadi ”hak pribadi” dengan memperkaya diri sendiri. Dari segi agama, ada harapan untuk mewujudkan rasa takwa dan beriman,  agar dapat menghayati hidup ini sesuai dengan kehendak Tuhan, namun kita bisa lihat begitu banyak orang ”beragama” yang saling membunuh karena sangat berani me-monopoli kebenaran bahwa ”ia saja yang paling pantas di hadapan Allah”. Dari segi sosial, diharapkan suatu kehidupan bersama yang guyup, saling mengandalkan antara satu – sama yang lain dan mewujudkan solidaritas dalam kebersamaan untuk mengatasi kegetiran hidup yang menekan. Namun, semua impian ini nampak sayup tercapai, karena semangat individualisme dan materialisme menjadi junjungan masyarakat moderen.

Inilah ragam warna hidup yang tentunya otomatis terjadi dan akan  kita alami lagi di tahun 2014. Sementara dari rangkaian peristiwa – peristiwa lama yang selalu terulang ini, kita secara pribadi akan tetap dihadang tanda tanya yang sulit ditebak,  kira – kira apa yang akan terjadi secara pasti atas hidup kita sendiri.

Mungkinkah berubah di tahun yang baru (?)

Memang tidak gampang untuk menebak apa yang akan persis terjadi atas hidup kita di tahun 2014 ini. Tetapi kata orang, wajah masa depan ditentukan oleh apa yang anda lakukan pada saat sekarang. Prinsip ini mengandung makna ganda.

Di satu pihak, bila masa pada masa sekarang,  setiap orang berusaha untuk membangun niat dan maksud yang baik bagi hidupnya, maka wajah masa depan pasti akan lebih ceriah dan orang akan mengalami kehidupan yang baik dan kondusif sesuai dengan harapannya. Di lain pihak, bila masa sekarang ini, diisi dengan pola dan cara hidup yang tidak teratur bahkan cenderung bersikap ”liar”, jelas orang tidak akan menikmati masa depan yang baik. Ketenteraman hidupnya akan terusik oleh efek – efek perilakunya sendiri yang senantiasa merisaukan.

Yang paling pasti, kita selalu mengharapkan agar hidup ini semakin hari – semakin baik. Bertambahnya waktu – mestinya juga membawa kesadaran untuk belajar dari masa lalu, bagaimana menata masa yang akan datang tanpa harus mengulangi lagi kesalahan masa lalu. Kita sama – sekali tidak mempunyai potensi menjadi ”keledai dungu” yang dapat berulang kali jatuh dalam lubang yang sama, sebab  kita mempunyai pikiran dan hati nurani untuk menjadi bijak dalam merancang hidup ini,  sebagai anugerah yang mesti disyukuri sepanjang hidup.

Tetapi dunia yang sudah semakin tua – renta ini, ternyata dari waktu ke waktu tidak pernah sepi dari persoalan – persoalan lama, yang selalu terjadi berulang kali. Persoalan lama ini ibarat lubang – lubang menganga yang ada di sepanjang jalan yang kita lintasi. Hanya keledai dungu yang dapat terus – menerus jatuh dalam lubang yang sama. Tetapi hal itu mestinya tidak terjadi pada kita – manusia,  yang mempunyai pikiran dan hatinurani.

Paradoks terjadi, ketika manusia yang mempunyai pikiran dan hati nurani, terus – menerus jatuh dalam lubang – lubang  masalah yang sama, yang senantiasa menjadi panorama buram dan memuakan dari abad yang satu ke abad yang lain. Sepertinya,  kita manusia bingung dan hilang akal di depan berbagai potensi yang kita miliki untuk membuat hidup ini lebih baik, damai, tenteram, adil dan benar.

Mungkin supaya kita tidak bingung dan hilang akal secara akut dari tahun lama ke tahun yang baru, kita mesti lebih banyak mendengar apa kata ”Sang Pemilik” hidup tentang bagaimana menata diri dan hidup ini,  agar selalu menjadi baru sesuai dengan datangnya tahun baru;  yang selalu membawa tanda tanya untuk dijawab oleh setiap orang  yang terbingakai di dalamnya. **

P. Fritz Meko, SVD
Ketua Komisi Komunikasi Provinsi SVD Jawa 
Tinggal di Soverdi Surabaya 










Merayakan ulang tahun seorang yang bernama Yesus, sejak dulu membuat banyak orang bertanya-tanya kagum bahkan cenderung iri hati. Siapakah Dia sehingga perayaan ulang tahun-Nya menggemparkan dunia dan membuat para seniman menggubah lagu-lagu yang syahdu dan indah, untuk mengekspresikan sukacita dan kegirangan menyongsong ulang tahun Dia yang terlahir dalam sebuah kandang domba?

Katanya, Napoleon Bonaparte pernah mencoba merenungkan peristiwa ini dengan bertanya, “Siapakah Yesus itu sehingga ulang tahunnya selalu menggemparkan dunia? Aku, seorang raja besar dan hampir menguasai seluruh Eropa, koq ulang tahunku tidak pernah dirayakan semeriah perayaan ulang tahun Yesus?”  Sungguh,  Napoleon sangat jujur bertanya dan kagum walau terkesan iri hati dan berusaha untuk menyamai Yesus sekurang-kurangnya dari segi perayaan ulang tahun saja.

Tetapi siapapun, entahkah para filsuf, raja atau ilmuan seperti Plato, Aristoteles, Napoleon, Karel Agung, Newton, Einstein, dll. Ulang tahun mereka tidak pernah dirayakan semeriah ulang tahun Yesus – padahal pengaruh mereka terhadap perkembangan dunia pun sangat besar dan dihormati sepanjang zaman.

Yesus memang beda. Kalau para ahli dan raja di atas terlahir di rumah sakit atau di tempat yang layak, Yesus justru lahir di kandang domba atau di tempat yang tidak layak. Tapi herannya, tempat yang tidak layak sama sekali tidak mempengaruhi mutu rasa hormat yang sangat tinggi terhadap Yesus. Yesus dilihat sebagai pribadi agung dan mulia yang mampu menjadi kekasih jiwa setiap orang.

Pikiran dan ajaran-ajaran-Nya tidak hanya menembusi kebekuan dan kepongahan wawasan manusia, tetapi lebih dari itu mampu menerangi kegelapan hidup dan kerabunan mata hati setiap orang. Pikiran dan ajaran-Nya bukan hanya seperangkat regulasi  dan hukum yang ditaati karena merasa takut disiksa atau dicambuk, tetapi lebih dari itu karena orang sungguh merasakan bahwa kekuatan pikiran dan ajaran-Nya mampu membersitkan kasih, sukacita dan damai bagi sebuah hati yang rentan kerontang, rentang gelisah dan rentan kerkah bathin.

Pikiran dan ajaranNya adalah cita-cita dan bahasa langit yang ingin di-bumi-kan di antara manusia yang berpijak dan diam di dunia ini. Bahasa dan cita-cita langit itu berbeda dan cenderung kontra dengan bahasa dan cita-cita bumi. Bahasa dan cita-cita langit nampak dalam, cinta, kasih, adil, damai, benar dan jujur. Sedangkan bahasa dan cita-cita bumi nampak dalam, benci, dendam, iri hati, culas, congkak.

Yesus datang untuk membuka pikiran dan menggugah hati manusia agar menyadari bahwa ziarah hidup ini menuju dan berakhir di depan takhta Sang Pencipta. Untuk menikmati perjumpaan dengan Sang Pencipta, setiap peziarah diminta membuka hati dan membiarkan hidupnya diwarnai dengan cita-cita dan bahasa langit. Hanya dengan itu manusia menemukan penyempurnaan martabat sebagai mahkota ciptaan yang mulia di dunia ini.

Natal, moment datangnya Yesus di dunia. Anda dan saya tak perlu menjadi Napoleon Bonaparte yang tidak hanya kagum tapi agak “iri hati” atas semarak yang anggun terhadap perayaan Natal. Anda bisa saja menyamai Yesus dalam soal perayaan HUT anda, sejauh anda mampu membiarkan hidupmu dipimpin dan diwarnai oleh cita-cita langit yang diperjuangkan Yesus yakni, cinta, kasih, adil, damai, benar, jujur.

Kalau anda telah merelakan hidup agar diwarnai cita-cita langit, maka sudah pasti anda akan menjadi manusia yang namanya tetap terpahat di hati setiap orang. Namamu bukan hanya ditulis di atas pasir yang mudah disapu angin, tetapi tertulis di atas batu wadas yang dikenang selamanya. Dengan itu “natalmu” pun mampu menggugah orang untuk dikenang walau tidak se-semarak  Natal-nya Yesus. ** P. Frieds Meko, SVD

Sejarah Awal Istilah Liturgi

Secara etimologis istilah liturgi berasal dari bahasa Yunani, yaitu leitourgia (leitourgia). Kata leitourgia ini berasal dari dua kata, leitos (leitos) kata sifat dari laos (laos) yang berarti bangsa, masyarakat atau negara, dan ergon (ergon) yang berarti karya, fungsi atau pelayanan. Sehingga leitourgia berarti fungsi umum atau proyek negara. Leitourgia juga berarti kerja atau pelayanan yang dibaktikan bagi kepentingan bangsa oleh pribadi-pribadi. Dalam masyarakat Yunani kuno, kata leitourgia itu menunjukkan karya pembaktian yang tidak dibayar, sumbangan orang yang kaya atau pajak untuk masyarakat atau negara. Dalam perkembangan pada zaman hellenistik, kata leitourgia mempunyai arti yang lebih luas, termasuk pelayanan yang dilaksanakan oleh para budak kepada majikan mereka dan juga perbuatan-perbuatan kecil yang mereka laksanakan terhadap teman-teman. Jadi kata leitourgia pada mulanya mempunyai arti profan-politis, dan bukan kultis seperti yang dipahami pada masa ini. Dan pada abad ke 4 SM, kata leitourgia semakin diperluas mencakup berbagai macam karya pelayanan.


Istilah leitourgia mendapat arti kultis sejak abad ke 2 SM, yang berarti pelayanan ibadat. Kata ini dipakai dalam penerjemahan Kitab Suci dari bahasa Ibrani ke bahasa Yunani (Teks Septuaginta). Teks Septuaginta memakai kata liturgi sebayak 170 kali untuk menunjuk ibadat kaum Lewi. Ini sesuai dengan pengertian ibadat kamu Lewi sebagai institusi ilahi yang dipercayakan kepada bangsawan Israel, para imam kaum Lewi.

Dalam Perjanjian Baru, kata liturgi muncul sebanyak 15 kali dengan berbagai variasi arti. Istilah ini dipakai untuk menunjuk fungsi duniawi para pemerintah (Rm. 13:6), pelayanan imamat Perjanjian Lama Zakaria (Luk. 1:23), kurban persembahan atau imamat Kristus dengannya Dia menjadi leitourgos (Ibr. 8:1), kurban rohani orang-orang kristen (Rm 15:60, ibadat orang-orang Kristen “yang merayakan liturgi kepada Tuhan” di Antiokhia (Kis. 13:2). Penggunaan kata liturgi yang bervariasi juga mempunyai beberapa makna yang berbeda-beda. Kis. 13:2 adalah satu-satunya teks Perjanjian Baru yang menggunakan kata liturgi menurut arti yang biasa kita mengerti pada masa sekarang yakni untuk menunjuk ibadat atau doa kristiani. Dari sinilah muncul nama yang kemudian hari disebut liturgi kristen. Dan kesimpulannya menunjukkan bahwa kata liturgi dalam Perjanjian Baru dihubungkan dengan pelayanan kepada Allah dan sesama. Pelayanan kepada Allah dan sesama itu tidak terbatas pada kegiatan ibadat saja, tapi juga pada aneka bidang kehidupan lain. Akan tetapi istilah liturgi dalam Perjanjian Baru tidak menunjuk pada pelayanan kultus dari pemimpin jemaat Kristen, sebab pemahaman tentang imamat Perjanjian Baru tidak lagi berdasar pada imamat Perjanjian Lama. Bila dalam Perjanjian Lama imamat dihubungkan dengan imamat kaum Lewi, dalam Perjanjian Baru satu-satunya imam adalah Yesus Kristus. Perjanjian Baru mengenal satu imamat saja, yaitu imamat Yesus Kristus. Sedangkan imamat umum dan imamat khusus yang diterima umat Allah selalu merupakan partisipasi pada imamat Yesus Kristus.

Penulis-penulis Kristen pertama meneruskan arti liturgi sebagai ibadat atau doa kristiani. Uskup-uskup dan diakon-diakon melaksanakan liturgi para nabi dan para guru, sehingga kultus Kristen tetap berdasar pada kebudayaan Yahudi yang dipengaruhi oleh kultus kaum Lewi. Tetapi dalam kekristenan, istilah liturgi secara total mendapat arti baru dalam relasi dengan imamat Kristus.

Dalam Perkembangan Gereja Selanjutnya

Di Gereja Timur, liturgi dimengerti hanya sebatas menunjuk kultus orang kristen pada umumnya dan perayaan ekaristi pada khususnya. Akan tetapi di Gereja Barat yang berbahasa Latin, istilah liturgi lama tidak dipakai, dan diganti dengan istilah officia divina, opas divinum atau minister, obsequium, caeremonia, munus, servus, sacri dan ecclesia ritus.

Istilah liturgi kembali dikenal dalam Gereja Barat pada abad ke enam belas, karena pengaruh Gereja-gereja Reformasi yang memakai istilah liturgi dalam arti luas yaitu ibadat Gereja. Kata liturgi muncul pertama kali dalam dokumen resmi dalam bahasa Latin pada masa Paus Gregorius XVI (abad ke delapan belas) dan menjadi istilah resmi sejak Paus Pius X (1903 – 1914) dan Kitab Hukum Kanonik 1917. Kemudian Paus Pius XII (1947) menggunakan kata liturgi dalam ensiklik Mediator Dei dan Konsili Vatikan II membakukan istilah liturgi dalam konstitusi Sacrosanctum Consilium untuk menyebut perayaan iman.

Liturgi menurut Mediator Dei

Paus Pius XII dalam ensiklik Mediator Dei sebagai ensiklik peletak dasar liturgi suci memberikan definisi klasik yaitu liturgi sebagai ibadat umum (bersama) yang dihantar kepada Bapa oleh penyelamat kita sebagai Kepala atas Gereja sama seperti ibadat komunitas beriman dihantar kepada pendirinya dan melalui Dia kepada Bapa (no. 20). Dalam ensiklik ini ditekankan bahwa liturgi adalah kebaktian Gereja sebagai Tubuh Mistik Kristus. Kristus bertindak sebagai imam agung, satu-satunya pengantara kita kepada Bapa. Namun Kristus tidak bertindak sendirian, Dia bertindak bersama Gereja, Kristus sebagai Kepala atas tubuh-Nya dan di dalam Kristus seluruh tubuh ikut bertindak.

Liturgi menurut Konsili Vatikan II

Konsili Vatikan II tidak memberikan arti liturgi secara definitif, akan tetapi membuahkan pemahaman yang mendalam yang dirangkum dalam dokumen Konstitusi Sacrosanctum Concilium. SC 7 menyatakan liturgi sebagai pelaksanaan tugas imamat Yesus Kristus; sebagai ibadat umum yang seutuhnya oleh Tubuh Mistik Kristus, yakni Kepala beserta para anggotanya, sebagai karya Kristus sang Imam serta tubuh-Nya yakni Gereja. Nilai yang penting dan fundamental dari liturgi adalah kehadiran Kristus dalam ekaristi, dalam sakramen-sakramen, Sabda Allah dan dalam liturgi harian. Liturgi dipandang sebagai pelaksanaan tugas imamat Yesus Kristus, di dalamnya pengudusan manusia dilambangkan dengan tanda-tanda lahir serta dilaksanakan dengan cara yang khas bagi masing-masing.

Menurut SC 7, liturgi mempunyai dua tujuan yaitu pemuliaan Allah dengan secara sempurna (ascending structure) dan pengudusan mereka yang merayakan (descending structure). Manusia sendiri tidak bersifat pasif, tetapi dituntut untuk mendengar dan percaya. Karya Allah yang menyelamatkan dijawab dengan pujian seluruh Gereja bersama Kristus di dalamnya. Jadi, liturgi bisa diartikan sebagai tindakan Yesus Kristus, Imam Agung, bersama Gereja-Nya untuk keselamatan manusia dan pemuliaan Allah yang ada di surga. Dalam liturgi terjadilah dialog antara Allah dengan manusia.

Culmen et Fons

Dalam SC 10 yang diinspirasikan oleh Mediator Dei, liturgi diartikan sebagai puncak yang dituju oleh kegiatan Gereja, dan sekaligus sumber segala daya kekuatannya. Gereja berusaha agar semua orang melalui iman dan baptis menjadi putra-putri Allah, berhimpun menjadi satu, meluhurkan Allah di tengah Gereja, ikut serta dalam Kurban dan menyantap perjamuan Tuhan. Inilah liturgi sebagai culmen atau puncak. Dari pihak lain, liturgi mendorong agar sesudah dipuaskan dengan sakramen-sakramen, Gereja menjadi sehati sejiwa dalam kasih, mengamalkan dalam hidup sehari-hari apa yang mereka peroleh dalam iman. Liturgi menjadi fons atau sumber kekuatan untuk hidup sehari-hari.

Subyek Liturgi

Menurut SC 7, yang menjadi subyek atau pelaku liturgi adalah Kepala dan para anggota Tubuh Mistik Kristus, yaitu Yesus Kristus dengan Gereja. Sehingga liturgi merupakan tindakan Kristus sekaligus tindakan Gereja. Namun, agar aspek pneumatologis juga berperan di dalamnya, kiranya lebih tepat mengartikan liturgi sebagai perayaan misteri karya keselamatan Allah bagi manusia dalam Kristus, yang dilaksanakan oleh Yesus Kristus, sang Imam Agung bersama Gereja-Nya, dalam ikatan Roh Kudus.

Penutup

Liturgi merupakan suatu pertemuan personal, yaitu pribadi-pribadi manusia bertemu dengan ketiga Pribadi ilahi seturut peranan tiap-tiap Pribadi dalam sejarah keselamatan. Pribadi-pribadi manusia yang bersatu dalam Gereja memuliakan Allah Bapa yang menyelamatkan, bersama dengan Yesus Kristus sang Kepala Gereja dalam ikatan Roh Kudus. Liturgi menghadirkan kepada kita sejarah keselamatan, yang di dalamnya kasih Allah yang menyelamatkan kita alami dalam Putra-Nya melalui Roh Kudus. Melalui liturgi inilah, misteri Kristus diwartakan kepada semua orang agar dapat menghayati misteri tersebut dengan sepenuhnya. Dalam setiap liturgi, Roh Kuduslah yang sesungguhnya mengumpulkan semua umat di dalam satu tubuh untuk menuju keselamatan.

Penulis: Andro Sipayung
Sumber: https://andosipayung.wordpress.com/2013/12/28/pengertian-liturgi/

Daftar Pustaka


  1. Brevoort, Benitius, Dr. OFM Cap., Liturgi, Parapat: 1976.
  2. Budi Purnomo, Aloys, Pr., Merayakan Iman dalam Ibadah dan Doa Bersama, Medan: Penerbit Bina Media, 2000.
  3. Dokumen Konsili Vatikan II, terjemahan oleh R. Hardawiryana, SJ., Jakarta: Obor, 1993.
  4. Komisi Liturgi KWI, Liturgi: Gereja Merayakan Yesus Kristus, Suatu Pengantar Liturgi, Yogyakarta, 1989.
  5. Kusno, Suhendro, Arti dan Makna Liturgi, dalam majalah Ekawarta: Forum Komunikasi KWI, edisi Juni, no. 3/X/1990.
  6. Lang, Jovian P., OFM, Rev., Dictionary of the Lyturgy, New York: Catholic Book Publishing, 1989.
  7. Martasudjita, E., Pr., Pengantar Liturgi, Yogyakarta: Kanisius, 1999.
  8. Sembiring, Johannis, Lic. S. Lit., OFM Cap., Introduksi Liturgi (Diktat Kuliah), tanpa tahun.

Suatu saat di tahun 1998 dalam perjalanan ke salah satu kampung di pedalaman Kalimantan Tengah, saya bertemu dengan seorang bapak yang mengaku bernama Jagau. Ia seorang petani tulen. Setiap hari ia menoreh karet, kadang berburu babi hutan dan dagingnya dijual untuk membayar uang sekolah anaknya yang sedang kuliah di Universitas Palangka Raya.
Dari ceriteranya, ketahuan bahwa ia pernah sekolah di SGB Kuala Kapuas, tetapi tidak selesai karena keterbatasan ekonomi orang tuanya. Ia akhirnya pulang kampung dan memilih menjadi seorang petani karet.

Semakin banyak orang pintar semakin banyak masalah (?)

Dari sekian banyak ceritera, saat menyinggung tentang  peran guru dan sistem pendidikan sekarang ini, ia spontan mengatakan ”...wah...payah, sekarang ini dunia pendidikan kita makin canggih dan menghasilkan banyak orang pintar, tetapi coba lihat,  semakin banyak orang pintar – semakin banyak masalah yang membuat dunia ini lebih  kacau. Mestinya, kalau ada banyak orang pintar justru dunia kita harus lebih baik dan damai. Tetapi ini semua terbalik seratus persen. Di mana-mana orang saling mengibuli satu sama lain, banyak orang pintar tega memperdaya masyarakat kecil yang bodoh. Sepertinya semakin pintar seseorang semakin ia kehilangan hati nurani – nya.  Mereka memang pintar berpikir tetapi tidak benar dalam bertindak”.

Mendengar pernyataan pak Jagau ini, diam – diam saya mengagumi karena ternyata ia sangat kritis menilai realitas paradoks yang terjadi di zaman kita ini. Pendapat Jagau hampir sama dengan pendapat Jacob Sumardjono dalam artikelnya di Kompas yang ditulis beberapa tahun lalu. Sumardjono mengatakan ”Orang zaman sekarang lebih suka dibilang pintar daripada dibilang benar”.

Sumardjono pasti punya alasan mengatakan demikian. Dalam arti tertentu ia benar. Kecemerlangan dunia pendidikan saat ini, sungguh menghasilkan begitu banyak orang pintar yang diharapkan mampu membawa perubahan dan kemajuan  dalam masyarakat dengan wajah yang manusiawi. Namun dalam kenyataan muncul banyak persoalan yang ironisnya dilakukan oleh orang – orang yang mempunyai sederatan titel, baik di depan maupun di belakang namanya. Orang – orang model inilah yang biasanya lebih suka disebut pintar daripada dibilang benar. Kesadaran akan tata nilai moral, seolah hilang ditelan kejeniusan pikiran mereka (?).

Sekolah atau lingkungan yang salah  

Di batas kenyataan ini, kita ingin bertanya : Siapa yang salah ? Sekolah atau lingkungan ? Kalau sekolah yang salah maka tudingan Ivan Illich benar, bahwa sebenarnya tidak perlu ada sekolah karena sekolah menciptakan banyak orang ”pembuat masalah”. Tetapi kalau dibilang lingkungan yang salah, maka benarlah si Erich Fromm,  bahwa masyarakat moderen adalah masyarakat yang tidak waras, karena sulit dimengerti bagaimana mungkin masyarakat yang penuh dengan berbagai orang macam pintar,  tetapi justru semakin banyak masalah yang nampaknya tidak dapat diatasi dengan kemampuan para orang pintar itu sendiri (?). Masyarakat sebagai lahan ekspresi kemampuan yang diperoleh dari sekolah ternyata dijadikan sebagai tempat ekspresi perilaku yang menyimpang dan menyulitkan hidup orang lain.

Kita lalu ”terhempas” dalam persimpangan kebimbangan sambil ”mengelus” dada dan bertanya dalam hati  ”kalau demikan wajah dunia menjadi suram seperti ini, maka apa yang mesti kita lakukan ?  Toh.....kita sendiri menyaksikan betapa begitu banyak muncul ribuan sekolah berlebel  Nasional Plus dan Internasional dengan konstruksi kurikulum yang sangat mencengangkan tetapi sekaligus membingungkan. Para orang tua menjadi bingung memilih sekolah untuk putera – puterinya.

Yang jelas, semua sekolah pasti punya tawaran ”transferensi nilai” yang khas untuk para muridnya, makanya para orang tua mesti jeli memilih agar anaknya yang ”tamatan” sekolah itu dapat menjadi manusia yang pintar tetapi sekaligus benar. Ini mengandaikan sekolah itu sungguh mempunyai konstruksi kurikulum yang berimbang dalam mentransferensi nilai – nilai eksakta, sosial maupun humaniora. Kecenderungan meniadakan  atau mengurangi nilai – nilai humaniorna akan menyebabkan anak –anak menjadi pintar tetapi bisa menjadi tidak benar dalam perilakunya kelak sebagai seorang sarjana di tengah masyarakat.

Seperti apakah wajah generasi muda kita kelak 

Kalau mau supaya generasi kita kelak menjadi ”Generasi yang pintar dan benar”  maka baik keluarga maupun sekolah harus bekerjasama. Kalau di sekolah, sudah pasti bahwa para guru telah berusaha untuk membuat anak-anak menjadi pintar dengan  metode penyajian ilmu yang canggih, maka diharapkan setiap keluarga perlu membantu menanamkan nilai – nilai humaniora berupa etika, moral, agama, budi pekerti kepada anak-anaknya untuk mengimbangi kurikulum sekolah yang cenderung mengurangi ilmu – ilmu humaniora yang dapat membentuk karakter anak – anak didik.

Memang disadari bahwa keluarga – keluarga moderen, saat ini hampir tidak mempunyai waktu untuk lebih lama bersama anak karena tuntutan karier. Mereka bekerja mulai pagi sampai malam, akibatnya anak- anak lebih banyak ditemani nenek, opa atau para pembantu rumah tangga. Ini kesulitan sekaligus masalah  yang menuntut ke-arifan orang tua untuk menentukan waktu yang tepat agar ada kesempatan bersama anak - anak sambil memberikan bimbingan dan nasehat yang bertujuan untuk membentuk karakter dasar mereka.

Hanya dengan cara ini maka bisa  ditebak, generasi masa depan tentu akan memiliki kecerdasan (pintar) tetapi sekaligus juga beriman dan memiliki karakter serta integritas moral yang baik dan benar. Dan justru generasi seperti inilah yang kita harapkan di dalam dunia moderen yang serba kompleks dan lumayan membingungkan ini.

Para orang tua hendaknya berusaha membangun ke-arifan dalam menentukan sekolah dan mengatur waktu bersama anak – anak agar mereka tetap merasa, bahwa walaupun orang tua jarang ada bersama, namun  detak kehangatan mereka tetap dialami dalam ”kesendirian” yang hanya ditemani seorang opa, oma atau pembantu rumah tangga. **P. Frieds Meko, SVD

Ilustrasi dari: photopanorama.wordpress.com
Damai, macam apakah sosoknya? Apakah ia adalah sebuah harga yang sangat mahal sehingga jutaan orang membicarakannya hanya sampai taraf ideal? Dan apakah damai itu begitu penting sehingga orang tak habis-habisnya mempersoalkannya, bahkan sampai ada badan internasional (PBB) yang dibentuk untuk mewujudkan sosok damai itu?

Damai yang menjadi ideal memang sejak dahulu hingga saat ini, semakin dikejar oleh setiap orang dan setiap bangsa di muka bumi ini. Ia didambakan karena memiliki daya yang memberi ketenteraman bagi setiap orang.

Bila kita menengok sejenak situasi dunia saat ini, maka ada alasan kuat kalau orang begitu merindukan terciptanya kedamaian. Soalnya, dimana-mana terutama di kawasan-kawasan  sentral seperti, Timur Tengah, Afrika dan Amerika Latin, kini dicabik-cabik oleh pertikaian menahun dengan acaman kekuatan militer yang konfrontatif. Situasi demikian tentu tidak hanya menjadi keprihatinan lokal, melainkan lebih merupakan keprihatinan mondial. Sebab pertikaian yang semakin hari semakin brutal, justru akan dapat membawa pengaruh yang berjangkau luas dan berkecambah, menyulut reaksi frontal dari bangsa lain yang merasa ikut bertanggungjawab. Apalagi pertikaian itu dimotivasi oleh pandangan etnis dan agama yang seringkali dapat menjaring bangsa lain yang merasa (meminjam istilah Khairil Anwar) berasal dari “Kemah” yang sama, seperti kemah Agama atau kemah Ras.

Contoh paling nyata untuk hal ini, dapat dilihat dalam tragedi Bosnia yang tidak hanya dipandang melulu dari soal kemanusiaan, tetapi juga orang lalu menginterpretasikan masalah ini berdasarkan kemah agama. Itu makanya tragedi Bosnia yang nota bene lebih banyak penduduknya beragama Islam, mengundang perhatian OKI selain PBB untuk segera mengambil langkah-langkah praktis, kongkrit dalam menegakan perdamaian di sana.

***
Problem yang menarik perhatian para politisi dalam menangani perdamaian, memang selalu menarik untuk disimak. Sebab semakin intens pertemuan yang diselenggarakan oleh para pemimpin bangsa, untuk membicarakan bagaimana kedamaian ditegakkan, semakin damai menjadi semacam bayangan yang menggoda untuk melanggengkan konflik.  Akibatnya pertemuan-pertemuan dan perundingan-perundingan yang diadakan lebih banyak bersifat lingkaran setan dari pada menampakkan wujud damai yang sesungguhnya. Dalam perspektif ekonomis, pertemuan dan perundingan model ini, mengundang cap terhadap PBB hanya sebagai “Lembaga Bursa” yang lebih banyak menularkan ragam masalah dan penderitaan ketimbang kedamaian.

Memang kita tidak menyangkal fungsi kontrol PBB, tetapi de facto ada pihak tertentu yang mengendalikan PBB dalam rel “kepentingan diri”, sehingga citra sejati PBB tercoreng, lalu orang cenderung meragukan fungsi dan peran PBB. Bila fungsi kontrol dan peran PBB semakin hari diragukan, maka jelas persatuan para bangsa pun akan mulai terganggu.
***

Bila demikian maka kecemasan kita akan menjadi lebih majemuk. Sebab kalau PBB sebagai satu-satunya medium efektif yang diharapkan menjadi penegak damai telah kehilangan keampuhannya, maka agaknya sulit untuk menegakkan damai yang diimpikan oleh semua bangsa. Melihat kenyataan demikian kita boleh bertanya, untuk apa PBB tetap mempertahankan status quonya?

Kita memang tidak menghendaki PBB dibubarkan, tetapi barangkali yang sangat perlu dibuat PBB saat ini adalah kembali menyadari “tujuan tunggal” yang disandangnya, sambil berusaha “melimbah” diri dari pengaruh negara-negara adi kuasa yang cenderung mempertaruhkan kepentingannya dengan memperalat PBB.

Selama PBB masih dijadikan sebagai ajang kepentingan dan keuntungan negara-negara tertentu, damai yang dirindukan akan tetap menjadi utopia. Dan kalau damai tetap menjadi utopia, maka kita akan tetap berduka sambil menyanyikan lagu-lagu requiem untuk mereka yang tewas dalam peperangan, dari pada menyanyikan lagu-lagu gembira ria lantaran damai telah merajai segala-galanya. **P. Frieds Meko, SVD

...It was the best of times, it was the worst times, it was the age of wisdom, it was the age of foolishness, it was the epoch of belief, it was the epoch incredulity, it was the spring of hope, it was the winter of despair... (Charles Dickens)

Fr. Yan Taylor, SVD
Kata-kata yang ditulis oleh Charles Dickens di dalam karyanya  A Tale of Two Cities di atas merupakan ungkapan harapan sekaligus keprihatinannya yang besar akan situasi zamannya. Ucapan seorang pemikir besar kurang lebih dua abad yang lalu itu menjadi titik pijak kita untuk meneropong zaman kita ini.

Kita tentu "merasa biasa" dengan dunia kita yang kejam dan tak manusiawi. Kita juga mungkin terbiasa dengan  wajah manusia terluka dan terlunta diterpa oleh kejamnya hati yang tak berbelas. Penindasan atas nama agama atau kepentingan golongan tertentu mewabah sehingga “ yang lain” menjadi korban. Diskriminasi rasial yang menjamur tidak hanya pada level lokal, tetapi mencapai level nasional. Embel dari segala tindakan tersebut tak lain adalah kekerasan. Korupsi semakin meningkat, tanpa penyelesaian akhir yang klimaks. Sementara itu, Societas merasa dinina-bobokan dengan janji-janji muluk yang tak kunjung teralisir. Societas gerah!

Manusia kini tak ayal hanyalah merupakan produk dunia yang hilang. Kita pun bertanya, sampai kapankah aku dan zamanku - berdamai. Aku merasa rindu melihat dunia ini dihiasi lagi oleh bunga-bunga indah yang ditanam dan disiram oleh orang-orang yang bertanggung jawab. Aku sesungguhnya tak mengharap dunia ini dihiasi oleh bunga-bunga arwah - karena akibat peperangan dan konflik yang berkepanjangan. Aku pun berharap untuk melihat tangan-tangan yang dicipta oleh Tuhan untuk saling berjabat satu sama lain, bak Israel yang pulang dari tanah pengasingan dengan penuh sorak.Sungguh cita ini membeludak. Apa cita ini bisa menjadi cerita bagi anak - cucu kita yang masih muda belia? Kita berharap mudah-mudahan - generasi ini tidak terlunta oleh badai zaman.(Sebuah ungkapan hati)

Berubah dalam Proses

Kita meyakini bahwa dalam situasi apapun, kita menginginkan perubahan. Perubahan seperti apa yang kita inginkan? Berubah dari keterpurukan? Atau? Meski kita hendak beranjak berubah, kita pun harus berproses. Mengenai konsep proses, Pater Inna Reddy Edara,SVD melukiskannya demikian: “ The metaphor of a tree works as a paradigm for formation. Formation is similar to cultivating a tree”.

Formasi perubahan adalah ibaratnya merawat sebuah pohon. Saya kira, kita semua bisa membayangkan tentang tumbuhnya sebuah pohon. Berawal dari persemaian dan berujung pada dewasanya pohon tersebut. Banyak saat yang dilalui oleh sebuah pohon untuk bertumbuh. Menurut hemat saya, apa yang dilukiskan oleh Pater Reddy tentang sebuah pohon itu menjadi lambang pertumbuhan kita juga.

Kita bertumbuh dalam aneka tragedi dan kisah pilu sebagai anak bangsa dan Gereja. Tragedi dan kisah pilu yang menjadi bagian dari hidup kita membuat kita berefleksi atas hidup kita. Kita ingin mengatakan bahwa segala sesuatu belum berakhir. Kita perlu berbenah. Berbenah dari masa lalu kita. Kita bukan dilahirkan untuk mengubah tragedi-tragedi yang terjadi tetapi paling tidak sebagai warga Gereja, perlu tergerak hati untuk terlibat dalam pencarian yang sejati akan makna perubahan itu sendiri. Kita yang dulu terlibat dalam pencarian dangkal, akan makna hidup, kini perlu mengubah langkah dan pandangan kita agar bisa dengan jelas melihat matahari yang bersinar. Hal yang paling penting juga adalah bahwa membangun sikap saling menghargai satu sama lain sebagai satu saudara. Martabat manusia perlu diangkat tinggi, dan bukannya diinjak-injak.

Adven: Gerbang Harapan

Kita berada dalam sebuah masa yang oleh gereja menyebutnya sebagai masa adven.  Masa adven adalah masa di mana kita menyongsong perubahan. Kita ingin membuka gerbang hati kita untuk berubah dari segala masa lalu yang menindas dan memenjara. Kita ingin membenahi jalinan hubungan kita dengan Tuhan dan sesama. Ini adalah harapan-harapan yang ingin kita wujudkan.

Semoga dalam kata-kata doa kita pun, terucap:  Dari belakang dan dari depan Engkau mengurung aku, dan Engkau menaruh tangan-Mu ke atasku. Terlalu ajaib bagiku pengetahuan itu, terlalu tinggi, tidak sanggup aku mencapainya.Ke mana aku dapat pergi menjauhi roh-Mu, ke mana aku dapat lari dari hadapan-Mu? Jika aku mendaki ke langit, Engkau di sana; jika aku menaruh tempat tidurku di dunia orang mati, di situ pun Engkau. Jika aku terbang dengan sayap fajar, dan membuat kediaman di ujung laut, juga di sana tangan-Mu akan menuntun aku, dan tangan kanan-Mu memegang aku (Mzm. 139:5-10). **Fr. Yan Taylor, SVD

Foto: KAIROS (fh)
Pada Hari Sabtu, 7 Desember 2013, Komisi Kerawam Keuskupan Palangka Raya menyelenggarakan satu kegiatan yang sangat bermanfaat yakni "Pembekalan Kepada Para Caleg Katolik Se-Kalimantan Tengah". Pada kegiatan ini, Bapak Uskup, Mgr. Aloysius M. Sutrisnaatmaka, MSF, hadir sebagai narasumber dengan materi "Evangelisasi Baru Gereja Katolik dalam Bidang Sosial Politik dan Keterlibatan Umat Di Dalamnya". Berikut ini adalah beberapa hal penting yang telah disarikan oleh Kairos dari materi tersebut.


Spiritualitas Evangelisasi Baru

Evangelisasi (Latin: evangelizzare) biasa diartikan sebagai penginjilan atau pewartaan Injil, mewartakan nilai-nilai Kerajaan Allah. Dalam konteks bidang sosial politik, bidang ini juga merupakan medan kerasulan yang harus diperhatikan. Umat Katolik diutus untuk menjalankan misi (Latin: mittere) menjadi garam dan terang dalam dunia politik.

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam evangelisasi, yang menjadi dasar atau spiritualitas yang harus kita perhatikan:
  • Evangelisasi menuntut pertobatan. Pertobatan yang dimaksud pertama-tama ditujukan kepada semua orang. Yohanes Pembaptis (dalam Mrk 1:15) menyerukan pertobatan. Untuk melaksanakan misi, pertama-tama haruslah melakukan pertobatan. Harus ada perubahan dalam diri sendiri, kemudian kita akan menjadi rasul yang mewartakan pertobatan itu sendiri. Perubahan akan terjadi bila setiap orang memulai dari diri sendiri. 
  • "Barangsiapa mempunyai dua helai baju, hendaklah ia membaginya dengan yang tidak punya, dan barangsiapa mempunyai makanan, hendaklah ia berbuat juga demikian". (Luk 3:11). Evangelisasi baru diwarnai dengan sikap "kerelaan memberi". Kalau dalam situasi sebelumnya, kita lebih banyak mencari dan mencari, dalam evangelisasi baru, kita harus sanggup untuk memberikan sesuatu kepada negara, Gereja dan masyarakat. Hendaknya ini menjadi spiritualitas bagi kaum awam yang terlibat dalam bidang sosial politik.
  • "Jangan menagih lebih banyak dari pada yang telah ditentukan bagimu". (Luk 3:13). Kalimat ini disampaikan oleh Yesus kepada pemungut cukai. Kutipan ini menekankan dimensi kejujuran. Menjalankan sebuah misi sangat perlu dijiwai oleh kejujuran.
  • Dan prajurit-prajurit bertanya juga kepadanya: "Dan kami, apakah yang harus kami perbuat?" Jawab Yohanes kepada mereka: "Jangan merampas dan jangan memeras dan cukupkanlah dirimu dengan gajimu.." (Luk 3:14). Kiranya ini menjadi perwujudan dari sikap yang lebih banyak memberi daripada mencari. 
  • Evangelisasi Baru memerlukan kontekstualisasi. Kontekstualisasi mengandaikan dua hal: pertama, pemahaman yang tepat situasi sejaman ketika ajaran itu diturunkan. Dengan pemahaman yang tepat itu, kita dapat menangkap ajaran secara lebih persis dan tidak terkooptasi oleh hal-hal sampingan yang tak termasuk essensi dan inti ajaran yang mau disampaikan.  Kedua, pencermatan yang mendalam atas situasi yang dihadapi masa kini. Ketepatan dan kecermatan dalam mengamati situasi sekarang ini menjadi pintu masuk pengetrapan ajaran agama secara benar dan dapat dipertanggungjawabkan.
Dimensi Evangelisasi Baru
  • Pertemuan pribadi dengan Yesus Kristus. Kami mewartakan Dia yang telah kami lihat, kami dengar dan kami raba (bdk. 1 Yoh 1:1-3). Semangat kita harus selalu diwarnai dengan perjumpaan dengan Yesus. Hubungan pribadi dengan Yesus yang dibangun melalui doa, perjamuan bersama Yesus dalam Perayaan Ekaristi harus menjadi roh dan semangat kita dalam melaksanakan tugas perutusan.
  • Kegairahan untuk tugas perutusan. Tugas untuk mewartakan Injil tidak boleh dianggap sebagai tugas yang membebankan. Dalam mewartakan Injil, harus ada sukacita dan diterima sebagai suatu tugas mulia dan dilaksanakan dengan penuh kegembiraan.
  • Pusat perhatian pada Kerajaan Allah. Pemakluman Yesus mempengaruhi setiap segi kehidupan dan setiap tingkatan sosial – keseluruhan hidup manusiawi. 
  • Keterlibatan pada persekutuan. Spiritualitas persekutuan sesungguhnya merupakan spiritualitas Evangelisasi Baru. Spiritualitas persekutuan akan mempersatukan kita. Dalam persekutuan, pandangan-pandangan yang memandang orang lain sebagai "rival" atau lawan politik harus dihilangkan. Dengan semangat persekutuan, kita dapat memahami bahwa kita menjalankan tugas yang sama, yaitu mewartakan Injil, meskipun tugas itu dilaksanakan dalam cara, strategi dan langkah-langkah yang berbeda. Dalam persekutuan, tidak ada satu orang pun yang merasa berjuang sendiri. 
  • Dialog, gaya hidup dan perutusan. Evangelisasi Baru menuntut semangat dialog yang menjiwai hidup sehari-hari dan mengutamakan hubungan yang menyatukan. Komunikasi sangat dibutuhkan. Melalui dialog, setiap orang akan lebih memahami satu sama lain. 
  • Kehadiran yang sederhana. Kehadiran yang sederhana adalah menuntut jiwa kesederhanaan. Semangat kesederhanaan Yesus dalam perjumpaan dengan orang-orang yang membutuhkan pertolongan hendaknya menjadi semangat kita. Kita tidak boleh melihat bahwa keberhasilan kita menjadi seorang Caleg merupakan sebuah status yang tak tergapai oleh masyarakat. Akibatnya, ada pandangan yang melihat bahwa Caleg merupakan status yang elit dan sulit berbaur dengan masyarakat. Ini perlu direnungkan sehingga kita benar-benar tetap berada dalam tugas perutusan kita sebagai pembawa terang Injil.
  • Pewarta Injil yang profetis. Menjadi profetis berarti sadar dalam terang Roh Kudus akan pelbagai kontradiksi dalam dunia Asia/Indonesia dan menolak apa saja yang mengurangi, menurunkan dan melepaskan anak-anak Allah dari martabat mereka. Dalam dimensi ini, kita tidak takut pada kecaman ketika kita mewartakan kebenaran. Keberanian perlu ditumbuhkan. Komitmen dan konsistensi kita sebagai pewarta kerajaan Allah harus dibuktikan dalam menentang arus, yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Injil.
  • Solidaritas dengan para korban. Kita harus peka untuk menanggapi jeritan para korban. Korban kekerasan, ketidakadilan, HAM dan lain sebagainya. 
  • Memelihara Ciptaan. Ini juga sangat perlu disadari bahwa kita harus menjaga keutuhan ciptaan. Tentu saja kita tidak boleh menjadi tokoh yang menciptkan pertentangan berkepanjangan. Tetapi kita harus mampu mencari "win-win solution" sehingga segala pihak dapat menerimanya dengan rasa adil. 
  • Keberanian iman dan kemartiran. Dari awal Kekristenan sampai sekarang, bumi Asia ditandai dengan darah para martir. Bila hari ini kita dipanggil untuk memberi kesaksian akan iman sampai pengorbanan yang paling tinggi, kita harus bisa. Hal ini sungguh berat. Akan tetapi, kita harus menjadikan semangat ini menjadi semangat kita dalam pewartaan.
Dimensi Evangelisasi harus mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Seperti dikatakan dalam Evangeli Nuntiandi, evangelisasi diungkapkan dalam tiga bidang yakni, dilaksanakan dengan berpastoral dalam pelbagai bidang kategorial, berkatekese dalam perlbagai bidang, dan perlu membangun dialog/inkulturasi dalam bidang agama, budaya dan kaum miskin.

Perlu diketahui bahwa seluruh umat wajib terlibat dalam tugas perutusan Gereja. Gereja tidak hanya diserahkan kepada hirarki, tetapi adalah merupakan tanggung jawab seluruh umat. Untuk itu, setiap orang perlu menjalankan perannya sesuai dengan fungsi dan tugasnya dalam Gereja.

Gereja dan Politik

Gereja adalah kumpulan para murid Yesus, berjalan mengikuti-Nya; menaati kehendak Allah, melalui para wakilnya di dunia ini. Murid harus melekat tanpa syarat kepada pribadi Yesus, ia harus siap mati dan menyerahkan hidupnya kepada Yesus karena kasih kepada-Nya. Sikap ini mengandaikan kerendahan hati, kemiskinan dan pertobatan (setelah jatuh dalam dosa). Sikap murid Yesus diungkap antara lain dalam:
Mat 22:17, "Katakanlah kepada kami pendapat-Mu: Apakah diperbolehkan membayar pajak kepada Kaisar atau tidak?"... 22:21 Jawab mereka: "Gambar dan tulisan Kaisar." Lalu kata Yesus kepada mereka: "Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah.

Kutipan di atas boleh dikatakan sebagai dasar biblis yang menjadi pegangan bagi umat Katolik dalam keterlibatannya di bidang sosial politik. Tidak ada pandangan bahwa ada suatu larangan dari pihak Gereja kepada umatnya untuk berpolitik. Bila sempat mendengar dan bahkan sudah mengendapkan pandangan ini, segera setelah membaca artikel ini, atau segera setelah mendengarkan dan membaca kutipan ini, tinggalkanlah pandangan lama itu. Juga, tidak ada pandangan bahwa hirarki tidak mendukung umat Katolik untuk berpolitik. Yang perlu diperhatikan di sini adalah bahwa hirarki wajib memberi dukungan kepada seluruh umat Katolik yang terlibat dalam dunia politik, tetapi tidak pernah memberikan dukungan yang berlebihan kepada salah satu pihak secara personal. Ini merupakan perwujudan sikap Gereja yang selalu berada pada tugas mengayomi secara adil dan menyeluruh.

Berdasarkan penjelasan di atas, umat Katolik yang terlibat dalam dunia politik harus bisa membedakan yang mana urusan Gereja dan yang mana urusan negara. Dua sisi ini tidak boleh dileburkan, tetapi tetap hadir sebagai sisi yang saling melengkapi, saling menguatkan dan saling membangun. 

Dalam berpolitik, umat Katolik harus selalu memahami pengertian politik yang sesungguhnya. Pengertian politik sesungguhnya selalu merujuk pada warga negara, kebersamaan. Oleh karena itu, segala sesuatu yang diperjuangkan dalam dunia politik selalu terarah kepada kebaikan bersama warga negara (Bonum Commune). Di Indonesia, tugas perjuangan ini diwakilkan kepada DPR (DPR-RI, DPRD). Karenanya, umat Katolik yang hadir di sana harus menjadi terang dan garam untuk memperjuangkan kebaikan bersama.

Gereja dan Politik di Tengah Bangsa yang Mengalami Degradasi

Diperlukan sebuat strategi yang baik agar Gereja dan Politik sanggup membawa diri dalam keadaan Bangsa yang sedang mengalami degradasi dalam berbagai hal. Untuk itu, sangat perlu mengenali beberapa hal di mana bangsa mengalami kemerosotan dalam berbagai bidang. Ada pelbagai peristiwa yang menjadi indikasi bahkan menjadi bukti bahwa bangsa ini mengalami degradasi. Hidup beragama sering dipakai sebagai kelengkapan data administrasi identitas seperti KTP. Fungsi beragama dipandang sebagai pelengkap identitas dan tidak dilihat sebagai fungsi yang menuntut tanggung jawab moral. Akibatnya, tindakan sehari-hari, menjadi tidak terkontrol dan terkesan frontal seperti membunuh dengan memutilasi, merampok dengan sadis dan memperkosa anak di bawah umur, menganiaya sesama umat beragama dan masih banyak contoh-contoh lain yang menunjukkan anti-kesaksian hidup beragama. Ada ungkapan: altar terpisah dari pasar; kehidupan beragama hanya sebatas di dalam tembok ruang ibadat, sedang di luarnya sudah berlaku hukum, sikap mental dan semangat yang sama sekali lain, bahkan bertentangan dengan apa yang diungkapkan di tempat ibadat. 

Terasa cukup mengherankan bahwa sudah sekian lama dan sekian kali terjadi tindakan-tindakan yang melawan sifat toleransi beragama, pada hal seluruh bangsa 100% mengaku beragama. Degradasi toleransi terjadi baik di kalangan sesama umat beragama, maupun dengan lain agama. Skala intolerasinya juga berkembang baik dalam hitungan kuantitatif maupun kualitatif. Sulit untuk dimengerti, bangsa yang sudah sekian puluh tahun bisa menjaga toleransi justru makin lama makin jatuh dalam kekerasan antar agama. Memang cukup menyakitkan hati, semua agama yang mengajarkan perbuatan baik, saling menghormati,
saling mencintai, justru yang kerap menjadi berita adalah berita kekerasan terhadap yang lemah dan minoritas. Perlulah dicari dan dicermati, di mana sebenarnya letak ketidakberesan dalam degradasi toleransi ini.

Ibarat lingkaran setan dalam degradasi ini: degradasi yang satu mendorong munculnya degradasi lain yang bisa lebih parah. Degradasi dan krisis moral membuat bangsa semakin terpuruk dalam krisis kepercayaan, dan pada gilirannya memunculkan degradasi krisis kelakuan yang pantas, tak lagi merasa malu melakukan kejahatan baik yang bersifat pribadi maupun publik. Setiap orang dituntut untuk berkelakuan moral, memilih melakukan yang baik dan menjauhi untuk tidak melakukan yang jahat, kadang sudah kurang dipedulikan. Penuntun kelakuan moral yang adalah agama, malah disalah-gunakan untuk mendapatkan kekuasaan, untuk mendapatkan uang dan materi yang diperuntukan bagi diri atau golongannya. Krisis moral diakibatkan banyak faktor seperti kemiskinan, kelaparan, penindasan, kesengsaraan berkepanjangan, dll. Moral bangsa mengalami kemunduran sampai pada titik paling dalam: bangsa yang tidak bermoral, tak lagi bisa membedakan yang baik dan jahat, mencampuradukkan dan bahkan bisa mendukung yang jahat dan mengecam yang baik.

Majunya suatu bangsa bisa didukung antara lain oleh sikap para pemimpin yang melaksanakan tugas dengan penuh pengabdian, dengan dedikasi sepenuhnya. Artinya pelaksanaan tugas akan berhasil kalau yang bersangkutan bisa fokus menaruh perhatian dan konsentrasi sepenuhnya dalam melaksanakan apa yang menjadi tugas utamanya. Tujuan sampingan seperti: mencari penghasilan tambahan, mengejar gengsi, menjaga image, demi popularitas sesaat, akan mudah mengaburkan pelaksanaan tugas dan menjadi gagal. Sikap dedikatif menjadi modal yang sangat penting agar hasil maksimal bisa diperoleh dan pelayanan kepada masyarakat bisa tercapai.

Degradasi dalam berbagai bidang seperti telah dituturkan di atas sesungguhnya sudah menjadi tantang besar bagi umat Katolik dalam berpolitik. Di samping itu, masih ada tantangan-tantangan lain yang perlu diperhatikan. Situasi berikut kiranya dapat membantu kita untuk melihat tantangan-tantangan yang secara bertahap mulai berakar dalam kehidupan berbangsa.

Budaya Korupsi adalah tantangan dalam perpolitikan negeri. Sejak anak-anak segi finansial sudah tertanam dalam-dalam, sehingga menggiring hati nurani pada aspek finansial, yang dianggap paling penting dan bermanfaat tak lain adalah uang. Tak mengherankan, semua dimensi kehidupan diukur dan diatur oleh uang dan terjadi pemelesetan Pancasila: Keuangan yang mahakuasa; atau UUD = Ujung-ujungnya Duit. 

Ajaran dan Ajakan Gereja untuk aktif dalam Politik

Gaudium et Spes (Gereja di tengah dunia), Bab IV, art. 74 mengemukakan beberapa ide seperti berikut ini: 
  • Negara ada demi kesejahteraan umum, menemukan dasar keberadaannya sepenuhnya serta maknanya dalam kesejahteraan itu, dan mendasarkan hak kemandiriannya yang otentik padanya. Kesejahteraan umum mencakup keseluruhan kondisi-kondisi kehidupan sosial, yang memungkinkan orang-orang, keluarga-keluarga dan perhimpunan­perhimpunan mencapai kesempurnaan mereka secara lebih penuh dan lebih mudah.
  • Pelaksanaan kekuasaan politik, baik dalam masyarakat sendiri, maupun di lembaga-lembaga yang mewakili negara, selalu harus berlangsung dalam batas-batas tata moral, untuk mewujudkan kesejahteraan umum yang diartikan secara dinamis, menurut tata perundang-undangan yang telah dan harus ditetapkan secara sah. Maka para warganegara wajib patuh-taat berdasarkan hati nurani mereka. Dari situ jelas jugalah tanggung jawab, martabat dan kewibawaan para penguasa. 
Dari dasar itu, kemudian perlu dirumuskan dan dikemukakan partisipasi semua pihak, umat dan masyarakat dalam dunia politik. Karena situasi zaman sekarang yang cukup rumit pemerintah sering terpaksa bercampurtangan dalam soal-soal sosial, ekonomi dan budaya, untuk menciptakan kondisi-kondisi yang lebih menguntungkan, sehingga para warganegara maupun kelompok-kelompok dibantu secara lebih efektif untuk secara sukarela mengusahakan kesejahteraan manusia seutuhnya. Oleh karena itu, hendaknya segenap umat kristen menyadari panggilan mereka yang kas dalam negara. Di situlah harus di pancarkan teladan mereka, yang terikat oleh kesadaran akan kewajiban mereka mengabdikan diri kepada kesejahteraan umum yang memang perlu ditingkatkan.

Hirarki tidak henti-hentinya memberikan dukungan kepada umat untuk terlibat secara aktif dalam politik. Dukungan ini disampaikan melalui Surat Gembala. Sebagai contoh, pada PEMILUKADA Kalimantan Tengah 2013, Keuskupan Palangkaraya mengedarkan Surat Gembala yang berisi: Pertama, mengenai tata pelaksanaan pemungutan suara. Diperlukan ketelitian yang sungguh-sungguh untuk mengikuti taca-cara yang tercantum di dalam undang-undang dan peraturan yang berlaku. Untuk itu kita perlu meluangkan waktu  dan kesempatan untuk secara pribadi  maupun secara bersama-sama di dalam kelompok, untuk mempelajari dan mendalami seluk beluk Pemilu Kada 2013 ini, agar dapat berpartisipasi dengan tepat. Kedua, sekitar pribadi para calon. Kita harus memilih orang-orang yang dapat dipercaya untuk memimpin rakyat di daerah kita dan menjalankan pemerintahan demi kesejahteraan umum. Marilah kita cermati dan telusuri rekam-jejaknya. semua perlu kritis terhadap kampanye, menilai rekam jejak (track-record) calon dan menentukan pilihan sesuai dengan  suara hati kita masing-masing. Ketiga, ketika kampanye, umat boleh mendukung calon mana yang sesuai dengan hati nuraninya masing-masing,  dengan akibat timbulnya perbedaan pilihan di kalangan umat. Namun perbedaan ini tidak boleh menjadi alasan konflik dan terpecahnya kesatuan umat karena alasan politik. Keempat, mengingat Gereja adalah tempat ibadat, maka tidak boleh seorang pun, entah pastor, biarawan-wati atau awam, menggunakan altar, mimbar atau bagian Gereja lainnya menjadi tempat kampanye dengan menyebutkan nama salah satu pasangan calon untuk dipilih.

Ini adalah bukti bahwa hirarki sangat memberikan perhatian sekaligus memberikan dukungan kepada umat yang terlibat dalam pemerintahan dan politik. 

Selain itu perlu pula, dalam mengetrapkan ajaran kristiani sikap berkorban seperti diteladankan Yesus Kristus dalam korban salib-Nya. Dalam dunia yang dikuasi oleh mental dan semangat konsumerisme semangat berkorban hampir tidak laku, karena yang dicari adalah kesenangan, kenikmatan dan keuntungan. Orang-orang modern lebih mementingkan apa yang akan didapat, dan bukan apa yang akan dikorbankan. Di sinilah salah tantangan yang sangat nyata dan cukup serius untuk mengontekstualisasikan tindakan dan sikap berkorban Yesus yang harus dijalankan oleh para pengikut-pengikutnya. 

Perjuangan Gereja tak beda dengan perjuangan yang dilaksanakan di dalam dunia politik. Kemanusiaan menjadi fokus keduanya. Gereja bertolak dari segi hidup beriman dalam persekutuan teritorial maupun kategorial, politik bertolak dari kumpulan orang yang bergabung dalam masyarakat, bangsa dan negara. Keduanya, dari segi dan sudut pandang masing-masing perlu bersinergi untuk mencapai tujuan bersama yang mulia: damai sejahtera bagi semua yang berkehendak baik. Gereja menjadi pendukung moral yang mengarahkan seluruh umat mencapai martabatnya yang secitra dengan Sang Pencipta.

Demikianlah, beberapa hal penting yang disampaikan kepada seluruh umat Katolik, baik yang terlibat secara langsung dalam dunia politik maupun kepada umat Katolik secara keseluruhan. (f/H).




Dalam Injil (Lk 2:36-40) kita baca kisah tentang Hana, seorang nabi perempuan, yang menghabiskan sisa hidup pada senja usianya dengan berpuasa dan berdoa di kenisah Yerusalem. Dengan berpuasa dan berdoa, Hana menantikan kedatangan Sang Mesias yang akan membawa kelepasan bagi Yerusalem. Hana mendapatkan karunia Allah untuk boleh menyaksikan kedatangan Yesus yang dinanti-nantikan banyak orang dan ikut bersyukur kepada Allah. Hana telah memberi kita sebuah teladan yang patut dihidupi dan hidup yang patut diteladani.

Kita hidup di zaman yang ditandai oleh arus konsumerisme dan hedonisme yang amat dahsyat. Apalagi menjelang akhir tahun. Dunia penuh gemerlap kenikmatan duniawi. Media massa, baik cetak dan terlebih media elektronik sangat gencar mempromosikan hidup yang serba wah dan nikmat. Orang diiming-iming untuk memiliki produk-produk teknologi modern, yang akan menawarkan sejuta kesenangan dan kenikmatan. Kalau kita tidak awas, kita bisa terbius dan hanyut di dalamnya. Orang bisa lupa dan mengira kebutuhan manusia hanya materi. Hanya materi yang dapat membahagiakan manusia. Bahayanya, orang bisa cenderung menjadi materialis. Kita sering dengar ungkapan cewek matri atau cowok matri. Carpe diem (nikmat hidup) yang adalah falsafah hidup orang Roma zaman dahulu, dapat juga menjadi falsafah orang seperti itu di zaman ini. Maka dengan cara apa saja, entah halal atau tidak, orang berusaha mendapatkan apa yang menjadi sumber kesenangan dan kenikmatan. Sering orang tidak peduli dengan nasib orang lain. Orang jadi egois dan kadang tega mengorbankan orang lain dan kepentingan banyak orang.

Tindakan korupsi tiada hentinya meramaikan kehidupan publik bangsa kita. Tiada hari tanpa berita tentang kasus korupsi. Korupsi telah merampas hak rakyat untuk mendapatkan hidup yang lebih baik dan menyebabkan kesengsaraan rakyat yang luar biasa. Hati nurani orang telah menjadi buta untuk melihat kesengsaraan orang lain. Orang hanya memikirkan kesenangan dan kepentingan dirinya dan tidak peduli terhadap penderitaan orang lain.

Kita menyaksikan sebuah lingkaran setan yang sedang mencengkram bangsa kita. Bagaimana kita bisa ikut membantu bangsa kita keluar dari lingkaran setan ini? Kita harus mulai dari diri sendiri, yakni dengan mengikuti teladan Hana, mulai berpuasa dan berdoa. Dengan berpuasa kita mengendalikan kecenderungan konsumerisme dan hedonis dalam diri kita. Kita mengarahkan hidup kita tidak hanya pada materi, kesenangan dan kenikmatan dunia, tetapi kepada yang non materi, hal-hal yang rohaniah yang akan memberikan kepuasan sejati. Kita menyadarkan diri bahwa "manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah. Kalau kita berhasil mengendalikan diri dari kecenderungan konsumerisme dan hedonis, kita juga dapat mengendalikan kecenderungan negatif yang lain seperti egois, serakah, korup, tidak adil, tidak jujur dan lain sebagainya. Kita beroleh kelepasan dari belenggu dosa yang dibawa oleh Yesus sang Penyelamat kita.

Kita juga perlu banyak berdoa agar diberi kekuatan untuk dapat mengatasi bujuk rayu kesenangan dan kenikmatan duniawi. Kita harus sadar akan kelemahan dan kecenderungan kita untuk mengikuti bujuk rayuan gombal dunia ini. Semoga kita diberi anugerah ketahanan iman yang kokoh, sehingga kita pun dapat mengalahkan dunia dengan segala kekuatannya. "Dan inilah kemenangan yang mengalahkan dunia: iman kita". Dengan berdoa dan berpuasa kita juga melapangkan jalan bagi kedatangan Yesus ke dalam hati kita, sehingga seperti Hana, kitapun siap menyambut kedatangan Yesus khususnya di hari Natal. Semoga. **P.Alex Dato L', SVD.

MKRdezign

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget