Desember 2016

Dokumen Foto dari penakatolik.com

DEPARTEMEN DOKUMENTASI DAN PENERANGAN KWI
Jl. Cut Meutia 10, Jakarta 10340; Tlp/Faks. (021) 325757
 
No : 01/DOKPEN/05/2002
Hal: Memakai nama "Katolik"
 
MEMAKAI NAMA "KATOLIK"
1. Pantas disyukuri bersama, bahwa akhir-akhir ini semakin nampak adanya orang-orang katolik yang tergerak oleh ajaran-ajaran Gereja Katolik.
2. Lebih dari pada itu, tidak hanya sendiri-sendiri sebagai individu, tetapi juga secara bersama-sama mereka melandaskan kegiatannya ituberdasarkan ajaran Gereja yang mutakhir, termasuk ajaran-ajaran sosial Gereja. Dengan demikian, hal itu dapat dipandang sebagai perwujudan cita-cita Gereja yang percaya bahwa Gereja mendapat tugas  untuk melaksanakan nilai-nilai luhur bagi keselamatan manusia. 
3. Khususnya di Indonesia, Konferensi Waligereja  Indonesia sangat mendukung inisitatif kaum awam tersebut. Hal itu tentu merupakan ambil bagian mereka dalam usaha mengatasi permasalahan bangsa berdasarkan nilai-nilai dan ajaran Gereja. Kerjasama melalui berbagai cara memang menjadi harapan orang-orang beriman di negeri yang sedang menanggung berbagai macam krisis ini.
4. Tetapi, mendasarkan kegiatan bersama  berdasarkan ajaran Gereja Katolik tidak serta merta membuat orang-orang katolik tersebut begitu saja dapat memakai nama "katolik" bagi kebersamaannya itu.
5. Selama ini nama "katolik" telah menjadi nama diri sebuah komunitas beragama yang kehadirannya meliputi hampir seluruh dunia. Maka membuat nama itu menjadi nama diri sebuah kebersamaan, entah itu paguyuban atau organisasi atau partai di sebuah tempat tertentu adalah sebuah tindakan yang mengena pada nama diri Gereja Katolik, yang pada hakekat dan
kenyataannya  adalah sebuah komunitas keagamaan dan bersifat universal.
6. Berhubung nama "katolik" itu selama ini telah menjadi nama diri Gereja Katolik Roma, maka nama tersebut tidak hanya menyangkut Gereja Katolik yang ada di sebuah wilayah tertentu saja. Karena itu, penggunaan nama tersebut diatur oleh Hukum Gereja.
7. Menurut Hukum Gereja yang berlaku sejak tahun 1983, pada pokoknya, penggunaan nama itu hanya boleh dilakukan dengan persetujuan otoritas gerejawi yang berwenang seperti dinyatakan pada kedua pasal ini:
Kanon 300:Janganlah satu perserikatan pun memakai nama "katolik" tanpa persetujuan otoritas gerejawi yang berwenang, menurut norma kanon 312. Kanon 312:# 1 Otoritas yang berwenang untuk mendirikan perserikatan-perserikatan publik ialah:1. Tahta Suci untuk perserikatan-perserikatan universal dan internasional.2. Konferensi Waligereja di wilayah masing-masing, untuk perserikatan nasional, yakni yang berdasarkan pendiriannya diperuntukkan bagi kegiatan yang meliputi seluruh negara.3. Uskup diosesan di wilayah masing-masing, tetapi Administrator diosesan tidak, untuk perserikatan-perserikatan diosesan, terkecuali perserikatan-perserikatan yang pendiriannya menurut priviligi apostolic direservasi bagi orang lain. # 2 Untuk mendirikan dengan sah perserikatan atau seksi perserikatan di keuskupan, meskipun berdasarkan previligi apostolik, dituntut persetujuan tertulis Uskup diosesan; tetapi persetujuan yang diberikan untuk mendirikan rumah tarekat religius berlaku juga untuk mendirika perserikatan yang khas untuk tarekat itu di rumah itu atau di gerejanya.
 
8. Jadi, sehubungan dengan penggunaan nama "katolik" diperlukan dua hal yang hakiki, yaitu persetujuan dari otoritas gerejawi yang berwenang (Kanon 300) dan persetujuan itu tertulis (Kanon 312).
 
9. Selama ini,  para Waligereja yang tergabung dalam Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) tidak pernah  menyatakan persetujuannya kepada siapa pun juga yang berkehendak untuk memakai nama "katolik" pada organisasi, paguyuban, perserikatan, partai  dan sebagainya,  yang sedang dibentuknya.
 
Hendaknya yang bersangkutan dan berkepentingan maklum adanya.
Jakarta, 26 April 2002.
 
 
Dikutip dan diperbanyak untuk kalangan sendiri oleh Keuskupan Palangka Raya, 16 Mei 2005
+ Mgr. A.M.Sutrisnaatmaka MSF.

Kitab Hukum Kanonik atau Codex Juris Canonici, yang sekarang berlaku di – Ritus Latin Gereja Katolik, diumumkan oleh Paus Yoanes Paulus II pada tahun 1983 dengan wewenang kepausan, walaupun hanya berlaku untuk Ritus Latin. Segi ini kurang dipegang secara konsekuen. Kadang-kadang Ritus Latin masih secara diam-diam disamakan begitu saja dengan Gereja Katolik seluruhnya. Hukum Gereja yang umum untuk semua ritus pernah diusahakan juga, yaitu Lex Ecclesiae Fundamentalis, tetapi penyusunannya gagal. Karena suatu komisi khusus memutuskan untuk tidak mempromulgasikan Lex Fundamentalis bagi seluruh Gereja, maka banyak kanon dari rancangan Lex ini dipindahkan ke dalam KHK pada revisi terakhir (1981) sebelum promulgasinya. Kejadian ini ikut bertanggungjawab atas sifat kHK yang ganda, yaitu hukum ritus tertentu dengan sekaligus memuat kanon-kanon hukum yang menyangkut Gereja universal. KHK mengikat hanya orang-orang Katolik yang dibaptis dalam Gereja Katolik atau kemudian diterima ke dalamnya, berusia 7 tahun ke atas dan berakal sehat (kan 11).

Hukum untuk Ritus Timur dikenal dengan sebutan Kitab Kanon-Kanon Gereja Timur atau Codex Canonum Ecclesiarum Orientalium (CCEO) diumumkan oleh paus dalam Sidang Sinode para uskup pada tahun 1990 dan diberlakukan untuk para anggota-anggota (jadi bukan untuk suatu wilayah terbatas) dari 21 Ritus Timur pada peraturan khas beberapa Gereja Timur yang bersatu dengan Roma. Kedudukan dan wewenang khusus pada  batrik Ritus – Kopt (Mesir), - Maronit (Libanon), Siria, - Melkit (Timur Tengah), Armenia dan Khaldea (Irak) diakui. Diharapkan bahwa CCEO akan mendukung usaha ekumneis dengan Gereja-Gereja  - Ortodox yang sama bahasa dan ritusnya. Kitab ini merupakan suatu ‘alternatif Katolik’ atas Kitab Hukum Kanonik (KHK) dengan memperlihatkan, bahwa masalah-masalah dapat diatur secara berbeda di suatu – communio Gereja-Gereja Partikular Katolik, bahkan termasuk masalah penting yang menyangkut struktur dasar, misalnya pengangkatan Uskup bukan oleh Paus, melainkan oleh batrik yang mengepalai suatu ritus atau – klerus yang tidak wajib berselibat.

1. Revisi KHK

Atas prakarsa Yoanes XXIII (1959) dan sebebagai tugas yang diberikan Konsili Vatikan II, maka suatu komisi khusus dibentuk sejak tahun 1965 mulai merevisi Kitab Hukum Kanonik 1917 untuk membaharui tata kehidupan gerejani. Revisi ini bukan hanya merupakan koreksi (Paulus VI) atas Kitab Hukum yang lama, melainkan suatu pembaharuan mendalam berdasarkan semangat Injil sesuai dengan ajaran Konsili. Namun demikian, KHK menggunakan beberapa dokumen Konsili dengan menerapkannya secara sempit. Komisi menggunakan nasihat dan usul – Konperensi-Konperensi Uskup seluruh dunia, khususnya beberapa uskup dan ahli hukum terpilih. KHK tidak bermaksud meneruskan pembaharuan Konsili, melainkan merealisasikan pembaharuan itu sejauh mungkin melalui jalur hukum. Mengenai maksud Kitab Hukum ini Yoanes Paulus II mengatakan dalam Konstitusi Apostolik Sacrae disciplinae leges:
Tuhan Kristus sama sekali tidak ingin menghapus warisan amat kaya dari Hukum Taurat dan para nabi, yang perlahan-lahan berkembang berkat pengalaman – umat Allah PL dalam peredaran sejarah. Ia sedemikian menggenapinya (bdk Mt 5:17), sehingga secara baru dan lebih luhur masuk ke dalam warisan PB. Memang waktu S. Paulus menerangkan – misteri Paskah, ia mengajarkan bahwa manusia tidak dibenarkan karena perbuatannya menurut Hukum, melainkan karena iman (bdk Rom 3:28; lih. Gal 2:16). Namun demikian, Paulus tidak menyangkal bahwa Kesepuluh Perintah Allah tetap berlaku dan mengikat (bdk Rom 13:8-10; lih. Gal 5:13-25; 6:2); juga ia tidak menyangkal pentingnya disiplin di Gereja Tuhan (1Kor 5 dan 6)…
Sama sekali bukan maksud Kitab Hukum ini untuk menggantikan iman, rahmat, - karisma dan terlebih-lebih cintakasih dalam kehidupan Gereja atau umat beriman. Sebaliknya, tujuan utama Kitab Hukum adalah: Menumbuhkan semacam teta-tertib dalam umat, yang memberikan tempat utama pada cinta kasih, rahmat dan karisma, dan sekaligus memudahkan perkembangan yang teratur dari semuanya itu, baik dalam kehidupan umat seluruhnya maupun  dalam kehidupan tiap-tiap anggotanya.

Kitab Hukum merupakan dokumen legislatif Gereja yang utama. Kitab ini bersandar pada warisan hukum dan perundangan dari wahyu serta – tradisi, dan harus dipandang sebagai sarana tak tergantikan untuk menegakkan ketertiban, yang seyogyanya terjaga baik dalam hidup pribadi maupun –sosial, seperti juga dalam kegiatan Gereja itu sendiri. Maka, Kitab Hukum ini terutama menetapkan unsur-unsur fundamental yang menyangkut struktur hierarkis serta organis Gereja, - entah yang ditetapkan oleh Pendiri Ilahi atau berdasar pada tradisi para Rasul ataupun pada tradisi lain yang sudah sangat tua. Lalu, di samping norma-norma pokok yang menyangkut pelaksanaan tiga macam tugas yang dipercayakan kepada Gereja, Kitab Hukum perlu juga menetpakan beberapa aturan dan norma untuk tindakan-tindakan.

Kitab Hukum sebagai sarana, sepenuhnya sesuai dengan hakikat Gereja. Hakikat ini terutama diajarkan secara umum oleh Konsili Vatikan II dan khususnya dalam ajarannya mengenai Gereja. Dalam batas tertentu, Kitab Hukum baru ini dapat dipandang sebagai usaha besar untuk mengalihbahasakan ajaran Konsili mengenai Gereja ke dalam bahasa kanonik. Walupun tidak mungkin mengalihkan citra Gereja, seperti digambarkan dalam ajran Konsili, ke dalam bahasa kanonik secara sempurna, namun Kitab Hukum harus selalu dikembalikan pada citra tadi sebagai polanya yang utama. Sebab sejauh itu mungkin – dengan mengingat sifat Kitab Hukum itu,  - Kitab itu harus mengungkapkan garis-garis besar citra tadi.”

Menurut Paus, KHK 1983 mencerminkan ajaran Konsili tentang Gereja, khususnya tentang Gereja sebagai Umat Allah (G 2) dan – communio atau persekutuan, tentang otoritas hierarkis sebagai pengabdian (G 3), lalu juga tentang hubungan antara Gereja Universal dan Gereja-Gereja Partikular, tentang semua orang beriman yang mengambil bagian dalam jabatan Kristus sebagai Imam, Nabi dan Raja (Kan 204, 1), yang menjadi dasar kewajiban dan hak orang beriman. Namun demikian, pandangan lama yang hierarkis-klerikal tentang Gereja tetap mempengaruhi perumusan hukum kanonik ‘baru’ ini (a.l. karena ‘perbaikan beberapa ahli’ pada menit terakhir).

KHK terdiri dari 1.752 kanon yang terbagi atas 7 buku, yaitu:

  1. Norma-Norma Umum
  2. Umat Allah
  3. Tugas Mengajar Gereja
  4. Tugas Menguduskan Gereja
  5. Harta Benda Gereja
  6. Hukuman Dalam Gereja
  7. Proses-Proses

Para gembala kini memiliki norma-norma yang pasti untuk mengarahkan kegiatan pelayanan suci mereka secara tepat. Dengan Kitab Hukum itu diberikan kesempatan kepada setiap orang untuk mengenal hak dan kewajiban masing-masing, dan ditutup jalan untuk bertindak sewenang-wenang. Penyalahgunaan yang mungkin timbul dalam tata-tertib gerejani karena tidak adanya undang-undang, kini dengan lebih mudah dapat dicegah dan dilenyapkan. Semua karya kerasulan, lembaga dan prakarsa memperoleh dasar untuk maju dan berkembang …. (Pendahuluan KHK).

2. Perkembangan KHK

Perkembangan baik yang terdapat dalam KHK menurut komentar American Canon Law Society adalah a.l.:

  • Pandangan tentang Gereja sebagai Umat Allah mengandung pandangan bahwa semua anggotanya, berdasarkan Pembaptisan mereka, diutus untuk menjalankan misi Kristus sebagai Imam, Nabi dan Raja. 
  • Semua orang beriman pada dasarnya sama kedudukannya berdasarkan Sakramen Pembaptisan dan Penguatan.
  • Peranan aktif orang awam sebagai khas awam menjadi lebih jelas.
  • Tekanan bukan pada kedudukan pejabat, tetapi pada pelayanan mereka terhadap umat.
  • Penerimaan prinsip subsidiaritas dengan pluarisme struktural.
  • Penekanan wajar pada Gereja Partikular dan Uskup.
  • Tekanan pada tanggungjawab terhadap harta benda
  • Prioritas yang diberikan pada reksa  pastoral dan kelongggaran mengenai lembaga-lembaga kanonik untuk memudahkan misi Gereja (mis. Strukutr paroki, perayaan Sakramen-Sakramen…).

Memang, KHK jauh berbeda dari Kitab Hukum tahun 1917, yang memandang Gereja terutama sebagai suatu ‘masyarakat sempurna’ mirip dengan Negara, sehingga hukum gerejani dipikirkan, disusun dan diinterpretasikan menurut teori hukum yang umum (bukan khas keagamaan, apalagi injili.). Idealnya: suatu sistem hukum yang lengkap tanpa pertentangan. KHK 1983 lain: Gereja dipandang sebagai Umat Allah, suatu misteri atau sakramen yang mengandung unsur ilahi. Maka, bahasanya tidak semata-mata yuridis, tetapi juga bercorak teologis, khususnya jika mengutip dokumen-dokumen Konsili (walalupun tidak selalu dengan tepat). Ruang luas yang diberikan kepada para pejabat Gereja untuk menerapkan kanon-kanon umum secara supel dan manusiawi dimaksudkan demi keselamatan orang beriman (berbeda dengan hukum kenegaraan).

3. Pada Kehendak Allah: Walaupun Tidak (Mungkin) Sempurna

Setiap hukum bersifat manusiawi dan karenanya kurang sempurna. Beberapa kemajuan besar KHK dibanding Kitab Hukum 1917 sudah dicatat di atas. Namun demikian, tidak semua harapan yang antara lain diungkapkan juga dalam Konsili, terpenuhi. Ketentuan KHK mengenai kerjasama dan ikut bertanggungjawabnya kaum awam serta tugas-tugas resmi mereka dalam Ibadat, kurang mendukung perkembangan yang lebih lanjut. Hal ini berhubungan dengan gejala-gejala klerikalisme, khususnya kecenderungan sentralistis yang menguatkan kedudukan – batrik di Ritus Latin, yaitu uskup Roma atau Paus. Walaupun kedudukan uskup diosesan dalam Gereja Partikular ditonjolkan, namun dalam Konsili Ekumenis tidak dibicarakan sebagai lembaga kanonik dalam Gereja, dan Sinode Uskup Sedunia tetap lembaga konsultatif semata (Kan 342 – 348).

Dalam hukum konstitusional Negara tiga kekuasaan – legislatif, yudikatif dan eksekutif – jelas-jelas dibedakan dan saling mengimbangi, supaya para warganegera terlindung dari kekuasaan pemerintah yang raksasa. Dalam KHK, ketiga kekuasaan tersebut berpusat pada paus untuk Gereja seluruhnya, dan pada uskup diosesan untuk Gereja Partikular (bdk Kan 135, 331, 391). Memang, hukum kanonik tidak berdasarkan mandat umat beriman, dan tidak menopang keseimbangan ketiga kekuasaan. Inspirasi hukum gerejani harus dicari dalam Injil dan tradisi Gereja (yang dilihat secara kristis). Akan tetapi, keyakinan itu tidak mengharuskan KHK bercorak begitu hierarkis, artinya vertikal saja sehingga segi horisontal hampir tidak ada; misalnya, pengadilan administratif tersendiri tidak ada lagi (walaupun dalam konsep 1980, Kan 1689 – 1692, masih terdapat). Maka, naik banding terpaksa harus diajukan di dalam jalur administrasi itu sendiri (bdk Kan 1400). Sehatnya pola itu pantas diragukan dan tidak dapat dikatakan ‘seharusnya demikian’ dalam Gereja karena itu Gereja. Maka, daftar hak-hak dasar orang beriman (Kan 208 – 223 ) masih perlu dilengkapi. Berhubungan dengan sifat itu: KHK agak sering mengizinkan bahwa ‘ dispensasi’ atau ‘eksemsi’ diberikan oleh mereka yang berwewenang (bdk Kan 85-93).

Berlakunya KHK tergantung dari penerimaan oleh Gereja seluruhnya. Memang, menurut teori pengumuman, hukum berlaku dengan diumumkan, tetapi menurut teori – resepsi, hukum berlaku sesudah diterima oleh seluruh Gereja. Roma berpegang pada teori pertama; kenyataan mendukung teori kedua. Para ahli hukum sesudah berhasil meyakinkan umat bahwa KHK cukup transparan terhadap hukum ilahi, dan dengan demikian akhirnya pada kehendak Allah, walaupun tidak (mungkin) secara sempurna.

P. Alex Dato'L, SVD

Arti Kata Spiritual

Spiritualitas berasal dari bahasa Latin, dari akar kata Spiritus yang berarti Roh Kudus. Kata sifatnya spiritual yang berhubungan atau menunjuk kepada ‘yang rohani’ atau kepada Roh Kudus. Spiritual berarti juga penasehat dan/atau pembimbing rohani atau Bapa rohani. Spiritualitas pada umumnya diartikan sebagai hubungan pribadi seorang beriman dengan Allahnya dan aneka perwujudannya dalam sikap dan perbuatan. Hubungan pribadi itu dibangun atas dasar rangkaian pengalaman iman seseorang dengan Allah dalam bimbingan atau dorongan Roh Kudus. Sehingga spiritualitas dapat dirumuskan juga sebagai ‘hidup berdasarkan kekuatan Roh Kudus dan secara metodis mengembangkan iman, harapan dan cinta kasih atau sebagai usaha mengembangkan segala segi kehidupan ke arah pola hidup yang bertumpu pada iman akan Yesus Kristus atau sebagai pengalaman iman Kristiani dalam situasi konkrit masing-masing orang.

Dokumen: Rm. Alex Dato'L, SVD
Dalam relasi pribadi dengan Allah seseorang mengalami kasih Allah yang begitu besar dan karena itu ia terpanggil untuk membagikan kasih Allah itu kepada orang lain. Allah lebih dahulu memberikan kasih-Nya dan kemudian memanggil orang iut untuk membagikannya kepada orang lain. Karena orang tidak akan mungkin memberikan apa yang dia tidak punya. Kata sebuah pepatah Latin, “Nemo dat quod non habet”. Ibarat upah, sebelum bekerja Allah sudah memberikan upah kepada orang yang ditawar untuk  bekerja di kebun anggur-Nya. Hal ini sangat berbeda dengan dunia bisnis manusia di mana orang harus bekerja terlebih dahulu baru diberikan upah.

Kasih Tuhan amat sangat berbeda  dan tak dapat dibandingkan dengan segala yang lain. Segala yang lain mungkin pernah habis, kalau dibagi-bagikan atau diberikan kepada orang lain. Kasih Allah tidak. Semakin dibagi, semakin orang diberi sampai meluap-luap. Sehingga orang tidak bisa berhenti untuk membagikannya. Bahkan orang akan semakin bersemangat untuk membagikannya.

Relasi pribadi dengan Allah seperti itu akan menjiwai dan memberikan roh atau semangat kepada segala kegiatan yang dilakukan seseorang dalam hidupnya, khususnya yang yang bersifat rohani. Orang akan melakukan kegiatan apa saja dengan penuh gairah, sukacita dan terlebih dengan penuh kasih. Ibu Teresa pernah berkata, “Pada hari akhirat Tuhan tidak akan bertanya, berapa banyak kebaikan yang anda lakukan, tetapi berapa banyak kasihmu dalam apa yang anda lakukan.” Kasih membuat orang melakukan sesuatu dengan penuh sukacita.

Dipanggil Untuk Melayani

Pada perjamuan malam terakhir Yesus melakukan suatu tindakan yang sangat dramatis yakni membasuh kaki para murid-Nya. Tindakan seperti itu biasanya dilakukan oleh para pelayan terhadap para tamu undangan dalam sebuah pesta perjamuan. Dengan melakukan tindakan seorang pelayan Yesus ingin memberikan pelayanan kepada para murid-Nya. Lewat tindakan seperti itu Yesus mau mengajarkan para murid-Nya untuk saling melayani. Tindakan nyata memang lebih meyakinkan daripada kata-kata (Verba movent exempla trahunt).

Di akhir pelayanan-Nya Yesus bersabda: “Kamu menyebut Aku Guru dan Tuhan, dan katamu itu tepat, sebab memang Akulah Guru dan Tuhan. Jadi jikalau Aku membasuh kakimu, Aku yang adalah Tuhan dan Gurumu, maka kamupun wajib saling membasuh kakimu; sebab Aku telah memberikan suatu teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat kepadamu” (Yoh 13:14-15). Yesus mewajibkan para murid-Nya termasuk kita untuk saling melayani. Melayani adalah suatu keharusan bagi setiap orang yang mau menjadi murid Kristus. Karena kita menjadi murid Kristus yang telah datang ke dunia “bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang” (Mt 20:28).

Kita dipanggil untuk menjadi murid Kristus. Itu berarti kita dipanggil untuk melayani seperti Kristus yang telah lebih dahulu melayani kita. Maka pertanyaan penting yang harus dijawab, “apakah Anda pernah mengalami dilayani Kristus?” Apakah Anda punya pengalaman pribadi dengan Kristus? Pengalaman relasi pribadi dengan Kristus itulah yang menjadi roh, jiwa dan semangat dari setiap tindakan pelayanan. Itulah yang dimaksudkan dengan spiritualitas pelayanan.

Dipanggil Untuk Melayani Sebagai Lektor, Pemazmur, Dirigen dan Organis

Tindakan pelayanan dapat dilakukan dalam bentuk apa saja dan di mana saja. Namun Anda dipanggil untuk memberikan pelayanan secara khusus yakni sebagai lector, pemazmur, dirigen dan organis. Untuk itu perlu disadari bahwa panggilan untuk pelayanan khusus seperti ini tidak direncanakan Tuhan dari kemarin, melainkan semenjak dari dalam kandungan, bahkan semenjak dari kekal. Tuhan punya sebuah rencana atau bisa dikatakan sebuah visi tentang diri setiap kita. Untuk itu semenjak dari dalam kandungan Tuhan telah melengkapi setiap orang dengan bakat atau talenta serta kemampuan agar terealisasi visi-Nya itu. Talenta itu diberikan Tuhan semata-mata karena kemurahan hati-Nya dan bukan karena hak kita untuk mendapatkannya. Karena itu manusia tidak punya alasan untuk menggugat Tuhan dan untuk merasa irihati. Sebaliknya manusia harus bersyukur atas apa yang diterimanya dan berusaha mengembangkannya serta memanfaatkannya untuk kemuliaan Tuhan dan pelayanan kepada sesama.

Tuhan mempunyai sebuah visi atau mimpi tentang Anda yakni anda menjadi seorang lector, pemazmur, dirigen yang handal di Gereja Katedral St. Maria Palangka Raya. Untuk itu Tuhan telah memberikan talenta itu untuk Anda. Anda harus bersyukur dan wajib Anda kembangkan serta manfaatkan untuk kemuliaan Tuhan dan pelayanan kepada sesame. Kalau Anda simpan untuk diri sendiri, Anda tahu konsekuensinya seperti terungkap dalam perumpamaan tentang talenta (Mt 25:14-30) yakni hidup yang tidak bahagia. Sebaliknya, kalau Anda memperkembangkannya dan memanfaatkannya semaksimalnya untuk kemuliaan Tuhan dan pelayanan kepada sesama, Anda akan diberi kepercayaan yang lebih besar lagi sekarang ini di dunia dan nanti di akhirat. Siapa tahu di akhirat Anda pun terpilih menjadi lector, pemazmur, dirigen dan organis di surga. Karena di surga hanya ada liturgi.

Komitmen Untuk Melayani

Bunda Teresa pernah berkata, “Pada hari akhirat Tuhan tidak akan bertanya, apakah Anda sukses (sebagai lektor, pemazmur, dirigen atau organis), tetapi apakah Anda setia?”  Menjadi seorang lektor, pemazmur, dirigen dan organis yang terkenal itu baik, namun yang terpenting adalah komitmen atau kesetiaan untuk melayani. Untuk itu perlu disadari penyakit keturunan kita yakni cepat loyo atau kurang darah atau kehilangan semangat untuk melayani, cepat kecewa dan mutung atau ngambek. Kita kurang atau tidak bertanggungjawab atas apa kepercayaan yang telah diberikan kepada kita.

Orang mengatakan, kita menjalani hidup ini atau sebagai orang yang bertanggungjawab atau sebagai korban; sebagai lokomotif atau gerbong. Orang yang bertanggungjawab adalah orang yang tahu dan menyadari nilai dari sebuah pelayanan. Nilai pelayanan itulah yang direspons dalam setiap tindak pelayanannya sebagai lektor, pemazmur, dirigen dan organis.  Nilai pelayanan menjadi panglima atau pengarah utama sikap dan perilaku hidupnya. Perilaku hidupnya tidak ditentukan oleh orang lain, situasi dan kondisi tertentu. Orang yang bertanggungjawab pasti akan berusaha agar pelayanan itu dapat dilakukan dengan sebaik-baiknya dan tidak ada alasan apa pun yang dapat menghambatnya seperti hujan, panas, kemacetan dlsb.

Komitmen atau kesetiaan dalam pelayanan harus dibangun atas dasar kesadaran dan keyakinan akan nilai dari sebuah pelayanan. Nilai dari sebuah pelayanan terletak dalam kasih Kristus dan kasih akan Kristus. Kasih Kristus dan kasih akan Kristus harus membakar hati dan pikiran kita, sehingga kita komit dan setia kepada pelayanan yang dipercayakan kepada kita. Dalam komitmen untuk melayani kita menjadi pelayan yang luarbiasa.

Faktor-faktor Pendukung Komitmen

Sekarang Anda berada pada jalan yang bercabang. Cabang yang satu yakni “menjadi  pelayan yang biasa-biasa saja”. Dan cabang yang lain yakni “menjadi pelayan yang luar biasa”. Anda dipersilakan untuk memilih jalan cabang yang mana. Orang harus memilih secara bebas agar tidak mengalami konflik batin antara apa yang ia lakukan dan apa yang harus ia lakukan. Menjadi apa dan siapa kita harus jadi pilihan kita sendiri. Dwight D. Eisenhower pernah mengatakan: “Sejarah orang bebas tidak pernah ditulis secara kebetulan. Sejarah itu ditulis dengan pilihan – yaitu pilihan mereka sendiri”. Setiap kita harus memilih sejarah macam apa yang mau kita tulis tentang diri kita sendiri.

Anda bisa memilih jalan cabang yang namanya “menjadi pelayan yang biasa-biasa saja”. Pilihan seperti itu memang syah-syah saja. Namun dengan memilih jalan cabang yang satu ini kita sebetulnya mematikan suara panggilan Tuhan dalam hati kita masing-masing. Tuhan sebetulnya memberikan kepada setiap kita talenta, bakat atau kemampuan untuk memilih arah kehidupan yang mengarah kepada hidup yang agung, hebat dan memberikan sumbangan atau kontribusi sebesar-besarnya untuk Tuhan dan sesama. Ingat perumpamaan Yesus tentang talenta (Mat 25:14-30).

Kiranya menjadi sebuah kebanggan bagi kita bahwa kita berani memilih jalan cabang yang baru. Kita tidak mau “menjadi pelayan yang biasa-biasa saja”. Menjadi pelayan yang luar biasa harus menjadi visi, mimpi, cita-cita setiap kita yang harus kita perjelas secara pribadi. Visi berarti dengan mata batin melihat kemungkinan yang terdapat dalam diri sendiri, orang lain, organisasi dlsb. Dengan mata batin saya melihat secara jelas kemungkinan yang begitu besar dalam diri bapa dan ibu untuk menjadi pelayan-pelayan Tuhan yang handal seprti yang dikehendaki Tuhan.

Dan untuk mewujudkan visi itu dibutuhkan disiplin . Disiplin itu harga yang harus dibayar untuk sebuah visi. Disiplin berarti kemampuan untuk mengalahkan suatu yang baik demi sesuatu yang lebih baik. Untuk melaksanakan disiplin dengan baik dibutuhkan gairah. Gairah itu api, hastrat berkobar-kobar untuk mempertahankan disiplin agar terus berjuang guna mencapai visi. Gairah itu tumbuh dari pertemuan antara kebutuhan dan kemampuan. Kita melihat kebutuhan Gereja Katolik akan  pelayan-pelayan yang handal dan anda memiliki kemampuan untuk menjadi seperti itu. Kita masih butuh kekuatan lain yakni nurani untuk mendayagunakan disiplin dan gairah guna mewujudkan visi. Kita tekun dan punya komitmen untuk mewujudkan visi itu karena kesadaraan moral bahwa apa yang kita lakukan itu baik dan benar.

Albert Schweitzer pernah mengatakan: “Dalam hidup setiap orang, pada suatu saat, padamlah api dalam diri. Api itu kembali menyala karena pertemuan dengan orang lain. Kita semua seharusnya berterima kasih kepada orang-orang yang kembali mengobarkan semangat dalam diri kita.”  Setiap kita suatu saat mungkin berkobar-kobar untuk menjadi pelayan-pelayan Tuhan yang luarbiasa, namun harus kita sadari bahwa api itu bisa padam. Kita butuh orang lain untuk menyalakan kembali api itu dalam diri kita. Itu perlu pertemuan berkala untuk saling meneguhkan dalam pertumbuhan dan perkembangan kita menjadi palayan-pelayan Tuhan yang handal.

Penutup

Perlu kita sadari factor-faktor yang dapat melemahkan komitmen kita untuk menjadi pelayan yang luabiasa. Faktor-faktor penghambat itu akan berkurang dampaknya, kalau kita mengembangkan factor-faktor pendukung tersebut di atas. Kita manusia tidak akan pernah berhenti berdosa. Maka hal yang terpenting adalah perbanyak perbuatan kasih, supaya dosa kita berkurang. Semoga lewat pelayanan kasih yang kita berikan sebagai lector, pemazmur, dirigen dan organis, kita mengurangi dosa yang ingin bercokol dalam diri kita. Semoga!

P. Alex Dato'L, SVD

Gereja Katolik Roma

Gereja Katolik dalam tulisan ini merujuk pada Gereja Katolik yang mengakui otoritas Paus sebagai pemimpin tertinggi. Gereja Katolik ini sering disebut juga Gereja Katolik Roma karena Paus yang merupakan pengganti Petrus bertahta di Roma. Gereja Katolik yang dimaksud di sini adalah Gereja Katolik yang mengakui infalibilitas Paus sebagai primus inter pares.Mengenai Gereja Katolik lainnya yang tidak mengakui infalibilitas Paus sebagai primus inter pares tidak menjadi bagian dalam bahasan artikel ini.

Gereja Katolik Roma memiliki pejabat-pejabat yang bertanggung jawab dalam hal mengajarkan iman dan moral. Pejabat ini sering disebut hierarki atau jabatan suci. Jabatan suci diperoleh melalui tahbisan sehingga kuasa yang mereka miliki sering disebut sebagai kuasa tahbisan.Dalam tingkatan hieraki tertahbis (hierarchia ordinis), pejabat Gereja terdiri dari Uskup, Imam, dan Diakon.[1] Menurut tata susunan yurisdiksi (hierarchia yurisdictionis), yurisdiksi ada pada Paus dan para Uskup yang disebut kolegialitas. Kekhasan hierarki terletak pada hubungan khusus mereka dengan Kristus sebagai gembala umat.

Merujuk pada infalibilitas, maka ada istilah magisterium yang artinya Wewenang Mengajar Gereja. Wewenang ini hanya dimiliki oleh Paus (sebagai pengganti Rasul Petrus) dan para uskup (sebagai pengganti para rasul). Sifat infalibilitas ini tidak berlaku dalam segala hal, hanya dalam hal iman dan moral, yaitu pada saat mereka mengajarkan dengan tindakan definitif, seperti yang tercantum dalam Dogma dan doktrin resmi Gereja Katolik.[2] Sedangkan para imam dan diakon merupakan rekan kerja uskup dalam melanjutkan tugas Gereja seperti dimaksudkan di atas. Poin penting yang harus dimengerti di sini adalah bahwa magisterium hanya mengurusi bidang iman dan moral yang seluruhnya merujuk pada Ajaran Gereja yang telah diatur dan ditetapkan oleh Kristus sebagai pendirinya.

Umat Katolik atau Kaum Awam 

Lumen Gentium (LG) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan istilah awam ialah semua orang beriman kristiani kecuali mereka yang termasuk golongan imam, biarawan dan biarawati (definisi tipologis). Dalam artikel ini ditekankan bahwa ciri khas keutamaan kaum awam adalah sifat keduniaannya. Para imam lebih disebutkan pada ciri khas mereka sebagai pelayan suci.[3] Keikutsertaan Kaum Awam dalam perutusan Gereja telah disebutkan dalam Apostolicam Actuositatem. Tentu saja perutusan ini mengacu pada tugas Gereja yang telah diterima saat mereka dibaptis. Azas dan spiritualitas peran awam dapat kita simpulkan bahwa tidak ada hubungannya dengan ajaran iman dan moral, tetapi di dalam mereka, iman dan moral yang telah ditanamkan oleh para pejabat Gereja harus berbuah dan ditunjukkan secara nyata dalam keterlibatan mereka dalam hubungan sosial, hukum dan politik.

Pendidikan Kaum Awam Katolik sangat beraneka ragam bidangnya. Boleh dikatakan mereka masuk dalam kategori profesional di bidangnya masing-masing seperti ahli hukum, ahli politik, ahli keuangan, ahli manajemen, ahli birokrasi dan lain sebagainya. Profesi ini merupakan tanggung jawab kaum awam untuk mengembangkan dan terlibat aktif di dalamnya. Meskipun dalam perkembangan peradaban Gereja, ada para imam yang belajar tentang ilmu-ilmu profesi seperti disebutkan pada kaum awam di atas, mereka tidak bisa mengembangkannya dalam bentuk keterlibatan aktif. Mereka hanya dapat berperan sebagai penasehat rohani bagi kaum awam dengan tujuan agara iman dan moral tadi tetap terpelihara.

Partai Politik dan Ormas Berlabel Katolik

Sebelum menayangkan tulisan ini, penulis berusaha mencari tahu pandangan dari Bapa Uskup Palangka Raya, sebagai salah otoritas Gereja Kataolik di Indonesia terkait penggunaan label "Katolik" pada partai dan ormas. Mgr. Aloysius M. Sutrisnaatmaka, MSF menyampaikan pandangan Gereja Katolik Indonesia kepada penulis melalui e-mail. Berikut ini adalah kesimpulan dari isi surat elektronik Uskup Palangka Raya:

Berhubung nama "katolik" itu selama ini telah menjadi nama diri Gereja Katolik Roma, maka nama tersebut tidak hanya menyangkut Gereja Katolik yang ada di sebuah wilayah tertentu saja. Karena itu, penggunaan nama tersebut diatur oleh Hukum Gereja. Menurut Hukum Gereja yang berlaku sejak tahun 1983, pada pokoknya, penggunaan nama itu hanya boleh dilakukan dengan persetujuan otoritas gerejawi yang berwenang seperti dinyatakan pada kedua Pasal 300 dan 312 Kitab Hukum Kanonik (KHK).

Jadi, sehubungan dengan penggunaan nama "katolik" diperlukan dua hal yang hakiki, yaitu persetujuan dari otoritas gerejawi yang berwenang (Kanon 300) dan persetujuan itu tertulis (Kanon 312). Selama ini, para Waligereja yang tergabung dalam Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) tidak pernah menyatakan persetujuannya kepada siapa pun juga yang berkehendak untuk memakai nama "katolik" pada organisasi, paguyuban, perserikatan, partai dan sebagainya, yang sedang dibentuknya. Hendaknya yang bersangkutan dan berkepentingan maklum adanya.

Pandangan yang disampaikan oleh Bapa Uskup Palangka Raya di atas telah tercatat dalam dokumen resmi Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI (DOKPEN-KWI) Nomor: 01/DOKPEN/05/2002.[4]

Sebelum tahun 2002, sudah ada beberapa ormas yang menggunakan nama Katolik di Indonesia. Pernah ada Partai Katolik yang kemudian dibubarkan. Ada beberapa ormas seperti Wanita Katolik Republik Indonesia (WKRI), Pemuda Katolik, Perhimpunana Mahasiswa Katolik (PMKRI) dan Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA). Yang terakhir adalah dideklarasikannya sebuah Forum yang menggunakan nama "Katolik" pada tahun 1998 yakni Forum Masyarakat Katolik Indonesia (FMKI).

Karena ormas-ormas Katolik di atas terbentuk sebelum tahun 2002 di Indonesia, maka secara hirarkhis keberadaannya diakui sebagai ormas Katolik dan Rumah Bersama untuk FMKI. Ormas-ormas ini tidak mengatasnamakan Gereja Katolik dalam tindakannya. Nama Katolik di sana lebih merujuk pada "mereka sebagai bagian dari Umat Katolik" yang berusaha mewujudkan tugas perutusannya secara pribadi dalam bentuk organisasi kemasyarakatan. Visi dan Misi mereka tidak boleh berbicara soal iman dan moral. Iman dan moral merupakan sesuatu yang telah menjadi landasan dibalik pergerakan mereka. Terdorong oleh mereka telah menjadi Katolik (mengakar ke dalam) ingin menunjukkan kualitas pribadi mereka kepada dunia (keluar mewartakan) dalam bentuk kebersamaan dalam wadah organisasi kemasyarakatan.

Logika sederhananya adalah bahwa istilah Katolik yang melekat pada masing-masing ormas tersebut tidak berarti bahwa mereka mewakili Gereja dalam tindakannya. Mereka hanya bertindak sebagai umat yang telah dibina secara Katolik. Maka, syarat mutlak dari hadirnya ormas Katolik adalah anggota-anggotanya harus memahami lebih dulu Kekatolikannya. Berbicara kekatolikan tidak lagi menjadi urusan mereka dalam organisasi karena itu merupakan urusan para hirarki. Dalam berorganisasi, mereka akan lebih banyak berdiskusi tentang strategi hukum, politik dan hal lainnya tempat mereka menunjukkan kekatolikannya.

Demikian pula Partai Politik berlabel Katolik. Mereka tidak mewakili suara Gereja Katolik dalam politik. Kata Katolik lebih ditekankan pada pengertian personal, yaitu pribadi-pribadi yang ada di dalamnya, kemudian berkumpul untuk membentuk partai. Partai itu dijiwai oleh semangat kekatolikan para anggotanya. Oleh karena itu, menjadikan kaum awam sebagai katolik sejati adalah tugas yang harus telah terlaksana dan dilakukan oleh para pejabat Gereja. Pejabat Gereja mempunyai tanggung jawab pada batas itu. Setelah itu, pejabat Gereja hanya berperan sebagai penasehat rohani untuk mengingatkan kembali nilai-nilai kekatolikan pada aktivis-aktivis yang terlibat dalam politik. Pejabat Gereja tidak berwenang menjadi pembuat kebijakan atas partai politik berlabel katolik.

Gerakan Kaum Awam dalam Ormas dan Partai Politik

Dok. Fidelis Harefa
Bapa Uskup Palangka Raya bersam Generasi Muda Katolik setelah diskusi informal.
Bagian ini yang menjadi lebih menarik. Banyak kaum awam yang terlibat dalam ormas dan partai politik merasa seolah-olah betanggungjawab terhadap iman dan moral. Akibatnya, banyak kaum awam yang takut bertindak karena diliputi keraguan yang berlebihan terhadap kualitasnya sebagai umat Katolik yang terjun dalam birokrasi. Akhirnya, kegiatan internal organisasi lebih didominasi oleh kegiatan-kegiatan rohani seperti rekoleksi, retret, pendalaman iman dan lain sebagainya. Sesungguhnya kegiatan-kegiatan seperti ini bukan lagi kegiatan yang mendominasi. Kegiatan tersebut sudah harus terlaksana sebelum mereka mendeklarasikan sebuah organisasi. Kegiatan organisasi Katolik harusnya lebih pada pengkristalan profesi anggotanya. Pengkaderan politik, penelitian ilmiah, dan diskusi-diskusi hukum harus lebih banyak mendominasi agar kekatolikan yang telah dimiliki dapat tersalur pada bidang profesi masing-masing. Di sinilah peran kaum awam, dimana para hierarki tidak bisa terlibat di sana. Pembinaan Kekatolikan bukan lagi tempatnya dalam organisasi masyarakat atau politik. Pembinaan tersebut merupakan wewenang Gereja.

Penghargaan kepada kaum hierarki adalah hal mutlak yang harus menjadi sikap umat Katolik. Tapi perlu diingat bahwa selain di bidang iman dan moral, kaum awam harus menjadi lebih profesional sehingga kebijakan di luar itu merupakan tanggung jawab kaum awam. Adalah suatu kesalahan bila kaum awam datang meminta petunjuk dan arah kebijakan para hierarki tentang politik, hukum dan birokrasi. Juga merupakan kesalahan fatal bila kaum awam memberikan nasehat tentang iman dan moral kepada para hierarki. Dalam hidup menggereja, masing-masing telah diberi peran. Yang paling penting adalah bahwa semua orang yang terlibat di dalamnya harus memahami perannya terlebih dahulu.

Di sisi lain, para hirarki juga memiliki kekhawatiran yang berlebihan. Kadang-kadang mereka memasuki zona di luar "iman dan moral" sehingga kadang-kadang menjadi penentu sikap dan kebijakan kaum awam dalam banyak kegiatan. Ini benar-benar tidak pada tempatnya. Urusan selain "iman dan moral" harus dipercayakan kepada kaum awam karena mereka memiliki ilmu pengetahuan di bidang-bidang lain itu. Para hierarki cukup berperan sebagai penasehat rohani yang senantiasa mengingatkan nilai-nilai kekatolikan.

Semua organisasi, kelompok kategorial yang pergerakannya lebih terarah ke luar Gereja, harus memenuhi syarat seperti yang telah ditetapkan melalui Undang-Undang yang berlaku. Hanya dengan demikian gerakan tersebut diakui keberadaannya oleh pihak-pihak di luar Gereja, misalnya pemerintah. Bila wadah atau organisasi kaum awam tidak memenuhi ketentuan yang berlaku di luar Gereja, lebih baik gerakannya lebih terarah ke dalam Gereja, mengorganisir rekoleksi, pembinaan iman umat. Kegiatan seperti ini lebih tepat dilaksanakan oleh Komisi Kerawam yang berada di bawah pengawasan hierarki secara struktural.

Politisi dan Prinsip Etika Politik Katolik

Politisi Katolik harus mempelajari ajaran sosial Gereja, membaca ensiklik-ensiklik penting dari alm. Paus Johannes Paulus II seperti Laborem Ecercens (tentang perburuhan), Solliditudo Rei Socialis (kewajiban dalam dimensi sosial politik) dan Centesimus Annus (enksiklik yang memperingati ensiklik ajaran sosial Gereja, Rerum Novarum Paus Leo XIII 1891).[5] Pengetahuan tentang ajaran sosial Gereja ini menjadi modal bagi politisi Katolik untuk menjadi saksi di tengah dunia. Adalah sebuah kejanggalan bila seorang politisi mengaku sebagai politisi Katolik, tetapi tidak mengetahui ajaran Gereja tentang politik. Oleh karena itu, pengetahuan tentang ajaran sosial Gereja harus telah dimiliki sebelum terjun ke dunia politik.

Politisi Katolik harus berpegang penuh pada tujuh prinsip etika politik Katolik. Prinsip-prinsip tersebut adalah:[6]
  1. Prinsip kebaikan hati, yaitu, menolak kebencian, berpihak pada kehidupan (penolakan terhadap abortus, penolakan hukuman mati;
  2. Prinsip kesejahteraan umum (Bonum Commune), yakni, tidak melakukan korupsi tetapi memperkuat habitus anti korupsi;
  3. Prinsip subsidiaritas, yakni, memperhatikan hak lingkungan lebih kecil atas otonominya;
  4. Prinsip solidaritas, yakni, berpihak pada kaum miskin, lemah dan para penderita (option for the poor) dan mewujudkan keadilan sosial seperti juga diamanatkan oleh Pancasila sebagai dasar bernegara di Republik Indonesia;
  5. Prinsip hormat terhadap hak-hak asasi manusi, yakni, memperjuangkan agar hukum dan kebijakan politik tidak boleh melanggar hak-hak asasi manusia;
  6. Prinsip menolak kekerasan karena kekerasan tidak menjadi sarana dalam mencapai tujuan;
  7. Menghargai prinsip demokrasi dalam segala sisinya baik politik, ekonomi, sosial maupun budaya secara bertanggungjawab sebagai penghormatan terhadap kehendak umum. 
Penutup

Politisi Katolik dan Awam Katolik yang terlibat dalam Organisasi Kemasyarakatan harus memahami perbedaan tanggung jawab politik antara kaum awam dan hirarki. Hirarki berperan dan bertanggung jawab dalam tata penggembalaan Umat Allah. Maka hirarki mempunyai tugas memberikan kekuatan, dorongan dan inspirasi iman kepada umat Allah, sesuai dengan martabatnya dalam tugas dan perutusan masing-masing. Peran dan tanggung jawab hirarki meliputi mengajar (iman dan moral), menguduskan dan menggembalakan.[7]

Panggilan perutusan kaum awam bukan dari Gereja, melainkan dari Kristus (Allah), yang telah diterima pada saat seseorang dibaptis. Awam dipanggil untuk mengemban tri tugas Kristus, yaitu tugas imamat (menyucikan/menguduskan), kenabian (mewartakan/mengajar) dan rajawi (memimpin/membimbing). Atas dasar ini, sesungguhnya kaum awam Katolik yang terlibat dalam politik dan organisasi kemasyarakatan terikat untuk mempertanggungjawabkan keterlibatannya kepada Kristus, bukan kepada Gereja.[8]
**Fidelis Harefa.
[1] Lihat KHK 330-552.
[2] Lihat Katekismus Gereja Katolik 888-892.
[3] Lihat LG 31.
[4] Mgr. Aloysius M. Sutrinaatmaka, MSF, Pandangan Gereja Katolik yang disampaikan melalui surat elektronik kepada penulis pada tanggal 6 Desember 2016.
[5] Frans Magnis Suseno, Kerasulan Politik, Panggilan dan Perutusan Umat Katolik, Komisi Kerawam KWI, Jakarta Pusat, 2013, Hal. 124.
[6] Bdk. Frans Magnis Suseno, Kerasulan ... Hal. 124
[7] Modul Pendidikan Politik Umat Katolik, Komisi Kerawam KWI, Jakarta Pusat, 2013, Hal. 167.
[8] Bdk. Modul Pendidikan Politik .... Hal. 166. />

Kita telah bersama-sama melewati pendalaman iman adven pekan pertama. Melalui tema “Janji Allah: Kebenarannya Bersinar seperti Cahaya” kita diajak untuk melihat kembali keberadaan diri kita. Berbagai macam masalah hidup, kesalahan dan dosa yang kita lakukan membuat kita merasa  hidup ini diliputi oleh kegelapan. Hal tersebut diperparah dengan keadaan negara kita yang akhir-akhir ini diliputi dengan berbagai masalah yang berbau SARA. Oleh karena itu, kita diajak untuk membuka pandangan agar dapat melihat janji Allah yang bersinar seperti cahaya. Cahaya yang dijanjikan Allah telah datang dan akan menerangi kegelapan hidup kita. Oleh karena itu, dalam pertemuan yang kedua ini kita semua diandaikan telah melihat siapa diri kita. Melihat kegelapan-kegelapan diri kita dan melihat cahaya yang datang menaungi kegelapan kita.

Tema pertemuan kedua pendalaman iman masa adven adalah “Menanggapi Sapaan Tuhan: Datang kepada Sang Terang.” Agar semakin mendalami tema ini, kita diajak untuk membaca dan merenungkan sabda Tuhan dari Injil Lukas 2:15-20. Sabda Tuhan ini akan membantu kita dalam menaggapi cahaya kasih Allah yang datang kepada kita. Penginjil Lukas mengisahkan bahwa para gembala yang mendengar kabar sukacita tentang kelahiran Yesus Sang Terang itu berkata “Mari kita pergi ke Betlehem untuk melihat apa yang terjadi di sana, seperti yang diberitahukan Tuhan kepada kita” (Luk. 2:15). Para gembala tidak tinggal diam, seorang diantara mereka tergerak untuk mengajak para gembala lain untuk melihat apa yang telah dijanjikan kepada mereka. Ada ketergerakan hati untuk mecari dan menemui Sang Terang.

Lebih lanjut penginjil Lukas menegaskan bahwa para gembala itu “cepat-cepat berangkat dan menjumpai Maria dan Yusuf dan bayi itu, yang sedang terbaring di dalam palungan” (Luk. 2:16). Ketergerakan hati para gembala diwujudkan dengan segera datang menemui Sang Terang. Tanpa menunda-nunda mereka pergi mendekati dan menemui Sang Terang tersebut. Inilah sikap yang diungkapkan oleh para gembala yang tidak memiliki latar belakang pendidikan yang tinggi, yang hanya bekerja seadanya, dan sering kali dikucilkan oleh masyarakat. Namun, mereka memiliki kepekaan yang mendalam akan sapaan Tuhan. Mereka membutuhkan cahaya yang dapat mengubah hidup dan memberikan sukacita, sehingga tanpa mengulur waktu mereka segera pergi menemui Sang Terang yang telah datang itu.

Setiap pribadi memiliki kegelapan yang dialami dalam kehidupannya. Berbagai masalah, pergulatan hidup dan kedosaan diri menjadikan kehidupan pribadi teras gelap. Sindiran, cemoohan, gosip dan pengucilan dari orang-orang disekitar juga menjadi kegelapan yang sangat menyakitkan. Diperparah lagi dengan situasi masyarakat dan negara yang senantiasa dihantui dengan isu-isu teror bom, SARA, korupsi dan berbagai masalah politik. Semua ini tentu membuat hidup di dunia ini terasa semakin gelap. Kebutuhan akan cahaya yang mampu menerangi dan memberikan kelegaan tentu sangat diharapkan. Namun, sering kali kita terbuai oleh semua masalah tersebut dan seola-olah merasa nyaman dan aman berada dalam kegelapan.

Kegelapan yang begitu besar sering kali menutup hati kita, sehingga tidak mampu mendengar sapaan Allah yang menjanjikan terang. Kita lebih senang mengurus hal-hal yang menjadi kesukaan atau hobi sehingga mengabaikan sapaan Allah. Kita sering kali mengikuti keinginan-keinginan daging yang kuat sehingga seolah-olah tidak punya waktu untuk mempersiapkan diri datang kepada cahaya yang telah hadir. Kita juga lebih menuruti rasa malu, minder, ego, takut dan gengsi untuk meninggalkan segala sisi gelap hidup kita. Tanpa disadari akhirnya kita menjadi terbiasa dan senang berada dalam kegelapan. Pada kesempatan ini marilah kita sungguh-sungguh melihat cahaya yang telah datang menaungi kegelapan hidup kita dan berusaha segera menanggapi kehadiran cahaya yang telah datang itu.

Terang telah datang, yang dibutuhkan adalah usaha untuk bangkit dan keluar dari kegelapan hidup yang membelenggu, lalu masuk dan menerima Sang Terang itu. Tanpa adanya usaha dari kita untuk datang, maka sia-sialah kehadiran Sang Terang ke dunia. Menerima terang berarti hidup kita akan dibaharui, kita akan memporoleh kebahagiaan dan keselamatan. Ada beberapa hal yang perlu kita lakukan untuk dapat datang kepada Sang Terang itu, antara lain:

1. Membuka hati 
Hidup dalam di dunia dengan berbagai tawaran yang menggiurkan, mengharuskan kita untuk tahu bahwa segala hal yang ada di dunia ini sifatnya sementara. Kelekatan terhadap hal-hal duniawi dan masalah-masalah pribadi membuat hidup kita semakin terpuruk dan masuk dalam situasi kegelapan. Kita akan merasa bahwa tidak ada kebahagiaan yang akan datang. Tidak ada cahaya yang mampu menerangi kegelapan hidup kita. Oleh karena itu, kesadaran akan keberadaan diri membantu kita untuk menyadari adanya terang yang akan mengubah dan memperbaharui hidup kita. Kesadaran akan kegelapan membuat kita mampu membuka hati untuk menerima Sang Terang yang telah datang. Maka, bukalah hati bagi Sang Terang yang telah datang. Keluarlah dari kegelapan yang kian menjerat dengan kenikmatan dan kepuasan semu. Sukacita, kebahagiaan dan keselamatan telah menanti kita.

2. Mengenal Tuhan
Kita perlu mengenal secara mendalam terang yang hadir di tengah dunia yang gelap ini. Kristus adalah Sang Terang yang datang menerangi kegelapan. Kristus yang mengubah dan membaharui hidup manusia. Jika kita sungguh-sungguh mengenal-Nya tentu semakin mudah bagi kita untuk datang kepada-Nya. Oleh karena itu, bentuklah relasi pribadi yang mendalam dengan Kristus Sang Terang Abadi, sehingga kita mampu menerima Dia di dalam hati kita. Doa, membaca Kitab Suci, mengikuti kegiatan-kegiatan lingkungan dan paroki, Ekaristi menjadi sarana yang mempu membawa kita untuk semakin mengenal dan mencintai Kristus Sang Terang.

3. Bangkit dan Menyambut 
Mari bangun dan berjalan menuju terang abadi. Ulurkan tangan untuk menerima terang kehidupan yang membahagiakan dan menyelamatkan. Terang yang datang tidak akan membawa pengaruh yang besar jika tidak ada keterlibatan aktif dari kita untuk datang kepada-Nya. Bangkit dan menyambut Sang Terang memang tidak mudah. Kesombongan, gengsi, kemasalan dan kegoan kita sering kali menghambat usaha kita ini. Sakramen Tobat merupakan salah satu sarana yang baik untuk datang dan memberikan diri kepada Sang Terang, sehingga kita akan memperoleh sukacita dan kehidupan baru.
Semoga kita mampu melihat sisi gelap hidup kita masing-masing dan mulai mengenal Sang Terang. Segeralah bangkit dan mengambil langkah pasti untuk datang dan mengulurkan tangan menyambut terang kehidupan yang baru. Semoga kita semua mampu keluar dari kegelapan hidup masing-masing dan memperoleh sukacita dan keselamatan dalam Kristus Sang Terang Sejati.  **Victor.

Tradisi musik Liturgi dalam Gereja Katolik telah berkembang berabad-abad, berakar dari budaya bangsa-bangsa yang dirumuskan dalam bentuk: amsal, sajak, mazmur, nyanyian rohani, dan kidung pujian. Perkembangan musik Liturgi mencapai puncaknya didukung Para Bapa Gereja dan komponis-komponis besar dalam sejarah, dan diakui mewarnai perkembangan seni musik universal.

Tradisi musik Liturgi dimaksud merupakan kekayaan Gereja Universal yang tinggi nilainya, terutama karena nyanyian-nyanyian kudus dapat mengungkapkan doa dan pujian secara lebih semarak, memupuk kesatuan umat, dan memperkaya upacara kudus dengan kemeriahan yang lebih agung, sehingga merupakan bagian mutlak dan integral dari perayaan Liturgi Suci. Oleh karena karena itu Gereja mengakui, memelihara dan berusaha mengembangkan semua bentuk kesenian sejati dan memasukkannya ke dalam Ibadat Ilahi dan mengajak para seniman agak hendaknya diresapi semangat Kristiani dan merasa diri terpanggil untuk mengolah musik suci dan menambah perbendaharaannya, serta lagu-lagu yang benar-benar menampilkan ciri musik suci untuk dinyanyikan oleh paduan suara dalam perayaan-perayaan Liturgi.

Pelestarian dan pengembangan musik liturgi perlu diarahkan bagi pembinaan iman umat untuk menjadikan kehidupan bersama sebagai perwujudan Liturgi itu sendiri. Dalam kesemarakannya, liturgi didasari pada penghayatan nilai-nilai kristiani dan panggilan kerasulan secara luas, yakni dengan mengembangkan liturgi perayaan menjadi liturgi kehidupan, agar Warta Ilahi tentang keselamatan dan cinta kasih dikenal dan diterima serta semakin menjangkau semua orang dari segala zaman di seluruh dunia dengan cara yang menggembirakan. Untuk itu Musik Liturgi Gereja perlu dilestarikan dan dikembangkan pula dalam semangat inkulturatif sesuai kekayaan khasanah budaya lokal dengan melibatkan dan memberdayakan secara luas dan terorganisir segenap potensi umat dalam keberagamaannya, sehingga menjadikannya sebagai perwujudan iman secara lebih nyata.

Harapan untuk mengembangkan musik Liturgi di wilayah Keuskupan Palangka Raya secara khsusus, perlu diwujudkan melalui kegiatan pembinaan dan pengembangan yang tanggungjawab pengelolaannya diemban oleh Lembaga Pembinaan dan Pengembangan PESPARANI Katolik (LP3K), dengan berdasar pada Surat Keputusan (SK) Uskup Palangka Raya Nomor: 1/LP3K/IV/15/SK/USKUP/LP3K/PKY/III/2015. Sejalan dengan itu, pada 04 s.d. 06 November 2016 yang baru lalu, LP3K menyelenggarakan kegiatan pembinaan dan pengembangan musik liturgi Katolik bagi peserta yang berasal dari 23 paroki yang ada di Keuskupan Palangka Raya. Kegiatan ini terselenggara berkat kerjasama LP3K dan Kanwil Kemenag Provinsi Kalimantah Tengah sebagai wujud kerja sama antara Gereja Katolik dan Pemerintah.

Kegiatan yang berlangsung selama 3 hari itu dilaksankan di Wisma Unio Keuskupan Palangka Raya, Jl. Bandeng Induk No. 4 Palangka Raya. Peserta yang hadir sebanyak 43 orang dan merupakan utusan dari paroki-paroki yang ada di Keuskupan Palangka Raya. Kegiatan dibuka dengan Perayaan Ekaristi yang dipimpin oleh RP. I Ketut Adihardana, MSF.

Pembinaan dan Pengembangan Musik Liturgi ini berlangsung dengan baik dan diisi dengan berbagai materi dari narasumber yang telah diundang oleh Panitia Penyelenggara. RP. I Ketut Adihardana, MSF menyampaikan beberapa hal tentang peranan musik dalam liturgi dan Ekaristi. RP. Antonius Garingsingan, MSF menyampaikan materi tentang sejarah musik liturgi, perkembangan dan teknik menjadi pelayan musik liturgi. Dr. F.X. Manesa, M.Pd selaku Ketua LP3K Keuksupan Palangka Raya memperkenalkan LP3K dan beberapa prgoram kerja yang harus dilaksanakan di masa mendatang. Drs. Wilhelmus Y. Ndroa, M.Pd, Pembias Katolik Kanwil Kemenag  Provinsi Kalimantan Tengah menyampaikan informasi tentang keberadaan LP3K di tingkat nasional. Pada kesempatan ini beliau juga menyampaikan bahwa LP3K harus mempersiapkan personil yang akan diutus pada kegiatan PESPARANI tingkat nasional yang akan dilaksanakan pertama kalinya di Keuskupan Ambon tahun 2018 yang akan datang.

Rangkaian kegiatan ini ditutup dengan Perayaan Ekaristi oleh RP. Antonius Garingsingan, MSF, dilanjutkan dengan foto bersama. Semoga dengan kegiatan ini, para peserta yang hadir dapat menjadi pelayan musik liturgi di parokinya masing-masing. Bahkan diharapkan, mereka akan menjadi pelatih bagi umat yang lain sehingga keberadaan music liturgi tetap terpelihara sesuai dengan anjuran Gereja Katolik.

Seperti kita ketahui bersama bahwa Masa Adven adalah masa mempersiapkan diri menyambut kedatangan Mesias, baik kedatangannya yang pertama (yang akan kita rayakan pada Hari Natal nanti) maupun kedatangan-Nya yang kedua (makna eskatologis). Seperti biasanya, selama Masa Adven, kita akan memasuki masa Pendalaman Iman Adven (PID) seperti sekarang sedang kita laksanakan di Keuskupan Palangka Raya. Tema Umum Adventus 2016 adalah seperti pesan Natal yang telah disepakati bersama oleh PGI dan KWI yakni: Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus, Tuhan, Di Kota Daud (Luk. 2:11). Tema ini akan kita dalam dalam 4 (empat) pertemuan dengan sub-tema sebagai berikut:
  1. Janji Allah: Kebenarannya Bersinar Seperti Cahaya
  2. Menanggapi Sapaan Tuhan: Datang Kepada Sang Terang
  3. Dipanggil Menjadi Terang Keselamatan Bagi Orang Lain
  4. Mengarahkan Langkah Kepada Tuhan dengan Bertobat
Inilah beberapa sub-tema yang akan menjadi bahan permenungan kita selama masa adven 2016. Artikel ini akan membahas secara khusus tema pertemuan pertama yaitu: Janji Allah: Kebenarannya Bersinar Seperti Cahaya.

Pendalaman iman pada pertemuan ini menggunakan Injil Lukas 2: 8-14 sebagai bacaan yang didalami bersama. Beberapa hal dapat dijelaskan tentang lambang atau simbol yang terdapat dalam bacaan tersebut:
  1. Kedatangan Tuhan, Sang Terang, oleh para malaikat pertama kali diwartakan kepada para gembala yang miskin pada waktu malam. Malam merupakan lambang kegelapan. Para gembala sering dipandang sebagai orang-orang berdosa yang tidak mengamalkan hukum Taurat, sehingga harus dijauhi dan disingkirkan.
  2. Sebagai orang-orang yang tersingkir dan terbuang, para gembala sangat merindukan kehadiran Tuhan, Sang Terang dalam hidup mereka. Dan kerinduan mereka selama ini terjawab pada malam itu. Para malaikat mewartakan kepada mereka bahwa Sang Terang yang mereka rindukan telah datang. [ref: PID 2016, Komisi Liturgi Keuskupan Palangka Raya].
Kembali ke judul pendalaman, Bersinar Seperti Cahaya yang adalah sama dengan terang mengandaikan satu hal yang berlawanan dengan itu, yakni, kegelapan sedang berkuasa. Dalam gelap, kita butuh terang. Dalam terang, tidak mungkin butuh terang. Oleh karena itu, jika iman kita mengakui bahwa Kristus Tuhan adalah terang bagi kita, maka kita pun harus melihat sisi gelap hidup kita yang butuh terang. Dalam pertanyaan refleksif yang di sediakan, kita diajak untuk melihat kegelapan yang sedang dirasakan secara pribadi, kegelapan apa yang sedang dirasakan dalam Gereja, masyarakat dan negara, kemudian kita harus membangun harapan bahwa Kristus akan hadir sebagai terang dalam semua kegelapan itu.

Meskipun pertemuan ini lebih banyak berbicara tentang simbol, lambang, ilustrasi, namun kiranya kita dapat mengidentifikasi sisi-sisi gelap hidup kita yang membutuhkan terang Kristus. Sebagai sebuah pendalaman iman, kita diajak untuk saling menguatkan melalui sharing iman. Kita tidak perlu terlibat dalam diskusi panjang yang tanpa jawaban, tetapi kita cukup saling menguatkan bahwa kita semua membutuhkan terang dalam sisi gelap hidup kita yang berbeda-beda untuk setiap orang.

Semoga pendalaman iman adven pertama ini membantu kita semua untuk mempersiapkan diri dalam menyambut kedatangan-Nya, Sang Terang kehidupan. Amin.

MKRdezign

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget