Revitalisasi Nilai-nilai Pancasila dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara

Pada tgl 5-8 Oktober 2013, atas inisiatif dari Komisi HAK KWI dalam kerjasama dengan Dirjen Bimas Katolik telah dilaksanakan saresehan dengan tema  Revitalisasi Nilai-Nilai Pancasila Dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara. Acara dilaksanakan di hotel Adhie Jaya, Kuta, Bali.

Hadir dalam acara ini sejumlah 30 orang peserta yang berasal dari beberapa Keuskupan: Ambonia, Bandung, Banjarmasin, Bogor, Denpasar, Ende, Jaya Pura, Ketapang, Kupang, Manado,  Makassar, Medan, Palangkaraya, Pangkal Pinang, Purwokerta, Semarang, Surabaya dan Wetebula; sementara Keuskupan lain tidak mengirimkan utusan atau mengirim tetapi tidak pernah sampai di tempat pertemuan karena kesulitan penerbangan ke Denpasar akibat pelaksanaan KTT APEC di Nusa Dua, Bali. Bandara Ngurah Rai ditutup hampir diat hari selama 8-10 jam. Hadir 3 org Nara Sumber: Rm. Mardi SJ, Rm. Magnis SJ dan Rm Benny Susetya Pr (Sekretaris Komisi Hak KWI).

1. Rm Mardi, SJ dalam makalahnya, Pancasila: Spirit Di Balik Rumusan Politik 

a. Hubungan antara Gaudium et Spes (GS) dengan Pancasila

Bagi kita umat Katolik ada hubungan yang sangat erat antara nilai-nilai Pancasila dan Gaudium et Spes (GS). Menghidupi nilai-nilai GS berarti kita juga menghidupi nilai-nilai Pancasila. Kemendesakan penghayatan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi berarti kalau kita menilik sejarah bangsa Indonesia. Bagaimana mungkin mempersatukan wilayah yang demikian luas dan beragama serta berbeda dalam hal budaya dan bahasa? Kuncinya adalah Pancasila. Pancasila mampu mempersatukan perbedaan tersebut.

b. Pancasila dalam kekinian.

Bagaimana situasi sekarang ini?  Banyak anak tidak hafal dan tidak tahu Pancasila. Zama Soeharto Pancasila betul-betul diajarkan meski dengan metode indoktrinasi; Soeharto berjasa: memaksa kita semua belajar Pancasila. Kita tahu Pancasila karena Soeharto; namun sekarang Pancasila semakin dilupakan. Karena itu, Pancasila yang adalah spirit kehidupan berbangsa dan bernegara harus “dihidupkan” kembali dengan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya.

c. Pedagogi yang baru
Apa yang harus kita lakukan dalam mendidik anak-anak kita dalam ber-Pancasila? Mungkin kita harus mengubah format Soeharto, tidak dalam bentuk indoktrinasi, tetapi dalam pola berbeda yang sesuai dengan arus zaman. Pada eranya Soeharto sangat menekankan Pancasila sebagai Ideologi bangsa; Gus Dur menekankan dimensi persatuan Indonesia,  sehingga tidak ada diskriminasi; demikian juga Keadilan sosial diperjuangkan oleh Gus Dur, hanya sayang sekali pemerintahannya sangat pendek sehingga dia tidak sempat melakukan terobosan-terobosan lebih banyak; sementara SBY tidak buat apa-apa tentang Pancasila, bahkan semakin mengaburkannya.

d. Pancasila dan Pendidikan Nilai  

Pancasila mengakui arti Tuhan di RI dan sekaligus tidak mau menjadikan RI negara agama. Karena itu, kita perlu mendidik rasa hormat pada agama lain dalam diri anak-anak, tetapi tetap kritis dan menghargai pluriformitas. Bagaimana relasi lintas agama di situ? Arahnya, pendidikan kepada anak-anak kita hendaknya tidak menekankan agama per agama tanpa melalaikannya, tetapi lebih menekankan dimensi ke-anekaan atau keberagaman sebagai hal yang indah dalam kehidupan bersama.
Bagi kita umat Katolik, Pancasila adalah suatu cara mengungkapkan GS dalam lingkungan Indonesia.  Kalau 37 Keuskupan di Indonesia semua memperjuangkan Pancasila dengan serius melalui orang muda, kita yakin Pancasila bisa kita bangkitkan sebagai milik bersama.

2. Rm Magis, SJ dalam makalah, Etika Berbangsa menekankan agar umat Katolik menyadari kedudukan kita sebagai bagian integral di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, karena itu adalah suatu konsekuensi logis yang muncul bahwa kita harus mengarahkan keterlibatan kita dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Yang pertama, kita umat Katolik adalah bagian bangsa Indonesia seutuhnya. Di dalam tubuh kita sendiri berlaku Bhineka Tunggal Ika. Umat Katolik adalah salah satu mozaik kebinekaan dan pluralitas bangsa Indonesia. Yang kedua, masa depan umat Katolik akan tergantung dari hubungan kita dengan Islam.

a. Umat Katolik dalam Negara Indonesia. 

Dibandingkan sekarang, zaman dulu  lebih gampang masuk partai. Meskipun demikian, kita tidak boleh ikut “arus”, bahwa lebih aman kalau kita tidak terjun dan bergabung dalam partai politik. Kalau kita abstain dalam menentukan arah bangsa, artinya tidak terlibat dalam pecaturan dunia politik, maka kita akan ditentukan oleh pihak lain, kita akan menjadi “obyek” dari kebijakan orang lain, dan hal ini tentu saja tidak menguntungkan.

Munculnya berbagai macam Perda yang “berbau” kegamaan (Islam) yang merugikan kita adalah bukti nyata bahwa kita absen dalam percaturan politik di tingkat daerah. Ketika kita absen, maka kelompok mayoritas dengan leluasa meng-goal-kan “agenda” politik mereka tanpa ada peralwanan dari pihak lain. Karena itu, kaum Awam harus didorong untuk terlibat dalam dunia politik yang adalah  “medan” perutusan mereka agar kita ikut menentukan arah dan masa depan bangsa ini dan dijamin bahwa kehadiran kita tetap diperhitungkan.

b. Relasi dengan Islam 

Mengenai relasi dengan Islam, Gereja Katolik mengalami dalam 40 tahun terakhir periode yang sangat produktif. Waktu tahun 60an (zaman Soekarno), Katolik pada hakikatnya mengalami masa  aman dan damai dengan berpihak pada ideologi nasionalis. Rasa tidak aman muncul pada masa-masa akhir pemerintahan Soeharto ketika kita tidak lagi terpesona oleh Soeharto. Kita melihat betapa kejam pemerintahannya kepada yang menentang, banyak yang menjadi korban dari kebijakan keras Soeharto.

Berhadapan dengan situasi yang demikian itu, mulai muncul suatu kesadaran yang menegaskan bahwa masa depan umat Katolik Indonesia akan aman kalau kita membangun saling percaya dengan Islam secara sungguh-sungguh. Dulu pada ideologi nasionalis kita mengembangkan posisi win-lose dengan Islam. Kita beruntung berarti Islam rugi, Islam beruntung berarti kita rugi. Ini yang disebut win-lose relationship. Yang menguntungkan adalah win-win relationship. Yang menjadi tantangan bagi kita, menjadikan hubungan win-lose menjadi win-win, dan ternyata perkembangan itu terjadi.

 LSM-LSM memainkan banyak peranan besar dalam mengembangkan pola relasi win-win solution, karena dalam LSM banyak orang Katolik dan kita bisa bekerjasama dengan  Islam tanpa kesulitan. Kedepan, kita perlu mengembangkan win-win relationship dengan Islam, dan itu hanya mungkin kalau kedua belah pihak tidak menaruh rasa takut atau curiga satu sama lain melainkan percaya.

c. Membangun Relasi dari akar Rumput

Kita terus menerus harus mengembangkan pola relasi itu dengan pihak Islam, membangun hubungan yang positif dengan Islam, artinya membangun komunikasi, mulai dari tingkat keluarga, paroki sampai dengan Keuskupan. Di Indonesia, komunikasi adalah salah satu kekuatan. Di Indonesia, orang mudah berkomunikasi, karena itu “kekuatan” ini hendaknya kita pakai untuk membangun hubungan yang baik dengan Islam. Banyak Uskup kita sudah bersahabatan dengan tokoh NU atau Muhammadiyah di tempatnya. Itu harus diteruskan. Bukan hanya para Uskup, umat pada umumnya juga perlu dekat. Hendaknya kaum awam mendesak Pastor-Pastor paroki di tempat yang banyak muslimnya supaya membangun komunikasi dengan umat Islam lokal. Bagi kita masa depan tergantung dari relasi yang baik dengan Islam.

Yang mengkhawatirkan adalah berkembangnya intoleransi. Makin lama makin susah membangun gereja; namun demikian kita tidak usah terlalu berfokus pada hal itu;  kita harus mengembangkan kesabaran. Dalam hal memperjuangkan pembangunan gereja, Katolik biasanya memakai jalan kesabaran dan dalam banyak kasus kita berhasil. Protestan lebih konfrontatif.

d. Membangun Relasi dengan Islam Mainstream

Di semua lini kita harus membangun komunikasi dengan Islam, terutama dengan  Islam mainstream, baik NU atau Muhammadiyah. Di tingkat lokal, di wilayah paroki kita, kita bangun hubungan, perkenalan dan silaturahmi dengan mereka. Kita harus ingat bahwa Islam juga takut kepada kita, bukan secara fisik, tapi Islam selalu takut kristenisasi. Perasaan takut dan curiga hendaknya kita jauhkan, sebab dari rasa takut tidak akan berkembang komunikasi yang baik. Tentu saja kita menyadari bahwa tidak semuanya akan berjalan menurut yang kita harapkan, tetapi dengan membangun relasi yang baik dengan Islam, kita sendiri merasa lebih nyaman dalam hidup.

e. Kekuatan Pancasila 

Lebih lanjut, kalau kita mau menempatkan Pancasila dalam etika kehidupan berbangsa, maka hal yang paling penting yang harus kita sadari bahwa kita mesti yakin bahwa Pancasila itu tetap fundamental dan penting bagi bangsa Indonesia. Jadi, kita jangan ikut dengan mereka yang berpendapat bahwa Pancasila itu hanya hiasan dinding;  Pancasila punya gigi, bisa menggigit, bisa menantang. Perlu melihat Pancasila dalam kerangka etika pasca-tradisional internasional yang juga menjadi etika politik Katolik.
Kekuatan Pancasila terletak pada kenyataan bahwa dia mengangkat nilai-nilai, cita-cita etika bangsa yang berakar dalam budaya Indonesia,  jadi bukan sesuatu yang asing. Orang Indonesia yang mengenal budayanya dengan baik, mestinya tidak mengalami kesulitan menerima Pancasila. Bagi Soekarno, Pancasila itu etika berbangsa yang berakar dalam tradisi tua Indonesia dan berguna bagi masa depan Indonesia. Jadi bukan semacam cita-cita zaman dulu. Pancasila tetap harus kita aktualkan dalam etika pasca tradisional, dalam kehidupan benegara dan berbangsa dewasa ini.

3. Rm Benny dalam makalah: “Masihkah Pancasila Menjadi Habitus Bangsa Ini?” menegaskan bahwa Pancasila memang mengalami degradasi dalam hal kehidupan berbangsa dan bernegara, nilai-nilai Pancasila tidak dihayati seperti dulu, sehingga berbagai tindakan yang berlabel intoleransi menjadi “tontonan” keseharian masyarakat. Karena itu, Rm Benny mengingatkan bahwa kita harus kembali kepada Pancasila, kembali menghidupi nilai-nilai Pancasila mulai dari diri sendiri, keluarga, paroki, masyarakat luas sampai pada level kehidupan nasional. Sebagai orang Katolik, kita tidak punya pilihan lain, selain bangkit bersama untuk menghidupi dan menghayati Pancasila.

Untuk lebih mendorong para paeserta dalam merevitalisasi nilai-nilai Pancasila, maka para peserta yang terbagi dalam 3 kelompok membuat modul yang terbagi dalam 3 bidang: Keluarga, Pendampingan Kaum Muda dan Kehidupan Politik. Lewat ke 3 bagian ini, para peserta akan merumuskan dan menuangkan nilai-nilai Pancasila itu kedalam modul-modul yang siap pakai.

Pertemuan ditutup pada tgl 7 Oktober 2013, Pk. 18. 30 WIB dan dilanjutkan dengan acara foto dan makan malam bersama. Pada tgl 8 Oktober 2013, seluruh peserta telah meninggalkan tempat pertemuan dan kembali ke tempat masing-masing. Sayang sekali sampai pertemuan ditutup 1 org peserta dari Tanjung Selor tidak pernah muncul akibat bandara Ngurah Rai ditutup untuk penerbangan publik.**Rm. I Ketut Adi Hardana, MSF


Posting Komentar

[blogger]

MKRdezign

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget