1. Salib Dalam Tulisan PenginjilBagi para penulis Injil, kata ini memiliki arti yang cukup penting berkaitan dengan misi yang dilakukan oleh Tuhan Yesus Kristus, khususnya dalam tulisan injil Markus. Di dalam Injil Markus, kata ”Salib” digunakan 12 kali. 4 kali menggunakan kata benda dan 8 kali menggunakan kata kerja. Sejak permulaan injilnya, bayang-bayang salib telah menyertai narasi yang hendak dituliskannya. Ada dugaan, bahwa Markus sang penulis injil memiliki pemahaman teologis tentang Yesus Kristus dari sudut pandang pemberitaan Salib. Hal ini juga yang menuntun para sarjana berpendapat bahwa Salib merupakan inti di dalam Injil Markus.
Sebagian besar dari kisah kehidupan Yesus Kristus yang dituliskan oleh Markus berpusat pada penderitaan Yesus Kristus di dalam menebus manusia berdosa. Puncak dari seluruh penderitaan itu, ketika Yesus Kristus disalibkan di atas kayu Salib. Di dalam peristiwa itu, Yesus berseru dengan suara nyaring ”Eloi, Eloi, lama sabakhtani” (bdk. Markus 15, 34). Bagi Markus, bagian ini merupakan typologi dari PL, secara khusus Mazmur 22, 1. Para sarjana biblika setuju bahwa inti dari Injil Markus adalah kisah tentang Salib. Markus memberi banyak tempat untuk kisah penyaliban dan seluruh Injilnya mencapai puncak pada kisah ini.
Hal ini sangat berbeda dengan kedua Injil yang lain, yaitu Matius dan Lukas. Meskipun kisah tentang Salib diceritakan di dalam kedua Injil ini oleh masing-masing penulis, namun penekanan yang diberikan di dalam narasinya sangat berbeda. Injil Matius memaparkan penggenapan nubuatan PL di dalam diri Mesias yang dijanjikan, yaitu Yesus Kristus. Itu sebabnya di dalam memaparkan kisahnya tentang Yesus Kristus, Matius selalu membandingkan dengan hukum Taurat, baik itu bersifat legal tertulis, ataupun bersifat tradisi lisan dengan keunggulan Sabda Yesu. Kisah tentang Salibpun tidak lepas dari penggenapan nubuatan di dalam PL. Salah satu yang mirip dengan Markus adalah perkataan Tuhan Yesus di atas kayu Salib dalam Matius 27, 46: “Eli, Eli, lama sabakhtani?” Artinya: Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?. Perkataan ini sangat dipengaruhi oleh bahasa Ibrani dan tertulis di dalam beberapa naskah kuno yang lebih awal.
Ada dugaan bahwa teks yang tertulis di dalam injil Matius ini telah mengalami perbaikan dan pengubahan sebagaimana yang telah dilakukan oleh Matius si penulis Injil.
Lukas memaparkan kisah kesengsaraan yang mirip dengan yang dipaparkan oleh Injil sinoptik lainnya, namun penekanannya lebih kepada ’kemanusiaan Yesus.’ Gambaran penderitaan dan kematian Yesus lebih rinci dari injil-injil yang lain. Sejak kelahiran sampai dengan kematiaan-Nya, Lukas menggambarkan tentang kemanusiaan Yesus yang sejati. Mulai dari Yesus yang berasal dari garis keturunan Adam, yang merupakan nenek moyang seluruh umat manusia (Luk 3, 23-28), masa pertumbuhan-Nya sebagai seorang anak (Luk 2, 21-52), masa dewasa ketika Yesus memasuki pelayanan sampai ketika Yesus ditangkap, dicemooh, dipukuli sebagai seorang manusia (Luk 22, 63) dan bahkan kematian-Nya menunjuk kepada kematian seorang manusia (Luk 23, 46). Semua ini jelas memperlihatkan bahwa Lukas sangat menekankan aspek-aspek kemanusiaan Yesus. Merril C. Tenney mengatakan demikian: “Lukas menekankan penderitaan dan simpati Yesus yang manusiawi dengan menunjukkan bagaimana Anak Manusia memikul Salib-Nya dengan ketaatan kepada Bapa-Nya”.
2. Salib Dalam Tulisan PaulusPaulus mengajarkan tentang Salib, sangat berkaitan erat dengan tugas dan panggilannya untuk memberitakan Injil. Di dalam 1 Korintus, Paulus memulai suatu argumentasi Salib dengan panggilan untuk memberitakan Injil. ”Sebab Kristus mengutus aku bukan untuk membaptis, tetapi untuk memberitakan Injil; dan itupun bukan dengan hikmat perkataan, supaya Salib Kristus jangan menjadi sia-sia.” (1Kor. 1,17).
Keterkaitan antara panggilannya memberitakan Injil dengan Salib Kristus bukanlah terletak kepada kekuatan dirinya semata-mata, melainkan karena kehendak Allah (bdK. 1 Korintus 1,1; Galatia 1,1-4; Efesus 1,1; Kolose 1,1). Itu sebabnya bagi Paulus pemberitaan Injil menjadi suatu tanggung jawab yang tidak bisa dihindari untuk dilakukan, ia berkata ”Karena jika aku memberitakan Injil, aku tidak mempunyai alasan untuk memegahkan diri. Sebab itu adalah keharusan bagiku. Celakalah aku jika aku tidak memberitakan Injil.” (1Kor 9, 16).
Bagi Paulus, Salib memiliki pengertian yang signifikan, baik di dalam pengajarannya (termasuk di dalam pemberitaan Injilnya), maupun di dalam praktik hidupnya (konsistensi antara ajaran dan praktik hidupnya). Di dalam pengajaran (termasuk pemberitaannya), Paulus menekankan bahwa melalui jalan Salib, kutuk hukum Taurat atas manusia berdosa telah dilepaskan. Kutuk yang semula menjadi tanggungan manusia berdosa, telah digantikan oleh Yesus Kristus yang telah membuat diri-Nya menjadi ‘kutuk’ bagi manusia pendosa, sebagaiman diungkapkan oleh St. Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Galatia: ”Kristus telah menebus kita dari kutuk hukum Taurat dengan jalan menjadi kutuk karena kita, seperti ada tertulis: “Terkutuklah orang yang digantung pada kayu salib!” (Galatia 3,13). Di dalam kehidupannya, Paulus telah menyalibkan dirinya bersama dengan Kristus. Dia hidup di dalam Salib Kristus dan memikul Salib itu.
Perasaan ”bangga” (bermegah) yang disampaikan oleh Paulus bukan karena ia telah melakukan berbagai macam pelayanan yang sulit, kemudian ia berhasil melewatinya, dan karena ia “wajib” merasa bermegah, melainkan karena ia hidup di dalam Salib Kristus. ”Tetapi aku sekali-kali tidak mau bermegah, selain dalam Salib Tuhan kita Yesus Kristus, sebab olehnya dunia telah disalibkan bagiku dan aku bagi dunia” (Galatia 6,14). Itu sebabnya seluruh kehidupan pelayanan Paulus dapat dikatakan sebagai perjuangan memikul Salib. Mengapa demikian? Karena baik pengajaran (termasuk pemberitaan Injil yang dilakukannya) dan pola kehidupannya adalah usaha untuk memberitakan Salib Kristus dengan segala konsekuensinya (bdk. Kis 9,16; 2Kor 4, 5-12).
3. Salib Dalam Tulisan Perjanjian Baru LainnyaDi dalam tulisan Perjanjian Baru lainnya, kata Salib hanya menunjuk kepada 2 bagian ayat: Pertama, di dalam Suarat Ibrani 12, 2; Kedua, dalam 1 Petrus 2, 24. Ibrani 12, 2 menjelaskan: “Marilah kita melakukannya dengan mata yang tertuju kepada Yesus, yang memimpin kita dalam iman, dan yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan, yang dengan mengabaikan kehinaan tekun memikul Salib ganti sukacita yang disediakan bagi Dia, yang sekarang duduk di sebelah kanan takhta Allah”.
Penulis Ibrani dalam konteks ini menyatakan Salib Kristus bukan hanya berhubungan dengan kematian-Nya, namun lebih dari itu kematian-Nya telah memberikan iman sekaligus pengharapan bagi orang yang percaya kepada Kristus yang telah duduk di sebelah kanan Allah. Bagi penulis Ibrani pesan ini akan memberikan kekuatan kepada orang-orang percaya, tatkala menghadapi penganiayaan dari pemerintah Romawi.
Ada yang mencoba melihat bagian ini dengan suatu pemahaman bahwa penyaliban Kristus telah membawa-Nya kepada kemuliaan dengan duduk di sebelah kanan Allah Bapa.
Petrus di dalam suratnya menjelaskan: “Ia sendiri telah memikul dosa kita di dalam tubuh-Nya di kayu Salib, supaya kita, yang telah mati terhadap dosa, hidup untuk kebenaran. Oleh bilur-bilur-Nya kamu telah sembuh (1 Petrus 2, 24).
Rasul Petrus melihat Salib yang berhubungan dengan Yesus di dalam konteks penggenapan nubuat nabi Yesaya (1 Petrus 2, 22-25). Yesus adalah gambaran hamba yang menderita, sebagaimana yang dilukiskan oleh nabi Yesaya. Bukan saja Dia telah menjadi teladan bagi manusia dalam menghadapi penderitaan, tetapi di atas semua itu, Dia telah menyucikan manusia dari dosa dengan cara mati untuk dosa dan hidup untuk kebenaran.
Secara singkat dapat disimpulkan bahwa kedua teks ini menjelaskan hubungan Salib dengan iman dari orang percaya yang diuji oleh penganiayaan. Orang percaya yang hidup pada masa itu mengalami penganiayaan yang hebat dari pemerintah Romawi yang menyebabkan mereka makin tersebar ke berbagai daerah (Diaspora). Penulis kitab Ibrani dan Rasul Petrus sama sama memberikan dorongan, penghiburan sekaligus penguatan di dalam cara yang berbeda. Bagi penulis Kitab Ibrani, iman dan pengharapan dari orang percaya didasari pada Salib Kristus, sedangkan Rasul Petrus menekankan penderitaan Kristus di atas kayu Salib dapat menjadi teladan bagi orang percaya di dalam menghadapi penganiayaan dan penderitaan.
4. Salib Kristus adalah Karunia dari AllahDua ribu tahun sesudah penyaliban dan persitiwa kebangkitan-Nya, kita tetap memandang Yesus yang terpaku di kayu Salib di gereja-gereja, di rumah-rumah keluarga Kristiani, di sekolah-sekolah Kristiani dan di tempat-tempat lainnya, dan kita diundang untuk memandang Dia dengan iman sama dengan iman kepercayaan yang memberi inspirasi kepada Maria, Yohanes, Kepala pasukan dan si penjahat yang bertobat.
Dengan mata iman, kita dapat melihat hati Bapa surgawi pada saat Ia menyerahkan Putera-Nya yang tunggal untuk keselamatan kita. Kita dapat melihat darah Yesus yang mengalir dengan begitu bebas, membersihkan dosa-dosa kita dan mendamaikan kita dengan Allah. Dalam memandang Tuhan yang tersalib, kita dapat bersukacita mensyukuri keselamatan kita. Salib Kristus adalah karunia atau anugerah yang diberikan Allah kepada kita dalam Kristus. Melalui Salib Kristus, kita dapat memahami dan mengalami pembebasan dari dosa, keiikutsertaan dalam kemenangan Kristus dan kuasa atas apa saja yang menghalangi kepercayaan kita atas Penyelenggaraan Ilahi. Tentunya semakin kita bertumbuh dalam pemahaman atas segala yang tersedia dalam karunia ini, semakin mendalam pula pengalaman kita akan kasih Allah Bapa dan Roh Kudus yang hadir dalam hati kita
5. Salib Kristus dalam Terang KebangkitanKetika kita berbicara mengenai Salib Kristus, seringkali kita berpikir mengenai balok-balok kayu yang digunakan sebagai instrumen untuk penyaliban Yesus. Namun kalau kita menyelididki Kitab Suci dan membaca tulisan-tulisan para Bapa Gereja, kita akan memperoleh pandangan yang lebih luas, suatu perspektif yang mencakup keseluruhan drama keselamatan kita: inkarnasi, kematian, kebangkitan-Nya dan kenaikan-Nya ke surga. Salib Kristus pada intinya merupakan kesaksian akan Cintakasih Allah yang dicurahkan kepada umat manusia, yang mempunyai kuasa untuk menstranformasi hidup dan pribadi manusia.
Kerapkali kita cenderung memandang Salib hanya dari aspek penderitaan, sengsara dan kematian Yesus. Pemahaman seperti itu, tentu saja tidak salah, hanya saja memahami salib dalam perspektif seperti itu hanya membuat kita terpuruk pada keadaan yang tidak menyenangkan, pada kesedihan dan keterpurukan, pada beban hidup yang harus kita pikul hari demi hari; hidup terasa menjadi berat dan berhenti pada penderitaan.
Kalau kita memandang Salib Kristus dalam terang kebankitan-Nya dan dalam terang kehendak Allah yang mau menyelamatkan semua orang, maka kita mulai dapat melihat bagaimana cintakasih Yesus bagi kita telah menggerakkan-Nya untuk menyerahkan hidup-Nya sendiri guna membawa kita kepada keselamatan.
Bersama St. Paulus kita mengimani Kristus sebagai “kekuatan Allah dan hikmat Allah” (1 Kor 1, 24). Dalam Salib Kristus kita melihat kemenangan atas dosa dan kematian, juga kekalahan kuasa-kuasa kegelapan, baik di dunia maupun yang ada di dalam hati manusia. Hal ini tentunya membawa kita kepada permenungan yang lebih mendalam: Salib sebagai instrumen penyiksaan dan kematian Yesus sesungguhnya membawa sukacita kedalam hati setiap orang yang percaya kepada Kristus, bahkan, sampai pada titik dimana mereka yang percaya kepada Kristus “bermegah dalam Salib Kristus” sebagaimana diungkapkan oleh kesaksian St. Paulus sendiri: “ ...sekali-kali aku tidak mau bermegah, selain dalam Salib Tuhan kita Yesus Kristus, sebab olehnya dunia telah disalibkan bagiku dan aku bagi dunia” (Gal 6, 14).
6. Kuasa SalibSeturut pemikiran dan iman Santo Paulus, kepada umat Kristiani, dari generasi ke generasi diajarkan bahwa “diri kita yang lama” disalibkan bersama Kristus pada waktu kita dibaptis: ”...tidak tahukah kamu, bahwa kita semua yang telah dibaptis dalam Kristus, telah dibaptis dalam kematian-Nya? Dengan demikian kita telah dikuburkan bersama-sama dengan Dia oleh baptisan dalam kematian, supaya, sama seperti Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati oleh kemuliaan Bapa, demikian juga kita akan hidup dalam hidup yang baru. Sebab jika kita telah menjadi satu dengan apa yang sama dengan kematian-Nya, kita juga akan menjadi satu dengan apa yang sama dengan kebangkitan-Nya. Karena kita tahu, bahwa manusia lama kita telah turut disalibkan, supaya tubuh dosa kita hilang kuasanya, agar jangan kita menghambakan diri lagi kepada dosa” (Rom 6, 3-6).
Dalam kematian Yesus, dosa manusia itu telah ditaklukkan. Dalam kebangkitan-Nya dicurahkanlah suatu hidup yang dipenuhi oleh cintakasih dan kebebasan. Yesus mencurahkan darah-Nya demi pengampunan dosa-dosa kita dan di kayu Salib Ia menyerahkan hidup-Nya demi membebaskan kita dari cengkeraman kuasa dosa itu. Dengan perkataan lain, oleh kuasa darah-Nya dosa-dosa kita diampuni dan oleh kuasa Salib-Nya diri kita dimerdekakannya. Manusia lama kita telah disalibkan bersama Kritus supaya kita hidup baru, hidup sebagai manusia yang telah ditebus dengan pengurbanan darah-Nya.
Ini adalah keyakinan iman yang membanggakan yang telah kita hidupi selama 2000 tahun lebih. Namun, dari sisi lain kita juga menyadari betapa terikan-tarikan dari manusia lama kita yang mendorong manusia untuk kembali kedalam situasi kedosaan adalah suatu realitas yang tidak dapat dipungkiri oleh siapapun, termasuk oleh mereka yang tergolong Imam dan Biarawan/ti. Ada semacam proses tarik menarik yang berkesinambungan antara dua kekuatan itu. Bagaimana kita akan mendamaikan antara keduanya? Apakah orang -orang Kristiani adalah orang-orang yang perlu dikasihani karena harus menanggung Salib bersama Kristus untuk sampai kepada kemuliaan? Atau, apakah ada suatu makna yang lebih mendalam dari Salib, suatu misteri yang tidak dapat dicerna sekadar oleh akal budi manusia dan karena itu manusia harus berpaling kepada iman?
Pengalaman akan kuasa Salib sepenuhnya berdasar pada iman, artinya hanya orang yang beriman yang dapat melihat serta memahami dan mampu menghayati kuasa Salib dalam kehidupannya. Hal itu kita yakini sebagai kebenaran karena Allah sendiri telah menyatakannya kepada Gereja melalui kematian dan kebangkitan Putera-Nya. Kita percaya akan hal itu karena Santo Petrus, Paulus, Yakobus, Yohanes dan para Kudus yang tidak terbilang jumlahnya selama berabad-abad telah menjadi saksi akan kuasa Salib Kristus dalam hidup mereka. Kita pun dapat melihat buah-buah yang dimanifestasikan dalam apa yang diwartakan dan dilakukan oleh para Kudus.
Penebusan adalah karunia Allah yang diberikan secara bebas, mengalir dari hati Allah dengan cintakasih yang tidak terbatas karena Dia adalah kasih (1 Yoh 4, 8. 16). Kuasa Salib ini tersedia secara bebas bagi orang-orang yang membuka diri untuk menerimanya. Patut untuk dicatat bahwa kuasa Salib tidak hanya diperuntukkan bagi mereka yang unggul dalam kehidupan kerohanian, tetapi bagi semua orang, sebab Allah memiliki kehendak agar semua orang mengenal kuasa Salib dan diselamatkan dalam nama anak-Nya. Kristus telah melakukan ‘apa yang harus dilakukan-Nya bagi kita’; sekarang dalam iman kita dapat menerima manfaat-manfaat dari apa yang telah dilakukan oleh Yesus, yaitu dengan berdoa sambil merenungkan cintakasih-Nya dan berupaya serius untuk taat kepada perintah-perintah-Nya.
7. Salib dan Perjuangan ManusiaDari pemaparan diatas menjadi jelas bagaimana Salib Kristus dipahami oleh para saksi iman, saksi kebangkitan Kristus, oleh St. Palus dan oleh umat beriman lainnya. Bertolak dari terang iman, Salib dapat diartikan sebagai ”penderitaan” yang harus ditanggung oleh manusia dalam usaha untuk mencapai kebahagiaan atau kesuksesan dalam hidup. Kearifan lokal dalam kazanah budaya kita telah mengajarkan secara turun temurun bahwa untuk mencapai sesuatu yang baik, bernilai atau kesuksesan orang harus rela dan bersedia untuk bersusah payah dan “banting tulang”. Tidak ada kesuksesan dalam hidup, apapun bentuknya, yang dapat diraih tanpa perjuangan dan pengorbanan; tiada kebangkitan tanpa Salib!
Dalam Kitab Suci, hal itu pun sudah ditegaskan oleh Allah ketika Ia berfirman kepada Adam: “... dengan bersusah payah engkau akan mencari rezekimu dari tanah seumur hidupmu: semak duri dan rumput duri yang akan dihasilkannya bagimu, dan tumbuh-tumbuhan di padang akan menjadi makananmu; dengan berpeluh engkau akan mencari makananmu, sampai engkau kembali lagi menjadi tanah...” (Kej 3, 17b-19). Kutipan dari Kitab Suci ini mau menegaskan bahwa manusia harus berusaha dan berjuang untuk dapat melanjutkan hidupnya, tidak ada sesuatu pun yang sifatnya gratis yang dapat kita peroleh tanpa perjuangan.
Dari warisan budaya dan dalam terang Sabda Tuhan, kita diajak untuk secara serius menjalani kehidupan kita. “Penderitaan” dan perjuangan harus kita terima sebagai sesuatu yang lumrah dan manusiawi sifatnya, artinya sebagai bagian dari hidup manusia. Selama manusia hidup di dunia ini, selama itu juga ada “perjuangan” yang harus dilalui dan dimenangkan, kerap kali disertai dengan pengorbanan yang tak ternilai harganya. Hanya orang yang mau berjuang adalah orang yang akan mampu memenangkan peziarahan hidup di dunia ini dengan hasil yang menggembirakan.
Oleh karena itu, maraknya gaya hidup serba instan yang menghalalkan segala macam cara untuk mencapai tujuan adalah pengkhianatan terhadap makna Sabda Tuhan dan terhadap kearifan lokal yang diwariskan oleh leluhur kita. Maraknya kasus korupsi dan kolusi yang merasuki segenap sendi kehidupan berbangsa dan bernegara di tanah air kita adalah bukti nyata atas pengkhianatan terhadap makna Sabda Tuhan dan terhadap kearifan lokal tersebut. Orang ingin hidup enak, serba berkecupan tetapi tidak mau melewati perjuangan yang seharusnya dilalui; jalan yang diambil adalah jalan pintas: korupsi, menyuap dan kolusi. Mau mendapat posisi “enak” dalam tugas dan karier, menyuap pimpinan; mau mendapat nilai baik dalam ujian: menyontek. Esensi perjuangan dengan segala “kesuasahannya” semakin dicampakkan dalam kehisupan manusia instan.
Ini adalah manifestasi yang sangat jelas betapa kerja keras dan pengurbanan menjadi hal yang semakin meredup dalam kehidupan kita. Orang lebih mementingkan hasil daripada proses; yang penting hasilnya baik dan menyenangkan masalah proses tidak dipentingkan. Sikap dan pola laku semacam ini tentu saja bertentangan dengan makna Salib sebagai sebuah proses yang harus dilalui untuk mencapai kebangkitan. Perjuangan tidak boleh dihindari, sebaliknya harus dilalui sebagai suatu proses untuk menuju kepada “kemuliaan”. Tuhan Yesus sendiri telah memberikan contoh dan teladan kepada kita bahwa untuk mencapai kemuliaan-kebangkitan Dia harus melalui perjuangan yang berat dan menyakitkan: jalan Salib. Hal yang sama berlaku untuk kita. Untuk mencapai sukses dan meraih hasil yang maksimal tiada jalan pintas yang tersedia bagi kita, yang ada adalah “jalan” perjuangan dan pengorbanan. Sanggupkah dan beranikah kita melewati jalan yang demikian itu untuk meraih “kemenangan”?
Bagi kita para pengikut-Nya, jalan yang ditempuh dan ditunjukkan oleh Tuhan Yesus dan sekaligus dilakoni-Nya, yakni jalan Salib adalah jalan yang hendaknya kita tempuh untuk menggapai “kemuliaan”. Tiada kebangkitan tanpa Salib, tiada kesuksesan tanpa usaha dan perjuangan, tiada kebahagiaan tanpa pengorbanan. Di dalam Salib, menjadi nyata betapa Allah dalam kasih-Nya yang tiada batas telah mengasihi dan menyelamatkan manusia dalam Yesus Putera-Nya. Bagi kita, Salib selain menjadi simbolisasi pengorbanan yang tanpa batas, usaha dan perjuangan yang tidak kenal lelah; Salib juga menjadi simbolisasi pencurahan cinta yang sehabis-habisnya untuk mereka yang dicintai. Karena itu, kita harus bangga dengan Salib kehidupan yang kita miliki dan tentu saja akan menjadi suatu kebanggaan yang penuh makna bila makna dan arti Salib itu dapat kita hayati dalam keseharian hidup kita.**
Rm. I Ketut Adi Hardana, MSF