Jejak Leluhur di Dinding Hati

dari  arus purba  
di rahim nenek moyang 
kami terlempar ke dalam dunia ini.
hitam dan putihnya peristiwa
telah kami lintasi
tetapi jejak leluhur
tetap tertoreh 
di dinding hati sejuta generasi.... (Keffleu) 

Ilustrasi dari http://dayakofborneo.blogspot.com
Keffleu,  sang penulis puisi ini mengungkapkan keheranan sekaligus kekaguman seorang anak manusia atas hidup yang dialaminya saat ini. Ia sadar, kelahirannya sepertinya hanya sebuah kebetulan. Gara-gara suatu arus purba hinggap sejenak di rahim neneknya (moyang), maka terciptalah sebuah kehidupan berantai turun-temurun.

Rantai turunan yang terentang di setiap ruas zaman, melahirkan generasi dan menghadirkan suku yang memiliki adat-istiadat dan budaya. Mereka berbangga karena kehidupan itu mulanya berawal dari sebuah “arus purba” di rahim nenek (moyang) tetapi akhirnya berkilau karena cahaya zaman dan membanggakan karena rantai turunan itu mempunyai kisah yang berbeda dari zaman yang satu ke zaman yang lain.

Keffleu sangat tepat melukiskan cikal-bakal munculnya sebuah generasi. Tumpukan berbagai peristiwa mulai dari awal terciptanya sebuah keturunan hingga generasi aktual saat ini,  menyebabkan adanya tutur yang disebut sejarah (baik lisan maupun tertulis). Dan setiap keluarga atau suku tentu mempunyai sejarah yang dapat membangkitkan kebangaan untuk dikisahkan turun-temurun.

Kebangaan historis keluarga atau suku, mempunyai pengaruh terhadap perkembangan generasinya. Mereka akan bertumbuh dengan keyakinan bahwa sejarah keluarga atau sukunya telah dibangun di atas fondasi kebajikan yang luhur dan mulia. Bagi mereka, ini adalah garansi untuk lebih mudah menikmati kehidupan sekarang sebab mereka akan dikenal sebagai buah dari pokok yang baik.

Memang dalam kenyataan, tidak semua keluarga atau suku memiliki sejarah yang cemerlang. Ada yang biasa saja,  tetapi di balik yang biasa itu ada hal – hal kecil warisan leluhur,  yang mengandung nilai – nilai kebajikan yang oleh generasi penerusnya dapat dijadikan sebagai alasan untuk berbangga.

Penghargaan terhadap leluhur 

Ekspresi penghargaan setiap generasi atas para leluhur pada umumnya tidak jauh berbeda satu sama yang lain. Pertama, karena para leluhur telah meninggal maka penghargaan utama yang dapat diberikan adalah mengenang dan mendoakan mereka. Memang mereka tidak ada dan hadir secara real, tetapi secara psikologis dan spiritual, mereka tetap hidup dan hadir karena selalu tertoreh di dinding  hati para generasi penerusnya.

Kedua, pewarisan nama leluhur kepada seorang anak yang lahir. Dengan  mengambil nama leluhur, sebetulnya secara implisit keluarga mengharapkan agar spirit dan sikap leluhur itu mewarnai karakter anak yang baru lahir. Dengan kata lain, semoga leluhur yang sudah lama meninggal itu dapat hidup kembali dalam diri anak yang baru lahir.

Dengan ini arti sebuah nama menjadi sangat penting. Sebuah nama itu tidak hanya sekedar suatu tanda (nomen est omen), tetapi lebih dari itu nama mempunyai pengaruh yang sangat kuat terhadap pertumbuhan seorang anak. Nama menjadi “arus” yang mendorong penyandangnya untuk hidup dan bertumbuh sesuai dengan arti namanya. Misalnya, Maria (Latin,  mare – maris  = laut). Si pemakai nama ini mesti melihat dirinya seperti air laut, yang dengan sabar dan tenang menampung berbagai kotoran dari ribuan aliran sungai, dan mengolahnya menjadi garam yang berguna bagi manusia. Dan karena nama ini pernah disandang Bunda Maria – Ibu Yesus, maka mereka yang menyandangnya pun diharapkan meneladani Bunda Maria dalam hidupnya.

Seorang anak yang lahir dan diberi nama “Sutrisno” misalnya, ia justru diharapkan agar mampu menjadi seorang yang dapat mencintai dan mengasihi orang lain dalam hidupnya. Atau yang lahir dan diberi nama “Setiawan” ia mesti menjadi orang yang setia dan mampu memegang komitmen.

Ketiga,  menghargai tradisi, adat-istiadat yang diwariskan oleh para leluhur. Pada umumnya tradisi dan adat-istiadat mengandung nilai etika, moral dan kebajikan. Generasi penerus selain mengandalkan nilai-nilai iman yang dianut, tetapi juga nilai tradisi, adat dan budaya warisan leluhur dapat dijadikan sebagai penopang perilaku. Generasi penerus yang bersikap baik, santun, etis dan bermoral secara langsung memantulkan  karakter para leluhur yang sudah puluhan tahun bahkan ratusan tahun meninggal dunia. Tetapi generasi yang berperilaku di luar norma iman, kebiasaan, adat dan budaya, secara langsung mempermalukan leluhur yang tentunya tidak pernah bermimpi mewariskan generasi yang tercabut dari akar budaya dan berkarakter ”liar dan buas”.

Lunturnya rasa respek terhadap warisan leluhur  

Ternyata perkembangan zaman yang menjunjung tinggi kebebasan dalam berbagai bidang, juga berpengaruh terhadap rasa respek generasi moderen kepada leluhurnya. Hingar-bingarnya arus komunikasi yang membuat dunia semakin sempit menyebabkan generasi moderen cenderung ”mengadopsi” banyak hal dari seberang (budaya asing). Mereka cenderung membanggakan budaya import dari pada budaya warisan leluhur.

Soal (sepele) memberi nama misalnya, lebih banyak orang memberi nama kepada anaknya dengan mengambil nama para bintang film dan aktor asing, banyak kali tanpa memahami makna nama yang dipilihnya. Sepertinya orang merasa sangat malu menggunakan nama-nama warisan leluhur karena dianggap ”kampungan” atau ”kuno”. Sering terjadi,  nama yang dipilih begitu ”mantap” tetapi kadang perilaku anak tidak sesuai dengan ”kemantapan” nama yang disandangnya. Di sinilah terjadi kontradiksi yang memalukan. Kenyataan ini banyak kali saya temui di daerah - daerah pedalaman yang pernah saya kunjungi. Tentunya tidak tertutup kemungkinan bagi mereka yang hidup di kota, entah kota kecil maupun kota besar.

Disamping warisan nama, generasi moderen juga cenderung meninggalkan tradisi, adat dan budaya warisan leluhur. Terkesan generasi moderen lebih mengagungkan budaya asing dari pada budaya warisan leluhur. Maka tidaklah heran, kalau generasi moderen perlahan tercabut dari akar budaya sendiri. Akibatnya, generasi moderen mudah terombang-ambing dalam gelombang modernisme yang di dalamnya ada peluang untuk menjadi ”malaikat – orang baik” tetapi juga ada peluang untuk menjadi ”setan – orang jahat”. Katanya, orang yang tercabut dari akar budaya sendiri dan longgar fondasi imannya, peluang untuk menjadi ”setan” jauh lebih mudah dari pada menjadi ”malaikat” dalam hidupnya.

Yang paling pasti, sejak awal impian para leluhur adalah memiliki keturunan dan generasi yang bermartabat luhur dan bercitra mulia. Ini semua hanya terjadi kalau generasi penerus tetap menghargai sejarah asalnya sendiri dan bersedia hidup dalam bingkai tradisi, adat dan budaya yang diwariskan leluhurnya. Bila generasi moderen tetap berpegang teguh pada hal – hal baik yang diwariskan para leluhur,  maka sudah pasti apa pun wajah elok moderenisme yang menggoda keteguhan hati, mereka akan tetap tegar.

Mereka tidak akan tega mengkhianati impian mulia para leluhur, yang selalu terentang dan menjangkau setiap generasi - turunannya sepanjang zaman. Generasi yang berbudi luhur akan senantiasa tetap menorehkan jejak leluhur di dinding hatinya. **


P. Fritz Meko, SVD 
Ketua Komisi Komunikasi Provinsi SVD Jawa
tinggal di Soverdi Surabaya



Posting Komentar

[blogger]

MKRdezign

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget