Fr. Yan Taylor, SVD |
Kita tentu "merasa biasa" dengan dunia kita yang kejam dan tak manusiawi. Kita juga mungkin terbiasa dengan wajah manusia terluka dan terlunta diterpa oleh kejamnya hati yang tak berbelas. Penindasan atas nama agama atau kepentingan golongan tertentu mewabah sehingga “ yang lain” menjadi korban. Diskriminasi rasial yang menjamur tidak hanya pada level lokal, tetapi mencapai level nasional. Embel dari segala tindakan tersebut tak lain adalah kekerasan. Korupsi semakin meningkat, tanpa penyelesaian akhir yang klimaks. Sementara itu, Societas merasa dinina-bobokan dengan janji-janji muluk yang tak kunjung teralisir. Societas gerah!
Manusia kini tak ayal hanyalah merupakan produk dunia yang hilang. Kita pun bertanya, sampai kapankah aku dan zamanku - berdamai. Aku merasa rindu melihat dunia ini dihiasi lagi oleh bunga-bunga indah yang ditanam dan disiram oleh orang-orang yang bertanggung jawab. Aku sesungguhnya tak mengharap dunia ini dihiasi oleh bunga-bunga arwah - karena akibat peperangan dan konflik yang berkepanjangan. Aku pun berharap untuk melihat tangan-tangan yang dicipta oleh Tuhan untuk saling berjabat satu sama lain, bak Israel yang pulang dari tanah pengasingan dengan penuh sorak.Sungguh cita ini membeludak. Apa cita ini bisa menjadi cerita bagi anak - cucu kita yang masih muda belia? Kita berharap mudah-mudahan - generasi ini tidak terlunta oleh badai zaman.(Sebuah ungkapan hati)
Berubah dalam Proses
Kita meyakini bahwa dalam situasi apapun, kita menginginkan perubahan. Perubahan seperti apa yang kita inginkan? Berubah dari keterpurukan? Atau? Meski kita hendak beranjak berubah, kita pun harus berproses. Mengenai konsep proses, Pater Inna Reddy Edara,SVD melukiskannya demikian: “ The metaphor of a tree works as a paradigm for formation. Formation is similar to cultivating a tree”.
Formasi perubahan adalah ibaratnya merawat sebuah pohon. Saya kira, kita semua bisa membayangkan tentang tumbuhnya sebuah pohon. Berawal dari persemaian dan berujung pada dewasanya pohon tersebut. Banyak saat yang dilalui oleh sebuah pohon untuk bertumbuh. Menurut hemat saya, apa yang dilukiskan oleh Pater Reddy tentang sebuah pohon itu menjadi lambang pertumbuhan kita juga.
Kita bertumbuh dalam aneka tragedi dan kisah pilu sebagai anak bangsa dan Gereja. Tragedi dan kisah pilu yang menjadi bagian dari hidup kita membuat kita berefleksi atas hidup kita. Kita ingin mengatakan bahwa segala sesuatu belum berakhir. Kita perlu berbenah. Berbenah dari masa lalu kita. Kita bukan dilahirkan untuk mengubah tragedi-tragedi yang terjadi tetapi paling tidak sebagai warga Gereja, perlu tergerak hati untuk terlibat dalam pencarian yang sejati akan makna perubahan itu sendiri. Kita yang dulu terlibat dalam pencarian dangkal, akan makna hidup, kini perlu mengubah langkah dan pandangan kita agar bisa dengan jelas melihat matahari yang bersinar. Hal yang paling penting juga adalah bahwa membangun sikap saling menghargai satu sama lain sebagai satu saudara. Martabat manusia perlu diangkat tinggi, dan bukannya diinjak-injak.
Adven: Gerbang Harapan
Kita berada dalam sebuah masa yang oleh gereja menyebutnya sebagai masa adven. Masa adven adalah masa di mana kita menyongsong perubahan. Kita ingin membuka gerbang hati kita untuk berubah dari segala masa lalu yang menindas dan memenjara. Kita ingin membenahi jalinan hubungan kita dengan Tuhan dan sesama. Ini adalah harapan-harapan yang ingin kita wujudkan.
Semoga dalam kata-kata doa kita pun, terucap: Dari belakang dan dari depan Engkau mengurung aku, dan Engkau menaruh tangan-Mu ke atasku. Terlalu ajaib bagiku pengetahuan itu, terlalu tinggi, tidak sanggup aku mencapainya.Ke mana aku dapat pergi menjauhi roh-Mu, ke mana aku dapat lari dari hadapan-Mu? Jika aku mendaki ke langit, Engkau di sana; jika aku menaruh tempat tidurku di dunia orang mati, di situ pun Engkau. Jika aku terbang dengan sayap fajar, dan membuat kediaman di ujung laut, juga di sana tangan-Mu akan menuntun aku, dan tangan kanan-Mu memegang aku (Mzm. 139:5-10). **Fr. Yan Taylor, SVD
Posting Komentar