Gara-gara Merampas Bidang Kekuasaan Allah

Ilustrasi dari: jpmi.or.id
Dalam suatu kesempatan, saya bertanya kepada seorang ibu “berapa anak dalam keluarga?” Ia menjawab, ada dua anak, putera dan puteri. Lalu saya katakan, mestinya tambah lagi tiga supaya menjadi lima anak dalam keluarga. Spontan sang ibu membantah “gak bisa dong, sekarang segala-galanya sangat mahal. Sekolah mahal, biaya rumah sakit mahal, sembilan bahan pokok mahal dan segala yang lainnya mahal.

Saya tertegun mendengar bantahan si ibu itu. Sambil bertanya dalam hati, mengapa di zaman moderen yang melimpah dengan berbagai materi dan  penuh dengan segala kemajuan,  yang sebetulnya dapat membuat hidup ini lebih mudah, tetapi orang begitu cemas mempunyai anak lebih dari tiga?  Lalu mengapa dahulu orang memiliki anak sampai sepuluh bahkan lebih, tetapi mereka merasa aman dan baik saja? Malah mereka bangga dengan prinsip “banyak anak banyak rejeki”. Padahal mereka hidup dalam keterbatasan dan kekurangan, tanpa ditopang dengan kelimpahan materi, kemajuan teknologi yang canggih seperti yang kita alami sekarang ini.

Terbukti bahwa rata-rata generasi tua sekarang ini adalah produk keluarga besar, yang mampu menempuh pendidikan baik dalam negeri maupun di luar negeri, dan juga merancang hidupnya dengan baik sampai sekarang ini. Maka pertanyaannya, mengapa manusia moderen sangat cemas kalau mempunyai anak lebih dari tiga?

Tenang atau takut memiliki keturunan 

Nampaknya memang sulit diterima bahwa zaman moderen yang memungkinkan kita memperoleh segalanya dengan cepat bahkan mudah, tetapi orang-orang yang hidup di dalam zaman ini sepertinya tidak aman dan tidak tenang. Mereka selalu merasa cemas, takut dan bimbang. Mereka mudah stress, frustrasi dan sepertinya tidak mampu menerima tantangan yang berat. Kalau tantangan terlalu berat mereka mudah mencari jalan pintas entah dengan pergi ke dukun sim salabim atau dengan memutuskan nadi kehidupan mereka (bunuh diri). Lagi–lagi, mengapa manusia moderen sangat cemas dalam hidup dan takut memiliki keturunan yang banyak ?

Berbeda dengan generasi yang hidup di tahun 50–an hingga tahun 70–an. Mereka nampak tenang dalam keterbatasan hidup, mereka tidak gulau, cemas dan takut menghadapi hidup yang tidak cemerlang, secemerlang zaman moderen ini. Hidup mereka mengalir saja, selaras dengan mengalirnya waktu dan bergulirnya usaha–usaha mereka tanpa suatu manajemen yang canggih seperti sekarang ini,  tetapi ada saja rejeki dan berkat yang mereka nikmati. Pertanyaannya, mengapa orang dulu begitu aman, tenang menghayati hidupnya dan tidak cemas mendapat keturunan yang banyak ?

Mengapa takut dan cemas? 

Tentang dua kenyataan yang paradoks ini, saya tertarik dengan pernyataan penulis buku Heart and Soul for Europe,  Edy Korthals Altes dalam ceramahnya di Aula Kairos Institut Maynooth – Irlandia pada bulan Juni 2004. Ia mengatakan, yang membuat manusia moderen merasa cemas terus-menerus (walaupun mereka hidup dalam kecemerlangan teknolgi yang canggih yang memudahkan segalanya) karena mereka telah ”merampas bidang kekuasaan Allah”. Mereka berani menakar kelahiran seorang anak secara ekonomis, misalnya anak cukup satu atau dua karena biaya hidup mahal. Mereka berani membuat aborsi karena takut menanggung kelanjutan hidup anak yang mau dilahirkan, mereka membuat diri seperti sebuah ”kelinci percobaan” yang meragukan penyelenggaraan Allah atas hidup, dsb.

Dalam arti tertentu pendapat Edy Korthals ini sangat benar. Soalnya sulit dimengerti, kita hidup dalam suatu zaman yang serba mudah karena kemajuan dalam berbagai bidang, tetapi sepertinya kita tidak pernah merasa puas. Kita cemas dan takut sekali terhadap berbagai bentuk kehidupan dan peristiwa yang kita alami. Kita jelas-jelas menggusur peran Allah sebagai penopang dan pelindung kehidupan dari pusat hidup kita.

Kalau Allah sudah digusur jauh-jauh, betapapun hidup dalam kelimpahan, kita akan tetap merasa takut dan cemas. Semua kemajuan tidak menjadi jaminan yang menenteramkan batin kita, malah sebaliknya kita seperti melangkah di atas duri yang membuat kita merintih kesakitan dan tertatih-tatih dalam menapaki setiap cita hidup yang kita miliki.

Sementara itu, kalau melihat kehidupan orang zaman dulu, mereka justru bertumbuh dalam keterbatasan, tetapi karena mereka tetap mengandalkan Allah sebagai penyelenggara kehidupan atau mereka masih memiliki kepasrahan untuk berjalan dalam hadirat Allah (coram Deo ambulamus) maka biar hidup terbatas, miskin, tanpa ditopang teknologi canggih namun mereka merasa aman dan tenang mendidik anak – anaknya sampai sukses.

Yang pasti,  generasi yang lahir di tahun 50 – an sampai tahun 70 – an, rata – rata berasal dari keluarga besar, namun ternyata orang tua,  mampu menghantar mereka menemukan masa depan yang baik. Mereka bangga menjadi generasi keluarga besar. Biar lusinan bersaudara, sumpek – sumpekan dalam rumah yang sempit, namun hampir semua bisa jadi manusia sukses karena orang tua berjuang dalam keterbatasan, tetapi tidak pernah merampas bidang kekuasaan Allah. Mereka tetap sadar,  banyak tidaknya anak dalam keluarga, adalah kehendak Allah melalui hak pro-creasi (hak mencipta manusia baru) yang telah diberikan kepada mereka sebagai suami – isteri.

Kegelisahan di balik keberhasilan KB

Contoh keberhasilan KB dapat dilihat pada negara – negara di kawasan Eropa barat dan tengah. Sekarang mereka merasa cemas dan takut karena menjadi minoritas dalam negeri sendiri. Ini semua terjadi karena keberhasilan program KB. Ada yang menyindir, keluarga-keluarga muda Eropa lebih suka memelihara anjing dari pada melahirkan dan membesarkan seorang anak. Fakta ini sungguh meresahkan generasi tua yang masih hidup. Mereka heran mengapa banyak keluarga muda takut mempunyai anak? Atau mengapa orang tenggelam dalam prinsip ”birth control” sampai begitu takut kalau punya anak lebih dari dua atau tiga.

Sementara itu, begitu banyak orang luar (migran) mengalir masuk ke sana dan hampir semua bidang kehidupan mulai dikuasai orang – orang luar, terutama bidang perdagangan, kesehatan, pendidikan, dll. Disinyalir, kemungkinan 30 – 40  tahun lagi seluruh Eropa tengah dan barat akan dikuasai oleh kaum migran. Populasi kaum migran meningkat, sementara populasi penduduk asli drastis menurun.
Dalam konteks Indonesia misalnya, nampak keluarga – keluarga muda Katolik cukup berhasil dalam program KB. Rata – rata kalau mereka ditanya, ”mau kah anda punya anak lima atau lebih dari lima ?” Mereka pasti spontan menjawab ”waduh...gak bisa dong, sekarang segalanya serba mahal”. Ini suatu jawaban seragam yang dapat kita dengar mulai dari Sabang sampai Merauke.

Kita menyadari bahwa prinsip perkawinan Katolik itu  monogam dan tak terceraikan, jelas tidak memberi kemungkinan bagi setiap pria Katolik untuk boleh mengambil pasangan lebih dari satu.  Seandainya Gereja bisa memberi kemungkinan untuk mengambil seorang istri lebih dari satu, walau tidak mengikuti KB tetapi bila masing – masing istri dapat melahirkan dua anak atau lebih,  maka pasti akan muncul banyak keturunan.
Tetapi karena perkawinan Katolik sifatnya monogam, lagi pula setiap pasangan telah memutuskan untuk mengikuti program KB, maka jelas populasi orang Katolik di Indonesia pasti semakin hari semakin menurun. Efek dari semua ini nampak dalam tetaran peran sosial kelak.  Misalnya, 20 atau 30 tahun yang akan datang, panggilan hidup membiara atau  hidup selibat akan semakin drastis menurun, akan minim pejabat publik - formal dari pihak Katolik dan juga akan minim orang Katolik dalam bidang – bidang pelayan publik swasta. Makanya tidaklah heran kalau suatu saat orang Katolik akan seperti orang Eropa yang merasa resah dan gelisah karena ternyata populasi mereka semakin hari semakin berkurang.

Menghadapi kenyataan seperti ini, apa yang perlu kita lakukan ? Menolak progam KB ? Mungkin tidak, tetapi  kita tetap mengalir saja dalam program ini,  sambil mengatur jarak kelahiran dan  selalu berusaha berjalan dalam hadirat Allah (Coram Deo Ambulamus) serta percaya bahwa kalau hidup berkeluarga merupakan suatu panggilan yang suci dari Allah, maka Ia pasti akan menuntun setiap keluarga dalam belaskasihan-Nya.

Hanya orang beriman yang berani bertahan dalam prinsip ini. Kalau orang tidak beriman, ia akan menjadi orang yang tega merampas bidang kekuasaan Allah. Makanya tidaklah heran bila kecemasan dan ketakutan akan tetap mengusik ketenteraman hidupnya, walaupun mungkin ia hidup dalam kelimpahan dan hanya punya seorang anak atau bahkan tidak punya anak sama sekali. **


Fritz Meko, SVD 
Ketua Komisi Komunikasi SVD Jawa 
Tinggal di Biara Soverdi Surabaya




Posting Komentar

[blogger]

MKRdezign

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget