Oktober 2013

Beberapa hari yang lalu, KAIROS mengajak untuk berbagi pengalaman seputar pengalaman berdoa rosario. Dengan bermodal semangat ingin berbagi, saya melayangkan jawaban saya atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh KAIROS.

Jujur saya sendiri mengenal yang namanya Doa Rosario itu saat baru masuk Sekolah Menegah Atas (SMA).  Dulu di kampung tempat orang tua saya bekerja, tidak ada satupun tenaga pengajar bahkan umat yang beragama Katolik baik ketika saya belajar di tingkat SD hingga SMP. Umat Katolik saat itu yang saya kenal hanyalah orang tua saya. Situasi mengkondisikan saya untuk belajar pendidikan agama Islam saat duduk di bangku SD (kelas 1-2). Sesudah itu, beralih lagi ke pendidikan agama Kristen Protestan. Hingga akhirnya saya melanjutkan sekolah ke jenjang SMA di kota kabupaten barulah ada tenaga pengajar pelajaran Agama Katolik, dari situ saya belajar dan bahkan ke Gereja setiap minggunya, terkadang saya ikut teman berdoa di lingkungan.

Semangat untuk ikut berdoa sudah mulai tumbuh. Namun, semangat itu sesungguhnya adalah karena ingin rame-rame bersama teman-teman. Bulan Maria dan Bulan Rosario menjadi kesempatan untuk berkumpul bersama teman-teman, dan bersama umat lainnya di Lingkungan. Saat itu, saya mulai mengenal DOA ROSARIO, tapi tidak mengerti sejatinya DOA ROSARIO ITU.

Saya pernah berpendapat bahwa DOA ROSARIO ini menyita waktu saja. Terutama setelah saya masuk dalam kesibukan khusus, yang waktu itu terbebani tugas belajar dan lain sebagainya. Perubahan ini membuat saya hadir bagai kunang-kunang malam dalam doa rosario. Rasa bosan mulai tumbuh. Menganggapnya sebagai sebuah rutinitas terlebih pada bulan-bulan yang dikhususkan untuk doa rosario. Saya sadari, beberapa pengalaman saya ini dilatar-belakangi oleh kekurangan saya dalam memahami doa rosario. Inilah yang saya sebut dengan istilah "Kenal tapi tak mengerti". 

Ketika giliran doa, dilaksanakan bertepatan di tempat tinggal saya, dari situlah pemahaman saya tentang sebuah doa mulai berubah. Setelah doa rosario, ada saja yang bersharing dengan menyebut-nyebut "doaku sudah dijawab", "doaku terkabulkan" dan banyak lagi istilah-istilah baru yang baru saya dengar dalam doa rosario saat itu. Sharing pengalaman ini membuat saya penasaran dan akhirnya mencoba untuk berdoa lebih serius dan memahami doa lebih mendalam.

Sejak saat itu, pandangan saya terhadap doa rosario berubah. Dulunya saya anggap tidak ada gunanya. Setelah diperkuat dengan sharing pengalaman dan juga pengalaman saya sendiri, akhirnya saya pun berani mengatakan bahwa berdoa rosario luar biasa manfaatnya. Bahkan sejak saat itu, saya juga mulai mengenal Novena Salam Maria.

Jatuh-bangun dalam berdoa, saya pikir hampir semua orang mengalaminya. Terutama bila hal itu dipandang dari segi permasalahan yang sedang dihadapi. Saya juga merasakan hal yang sama. Sebagai orang muda, kadang-kadang logika mengalahkan segalanya. Banyak alasan untuk tidak mau berdoa. Yah, kadang pemikiran muncul: saat ingin ditolong, yah, berdoa; setelah ditolong, eh..., lupa berdoa. Inilah warna-warni pengalaman saya seputar doa rosario. Ketika jatuh, saya semangat berdoa. Tapi ketika keadaan stabil, santai saja.

Ternyata, orang lain dapat menjadi penyemangat kita dalam doa. Setelah bergabung dalam Komuntias Orang Muda Katolik, saya merasa bahwa saya disemangati oleh teman-teman. Seluruh pandangan saya tentang doa, yang sebelumnya dapat dirasionalisasi, kini berubah. Belum sampai pada puncak kesempurnaannya, namun boleh saya katakan, saya mengalami perubahan itu. Semangat berdoa mulai tumbuh dalam kebersamaan. Selama bulan rosario ini, OMK pernah melaksanakan doa rosario yang dihadiri oleh 3 orang saja. Ketidakhadiran teman-teman tidak menjadi penghalang untuk tidak melaksanakan doa rosario. Dan inilah yang merupakan perkembangan baru yang saya alami. Dulu, kalau tidak rame, tidak berdoa rosario. Sekarang, rame tidak rame, doa rosario tetap jalan.

Sharing ini saya layangkan bertepatan dipengujung bulan rosario ini. Kami, OMK, masih tetap membutuhkan pencerahan, terutama dalam hal-hal yang berhubungan dengan doa. Oleh karena itu, sharing kami ini menuntut pencerahan iman dari orang tua kami, para tokoh umat, agar kami tetap berada di jalur yang benar. Bagi rekan-rekan kaum muda, jangan segan dan malu berbagi pengalaman. Dengan kita berbagi, kita pasti menerima. **Nickjer Silvanus Pasaribu.

1. Pengantar
Pada tgl 1-2 Maret 2013, Keuskupan Palangkaraya menyelenggarakan workshop dengan tema: Ethical Leadership Program. Acara didakan di aula kantor Komisi Keuskupan dan dihadiri oleh para Pastor dan Frater dari seluruh paroki dan perwakilan komunitas biara kota Palangkaraya. Keseluruhan peserta berjumlah 80 orang. Acara ini terselenggara dalam kerjasama antara pihak Keuskupan Palangkaraya dengan Yayasan Bhumiksara, KWI dan Kelompok EHEM.

2. Proses Konsientisasi

Acara diawali dengan pengantar oleh Rm. Adi Susanto, SJ dari KWI yang menjelaskan secara singkat mengenai maksud dan tujuan kegiatan ini sebagai upaya untuk mengembangkan budaya hidup “bersih”, transparan dan akuntabel dalam seluruh sisi dan dimensi kehidupan kita, baik sebagai Imam, Biarawan/ti maupun sebagai awam. Karena itu, workshop ini tidak dimaksudkan sebagai “wahana” untuk belajar tentang korupsi, tetapi lebih sebagai kesempatan untuk proses konsientisasi/penyadaran dimana para peserta diajak untuk bertanya pada diri masing-masing, apakah selama ini kita menjadi bagian atau ikut ambil bagian dalam menyuburkan korupsi dengan pola hidup yang  tidak transparan;  ataukah sudah mampu menampilkan diri sebagai pribadi yang secara sadar dan bebas menolak segala bentuk prilaku hidup yang mengarah kepada korupsi?

Sebagai warga masyarakat Indonesia, komunitas Gereja tidak bisa berdiam diri menyaksikan semakin mewabahnya korupsi di negara kita. Kita sadar bahwa dengan kekuatan kita sendiri saja, kita pasti tidak sanggup untuk memberantas korupsi yang sudah sedemikian merasuk kedalam sumsum kehidupan berbangsa dan bernegara di tanah air kita; namun demikian kita dapat mengubah situasi luar yang demikian “buruk” itu dengan mulai mengadakan perubahan dari dalam diri kita masing-masing, dari komunitas, paroki dan keuskupan dengan mengembangkan pola hidup bersih korupsi yang dilandasi oleh sikap keterbukaan (tranparansi), akuntabilitas dan kejujuran.
Kalau kita mau mengubah orang lain dan dunia kita harus mulai mengubah diri kita masing-masing; prinsip ini berlaku juga dalam hal pengembangan hidup bebas korupsi. Dengan mengembangkan pola hidup semacam itu, kita sudah secara langsung ikut ambil bagian dalam usaha untuk menghambat mewabahnya korupsi di tengah-tengah masyarakat kita. Hal itu harus kita mulai dari diri sendiri, dari komunitas, dari lingkungan sekitar. Ada ungkapan bijaksana yang  mengatakan: “Kalau mau membersihkan halaman orang lain, bersihkanlah lebih dahulu halaman sendiri”.

Berbicara mengenai masalah korupsi dengan sikap “mengadili” orang lain, seolah-olah orang lain itu tidak “bersih” dan dirinya adalah orang “bersih” sama dengan mengembangkan sikap kemunafikan seperti yang ditunjukkan oleh orang-orang Farisi pada zaman Tuhan Yesus. Sikap kemunafikan semacam itulah yang tengah berkembang dalam masyarakat kita sekarang ini. Meskipun dengan sangat jelas didukung oleh sejumlah bukti yang sahid, para koruptor selalu berkelit dan menyalahkan pihak lain, malu mengakui dirinya sebagai pelaku tindakan korupsi. Mentalitas semacam ini, memang tidak akan menyelesaikan masalah. Akar masalah tidak terletak pada orang lain, tetapi pada diri para koruptor itu. Menebas masalah korupsi harus dimulai dari diri sendiri dengan berani “menebas” keangkuhan dan kesombongan diri. Bukankah Tuhan Yesus sendiri bersabda: “dari dalam diri manusia muncul segala macam bentuk kejahatan: iri hati, dendam, keserakahan...” (bdk. Mrk 7, 22)

3. Model-Model Korupsi di Indonesia: Gurita dan Kanker 

Setelah mendapat masukan seputar maksud dan tujuan pertemuan ini serta bagaimana harus membangun sikap yang tepat sebagai orang beriman, para peserta diajak untuk melihat secara utuh substansi korupsi serta “cara kerjanya”. Korupsi digambarkan dalam 2 bentuk: Gurita dan penyakit kanker ganas. Dalam gambaran sebagai Gurita, korupsi menggunakan “tangan-tangannya” yang demikian banyak untuk “mencari” mangsa sama seperti Gurita yang menggunakan tangan-tangannya yang banyak itu untuk menaklukkan mangsa-mangsanya. Demikian halnya salah satu gambaran dari pola korupsi yang ada di tanah air kita.

Orang-orang yang melakukan korupsi itu ibarat tangan-tangan dan kaki-kaki Gurita yang digerakkan oleh “sang kepala” yang merampas kekayaan dan harta negara untuk kepentingan diri dan kelompoknya sendiri. Menurut gambaran ini, jika “sang kepala” dibunuh, maka dengan sendirinya “tangan” dan “kaki” itu akan mati dan tidak lagi mampu bergerak untuk mencari mangsa. Namun untuk konteks Indonesia, justru persoalan untuk  menemukan “sang kepala” itu menjadi persoalan yang pelik dan sulit karena seringkali “sang kepala” bersembunyi di balik-balik “batu-batu” kekuasaan; dan kalaupun  muncul, kemunculannya ke publik sangat jarang dan sulit untuk dikenal.

Sementara gambaran lain, dan kiranya ini lebih tepat yaitu gambaran korupsi seperti penyakit kanker ganas stadium lanjut yang sudah sedemikian merasuk sampai ke sumsum-sumsum dan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara yang merusak dan menggerogoti “organ” negara tercinta Indonesia ini. Bila hal ini berlanjut terus tanpa ada usaha sistematis untuk mengatasinya,  maka lambat laun bangsa ini akan hancur dan “mati” ibaratnya seperti tubuh manusia yang mati karena sudah terjangkit kanker ganas. Sampai sekarang belum ada “terapi” jitu yang mampu mengatasi keganasan korupsi ini.

Apa yang dilakukan oleh pihak pemerintah masih bersifat “terapi” jangka pendek yang sebatas menangkap, mengadili dan memvonis para Koruptor, sebelum akhirnya dibebaskan oleh pengadilan Tipikor. Belum ada tindakan yang mampu membuat para Koroptor jera untuk melakukan koropsi, misalnya dengan merampas harta kekayaan yang terbukti hasil korupsi atau menjatuhkan hukuman mati; justru sebaliknya, terkesan para Koruptor semakin berani, nekat dan tanpa kenal malu merampas uang rakyat agar dapat hidup dalam kemewahan diatas penderitaan rakyat. Mungkin mereka berpikir: “Sekalian saja korupsi dalam jumlah besar, toh kalau dihukum 5 tahun dan selesai menjalani masa hukuman masih tetap bisa hidup mewah”.

Cina adalah salah satu contoh bagaimana kasus korupsi ditangani secara baik dan hukum yang berkaitan dengan korupsi sungguh ditegakkan. Kalau ada yang terbukti melakukan korupsi, hukumannya: divonis mati atau seluruh harta kekayaannya yang adalah hasil korupsi diambil oleh pemerintah; jadi ada tindakan serta tekanan nyata berupa efek jera yang ditanggungkan kepada para Koruptor; hal ini justru membuat para Koruptur merasa takut dan urung melakukan korupsi. Di Indonesia, justru sebaliknya. Para Koruptor justru dianggap pahlawan. Begitu dibebaskan dari penjara, para sahabat, bahkan masyarakat, menyambutnya bagaikan pahlawan yang baru pulang dari peperangan. Tidak ada perasaan malu dan penyesalan atas tindakan jahat yang telah dilakukannya, seolah apa yang telah dilakukannya itu adalah hal yang biasa-biasa saja; bukan aib sehingga orang yang melakukannya tidak merasa bersalah, apalagi malu.

4. Tanggapan Masyarakat: Apatis

Nampaknya masyarakat semakin apatis menanggapi segala upaya dan usaha yang dibuat oleh pemerintah untuk memberantas korupsi. Di kalangan masyarakat bawah, tindakan pemerintah itu terkesan seperti suatu permainan bola yang sudah diatur, siapa yang akan menang atau dimenangkan, dengan demikian ada pihak yang dikalahkan. Fakta menunjukkan bahwa yang tertangkap dan diadili adalah Koruptor kelas teri, tetapi Koruptor kelas kakap tetap dengan bebas dapat melanglang buana karena mendapat perlindungan dan previlege dari para penguasa negara ini. Itulah antitese tindakan pemberantasan korupsi yang sedang dilakukan oleh pemerintah. Di satu pihak terkesan “galak” menangani kasus-kasu korupsi, tetapi di sisi lain kasus koropsi dibuatkan sistemnya sehingga setiap orang yang ikut “bermain” dalam tindakan itu akan tetap aman asalkan tidak keluar dari sistem itu.

Kiranya bukan hal baru, bagaimana korupsi itu telah dibuatkan sistemnya yang aman dan transparan. Di daerah-daerah, kasus korupsi mewabah karena sudah ada sistem yang mengaturnya. Contoh, seorang Kontraktor yang ingin mendapat proyek dari pemerintah daerah/kota dengan nilai Rp. 3 milliar harus terlebih dahulu membayar “upeti” kepada sang Bupati atau Walikota sebanyak Rp. 300 juta; kepada Kepala Dinas 2,5% dari nilai proyek, kepada DPR sekian persen, kepada pihak pengawas dari kantor PU sekian persen; selanjutnya ketika proyek turun sang Kontraktor masih ahrus membayar kepada sang Bupati/Walikota sebanyak 5% dari nilai proyek; jadi total biaya yang harus dia keluarkan adalah sebanyak Rp. 1, 5 miliar, artinya 50% dari nilai proyek; lalu bagaiman bisa membangun  proyek yang berkualitas dengan anggaran yang tinggal 50%.

Inilah salah satu contoh nyata bagaimana korupsi itu “dilegalkan” oleh pihak pemerintah dengan aturan main yang sangat transparan dan akuntabel. Siapa yang tidak mau “bermain” dengan sistem yang sudah ditetapkan itu tidak akan mendapat proyek dari pemerintah. Ini baru di tingkat Kabupaten/Kota, lalu bagaimana dengan tingkat Propinsi dan nasional? Tidak mengherankan para anggota Dewan yang terhormat berebut menjadi brooker proyek karena tingginya “upeti” yang akan diterimanya dari setiap proyek yang berhasil diperjuangkannya.

5. Gereja dan “Hidup Bersih”

Sebagai bagian integral dari masyarakat Indonesia, Gereja tidak bisa berdiam diri menyaksikan kebobrokan moral yang tengah melanda masyarakat dan bangsa Indonesia. Apa   yang dialami oleh bangsa saat ini, dalam arti tertentu, juga berimbas kepada kehidupan meggereja umat secara keseluruhan. Karena itu, Gereja sebagai komunitas kaum beriman yang memiliki kompetensi khusus dalam hal-hal yang berkaitan dengan masalah moral bangsa harus bertindak untuk mencegah agar “wabah” korupsi semakin dapat dikurangi dan dibatasi.

Pada tataran personal, kita dapat memulainya dengan mengusahakan pola hidup “bersih” dengan membiasakan diri hidup secara sederhana, ugahari, mencukupkan diri pada apa yang ada, disiplin, transparan serta akuntabel. Pola hidup semacam itu dapat kita kembangkan dan usahakan bertolak dari diri sendiri; kita harus mulai membangun “habitus” baru dengan mengedepankan nilai-nilai kesederhanaan dan kesahajaan seperti yang disebutkan diatas. Bukankah tindakan korupsi seringkali muncul karena keinginan untuk menjalani kehidupan yang serba “wah” sementara tidak memiliki kemampuan untuk mewujudkannya; akhirnya jalan pintas pun ditempuh: korupsi, merampas uang publik/masyarakat untuk kepentingan pribadi. Bukankah ditengarai bahwa mereka yang melakukan tindakan korupsi adalah oknum-oknum yang secara material miskin, tetapi ingin hidup mewah bak raja di raja, sehingga begitu ada kesempatan melakukan korupsi tanpa berpikir panjang lansung “menyambutnya” bagaikan “rahmat” yang datang dari Yang Kuasa?. Ketamakan, keserakahan serta mentalitas hidup nyaman, tetapi tidak mau bersusah payah adalah penyebab internal orang melakukan tindakan korupsi.

Pada tataran komunitas, baik komunitas biara atau paroki menjadi penting mengembangkan budaya kedisplinan, transparansi serta akuntabilitas. Disiplin menyangkut semua segi kehidupan, baik disiplin pada diri sendiri maupun dalam kaitan dengan anggota komunitas atau umat. Dengan pola hidup yang diwarnai oleh kedisiplinan, misalnya disiplin dalam hal penggunaan waktu, banyak waktu dapat dimanfaatkan untuk hal-hal positif daripada dibuang secara cuma-cuma karena “memaksa” orang harus menunggu kehadiran kita untuk suatu kegiatan atau pertemuan rutin.

Di Indonesia memang terkenal jam karet, artinya kebiasaan terlambat itu menjadi hal yang sudah biasa dan lumrah dilakukan banyak orang, apalagi di lingkungan para pejabat, sehingga berkembang adagium yang mengatakan:”kalau tidak terlambat datang, itu bukan pejabat”. Pejabat selalu diidentikan dengan keterlambatan, tidak disiplin waktu dan tidak menghargai waktu; pejabat yang seharusnya memberi contoh keteladanan dalam hal kedisiplinan justru sebaliknya memberikan contoh buruk. Dengan tidak menghargai waktu berarti kita tidak menghargai pihak lain.

Pola hidup disiplin itu juga dapat kita perluas dalam hal akuntabilitas dan transparansi keuangan di paroki maupun di komunitas. Transparansi dan akuntabilitas yang dimaksudkan disini terkait dengan laporan keuangan yang dibuat oleh paroki kepada pihak keuskupan dan kepada umat; atau dalam lingkup komunitas, laporan yang dibuat oleh ekonom kepada pimpinan komunitas. “Benih-benih” korupsi juntru mulai ketika laporan keuangan yang dibuat tidak transparan dan akuntabel; artinya tidak jujur, ada sesuatu yang disembunyikan dan tidak ingin diketahui oleh publik.

Dengan membiasakan diri membuat laporan keuangan yang benar dan jujur tidak hanya menumbuhkan nilai-nilai kebajikan dalam diri seseorang, tetapi juga menumbuhkan kepercayaan kepada yang bersangkutan dari pihak publik, dalam hal ini umat atau anggota komunitas. Seorang Pastor Paroki yang berani membuat laporan keuangan dengan jujur dan benar kepada umatnya, tidak saja dia menumbuhkan kebajikan kejujuran dalam dirinya serta mendapat kepercayaan dari umatnya, tetapi juga berimbas pada besarnya kerelaan umat untuk menyumbang bagi Gereja karena mereka tahu bahwa uang yang disumbangkan itu sampai ke paroki (terbukti dari laporan mingguan kepada umat melalui berita paroki) dan sungguh digunakan sesuai dengan intentio dantisnya. Itulah salah satu bentuk hidup “bersih” yang dapat kita usahakan.    

6. Pembentukan Team Fasilitator

Workshop Ethical Leadership Programe dinilai oleh para peserta sebagai hal yang sangat positif, tidak hanya membuka wawasan baru serta memberikan pencerahan, tetapi juga mendorong para peserta untuk melakukan gerakan atau tindakan kongkret dalam upaya untuk ikut ambil bagian menanggulangi korupsi. Tentu saja, untuk melaksanakan hal ini diperlukan banyak orang yang memiliki “jiwa/roh/semangat” yang sama agar gerakannya menjadi gerakan bersama sehingga memiliki daya gentar dan daya gedor yang tinggi. Oleh karena itu, perlu ada rencana tindak lanjut dari seminar ini berupa workshop khusus untuk menjaring para calon Fasilitator.

Dengan adanya team Fasilitator di tingkat Keuskupan, maka gerakan hidup bersih korupsi ini bisa digulirkan ke seantro wilayah Keuskupan dengan menggerakkan team Fasilitator untuk terjun langsung ke paroki-paroki atau masyarakat di wilayah Kalimantan Tengah. Semakin banyak orang yang mendapatkan pencerahan dari gerakan ini tentu semakin banyak yang akan tertulari oleh “virus” hidup “bersih” yang adalah tujuan dari gerakan ini. Ibaratnya seperti bola salju, gerakan hidup “bersih” ini akan bergulir terus dan makin lama akan semakin besar, artinya akan semakin banyak orang yang hidup dan menghidupi roh hidup “bersih” di tengah-tengah masyarakat. Melalui cara semacam ini, Gereja secara langsung ikut ambil bagian dalam gerakan penanggulangan korupsi.**Rm. I Ketut Adi Hardana, MSF

1. Salib Dalam Tulisan Penginjil

Bagi para penulis Injil, kata ini memiliki arti yang cukup penting berkaitan dengan misi yang dilakukan oleh Tuhan Yesus Kristus, khususnya dalam tulisan injil Markus. Di dalam Injil Markus, kata ”Salib” digunakan 12 kali. 4 kali menggunakan kata benda dan 8 kali menggunakan kata kerja. Sejak permulaan injilnya, bayang-bayang salib telah menyertai narasi yang hendak dituliskannya. Ada dugaan, bahwa Markus sang penulis injil memiliki pemahaman teologis tentang Yesus Kristus dari sudut pandang pemberitaan Salib. Hal ini juga yang menuntun para sarjana berpendapat bahwa Salib merupakan inti di dalam Injil Markus.

Sebagian besar dari kisah kehidupan Yesus Kristus yang dituliskan oleh Markus berpusat pada penderitaan Yesus Kristus di dalam menebus manusia berdosa. Puncak dari seluruh penderitaan itu, ketika Yesus Kristus disalibkan di atas kayu Salib. Di dalam peristiwa itu, Yesus berseru dengan suara nyaring ”Eloi, Eloi, lama sabakhtani” (bdk. Markus 15, 34). Bagi Markus, bagian ini merupakan typologi dari PL, secara khusus Mazmur 22, 1. Para sarjana biblika setuju bahwa inti dari Injil Markus adalah kisah tentang Salib. Markus memberi banyak tempat untuk kisah penyaliban dan seluruh Injilnya mencapai puncak pada kisah ini.

Hal ini sangat berbeda dengan kedua Injil yang lain, yaitu Matius dan Lukas. Meskipun kisah tentang Salib diceritakan di dalam kedua Injil ini oleh masing-masing penulis, namun penekanan yang diberikan di dalam narasinya sangat berbeda. Injil Matius memaparkan penggenapan nubuatan PL di dalam diri Mesias yang dijanjikan, yaitu Yesus Kristus. Itu sebabnya di dalam memaparkan kisahnya tentang Yesus Kristus, Matius selalu membandingkan dengan hukum Taurat, baik itu bersifat legal tertulis, ataupun bersifat tradisi lisan dengan keunggulan Sabda Yesu. Kisah tentang Salibpun tidak lepas dari penggenapan nubuatan di dalam PL. Salah satu yang mirip dengan Markus adalah perkataan Tuhan Yesus di atas kayu Salib dalam Matius 27, 46: “Eli, Eli, lama sabakhtani?” Artinya: Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?. Perkataan ini sangat dipengaruhi oleh bahasa Ibrani dan tertulis di dalam beberapa naskah kuno yang lebih awal.

Ada dugaan bahwa teks yang tertulis di dalam injil Matius ini telah mengalami perbaikan dan pengubahan sebagaimana yang telah dilakukan oleh Matius si penulis Injil.
Lukas memaparkan kisah kesengsaraan yang mirip dengan yang dipaparkan oleh Injil sinoptik lainnya, namun penekanannya lebih kepada ’kemanusiaan Yesus.’ Gambaran penderitaan dan kematian Yesus lebih rinci dari injil-injil yang lain. Sejak kelahiran sampai dengan kematiaan-Nya, Lukas menggambarkan tentang kemanusiaan Yesus yang sejati. Mulai dari Yesus yang berasal dari garis keturunan Adam, yang merupakan nenek moyang seluruh umat manusia (Luk 3, 23-28), masa pertumbuhan-Nya sebagai seorang anak (Luk 2, 21-52), masa dewasa ketika Yesus memasuki pelayanan sampai ketika Yesus ditangkap, dicemooh, dipukuli sebagai seorang manusia (Luk 22, 63) dan bahkan kematian-Nya menunjuk kepada kematian seorang manusia (Luk 23, 46). Semua ini jelas memperlihatkan bahwa Lukas sangat menekankan aspek-aspek kemanusiaan Yesus. Merril C. Tenney mengatakan demikian: “Lukas menekankan penderitaan dan simpati Yesus yang manusiawi dengan menunjukkan bagaimana Anak Manusia memikul Salib-Nya dengan ketaatan kepada Bapa-Nya”.

2. Salib Dalam Tulisan Paulus

Paulus mengajarkan tentang Salib, sangat berkaitan erat dengan tugas dan panggilannya untuk memberitakan Injil. Di dalam 1 Korintus, Paulus memulai suatu argumentasi Salib dengan panggilan untuk memberitakan Injil. ”Sebab Kristus mengutus aku bukan untuk membaptis, tetapi untuk memberitakan Injil; dan itupun bukan dengan hikmat perkataan, supaya Salib Kristus jangan menjadi sia-sia.” (1Kor. 1,17).

Keterkaitan antara panggilannya memberitakan Injil dengan Salib Kristus bukanlah terletak kepada kekuatan dirinya semata-mata, melainkan karena kehendak Allah (bdK. 1 Korintus 1,1; Galatia 1,1-4; Efesus 1,1; Kolose 1,1). Itu sebabnya bagi Paulus pemberitaan Injil menjadi suatu tanggung jawab yang tidak bisa dihindari untuk dilakukan, ia berkata ”Karena jika aku memberitakan Injil, aku tidak mempunyai alasan untuk memegahkan diri. Sebab itu adalah keharusan bagiku. Celakalah aku jika aku tidak memberitakan Injil.” (1Kor 9, 16).

Bagi Paulus, Salib memiliki pengertian yang signifikan, baik di dalam pengajarannya (termasuk di dalam pemberitaan Injilnya), maupun di dalam praktik hidupnya (konsistensi antara ajaran dan praktik hidupnya). Di dalam pengajaran (termasuk pemberitaannya), Paulus menekankan bahwa melalui jalan Salib, kutuk hukum Taurat atas manusia berdosa telah dilepaskan. Kutuk yang semula menjadi tanggungan manusia berdosa, telah digantikan oleh Yesus Kristus yang telah membuat diri-Nya menjadi ‘kutuk’ bagi manusia pendosa, sebagaiman diungkapkan oleh St. Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Galatia: ”Kristus telah menebus kita dari kutuk hukum Taurat dengan jalan menjadi kutuk karena kita, seperti ada tertulis: “Terkutuklah orang yang digantung pada kayu salib!” (Galatia 3,13). Di dalam kehidupannya, Paulus telah menyalibkan dirinya bersama dengan Kristus. Dia hidup di dalam Salib Kristus dan memikul Salib itu.

Perasaan ”bangga” (bermegah) yang disampaikan oleh Paulus bukan karena ia telah melakukan berbagai macam pelayanan yang sulit, kemudian ia berhasil melewatinya, dan karena ia “wajib” merasa bermegah, melainkan karena ia hidup di dalam Salib Kristus. ”Tetapi aku sekali-kali tidak mau bermegah, selain dalam Salib Tuhan kita Yesus Kristus, sebab olehnya dunia telah disalibkan bagiku dan aku bagi dunia” (Galatia 6,14). Itu sebabnya seluruh kehidupan pelayanan Paulus dapat dikatakan sebagai perjuangan memikul Salib. Mengapa demikian? Karena baik pengajaran (termasuk pemberitaan Injil yang dilakukannya) dan pola kehidupannya adalah usaha untuk memberitakan Salib Kristus dengan segala konsekuensinya (bdk. Kis 9,16; 2Kor 4, 5-12).

3. Salib Dalam Tulisan Perjanjian Baru Lainnya

Di dalam tulisan Perjanjian Baru lainnya, kata Salib hanya menunjuk kepada 2 bagian ayat: Pertama, di dalam Suarat Ibrani 12, 2; Kedua, dalam 1 Petrus 2, 24. Ibrani 12, 2 menjelaskan: “Marilah kita melakukannya dengan mata yang tertuju kepada Yesus, yang memimpin kita dalam iman, dan yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan, yang dengan mengabaikan kehinaan tekun memikul Salib ganti sukacita yang disediakan bagi Dia, yang sekarang duduk di sebelah kanan takhta Allah”.

Penulis Ibrani dalam konteks ini menyatakan Salib Kristus bukan hanya berhubungan dengan kematian-Nya, namun lebih dari itu kematian-Nya telah memberikan iman sekaligus pengharapan bagi orang yang percaya kepada Kristus yang telah duduk di sebelah kanan Allah. Bagi penulis Ibrani pesan ini akan memberikan kekuatan kepada orang-orang percaya, tatkala menghadapi penganiayaan dari pemerintah Romawi.

Ada yang mencoba melihat bagian ini dengan suatu pemahaman bahwa penyaliban Kristus telah membawa-Nya kepada kemuliaan dengan duduk di sebelah kanan Allah Bapa.
Petrus di dalam suratnya menjelaskan: “Ia sendiri telah memikul dosa kita di dalam tubuh-Nya di kayu Salib, supaya kita, yang telah mati terhadap dosa, hidup untuk kebenaran. Oleh bilur-bilur-Nya kamu telah sembuh (1 Petrus 2, 24).

Rasul Petrus melihat Salib yang berhubungan dengan Yesus di dalam konteks penggenapan nubuat nabi Yesaya (1 Petrus 2, 22-25). Yesus adalah gambaran hamba yang menderita, sebagaimana yang dilukiskan oleh nabi Yesaya. Bukan saja Dia telah menjadi teladan bagi manusia dalam menghadapi penderitaan, tetapi di atas semua itu, Dia telah menyucikan manusia dari dosa dengan cara mati untuk dosa dan hidup untuk kebenaran.

Secara singkat dapat disimpulkan bahwa kedua teks ini menjelaskan hubungan Salib dengan iman dari orang percaya yang diuji oleh penganiayaan. Orang percaya yang hidup pada masa itu mengalami penganiayaan yang hebat dari pemerintah Romawi yang menyebabkan mereka makin tersebar ke berbagai daerah (Diaspora). Penulis kitab Ibrani dan Rasul Petrus sama sama memberikan dorongan, penghiburan sekaligus penguatan di dalam cara yang berbeda. Bagi penulis Kitab Ibrani, iman dan pengharapan dari orang percaya didasari pada Salib Kristus, sedangkan Rasul Petrus menekankan penderitaan Kristus di atas kayu Salib dapat menjadi teladan bagi orang percaya di dalam menghadapi penganiayaan dan penderitaan.

4. Salib Kristus adalah Karunia dari Allah

Dua ribu tahun sesudah penyaliban dan persitiwa kebangkitan-Nya, kita tetap memandang Yesus yang terpaku di kayu Salib di gereja-gereja, di rumah-rumah keluarga Kristiani, di sekolah-sekolah Kristiani dan di tempat-tempat lainnya, dan kita diundang untuk memandang Dia dengan iman sama dengan iman kepercayaan yang memberi inspirasi kepada Maria, Yohanes, Kepala pasukan dan si penjahat yang bertobat.

Dengan mata iman, kita dapat melihat hati Bapa surgawi pada saat Ia menyerahkan Putera-Nya yang tunggal untuk keselamatan kita. Kita dapat melihat darah Yesus yang mengalir dengan begitu bebas, membersihkan dosa-dosa kita dan mendamaikan kita dengan Allah. Dalam memandang Tuhan yang tersalib, kita dapat bersukacita mensyukuri keselamatan kita. Salib Kristus adalah karunia atau anugerah yang diberikan Allah kepada kita dalam Kristus. Melalui Salib Kristus, kita dapat memahami dan mengalami pembebasan dari dosa, keiikutsertaan dalam kemenangan Kristus dan kuasa atas apa saja yang menghalangi kepercayaan kita atas Penyelenggaraan Ilahi. Tentunya semakin kita bertumbuh dalam pemahaman atas segala yang tersedia dalam karunia ini, semakin mendalam pula pengalaman kita akan kasih Allah Bapa dan Roh Kudus yang hadir dalam hati kita

5. Salib Kristus dalam Terang Kebangkitan

Ketika kita berbicara mengenai Salib Kristus, seringkali kita berpikir mengenai balok-balok kayu yang digunakan sebagai instrumen untuk penyaliban Yesus. Namun kalau kita menyelididki Kitab Suci dan membaca tulisan-tulisan para Bapa Gereja, kita akan memperoleh pandangan yang lebih luas, suatu perspektif yang mencakup keseluruhan drama keselamatan kita: inkarnasi, kematian, kebangkitan-Nya dan kenaikan-Nya ke surga. Salib Kristus pada intinya merupakan kesaksian akan Cintakasih Allah yang dicurahkan kepada umat manusia, yang mempunyai kuasa untuk menstranformasi hidup dan pribadi manusia.

Kerapkali kita cenderung memandang Salib hanya dari aspek penderitaan, sengsara dan kematian Yesus. Pemahaman seperti itu, tentu saja tidak salah, hanya saja memahami salib dalam perspektif seperti itu hanya membuat kita terpuruk pada keadaan yang tidak menyenangkan, pada kesedihan dan keterpurukan, pada beban hidup yang harus kita pikul hari demi hari; hidup terasa menjadi berat dan berhenti pada penderitaan.
Kalau kita memandang Salib Kristus dalam terang kebankitan-Nya dan dalam terang kehendak Allah yang mau menyelamatkan semua orang, maka kita mulai dapat melihat bagaimana cintakasih Yesus bagi kita telah menggerakkan-Nya untuk menyerahkan hidup-Nya sendiri guna membawa kita kepada keselamatan.

Bersama St. Paulus kita mengimani Kristus sebagai “kekuatan Allah dan hikmat Allah” (1 Kor 1, 24). Dalam Salib Kristus kita melihat kemenangan atas dosa dan kematian, juga kekalahan kuasa-kuasa kegelapan, baik di dunia maupun yang ada di dalam hati manusia. Hal ini tentunya membawa kita kepada permenungan yang lebih mendalam: Salib sebagai instrumen penyiksaan dan kematian Yesus sesungguhnya membawa sukacita kedalam hati setiap orang yang percaya kepada Kristus, bahkan, sampai pada titik dimana mereka yang percaya kepada Kristus “bermegah dalam Salib Kristus” sebagaimana diungkapkan oleh kesaksian St. Paulus sendiri: “ ...sekali-kali aku tidak mau bermegah, selain dalam Salib Tuhan kita Yesus Kristus, sebab olehnya dunia telah disalibkan bagiku dan aku bagi dunia” (Gal 6, 14).  

6. Kuasa Salib

Seturut pemikiran dan iman Santo Paulus, kepada umat Kristiani, dari generasi ke generasi diajarkan bahwa “diri kita yang lama” disalibkan bersama Kristus pada waktu kita dibaptis: ”...tidak tahukah kamu, bahwa kita semua yang telah dibaptis dalam Kristus, telah dibaptis dalam kematian-Nya? Dengan demikian kita telah dikuburkan bersama-sama dengan Dia oleh baptisan dalam kematian, supaya, sama seperti Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati oleh kemuliaan Bapa, demikian juga kita akan hidup dalam hidup yang baru. Sebab jika kita telah menjadi satu dengan apa yang sama dengan kematian-Nya, kita juga akan menjadi satu dengan apa yang sama dengan kebangkitan-Nya. Karena kita tahu, bahwa manusia lama kita telah turut disalibkan, supaya tubuh dosa kita hilang kuasanya, agar jangan kita menghambakan diri lagi kepada dosa” (Rom 6, 3-6).

Dalam kematian Yesus, dosa manusia itu telah ditaklukkan. Dalam kebangkitan-Nya dicurahkanlah suatu hidup yang dipenuhi oleh cintakasih dan kebebasan. Yesus mencurahkan darah-Nya demi pengampunan dosa-dosa kita dan di kayu Salib Ia menyerahkan hidup-Nya demi membebaskan kita dari cengkeraman kuasa dosa itu. Dengan perkataan lain, oleh kuasa darah-Nya dosa-dosa kita diampuni dan oleh kuasa Salib-Nya diri kita dimerdekakannya. Manusia lama kita telah disalibkan bersama Kritus supaya kita hidup baru, hidup sebagai manusia yang telah ditebus dengan pengurbanan darah-Nya.

Ini adalah keyakinan iman yang membanggakan yang telah kita hidupi selama 2000 tahun lebih. Namun, dari sisi lain kita juga menyadari betapa terikan-tarikan dari manusia lama kita yang mendorong manusia untuk kembali kedalam situasi kedosaan adalah suatu realitas yang tidak dapat dipungkiri oleh siapapun, termasuk oleh mereka yang tergolong Imam dan Biarawan/ti. Ada semacam proses tarik menarik yang berkesinambungan antara dua kekuatan itu. Bagaimana kita akan mendamaikan antara keduanya? Apakah orang -orang Kristiani adalah orang-orang yang perlu dikasihani karena harus menanggung Salib bersama Kristus untuk sampai kepada kemuliaan? Atau, apakah ada suatu makna yang lebih mendalam dari Salib, suatu misteri yang tidak dapat dicerna sekadar oleh akal budi manusia dan karena itu manusia harus berpaling kepada iman?

Pengalaman akan kuasa Salib sepenuhnya berdasar pada iman, artinya hanya orang yang beriman yang dapat melihat serta memahami dan mampu menghayati kuasa Salib dalam kehidupannya. Hal itu kita yakini sebagai kebenaran karena Allah sendiri telah menyatakannya kepada Gereja melalui kematian dan kebangkitan Putera-Nya. Kita percaya akan hal itu karena Santo Petrus, Paulus, Yakobus, Yohanes dan para Kudus yang tidak terbilang jumlahnya selama berabad-abad telah menjadi saksi akan kuasa Salib Kristus dalam hidup mereka. Kita pun dapat melihat buah-buah yang dimanifestasikan dalam apa yang diwartakan dan dilakukan oleh para Kudus.

Penebusan adalah karunia Allah yang diberikan secara bebas, mengalir dari hati Allah dengan cintakasih yang tidak terbatas karena Dia adalah kasih (1 Yoh 4, 8. 16). Kuasa Salib ini tersedia secara bebas bagi orang-orang yang membuka diri untuk menerimanya. Patut untuk dicatat bahwa kuasa Salib tidak hanya diperuntukkan bagi mereka yang  unggul dalam kehidupan kerohanian, tetapi bagi semua orang, sebab Allah memiliki kehendak agar semua orang mengenal kuasa Salib dan diselamatkan dalam nama anak-Nya. Kristus telah melakukan ‘apa yang harus dilakukan-Nya bagi kita’; sekarang dalam iman kita dapat menerima manfaat-manfaat dari apa yang telah dilakukan oleh Yesus, yaitu dengan berdoa sambil merenungkan cintakasih-Nya dan berupaya serius untuk taat kepada perintah-perintah-Nya.

7. Salib dan Perjuangan Manusia

Dari pemaparan diatas menjadi jelas bagaimana Salib Kristus dipahami oleh para saksi iman, saksi kebangkitan Kristus, oleh St. Palus dan oleh umat beriman lainnya. Bertolak dari terang iman, Salib dapat diartikan sebagai ”penderitaan” yang harus ditanggung oleh manusia dalam usaha untuk mencapai kebahagiaan atau kesuksesan dalam hidup. Kearifan lokal dalam kazanah budaya kita telah mengajarkan secara turun temurun bahwa untuk mencapai sesuatu yang baik, bernilai atau kesuksesan orang harus rela dan bersedia untuk bersusah payah dan “banting tulang”. Tidak ada kesuksesan dalam hidup, apapun bentuknya, yang dapat diraih tanpa perjuangan dan pengorbanan; tiada kebangkitan tanpa Salib!

Dalam Kitab Suci, hal itu pun sudah ditegaskan oleh Allah ketika Ia berfirman kepada Adam: “... dengan bersusah payah engkau akan mencari rezekimu dari tanah seumur hidupmu: semak duri dan rumput duri yang akan dihasilkannya bagimu, dan tumbuh-tumbuhan di padang akan menjadi makananmu; dengan berpeluh engkau akan mencari makananmu, sampai engkau kembali lagi menjadi tanah...” (Kej 3, 17b-19). Kutipan dari Kitab Suci ini mau menegaskan bahwa manusia harus berusaha dan berjuang untuk dapat melanjutkan hidupnya, tidak ada sesuatu pun yang sifatnya gratis yang dapat kita peroleh tanpa perjuangan.
Dari warisan budaya dan dalam terang Sabda Tuhan, kita diajak untuk secara serius menjalani kehidupan kita. “Penderitaan” dan perjuangan harus kita terima sebagai sesuatu yang lumrah dan manusiawi sifatnya, artinya sebagai bagian dari hidup manusia. Selama manusia hidup di dunia ini, selama itu juga ada “perjuangan” yang harus dilalui dan dimenangkan, kerap kali disertai dengan pengorbanan yang tak ternilai harganya. Hanya orang yang mau berjuang adalah orang yang akan mampu memenangkan peziarahan hidup di dunia ini dengan hasil yang menggembirakan.

Oleh karena itu, maraknya gaya hidup serba instan yang menghalalkan segala macam cara untuk mencapai tujuan adalah pengkhianatan terhadap makna Sabda Tuhan dan terhadap kearifan lokal yang diwariskan oleh leluhur kita. Maraknya kasus korupsi dan kolusi yang merasuki segenap sendi kehidupan berbangsa dan bernegara di tanah air kita adalah bukti nyata atas pengkhianatan terhadap makna Sabda Tuhan dan terhadap kearifan lokal tersebut. Orang ingin hidup enak, serba berkecupan tetapi tidak mau melewati perjuangan yang seharusnya dilalui; jalan yang diambil adalah jalan pintas: korupsi, menyuap dan kolusi. Mau mendapat posisi “enak” dalam tugas dan karier, menyuap pimpinan; mau mendapat nilai baik dalam ujian: menyontek. Esensi perjuangan dengan segala “kesuasahannya” semakin dicampakkan dalam kehisupan manusia instan.  

Ini adalah manifestasi yang sangat jelas betapa kerja keras dan pengurbanan menjadi hal yang semakin meredup dalam kehidupan kita. Orang lebih mementingkan hasil daripada proses; yang penting hasilnya baik dan menyenangkan masalah proses tidak dipentingkan. Sikap dan pola laku semacam ini tentu saja bertentangan dengan makna Salib sebagai sebuah proses yang harus dilalui untuk mencapai kebangkitan. Perjuangan tidak boleh dihindari, sebaliknya harus dilalui sebagai suatu proses untuk menuju kepada “kemuliaan”. Tuhan Yesus sendiri telah memberikan contoh dan teladan kepada kita bahwa untuk mencapai kemuliaan-kebangkitan Dia harus melalui perjuangan yang berat dan menyakitkan: jalan Salib. Hal yang sama berlaku untuk kita. Untuk mencapai sukses dan meraih hasil yang  maksimal tiada jalan pintas yang tersedia bagi kita, yang ada adalah “jalan” perjuangan dan pengorbanan. Sanggupkah dan beranikah kita melewati jalan yang demikian itu untuk meraih “kemenangan”?

Bagi kita para pengikut-Nya,  jalan yang ditempuh dan ditunjukkan oleh Tuhan Yesus dan sekaligus dilakoni-Nya, yakni jalan Salib adalah jalan yang hendaknya kita tempuh untuk menggapai “kemuliaan”. Tiada kebangkitan tanpa Salib, tiada kesuksesan tanpa usaha dan perjuangan, tiada kebahagiaan tanpa pengorbanan. Di dalam Salib, menjadi nyata betapa Allah dalam kasih-Nya yang tiada batas telah mengasihi dan menyelamatkan manusia dalam Yesus Putera-Nya. Bagi kita, Salib selain menjadi simbolisasi pengorbanan yang tanpa batas, usaha dan perjuangan yang tidak kenal lelah; Salib juga menjadi simbolisasi pencurahan cinta yang sehabis-habisnya untuk mereka yang dicintai. Karena itu, kita harus bangga dengan Salib kehidupan yang kita miliki dan tentu saja akan menjadi suatu kebanggaan yang penuh makna bila makna dan arti Salib itu dapat kita hayati dalam keseharian hidup kita.**Rm. I Ketut Adi Hardana, MSF

Tahbisan imam menjadi awal seseorang masuk ke tataran hirarki yang dimaksudkan untuk pelayanan pastoral. Tahbisan berasal dari bahasa Latin ordinatio, yang artinya “memasukkan seseorang ke dalam "ordo", yaitu kelompok yang dalam keseluruhan menjalankan fungsi tertentu, memiliki jabatan tertentu. Fungsi tersebut adalah fungsi pelayanan yang berdimensi tritugas, yaitu mengajar, menguduskan, dan mengembalakan umat beriman (LG 25, 26, 27). Tritugas inipun juga merupakan tindakan kolektif yaitu dalam kesatuan dengan dewan para uskup. Efek dan hasil dari tahbisan, yaitu dimasukkannya yang tertahbis ke dalam dewan para uskup, memungkinkan yang tertahbis menjalankan fungsinya secara resmi, mewakili Gereja semesta. Tahbisan imam, dilihat dari segi efeknya, tertahbis juga dimasukkan ke dalam kesatuan dengan para uskup, dan imam berindak sebagai “pembantu yang arif untuk uskupnya” (bdk. LG 28).

Petugas tertahbis memfokuskan pelayanannya pada perayaan sakramen-sakramen, utamanya Ekaristi, karena Ekaristi menjadi perayaan jemaat sebagai kesatuan. Tahbisan yang memberikan hak dan kewajiban menjalankan fungsi sakramental membedakan dengan petugas tak tertahbis, meski baik yang tertahbis maupun yang tak tertahbis bersama-sama menjadi pelaku dalam perayaan Ekaristi. Vatikan II juga telah memperluas arti dan makna perayaan Ekaristi sebagai perayaan umat, yang tidak lagi mempersempitnya pada tindakan konsekratoris (dengan kuasa Roh Kudus menjadikan roti dan anggur menjadi Tubuh dan Darah Kristus) pelayan tertahbis. Dengan menekankan actuosa participatio (keikutsertaan aktif) seluruh umat, maka “batas wewenang dan hak” antara petugas tertahbis dan tak-tertahbis dalam perayaan Ekaristi menjadi semakin tipis. Namun tak dapat disangkal, bahwa pihak tertahbis tetap lebih berperanan.

Berdasarkan pokok-pokok ajaran Gereja itu maka seorang imam bisa menjadi idola, apabila ia menunjukkan kesetiaannya dalam segi-segi terkait:

  1. Kesetiaan dalam panggilan, tetap menjalankan imamatnya sampai akhir hayat; walau berat, penuh perjuangan dan penuh tantangan yang membawa resiko kehidupan, batu uji keunggulan seorang imam idola adalah: tetap setia pada imamatnya.
  2. Kesetiaan dalam tritugas pelayanan, sebagai fokus kegiatannya sehari-hari, terus memperdalam dan menghidupinya demi meningkatnya pelayanan tersebut. Pelayanan sakramental dan hal-hal yang berkaitan dengan iman harus menjadi pusat perhatian dan mendapat prioritas dalam menjalankan tugas-tugasnya. Hal-hal lain yang bisa membantu tugas pelayanan boleh saja dikerjakan, tetapi tidak boleh mengaburkan tugas pokoknya. Imam idola tidak boleh dan tidak bisa diukur dengan hebatnya khotbah, pandainya mencari dana untuk pembangunan, menarik bagi kaum muda atau kelompok kategorial lainnya, berhasilnya meningkatkan sosial-ekonomi umat, dll. Imam idola ditentukan oleh kesetiaannya menjalankan tugas pelayanan iman yang menjadi panggilan sesuai dengan tahbisannya.
  3. Kesetiaan dalam memenuhi janji tahbisannya yang diwujudnyatakan dalam pelaksanaan sebaik-baiknya dalam gaya hidup dan tindakan-tindakan kongkrit sehari-hari: ketaatan kepada uskup, pimpinan lainnya, hidup sederhana, mengutamakan kaum miskin, dan hidup dalam kemurnian (selibat) dan selaras dengan kaidah-kaidah yang sudah ada dalam tradisi Gereja Katolik.
Dengan demikian seorang imam idola bukanlah imam yang mendapatkan banyak "wah" karena prestasinya yang hebat karena memiliki bermacam-macam ketrampilan dan disukai, disanjung-sanjung oleh banyak umat. Bisa saja imam idola justru seorang imam yang sederhana, yang dengan tekun dan setia menjalankan tugas imamatnya dan tak banyak orang yang mengenalnya. Tepatlah kata-kata yang perlu dipegang teguh oleh semua imam: Anda dipanggil pertama-tama untuk menjadi imam yang setia dalam pelayan Gereja, bukan imam yang sukses di mata dunia, yang populer, yang disanjung-sanjung banyak umat. Imam idola yang sempurna adalah Kristus sendiri, Sang Imam Agung, yang taat kepada kehendak Bapa. Ia memberikan contoh teladan melayani sampai sehabis-habisnya demi keselamatan umat-Nya. Semua imam selayaknya mengidolakan imam Yesus Kristus yang menjadi pusat hidup imamatnya.

+ Mgr. A. M. Sutrisnaatmaka MSF,
Uskup Keuskupan Palangka Raya
Palangka, 10 Mei 2013.


Pada tgl 5-8 Oktober 2013, atas inisiatif dari Komisi HAK KWI dalam kerjasama dengan Dirjen Bimas Katolik telah dilaksanakan saresehan dengan tema  Revitalisasi Nilai-Nilai Pancasila Dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara. Acara dilaksanakan di hotel Adhie Jaya, Kuta, Bali.

Hadir dalam acara ini sejumlah 30 orang peserta yang berasal dari beberapa Keuskupan: Ambonia, Bandung, Banjarmasin, Bogor, Denpasar, Ende, Jaya Pura, Ketapang, Kupang, Manado,  Makassar, Medan, Palangkaraya, Pangkal Pinang, Purwokerta, Semarang, Surabaya dan Wetebula; sementara Keuskupan lain tidak mengirimkan utusan atau mengirim tetapi tidak pernah sampai di tempat pertemuan karena kesulitan penerbangan ke Denpasar akibat pelaksanaan KTT APEC di Nusa Dua, Bali. Bandara Ngurah Rai ditutup hampir diat hari selama 8-10 jam. Hadir 3 org Nara Sumber: Rm. Mardi SJ, Rm. Magnis SJ dan Rm Benny Susetya Pr (Sekretaris Komisi Hak KWI).

1. Rm Mardi, SJ dalam makalahnya, Pancasila: Spirit Di Balik Rumusan Politik 

a. Hubungan antara Gaudium et Spes (GS) dengan Pancasila

Bagi kita umat Katolik ada hubungan yang sangat erat antara nilai-nilai Pancasila dan Gaudium et Spes (GS). Menghidupi nilai-nilai GS berarti kita juga menghidupi nilai-nilai Pancasila. Kemendesakan penghayatan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi berarti kalau kita menilik sejarah bangsa Indonesia. Bagaimana mungkin mempersatukan wilayah yang demikian luas dan beragama serta berbeda dalam hal budaya dan bahasa? Kuncinya adalah Pancasila. Pancasila mampu mempersatukan perbedaan tersebut.

b. Pancasila dalam kekinian.

Bagaimana situasi sekarang ini?  Banyak anak tidak hafal dan tidak tahu Pancasila. Zama Soeharto Pancasila betul-betul diajarkan meski dengan metode indoktrinasi; Soeharto berjasa: memaksa kita semua belajar Pancasila. Kita tahu Pancasila karena Soeharto; namun sekarang Pancasila semakin dilupakan. Karena itu, Pancasila yang adalah spirit kehidupan berbangsa dan bernegara harus “dihidupkan” kembali dengan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya.

c. Pedagogi yang baru
Apa yang harus kita lakukan dalam mendidik anak-anak kita dalam ber-Pancasila? Mungkin kita harus mengubah format Soeharto, tidak dalam bentuk indoktrinasi, tetapi dalam pola berbeda yang sesuai dengan arus zaman. Pada eranya Soeharto sangat menekankan Pancasila sebagai Ideologi bangsa; Gus Dur menekankan dimensi persatuan Indonesia,  sehingga tidak ada diskriminasi; demikian juga Keadilan sosial diperjuangkan oleh Gus Dur, hanya sayang sekali pemerintahannya sangat pendek sehingga dia tidak sempat melakukan terobosan-terobosan lebih banyak; sementara SBY tidak buat apa-apa tentang Pancasila, bahkan semakin mengaburkannya.

d. Pancasila dan Pendidikan Nilai  

Pancasila mengakui arti Tuhan di RI dan sekaligus tidak mau menjadikan RI negara agama. Karena itu, kita perlu mendidik rasa hormat pada agama lain dalam diri anak-anak, tetapi tetap kritis dan menghargai pluriformitas. Bagaimana relasi lintas agama di situ? Arahnya, pendidikan kepada anak-anak kita hendaknya tidak menekankan agama per agama tanpa melalaikannya, tetapi lebih menekankan dimensi ke-anekaan atau keberagaman sebagai hal yang indah dalam kehidupan bersama.
Bagi kita umat Katolik, Pancasila adalah suatu cara mengungkapkan GS dalam lingkungan Indonesia.  Kalau 37 Keuskupan di Indonesia semua memperjuangkan Pancasila dengan serius melalui orang muda, kita yakin Pancasila bisa kita bangkitkan sebagai milik bersama.

2. Rm Magis, SJ dalam makalah, Etika Berbangsa menekankan agar umat Katolik menyadari kedudukan kita sebagai bagian integral di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, karena itu adalah suatu konsekuensi logis yang muncul bahwa kita harus mengarahkan keterlibatan kita dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Yang pertama, kita umat Katolik adalah bagian bangsa Indonesia seutuhnya. Di dalam tubuh kita sendiri berlaku Bhineka Tunggal Ika. Umat Katolik adalah salah satu mozaik kebinekaan dan pluralitas bangsa Indonesia. Yang kedua, masa depan umat Katolik akan tergantung dari hubungan kita dengan Islam.

a. Umat Katolik dalam Negara Indonesia. 

Dibandingkan sekarang, zaman dulu  lebih gampang masuk partai. Meskipun demikian, kita tidak boleh ikut “arus”, bahwa lebih aman kalau kita tidak terjun dan bergabung dalam partai politik. Kalau kita abstain dalam menentukan arah bangsa, artinya tidak terlibat dalam pecaturan dunia politik, maka kita akan ditentukan oleh pihak lain, kita akan menjadi “obyek” dari kebijakan orang lain, dan hal ini tentu saja tidak menguntungkan.

Munculnya berbagai macam Perda yang “berbau” kegamaan (Islam) yang merugikan kita adalah bukti nyata bahwa kita absen dalam percaturan politik di tingkat daerah. Ketika kita absen, maka kelompok mayoritas dengan leluasa meng-goal-kan “agenda” politik mereka tanpa ada peralwanan dari pihak lain. Karena itu, kaum Awam harus didorong untuk terlibat dalam dunia politik yang adalah  “medan” perutusan mereka agar kita ikut menentukan arah dan masa depan bangsa ini dan dijamin bahwa kehadiran kita tetap diperhitungkan.

b. Relasi dengan Islam 

Mengenai relasi dengan Islam, Gereja Katolik mengalami dalam 40 tahun terakhir periode yang sangat produktif. Waktu tahun 60an (zaman Soekarno), Katolik pada hakikatnya mengalami masa  aman dan damai dengan berpihak pada ideologi nasionalis. Rasa tidak aman muncul pada masa-masa akhir pemerintahan Soeharto ketika kita tidak lagi terpesona oleh Soeharto. Kita melihat betapa kejam pemerintahannya kepada yang menentang, banyak yang menjadi korban dari kebijakan keras Soeharto.

Berhadapan dengan situasi yang demikian itu, mulai muncul suatu kesadaran yang menegaskan bahwa masa depan umat Katolik Indonesia akan aman kalau kita membangun saling percaya dengan Islam secara sungguh-sungguh. Dulu pada ideologi nasionalis kita mengembangkan posisi win-lose dengan Islam. Kita beruntung berarti Islam rugi, Islam beruntung berarti kita rugi. Ini yang disebut win-lose relationship. Yang menguntungkan adalah win-win relationship. Yang menjadi tantangan bagi kita, menjadikan hubungan win-lose menjadi win-win, dan ternyata perkembangan itu terjadi.

 LSM-LSM memainkan banyak peranan besar dalam mengembangkan pola relasi win-win solution, karena dalam LSM banyak orang Katolik dan kita bisa bekerjasama dengan  Islam tanpa kesulitan. Kedepan, kita perlu mengembangkan win-win relationship dengan Islam, dan itu hanya mungkin kalau kedua belah pihak tidak menaruh rasa takut atau curiga satu sama lain melainkan percaya.

c. Membangun Relasi dari akar Rumput

Kita terus menerus harus mengembangkan pola relasi itu dengan pihak Islam, membangun hubungan yang positif dengan Islam, artinya membangun komunikasi, mulai dari tingkat keluarga, paroki sampai dengan Keuskupan. Di Indonesia, komunikasi adalah salah satu kekuatan. Di Indonesia, orang mudah berkomunikasi, karena itu “kekuatan” ini hendaknya kita pakai untuk membangun hubungan yang baik dengan Islam. Banyak Uskup kita sudah bersahabatan dengan tokoh NU atau Muhammadiyah di tempatnya. Itu harus diteruskan. Bukan hanya para Uskup, umat pada umumnya juga perlu dekat. Hendaknya kaum awam mendesak Pastor-Pastor paroki di tempat yang banyak muslimnya supaya membangun komunikasi dengan umat Islam lokal. Bagi kita masa depan tergantung dari relasi yang baik dengan Islam.

Yang mengkhawatirkan adalah berkembangnya intoleransi. Makin lama makin susah membangun gereja; namun demikian kita tidak usah terlalu berfokus pada hal itu;  kita harus mengembangkan kesabaran. Dalam hal memperjuangkan pembangunan gereja, Katolik biasanya memakai jalan kesabaran dan dalam banyak kasus kita berhasil. Protestan lebih konfrontatif.

d. Membangun Relasi dengan Islam Mainstream

Di semua lini kita harus membangun komunikasi dengan Islam, terutama dengan  Islam mainstream, baik NU atau Muhammadiyah. Di tingkat lokal, di wilayah paroki kita, kita bangun hubungan, perkenalan dan silaturahmi dengan mereka. Kita harus ingat bahwa Islam juga takut kepada kita, bukan secara fisik, tapi Islam selalu takut kristenisasi. Perasaan takut dan curiga hendaknya kita jauhkan, sebab dari rasa takut tidak akan berkembang komunikasi yang baik. Tentu saja kita menyadari bahwa tidak semuanya akan berjalan menurut yang kita harapkan, tetapi dengan membangun relasi yang baik dengan Islam, kita sendiri merasa lebih nyaman dalam hidup.

e. Kekuatan Pancasila 

Lebih lanjut, kalau kita mau menempatkan Pancasila dalam etika kehidupan berbangsa, maka hal yang paling penting yang harus kita sadari bahwa kita mesti yakin bahwa Pancasila itu tetap fundamental dan penting bagi bangsa Indonesia. Jadi, kita jangan ikut dengan mereka yang berpendapat bahwa Pancasila itu hanya hiasan dinding;  Pancasila punya gigi, bisa menggigit, bisa menantang. Perlu melihat Pancasila dalam kerangka etika pasca-tradisional internasional yang juga menjadi etika politik Katolik.
Kekuatan Pancasila terletak pada kenyataan bahwa dia mengangkat nilai-nilai, cita-cita etika bangsa yang berakar dalam budaya Indonesia,  jadi bukan sesuatu yang asing. Orang Indonesia yang mengenal budayanya dengan baik, mestinya tidak mengalami kesulitan menerima Pancasila. Bagi Soekarno, Pancasila itu etika berbangsa yang berakar dalam tradisi tua Indonesia dan berguna bagi masa depan Indonesia. Jadi bukan semacam cita-cita zaman dulu. Pancasila tetap harus kita aktualkan dalam etika pasca tradisional, dalam kehidupan benegara dan berbangsa dewasa ini.

3. Rm Benny dalam makalah: “Masihkah Pancasila Menjadi Habitus Bangsa Ini?” menegaskan bahwa Pancasila memang mengalami degradasi dalam hal kehidupan berbangsa dan bernegara, nilai-nilai Pancasila tidak dihayati seperti dulu, sehingga berbagai tindakan yang berlabel intoleransi menjadi “tontonan” keseharian masyarakat. Karena itu, Rm Benny mengingatkan bahwa kita harus kembali kepada Pancasila, kembali menghidupi nilai-nilai Pancasila mulai dari diri sendiri, keluarga, paroki, masyarakat luas sampai pada level kehidupan nasional. Sebagai orang Katolik, kita tidak punya pilihan lain, selain bangkit bersama untuk menghidupi dan menghayati Pancasila.

Untuk lebih mendorong para paeserta dalam merevitalisasi nilai-nilai Pancasila, maka para peserta yang terbagi dalam 3 kelompok membuat modul yang terbagi dalam 3 bidang: Keluarga, Pendampingan Kaum Muda dan Kehidupan Politik. Lewat ke 3 bagian ini, para peserta akan merumuskan dan menuangkan nilai-nilai Pancasila itu kedalam modul-modul yang siap pakai.

Pertemuan ditutup pada tgl 7 Oktober 2013, Pk. 18. 30 WIB dan dilanjutkan dengan acara foto dan makan malam bersama. Pada tgl 8 Oktober 2013, seluruh peserta telah meninggalkan tempat pertemuan dan kembali ke tempat masing-masing. Sayang sekali sampai pertemuan ditutup 1 org peserta dari Tanjung Selor tidak pernah muncul akibat bandara Ngurah Rai ditutup untuk penerbangan publik.**Rm. I Ketut Adi Hardana, MSF


Ilustrasi dari: jpmi.or.id
Dalam suatu kesempatan, saya bertanya kepada seorang ibu “berapa anak dalam keluarga?” Ia menjawab, ada dua anak, putera dan puteri. Lalu saya katakan, mestinya tambah lagi tiga supaya menjadi lima anak dalam keluarga. Spontan sang ibu membantah “gak bisa dong, sekarang segala-galanya sangat mahal. Sekolah mahal, biaya rumah sakit mahal, sembilan bahan pokok mahal dan segala yang lainnya mahal.

Saya tertegun mendengar bantahan si ibu itu. Sambil bertanya dalam hati, mengapa di zaman moderen yang melimpah dengan berbagai materi dan  penuh dengan segala kemajuan,  yang sebetulnya dapat membuat hidup ini lebih mudah, tetapi orang begitu cemas mempunyai anak lebih dari tiga?  Lalu mengapa dahulu orang memiliki anak sampai sepuluh bahkan lebih, tetapi mereka merasa aman dan baik saja? Malah mereka bangga dengan prinsip “banyak anak banyak rejeki”. Padahal mereka hidup dalam keterbatasan dan kekurangan, tanpa ditopang dengan kelimpahan materi, kemajuan teknologi yang canggih seperti yang kita alami sekarang ini.

Terbukti bahwa rata-rata generasi tua sekarang ini adalah produk keluarga besar, yang mampu menempuh pendidikan baik dalam negeri maupun di luar negeri, dan juga merancang hidupnya dengan baik sampai sekarang ini. Maka pertanyaannya, mengapa manusia moderen sangat cemas kalau mempunyai anak lebih dari tiga?

Tenang atau takut memiliki keturunan 

Nampaknya memang sulit diterima bahwa zaman moderen yang memungkinkan kita memperoleh segalanya dengan cepat bahkan mudah, tetapi orang-orang yang hidup di dalam zaman ini sepertinya tidak aman dan tidak tenang. Mereka selalu merasa cemas, takut dan bimbang. Mereka mudah stress, frustrasi dan sepertinya tidak mampu menerima tantangan yang berat. Kalau tantangan terlalu berat mereka mudah mencari jalan pintas entah dengan pergi ke dukun sim salabim atau dengan memutuskan nadi kehidupan mereka (bunuh diri). Lagi–lagi, mengapa manusia moderen sangat cemas dalam hidup dan takut memiliki keturunan yang banyak ?

Berbeda dengan generasi yang hidup di tahun 50–an hingga tahun 70–an. Mereka nampak tenang dalam keterbatasan hidup, mereka tidak gulau, cemas dan takut menghadapi hidup yang tidak cemerlang, secemerlang zaman moderen ini. Hidup mereka mengalir saja, selaras dengan mengalirnya waktu dan bergulirnya usaha–usaha mereka tanpa suatu manajemen yang canggih seperti sekarang ini,  tetapi ada saja rejeki dan berkat yang mereka nikmati. Pertanyaannya, mengapa orang dulu begitu aman, tenang menghayati hidupnya dan tidak cemas mendapat keturunan yang banyak ?

Mengapa takut dan cemas? 

Tentang dua kenyataan yang paradoks ini, saya tertarik dengan pernyataan penulis buku Heart and Soul for Europe,  Edy Korthals Altes dalam ceramahnya di Aula Kairos Institut Maynooth – Irlandia pada bulan Juni 2004. Ia mengatakan, yang membuat manusia moderen merasa cemas terus-menerus (walaupun mereka hidup dalam kecemerlangan teknolgi yang canggih yang memudahkan segalanya) karena mereka telah ”merampas bidang kekuasaan Allah”. Mereka berani menakar kelahiran seorang anak secara ekonomis, misalnya anak cukup satu atau dua karena biaya hidup mahal. Mereka berani membuat aborsi karena takut menanggung kelanjutan hidup anak yang mau dilahirkan, mereka membuat diri seperti sebuah ”kelinci percobaan” yang meragukan penyelenggaraan Allah atas hidup, dsb.

Dalam arti tertentu pendapat Edy Korthals ini sangat benar. Soalnya sulit dimengerti, kita hidup dalam suatu zaman yang serba mudah karena kemajuan dalam berbagai bidang, tetapi sepertinya kita tidak pernah merasa puas. Kita cemas dan takut sekali terhadap berbagai bentuk kehidupan dan peristiwa yang kita alami. Kita jelas-jelas menggusur peran Allah sebagai penopang dan pelindung kehidupan dari pusat hidup kita.

Kalau Allah sudah digusur jauh-jauh, betapapun hidup dalam kelimpahan, kita akan tetap merasa takut dan cemas. Semua kemajuan tidak menjadi jaminan yang menenteramkan batin kita, malah sebaliknya kita seperti melangkah di atas duri yang membuat kita merintih kesakitan dan tertatih-tatih dalam menapaki setiap cita hidup yang kita miliki.

Sementara itu, kalau melihat kehidupan orang zaman dulu, mereka justru bertumbuh dalam keterbatasan, tetapi karena mereka tetap mengandalkan Allah sebagai penyelenggara kehidupan atau mereka masih memiliki kepasrahan untuk berjalan dalam hadirat Allah (coram Deo ambulamus) maka biar hidup terbatas, miskin, tanpa ditopang teknologi canggih namun mereka merasa aman dan tenang mendidik anak – anaknya sampai sukses.

Yang pasti,  generasi yang lahir di tahun 50 – an sampai tahun 70 – an, rata – rata berasal dari keluarga besar, namun ternyata orang tua,  mampu menghantar mereka menemukan masa depan yang baik. Mereka bangga menjadi generasi keluarga besar. Biar lusinan bersaudara, sumpek – sumpekan dalam rumah yang sempit, namun hampir semua bisa jadi manusia sukses karena orang tua berjuang dalam keterbatasan, tetapi tidak pernah merampas bidang kekuasaan Allah. Mereka tetap sadar,  banyak tidaknya anak dalam keluarga, adalah kehendak Allah melalui hak pro-creasi (hak mencipta manusia baru) yang telah diberikan kepada mereka sebagai suami – isteri.

Kegelisahan di balik keberhasilan KB

Contoh keberhasilan KB dapat dilihat pada negara – negara di kawasan Eropa barat dan tengah. Sekarang mereka merasa cemas dan takut karena menjadi minoritas dalam negeri sendiri. Ini semua terjadi karena keberhasilan program KB. Ada yang menyindir, keluarga-keluarga muda Eropa lebih suka memelihara anjing dari pada melahirkan dan membesarkan seorang anak. Fakta ini sungguh meresahkan generasi tua yang masih hidup. Mereka heran mengapa banyak keluarga muda takut mempunyai anak? Atau mengapa orang tenggelam dalam prinsip ”birth control” sampai begitu takut kalau punya anak lebih dari dua atau tiga.

Sementara itu, begitu banyak orang luar (migran) mengalir masuk ke sana dan hampir semua bidang kehidupan mulai dikuasai orang – orang luar, terutama bidang perdagangan, kesehatan, pendidikan, dll. Disinyalir, kemungkinan 30 – 40  tahun lagi seluruh Eropa tengah dan barat akan dikuasai oleh kaum migran. Populasi kaum migran meningkat, sementara populasi penduduk asli drastis menurun.
Dalam konteks Indonesia misalnya, nampak keluarga – keluarga muda Katolik cukup berhasil dalam program KB. Rata – rata kalau mereka ditanya, ”mau kah anda punya anak lima atau lebih dari lima ?” Mereka pasti spontan menjawab ”waduh...gak bisa dong, sekarang segalanya serba mahal”. Ini suatu jawaban seragam yang dapat kita dengar mulai dari Sabang sampai Merauke.

Kita menyadari bahwa prinsip perkawinan Katolik itu  monogam dan tak terceraikan, jelas tidak memberi kemungkinan bagi setiap pria Katolik untuk boleh mengambil pasangan lebih dari satu.  Seandainya Gereja bisa memberi kemungkinan untuk mengambil seorang istri lebih dari satu, walau tidak mengikuti KB tetapi bila masing – masing istri dapat melahirkan dua anak atau lebih,  maka pasti akan muncul banyak keturunan.
Tetapi karena perkawinan Katolik sifatnya monogam, lagi pula setiap pasangan telah memutuskan untuk mengikuti program KB, maka jelas populasi orang Katolik di Indonesia pasti semakin hari semakin menurun. Efek dari semua ini nampak dalam tetaran peran sosial kelak.  Misalnya, 20 atau 30 tahun yang akan datang, panggilan hidup membiara atau  hidup selibat akan semakin drastis menurun, akan minim pejabat publik - formal dari pihak Katolik dan juga akan minim orang Katolik dalam bidang – bidang pelayan publik swasta. Makanya tidaklah heran kalau suatu saat orang Katolik akan seperti orang Eropa yang merasa resah dan gelisah karena ternyata populasi mereka semakin hari semakin berkurang.

Menghadapi kenyataan seperti ini, apa yang perlu kita lakukan ? Menolak progam KB ? Mungkin tidak, tetapi  kita tetap mengalir saja dalam program ini,  sambil mengatur jarak kelahiran dan  selalu berusaha berjalan dalam hadirat Allah (Coram Deo Ambulamus) serta percaya bahwa kalau hidup berkeluarga merupakan suatu panggilan yang suci dari Allah, maka Ia pasti akan menuntun setiap keluarga dalam belaskasihan-Nya.

Hanya orang beriman yang berani bertahan dalam prinsip ini. Kalau orang tidak beriman, ia akan menjadi orang yang tega merampas bidang kekuasaan Allah. Makanya tidaklah heran bila kecemasan dan ketakutan akan tetap mengusik ketenteraman hidupnya, walaupun mungkin ia hidup dalam kelimpahan dan hanya punya seorang anak atau bahkan tidak punya anak sama sekali. **


Fritz Meko, SVD 
Ketua Komisi Komunikasi SVD Jawa 
Tinggal di Biara Soverdi Surabaya




“Rosario lambang suci pengalah setan dan nafsu pun musuh yang kejam.”

Syair lagu bapak C. Lilo Mukin ini, bagiku terlalu berlebihan. Hati kecilku selalu bertanya dan menggugat, “Mana mungkin, untaian biji-biji plastik atau kayu itu dapat menjadi senjata yang ajaib yang punya daya pamungkas terhadap dorongan nafsu, godaan setan bahkan musuh yang kejam? Manakah hubungan logisnya? Rasanya sebilah pedang jauh lebih berdaya, ketimbang untaian Rosario”.

Sikap kritisku ini, muncul ketika saya masih frater tingkat II. Saya selalu merasa benci menjelang bulan Mei dan Oktober. Soalnya, pada bulan-bulan ini setiap jam 07.00 malam, para frater datang mengelilingi arca Bunda Maria di halaman tengah seminari tinggi untuk berdoa Rosario bersama.

Saya pribadi, melihat kegiatan ini sebagai kegiatan, “buang waktu”. Lebih tepat saya berdoa brevir yang lebih dialogis, hidup dan memberi inspirasi, daripada berdoa Rosario yang sangat monoton dan membosankan, bahkan membuat mengantuk.

Selama tiga tahun saya menyembunyikan dan merahasiakan sikap benciku ini. Kalau toh, sempat ikut berdoa Rosario itu hanya sebagai ekspresi ketaatan saja pada aturan komunitas, bukan kesadaran dari dalam batinku. Walaupun demikian hati kecilku selalu saja benci dan memberontak. Pemberontakan dalam batinku membuat saya tidak pernah berkeinginan untuk memiliki Rosario, karena bagiku itu tidak penting. Saya lebih mengutamakan membaca Kitab Suci dan berdoa brevir atau bermeditasi.

Tetapi kebencianku ini ternyata tidak bertahan. Kasus lama mulai menjebak kesombonganku. Hal ini berawal dari tragedi kepalaku tertindih buah kelapa, sebulan sebelum berangkat ke Ledalero untuk menjalani masa novisiat selama dua tahun. Tragedi itu membuat hilang kesadaran dan terancam menumpang “kapal hitam” menuju kandungan bumi. Nampaknya harapan hidup lebih lama sepertinya tidak mungkin. Tapi akhirnya saya memutuskan untuk tetap berangkat ke Ledalero.  Baru setelah tahun ke III di Ledalero, sakit kepalaku mulai kambuh tak tertahankan.  Hampir setiap jam 09 pagi dan pukul 15.00 sore, kepalaku selalu sakit disertai deraian airmata.  Kenyataan ini mempengaruhi seluruh proses belajarku. Semuanya berjalan pas – pas, malah ngos-ngosan.

Atas dasar pertimbangan ini, saya akhirnya dikirim ke RS Elisabet Semarang sebagai seorang pasien dengan ”kepala keropos” yang disinyalir ada gumpulan darah di dalamnya dan kalau tidak segera dioperasi bisa menjadi kanker. Di RS. Elisabet, saya ditempatkan dekat paviliun mereka yang kecelakaan lalu lintas dan sejenisnya. Secara psikologis, ditempatkan berdekatan dengan para pasien kecelakaan ini saya menjadi takut. Di anganku meliuk pikiran, kalau sampai kepalaku dioperasi mungkin saya akan cacat, entah tidak dapat bicara dengan baik atau lumpuh atau pincang seumur hidup.

Dalam keadaan haru biru pikiranku, saya hanya pasrah. Dan dalam keadaan pasrah, saya berangan tentang penyembuhan yang sering terjadi di Gua Maria di Lourdes - Perancis.  Saya lalu terdorong untuk membuat doa novena mohon kesembuhan dengan perantaraan Bunda Maria.

Akhirnya suatu sore, saya memberanikan diri meminta bantuan seorang suster perawat untuk mencarikan seutas Rosario dan buku doa novena Salam Maria. Setelah memperoleh Rosario dan buku Novena, malamnya saya mulai berdoa novena dengan intensi tunggal, mohon agar kepala saya tidak dioperasi.

Tiga hari sesudah itu, saya diperiksa lagi secara intensif oleh empat dokter spesialis, dokter saraf/Tulang, psikiater, dokter gigi dan dokter mata. Pemeriksaan terakhir, harus melalui CT Scan  kepala saya. Ternyata, setelah kepala saya discaning hasilnya menakjubkan. Dokter tidak mempunyai alasan untuk mengoperasi kepala saya. Saya ingat persis, ketika dokter mengunjungi saya Ia memegang pundak saya dan berkata,  “Frater...bersyukurlah pada Tuhan, karena frater tidak dioperasi”.

Ungkapan  dokter ini, bagaikan mimpi. Saya tidak percaya, soalnya rujukan untuk masuk RS. Elisabeth seakan memberi kepastian bahwa kepala saya mesti dioperasi. Apalagi, selama itu juga saya selalu mual, muntah dan pusing disertai sakit kepala yang tak tertahankan. Tetapi, apa yang dikatakan dokter, membangkitkan suatu keyakinan akan adanya campur tangan “Dia yang tak kelihatan”.

Saya percaya dengan sunguh-sungguh bahwa kesembuhanku semata-mata karena belas kasihan Ilahi. Saya menganggap kesembuhanku sebagai hadiah berharga dari seorang Bunda yang dahulu saya benci setengah mati. Saya lalu sadar bahwa saya adalah pembenci yang kini tertawan dalam kasih sang Bunda. Ternyata, saya tidak dibiarkan untuk ”hancur-lebur” dalam arus kebencianku yang muncul karena merasa diri sudah hebat belajar filsafat. Saya sungguh malu. Tetapi di batas kesadaran akan rasa malu – ku ini, saya pasrah mengakui kesombonganku. Ternyata saya bukanlah apa-apa.

Karena telah merasa tertawan dalam kasih Bunda Maria, maka mulai saat itu hingga sekarang saya “Jatuh Cinta” padaNya. Doa Rosario tidak lagi kuanggap sebagai doa monoton yang tidak berarti, melainkan sebagai doa yang sangat ampuh dan mempengaruhi hidupku. Dan doa Rosario yang mulanya saya anggap tidak penting, kini saya rasakan sebagai senjata ajaib yang sanggup menghalau godaan, penderitaan dan musuh dalam berbagai bentuk.

Saya lalu ingat bahwa syair lagu bapak C. Lilo Mukin di atas, yang secara rasional sepertinya tidak masuk akal. Tetapi dari segi iman, memiliki kebenaran yang sulit dijelaskan secara akali.  Akhirnya dari peristiwa yang saya alami ini, saya boleh mengatakan bahwa manusia pada batas tertentu, sulit menjelaskan secara rasional peristiwa-peristiwa yang ia alami dalam hidupnya.

Hanya iman yang dapat menjawab kebuntuan itu. Santo Tomas Aquinas pun menyadari hal ini, karena itu ia pernah berkata: “Iman yang menolong budi karena indra tak mencukupi.” Ini berarti, rencana Tuhan pada manusia selalu menakjubkan dan sulit diduga oleh manusia sendiri.  Hanya iman yang menolong manusia untuk memahami dan menerima apa yang sering tidak dapat ditampung oleh otaknya.

Setelah merenungkan, jalan hidupku yang ”tertatih-tatih” dengan mencemaskan rentang usia, entah akan panjang atau pendek lalu merenungkan ziarah studi saya dengan ”prestasi rata-rata” entahkah saya akan layak menjadi imam atau tidak layak, dan merenungkan bila nanti menjadi imam apakah akan menjadi imam yang dibanggakan atau justru akan disebalkan ?

Bertolak dari semua refleksi ini, saya akhirnya merenung panjang dan memutuskan dengan yakin untuk mengambil motto tahbisan, KASIHSETIAMU AJAIB (Mz. 17 : 7). Sebab saya menyadari bahwa cinta Sang BUNDA – lah  yang dapat membawa saya keluar dari segala ”situasi batas” – yang  sempat membuat saya ngos-ngosan menjawabi panggilan untuk menjadi seorang imam (gembala).

Untungnya kasih sang Bunda lebih dahulu menaklukan kebencianku padanya. Kalau tidak,  mungkin saya sudah lama menjadi debu atau pupuk untuk serumpun rumput di dekat pusaraku, atau kalau masih diisinkan hidup, mungkin saya hanya seorang penghuni kampung tanpa daya untuk berpikir lebih panjang tentang apa itu hidup dan misteri-misteri yang tersimpan di dalamnya.  Dan sungguh, ternyata KasihsetiaNya memang terlalu ajaib bagiku hingga sekarang ini.  **

P. Fritz Meko, SVD 
Ketua Komisi Komunikasi Provinsi SVD Jawa
tinggal di Soverdi Surabaya
(Di Simpang Peristiwa 237)

dari  arus purba  
di rahim nenek moyang 
kami terlempar ke dalam dunia ini.
hitam dan putihnya peristiwa
telah kami lintasi
tetapi jejak leluhur
tetap tertoreh 
di dinding hati sejuta generasi.... (Keffleu) 

Ilustrasi dari http://dayakofborneo.blogspot.com
Keffleu,  sang penulis puisi ini mengungkapkan keheranan sekaligus kekaguman seorang anak manusia atas hidup yang dialaminya saat ini. Ia sadar, kelahirannya sepertinya hanya sebuah kebetulan. Gara-gara suatu arus purba hinggap sejenak di rahim neneknya (moyang), maka terciptalah sebuah kehidupan berantai turun-temurun.

Rantai turunan yang terentang di setiap ruas zaman, melahirkan generasi dan menghadirkan suku yang memiliki adat-istiadat dan budaya. Mereka berbangga karena kehidupan itu mulanya berawal dari sebuah “arus purba” di rahim nenek (moyang) tetapi akhirnya berkilau karena cahaya zaman dan membanggakan karena rantai turunan itu mempunyai kisah yang berbeda dari zaman yang satu ke zaman yang lain.

Keffleu sangat tepat melukiskan cikal-bakal munculnya sebuah generasi. Tumpukan berbagai peristiwa mulai dari awal terciptanya sebuah keturunan hingga generasi aktual saat ini,  menyebabkan adanya tutur yang disebut sejarah (baik lisan maupun tertulis). Dan setiap keluarga atau suku tentu mempunyai sejarah yang dapat membangkitkan kebangaan untuk dikisahkan turun-temurun.

Kebangaan historis keluarga atau suku, mempunyai pengaruh terhadap perkembangan generasinya. Mereka akan bertumbuh dengan keyakinan bahwa sejarah keluarga atau sukunya telah dibangun di atas fondasi kebajikan yang luhur dan mulia. Bagi mereka, ini adalah garansi untuk lebih mudah menikmati kehidupan sekarang sebab mereka akan dikenal sebagai buah dari pokok yang baik.

Memang dalam kenyataan, tidak semua keluarga atau suku memiliki sejarah yang cemerlang. Ada yang biasa saja,  tetapi di balik yang biasa itu ada hal – hal kecil warisan leluhur,  yang mengandung nilai – nilai kebajikan yang oleh generasi penerusnya dapat dijadikan sebagai alasan untuk berbangga.

Penghargaan terhadap leluhur 

Ekspresi penghargaan setiap generasi atas para leluhur pada umumnya tidak jauh berbeda satu sama yang lain. Pertama, karena para leluhur telah meninggal maka penghargaan utama yang dapat diberikan adalah mengenang dan mendoakan mereka. Memang mereka tidak ada dan hadir secara real, tetapi secara psikologis dan spiritual, mereka tetap hidup dan hadir karena selalu tertoreh di dinding  hati para generasi penerusnya.

Kedua, pewarisan nama leluhur kepada seorang anak yang lahir. Dengan  mengambil nama leluhur, sebetulnya secara implisit keluarga mengharapkan agar spirit dan sikap leluhur itu mewarnai karakter anak yang baru lahir. Dengan kata lain, semoga leluhur yang sudah lama meninggal itu dapat hidup kembali dalam diri anak yang baru lahir.

Dengan ini arti sebuah nama menjadi sangat penting. Sebuah nama itu tidak hanya sekedar suatu tanda (nomen est omen), tetapi lebih dari itu nama mempunyai pengaruh yang sangat kuat terhadap pertumbuhan seorang anak. Nama menjadi “arus” yang mendorong penyandangnya untuk hidup dan bertumbuh sesuai dengan arti namanya. Misalnya, Maria (Latin,  mare – maris  = laut). Si pemakai nama ini mesti melihat dirinya seperti air laut, yang dengan sabar dan tenang menampung berbagai kotoran dari ribuan aliran sungai, dan mengolahnya menjadi garam yang berguna bagi manusia. Dan karena nama ini pernah disandang Bunda Maria – Ibu Yesus, maka mereka yang menyandangnya pun diharapkan meneladani Bunda Maria dalam hidupnya.

Seorang anak yang lahir dan diberi nama “Sutrisno” misalnya, ia justru diharapkan agar mampu menjadi seorang yang dapat mencintai dan mengasihi orang lain dalam hidupnya. Atau yang lahir dan diberi nama “Setiawan” ia mesti menjadi orang yang setia dan mampu memegang komitmen.

Ketiga,  menghargai tradisi, adat-istiadat yang diwariskan oleh para leluhur. Pada umumnya tradisi dan adat-istiadat mengandung nilai etika, moral dan kebajikan. Generasi penerus selain mengandalkan nilai-nilai iman yang dianut, tetapi juga nilai tradisi, adat dan budaya warisan leluhur dapat dijadikan sebagai penopang perilaku. Generasi penerus yang bersikap baik, santun, etis dan bermoral secara langsung memantulkan  karakter para leluhur yang sudah puluhan tahun bahkan ratusan tahun meninggal dunia. Tetapi generasi yang berperilaku di luar norma iman, kebiasaan, adat dan budaya, secara langsung mempermalukan leluhur yang tentunya tidak pernah bermimpi mewariskan generasi yang tercabut dari akar budaya dan berkarakter ”liar dan buas”.

Lunturnya rasa respek terhadap warisan leluhur  

Ternyata perkembangan zaman yang menjunjung tinggi kebebasan dalam berbagai bidang, juga berpengaruh terhadap rasa respek generasi moderen kepada leluhurnya. Hingar-bingarnya arus komunikasi yang membuat dunia semakin sempit menyebabkan generasi moderen cenderung ”mengadopsi” banyak hal dari seberang (budaya asing). Mereka cenderung membanggakan budaya import dari pada budaya warisan leluhur.

Soal (sepele) memberi nama misalnya, lebih banyak orang memberi nama kepada anaknya dengan mengambil nama para bintang film dan aktor asing, banyak kali tanpa memahami makna nama yang dipilihnya. Sepertinya orang merasa sangat malu menggunakan nama-nama warisan leluhur karena dianggap ”kampungan” atau ”kuno”. Sering terjadi,  nama yang dipilih begitu ”mantap” tetapi kadang perilaku anak tidak sesuai dengan ”kemantapan” nama yang disandangnya. Di sinilah terjadi kontradiksi yang memalukan. Kenyataan ini banyak kali saya temui di daerah - daerah pedalaman yang pernah saya kunjungi. Tentunya tidak tertutup kemungkinan bagi mereka yang hidup di kota, entah kota kecil maupun kota besar.

Disamping warisan nama, generasi moderen juga cenderung meninggalkan tradisi, adat dan budaya warisan leluhur. Terkesan generasi moderen lebih mengagungkan budaya asing dari pada budaya warisan leluhur. Maka tidaklah heran, kalau generasi moderen perlahan tercabut dari akar budaya sendiri. Akibatnya, generasi moderen mudah terombang-ambing dalam gelombang modernisme yang di dalamnya ada peluang untuk menjadi ”malaikat – orang baik” tetapi juga ada peluang untuk menjadi ”setan – orang jahat”. Katanya, orang yang tercabut dari akar budaya sendiri dan longgar fondasi imannya, peluang untuk menjadi ”setan” jauh lebih mudah dari pada menjadi ”malaikat” dalam hidupnya.

Yang paling pasti, sejak awal impian para leluhur adalah memiliki keturunan dan generasi yang bermartabat luhur dan bercitra mulia. Ini semua hanya terjadi kalau generasi penerus tetap menghargai sejarah asalnya sendiri dan bersedia hidup dalam bingkai tradisi, adat dan budaya yang diwariskan leluhurnya. Bila generasi moderen tetap berpegang teguh pada hal – hal baik yang diwariskan para leluhur,  maka sudah pasti apa pun wajah elok moderenisme yang menggoda keteguhan hati, mereka akan tetap tegar.

Mereka tidak akan tega mengkhianati impian mulia para leluhur, yang selalu terentang dan menjangkau setiap generasi - turunannya sepanjang zaman. Generasi yang berbudi luhur akan senantiasa tetap menorehkan jejak leluhur di dinding hatinya. **


P. Fritz Meko, SVD 
Ketua Komisi Komunikasi Provinsi SVD Jawa
tinggal di Soverdi Surabaya



Legio Mariae merupakan kerasulan awam Katolik yang didirikan oleh Frank Duff di Dublin Irlandia 7 September 1921. Legio Maria kini telah berkembang pesat dan dapat ditemukan hampir di setiap negara di dunia serta mempunyai anggota aktif hampir 3 juta orang. Di Keuskupan Palangka Raya telah berdiri satu Kuria "Bunda Pemersatu" di Sampit membawahi 36 presidium, dengan jumlah anggota  305 orang anggota aktif  dan 42 orang anggota auksilier.

Di Palangka Raya Legio Maria pernah ada yang dibentuk pada tanggal 6 Maret 1988 dengan nama presidium “Ratu Para Rasul” pendirinya diantaranya P. Norbet Betan, SVD sebagai Pembimbing Rohani, Sr. Lidwina, SFD sebagai Ketua, Bpk. Yusuf Wahyu sebagai Wakil Ketua dan Anasthasia Wahyu (alm) sebagai Bendahara. Presidium ini juga menjalankan karya kerasulan paroki diantaranya mengunjungi umat yang sakit, mengantar komuni. Namun presidium ini hanya bertahan 1 tahun 2 bulan, pada tanggal 18 Mei 1989 tidak ada kegiatan lagi alias tidur panjang.

Berbekal restu dari Pastor Paroki Katedral P. Lukas Huvang Ajat, MSF dan Bapak Uskup Keuskupan Palangka Raya, maka sekelompok awam yang sebelumnya pernah aktif sebagai legioner diantaranya Wilhelmus Y. Ndoa, Yusuf Wahyu, Al. Sudirman, Yulianus Dani Nahar, Wiwik Handayani, Elisabeth (Sr. Elisabeth, SPC) mulai membentuk/menghidupkan kembali kerasulan doa dan karya Legio Mariae dibawah koordinasi Pastor Paroki, dengan nama Presidium “Maria Bunda Kita” yang ditandai dengan rapat perdana tanggal 03 Desember 2002, dan pastor pembimbing rohani pertama Rm. Agustinus Sunarya, SVD. Melalui Legio, kaum awam menjadi terbiasa untuk berkarya dalam paroki dalam persatuan yang erat dengan imam (Pastor paroki setempat). Seorang legioner sebaiknya selalu menjalankan tugas-tugasnya seperti yang tertuang dalam Buku Pegangan diantaranya:

  1. Rapat dan doa rutin satu minggu sekali. 
  2. Menjalankan tugas yang diberikan oleh perwira saat rapat dan dilaporkan pada rapat berikutnya. (lihat/baca karya Legio Mariae)
  3. Setiap hari mendoakan Katena Legionis. 
  4. Para legionerpun  diwajibkan mampu  menyimpan rahasia berkenaan dengan yang didengar dalam rapat maupun keterangan yang diperoleh dalam melakukan tugasnya. 

Dengan dimekarkannya paroki Katedral menjadi 2 paroki, presidium “Maria Bunda Kita” turut dimekarkan yaitu Presidium “Maria Bunda Penolong Abadi” paroki Yesus Gembala Baik. Kini di Paroki Katedral telah ada 4 presidium, 2 presidium Senior dan 2 presidium Yunior, dengan jumlah anggota 78 orang, dan auxilier 15 orang.

Karya Legio Mariae

Legio Mariae atas rekomendasi pastor Paroki Katedral kala itu (P. Lukas Huvang Ajat, MSF) dan Pastor Pembimbing Rohani (Rm. Agustinus Sunarya, SVD), mengawali karyanya:

  1. Mendata umat baik yang sakit, lansia/jompo, Keluarga Miskin dan keluarga yang bermasalah. Data ini disampaikan kepada Pastor paroki dan Pastor Pembimbing Rohani. Dengan data yang ada, banyak informasi tentang umat dapat diperoleh.
  2. Atas saran Pastor Pembimbing, maka karya Legio Maria lebih difokuskan pada pelayanan orang Sakit. Setelah mendapatkan data, ternyata informasi memberi keterangan bahwa ada umat sakit dan lansia/jompo yang hidupnya berada di tengah-tengah keluarga non Katolik yang belum terlayani dengan maksimal bahkan ada yang tidak terlayani.
  3. Kunjungan ke Lembaga  Pemasyarakatan di Jalan Tjilik Riwut km. 2,5 dan Rumah Tahanan km.4,5. Legioner bersama para suster, pastor, frater yang berkarya di wilayah paroki katedral datang berkunjung setiap minggu  untuk mengadakan ibadat dan pelayanan komuni kudus. 
  4. Karya-karya Legio Mariae tidak terbatas pada umat katolik saja, melainkan juga umat non katolik. Dalam tugasnya para legioner melayani umat yang sakit sampai pada memasuki pada sakrat maut dan memandikan jenazahnya.  Ke empat karya legio tersebut berjalan sampai dengan sekarang.
  5. Membentuk sekaligus mendampingi (pembinaan)  presidium-presidium baru di paroki-paroki (Dekenat Palangka Raya dan dekenat Barito) yang belum ada Legio Marianya. Atas usaha ini, sekarang telah terbentuk beberapa presidium seperti di Kuala Kapuas (2 presidium), Pulang Pisau (2 presidium), Muara Teweh (3 presidium), PIR Butong (3 presidium) Kuala Kurun (1 presidium). 
  6. Setiap minggu ke-3 dalam bulan dilaksanakan rapat kuria ke Sampit. 
  7. Setahun Sekali pertemuan/rekoleksi di alam terbuka. 
  8. Tiga bulan sekali misa bersama 5 presidium dalam kota. Kegiatan external diantaranya pemekaran/pembentukan presidium baru, menghadiri rapat kuria, pertemuan dewan legio regio kalimantan, Pertemuan Dewan Senatus, Rekoleksi/retret/pembinaan, dll.
Jadwal Doa dan Rapat


  1. Presidium Maria Bunda Kita Senior, dilaksanakan pada hari Selasa, Pk. 17.00 WIB di Sakristi gereja lama (Gedung Serba Guna sekarang)
  2. Presidium Maria Ratu Para Rasul Senior, dilaksanakan pada hari Rabu, Pk. 17.00 WIB di STIPAS.
  3. Presidium Bunda Maria yang tak Bernoda Yunior, dilaksanakan pada hari Jumat, Pk. 17.00 WIB di Seminari.
  4. Presidium Maria Ratu Para Imam Yunior, dilaksanakan pada hari Jumat, Pk. 17.00 WIB di Seminari.
  5. Presidium Maria Bunda Penolong Abadi - YGB Senior, dilaksanakan setiap hari Senin, Pk. 17.00 WIB di Kantor Komisi Keuskupan.
Kadangkala tidak mudah bagi legioner untuk melakukan karyanya. Begitu banyak hambatan atau tantangan baik itu berasal dari diri sendiri maupun situasi setempat. Menjadi legioner berarti ada ketulusan dan kegembiraan dalam sikap dan tindakan, tidak usah menghitung-hitung untuk memberikan yang terbaik, namun mempersembahkan semuanya kepadaTuhan. **C. Wiwik Handayani.

PALANGKARAYA, KAIROS.OR.ID - Sejumlah tokoh agama Katolik se-Kalimantan Tengah, yang berasal dari berbagai daerah (paroki wilayah Keuskupan Palangka Raya) mengikuti pembinaan yang diselenggarakan oleh BIMAS Katolik Kalimantan Tengah di Hotel Fairuz Palangka Raya. Kegiatan yang berlangsung selama dua hari ini , dibuka secara resmi oleh Kakanwil Kemenag Provinsi Kalimantan Tengah, Djawahir Tanthowi pada hari Jumat (18/10/13) sore.

Pembinaan dengan tema "melalui pembinaan ini, kita tingkatkan kualitas pelayanan dan kehidupan masyarakat yang harmonis dan toleran" ini menghadirkan empat pemateri, yakni, Rm. Timotius I Ketut Adihardana, MSF, Djawahir Tanthowi (Kakanwil Kemenag Kalteng), Wilhelmus Y. Ndoa (Pembimas Katolik Kalteng) dan Yustinus Soewardi (Tokoh Umat). Untuk menciptakan kehidupan harmonis dan toleran antar umat beragama, kita harus lebih dahulu membenahi dan membangun kehidupan harmonis dan toleran intra umat beragama. Agar tujuan pembinaan ini dapat tercapai, para tokoh yang ikut pembinaan ini harus mampu menularkan pengalaman ini kepada umat lainnya yang ada di daerah-daerah.

OMK St. Ursulla
Mengamen Untuk Kepentingan Korban Kebakaran
Seperti pernah dikatakan oleh Aristoteles, manusia tidak dapat hidup sebagai satu individu saja, dia hanya dapat bertahan hidup bila hidup bersama individu lainnya (zoon politicon). Dengan kata lain, manusia adalah makhluk sosial yang selalu membutuhkan kehadiran orang lain dalam hidupnya. Inilah kira-kira pesan yang ingin disampaikan oleh aksi OMK St. Ursula dalam 'aksi kepedulian sosial bagi korban kebakaran' dilaksanakan pada hari Minggu, 13 Oktober 2013, di halaman Gereja Katedral St. Maria Palangka Raya, setelah Perayaan Ekaristi. Aksi Sosial ini ditujukan untuk membantu saudara-saudari kita korban kebakaran yang terjadi baru-baru ini di kota Palangka Raya.

"Kami ingin membuktikan secara nyata, bahwa kami dibutuhkan oleh orang lain. Kami siap menyisihkan waktu kami bagi mereka yang membutuhkan bantuan kami. Apa saja dapat kami lakukan demi kepentingan bersama dan kepentingan orang lain. Inilah semangat kami yang saat ini mulai kami temukan dalam kebersamaan", demikian diungkapkan oleh Ika, perwakilan OMK St. Ursula kepada Kairos.

P. Alex Dato, SVD
Hadir di tengah-tengah OMK, Memberi Semangat
OMK membuktikan kehadirannya dengan berbagai aksi nyata, terutama dalam kepedulian sosial. Kita patut berbangga bahwa kita memiliki Orang Muda yang punya semangat dan memiliki tingkat kepedulian yang tinggi bagi sesama. Mereka telah menunjukkan semangatnya dan dukungan dari kita, dari Gereja menjadi penyemangat bagi mereka.

OMK dapat diandalkan sebagai pionir, yang mampu mengambil posisi terdepan dalam beberapa hal untuk melaksanakan misi Gereja. OMK adalah kelompok yang masih energik untuk melakukan banyak hal, yang barangkali orang tua tidak sanggup melakukannya lagi. Dukungan kita adalah semangat mereka. **Kairos

MKRdezign

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget