Agustus 2013

Seorang paman becak, sambil mendayung becaknya dan membawa saya menuju RKZ Surabaya, berseloroh katanya, "zaman sekarang ini lebih banyak menggiring kita untuk menjadi liar dalam hidup dan dalam berperilaku". Saya kaget dengan selorohan si paman becak ini. Lalu saya bertanya kepadanya tentang maksud pernyataannya. Dengan enteng ia menjawab: "Lah... masa' Romo tidak tahu. Coba lihat, di mana-mana orang tidak saling menghargai lagi. Anak-anak sekarang cenderung tidak menghargai orangtuanya, yang muda tidak menghargai yang tua, rakyat bisa menghujat pemimpinnya. Tata krama, etika dan sopan santun sepertinya tidak lagi diperhatikan dalam hidup dan pergaulan setiap hari".

Ternyata, ungkapan hati si paman becak ini mengingatkan saya akan apa yang pernah dikatakan oleh Robert Holden bahwa "zaman modern ini ditandai dengan perjuangan untuk menyetarakan segala derajat hidup, akibatnya sikap segan, hormat, etis dan sopan santun sepertinya tidak lagi mendapat tempat dalam tatakrama dan pergaulan setiap hari". Apa yang dikatakan si Paman Becak dan Robert Holden tampak benar. Kita dapat menyaksikan propaganda "kesetaraan" menjadi unsur penting yang selalu dibicarakan dalam media masa dan media elektronik. Orang mati-matian memperjuangkan kesetaraan atas Hak Azasi Manusia (HAM). Dengan bersandar pada HAM seorang anak dapat menuntut dan menggiring orangtua atau gurunya di hadapan polisi hanya karena dikasari, dijewer atau dipukul dalam rangka mendidiknya. Warga masyarakat rame-rame menghujat dan mencaci maki pemimpinnya karena dinilai melanggar HAM. Tatanan etika dan sopan santun menjadi "hancur luluh" karena tergilas oleh konsep HAM yang begitu dijunjung tinggi oleh setiap lapisan umur.

Pertanyaan adalah satu: "apakah ada grand design  sistematis yang sengaja digelindingkan untuk merusak tatanan adat, tradisi, etika dan sopan santun, yang beribu-ribu tahun dijunjung tinggi dalam kehidupan bermasyarakat? Kalau keadaan sudah seperti ini, apakah ada solusi atau therapy untuk menyelematkan bahaya pudarnya nilai-nilai budaya, adat, tradisi, etika dan sopan santun?

Konsep sosiologi baru yang diperjuangkan sekarang adalah adanya "satu dunia dengan tatanan baru" yang menginginkan keseragaman dalam segalanya. Satu agama, satu ideologi, satu mata uang, satu bank, satu negara, satu pemerintahan, dll. Perjuangan untuk mengunggulkan konsep ini semakin hari semakin terasa kuat, sehingga negara-negara yang berdaulat pun akhirnya perlahan kehilangan kekuatannya.

Banyak negara terdikte dan terjajah dari segi ideologi, ekonomi dan politik sehingga mereka terposisi dalam kondisi "melambung" tanpa arah, seperti sebatang gabus ringan di atas permukaan samudera yang terombang-ambing ke sana ke mari. Dalam keadaan melambung seperti inilah, sebuah negara diatur "sesuka hati" dan didikte sehingga kedaulatannya cenderung melemah dan hilang.

Dalam hubungan dengan situasi "melambung" ini, secara ideologis terjadi plantasi nilai-nilai baru dan asing yang cenderung merusakan tatanan tradisi, adat, etika, sopan santun termasuk tatanan hidup iman dan spiritual. Penanaman nilai-nilai baru ini secara sistematik dapat dilakukan melalui jalur pendidikan yang dirancang dalam kurikulum yang menekankan ilmu-ilmu eksakta tetapi mengurangi ilmu-ilmu humaniora (sejarah, agama, budi pekerti, moral Pancasila, dll). Dengan demikian anak didik menjadi cerdas secara intelek tetapi bisa berperilaku "liar" karena kurang mendapat penanaman nilai-nilai dasar yang baik. Dengan kata lain, anak tidak dihantar untuk berakar dalam tradisi, budaya, etika, sopan santun dan imannya.

Dari segi politik, terjadi proses penghapusan seara sengaja terhadap kearifan-kearifan lokal dan ideologi paten yang menjadi khas bangsa kita misalnya: hilangnya sistem hidup masyarakat yang menjunjung tinggi solidaritas, gotong-royong, musyawarah untuk mufakat dan terakhir adanya gejala untuk menghapus Dasar Negara Pancasila. Sasarannya adalah supaya generasi muda dibuat untuk tidak cinta tanah air (a-patriotis) untuk boleh menghujat para pemimpinnya, untuk tercabut dari akar budaya sehingga menjadi "generasi pelampung".

Ini fakta yang semakin hari semakin kuat beroperasi. Mestinya mencemaskan dan menakutkan. Maka therapy dan solusi yang harus diambil lembaga-lembaga seperti keluarga, sekolah dan Gereja adalah berusaha menyadari gejala sosial ini, sambil berjuang untuk menanamkan nilai-nilai dasar, tradisi, adat, etika, moral, cinta tanah air dan berakar dalam iman sehingga generasi muda nantinya menjadi warga negara Indonesia yang beriman, bertakwa, beradat, bermoral dan cinta negerinya sendiri. Tanpa kerja keras dari semua lembaga ini, kita hanya akan menciptakan "generasi pelampung" yang kehilangan citra diri, jati diri, etika dan moralitas serta spiritualitas hidup yang matang. ** P. Frieds Meko, SVD.

Selasa, 27 Agustus 2013, Team Pastoral Paroki Katedral St. Maria Palangka Raya melaksanakan pertemuan yang dikoordinir oleh Pastor Paroki, P. Alex Dato L, SVD dan Koordinator Seksi Pewartaan Paroki, Bapak Wilhelmus Y. Ndoa. Pertemuan dilaksanakan di Aula Nazareth dan dihadiri oleh kurang lebih 20 orang Team Pastoral yang terdiri dari para Katekis, Guru Agama dan para Suster.

Dalam pertemuan ini, Team Pastoral melaksanakan pendalaman bersama Tema Pendalaman Bulan Kitab Suci Nasional yakni "Keluarga Bersekutu Dalam Sabda". Tema ini merupakan bagian dari tema umum, "Sabda Allah dalam Keluarga" hasil Pernas LBI pada tahun 2012 yang telah menetapkan satu tema besar yang menjadi bahan permenungan bagi seluruh umat Katolik di Indonesia selama tahun 2013-2016.

P. Alex Dato, SVD mengatakan bahwa salah satu bidang pastoral yang harus tetap diperhatikan adalah Pastoral Keluarga. Pastoral Keluarga dapat dilaksanakan secara bertahap seperti pelaksanaan Kursus Pra Perkawinan, Pendampingan Keluarga Muda, Pendampingan Usia Lanjut dan juga pendampingan dalam Pendalaman Iman Keluarga. Oleh karena itu, Bulan Kitab Suci Nasional 2013 ini adalah salah satu moment yang tepat untuk melaksanakan kegiatan Pastoral Keluarga dalam bentuk pendalaman Kitab Suci.

Sie Pewartaan Paroki, Bapak Wilhelmus Y. Ndoa menyampaikan jadwal dan pembagian tugas Team Pastoral yang akan bertugas menjadi fasilitator di Lingkungan-lingkungan di wilayah paroki. Selain itu, beliau juga menyampaikan pembekalan singkat kepada Team Pastoral agar tujuan yang ingin dicapai dalam pelaksanaan Pendalaman Bulan Kitab Suci ini dapat tercapai sesuai dengan apa yang diharapkan. **Kairos.

Selamat Memasuki Bulan Kitab Suci, September 2013


Tahun 2013 merupakan tahun yang istimewa bagi Paroki Katedral Santa Maria Palangka Raya. Lima puluh tahun yang lalu tepatnya tanggal, 01 Maret 1963 secara resmi dideklarasikan berdirinya paroki ini oleh Mgr. W. Demarteau, MSF (Alm). Melalui perjuangan dan kerja keras, Paroki ini dibangun dan dikembangkan hingga saat ini merayakan ulang tahun emasnya.

Dalam rangka merayakan Ulang Tahun Emas inilah, Panitia  merencanakan sebuah Buku Kenangan. Panitia mencoba membuat sorot napak tilas ke masa yang  lalu,  sehingga aspek historis yang mengitari rencana pendirian Gereja Katolik di Palangka Raya lebih ditonjolkan. Disamping itu, dalam buku ini juga dilampirkan beberapa tulisan tentang Kedewasaan Iman sesuai dengan tema perayaan 50 tahun, dengan harapan dapat membantu pembaca untuk memahami iman dalam perspektif yang lebih luas.

Juga ada lampiran rubrik “Kata Mereka” yang merupakan rekaman atas kesan dan pesan dari para tokoh baik yang terlibat dalam proses pendirian gereja, Bapa Uskup, para Pastor, Katekis-katekis dan tokoh-tokoh umat. Agar memudahkan kita bernostalgia dengan peristiwa-peristiwa yang pernah ada dan terjadi di masa lalu hingga saat ini,  dalam buku ini  ada “Lensa Paroki” yang tentunya mengandung dimensi co-memorationis (dimensi penghadiran kenangan-kenangan masa lalu) dalam bentuk kumpulan foto-foto, sehingga membangkitkan  angan dan nostalgia bagi mereka yang pernah atau sedang dengan caranya sendiri terlibat dalam pengembangan Paroki Katedral Santa Maria Palangka Raya ini.

Penulisan  buku ini  tidaklah terlalu  lengkap sesuai tuntutan metodologis penulisan sejarah. Team Penyusun (Fidelis Harefa, Yakobus Dapa Toda, Benyamin Tunti, Wiwik Handayani dan Stefanus Dh. Mangu) mencoba untuk menampilkan sejauh dapat dipertanggungjawabkan, sesuai dengan hasil wawancara dan  beberapa arsip  yang masih tersimpan sampai sekarang. Diharapkan buku ini membantu untuk memahami sejarah perjalanan Paroki Katedral Santa Maria Palangka Raya hingga tahun ke-50 ini.

Buku ini dapat tersusun  berkat bantuan dan jasa banyak pihak. Secara khsusus Team Penyusun berterimakasih kepada Ny. Thomas Soehadi, Ny. Simon Nuga Wago, Bpk J. Soekardjo, Bpk, A.S. Santoso, Bpk, A.S. Subari,  yang telah dengan rela dan senang memberikan banyak masukan berupa informasi data-data awal dari pendirian gereja Katolik di Palangka Raya. Team Penyusun juga berterima kasih kepada P. Frieds Meko, SVD yang memberikan banyak sumbangan pemikiran, ide dan informasi sejarah sehingga dapat dipertanggungjawabkan. Tidak lupa pula berterima kasih kepada Bpk. Yusuf Wahyu Purwanto yang banyak menyimpan bahan-bahan berupa data dan dokumen yang digunakan untuk menyeleseaikan Buku Kenangan sederhana ini.

Kepada semua pihak yang telah ikut menyumbangkan bantuan, baik berupa informasi, data, foto dan segala fasilitas yang diperlukan demi terbitnya buku ini, dari hati yang tulus Team Penyusun menghaturkan banyak terimakasih. Akhirnya team juga menghaturkan terimaksih kepada Panitia Perayaan 50 tahun Paroki Katedral Santa Maria Palangka Raya yang telah mendukung baik moril maupun materil demi terbitnya Buku Kenangan ini.

Tak ada gading yang tak retak, demikianlah bunyi pepatah kuno yang menggambarkan sebuah ketidaksempurnaan kita sebagai manusia. Oleh karena itu, kami tidak lupa memohon maaf, atas segala ketidaksempurnaan, kekurangan dan kesalahan yang sempat anda temui dalam buku ini. Akhirnya kami mengharapkan semoga buku ini dapat membantu  para pembaca untuk mengenal dan mendukung usaha pengembangan Gereja Katedral St. Maria Palangka Raya di masa-masa yang akan datang.

Buku Kenangan ini tersedia di Paroki Katedral St. Maria Palangka Raya. Bagi yang berminat, silahkan hubungi Sekretariat Paroki. **Fidelis Harefa

Gambar dari Hidup Katolik
Perkawinan Katolik dan lebih lagi Sakramen Perkawinan adalah suatu yang sakral, suci dan karena itu Gereja Katolik mengajak seluruh umat Katolik untuk menghormati kesucian perkawinan itu. Untuk membantu umat menghormati kesucian perkawinan, Gereja Katolik menetapkan seperangkat hukum yang kiranya menjadi pedoman bagi setiap umat Katolik ketika akan melangsungkan perkawinan. Hukum yang mengatur seluk-beluk perkwinan Katolik itu dimuat dalam Kitab Hukum Kanonik (Codex Iuris Canonici). Pasalnya disebut sebagai 'kanon'.

Kanon 1066 menetapkan: "Sebelum perkawinan diteguhkan, haruslah pasti bahwa tiada suatu hal menghalangi peneguhan yang sah dan hala". Kepastian tentang halangan peneguhan perkawinan diperoleh lewat Penyelidikan Kanonik, yang harus dilakukan oleh Pastor Paroki tempat calon pasangan berdomisili (bukan berdasarkan KTP), utamanya Pastor Paroki dari calon mempelai wanita (kecuali kalau tidak Katolik). Dalam penyelidikan kanonik, Pastor Paroki menyelidiki segala persyaratan menurut Hukum Kanonik bagi sahnya sebuah perkawinan dan hal-hal yang dapat menggagalkan sebuah perkawinan.

Dalam Kanon 1073-1094 diatur tentang halangan-halangan yang menggagalkan perkawinan pada umumnya dan pada khususnya. Halangan-halangan itu dapat membuat seseorang tidak mampu untuk menikah secara sah. Halangan pada umumnya seperti halangan beda agama atau beda Gereja, hubungan darah dan lain-lain. Halangan-halangan yang bersifat umum seperti itu masih ada solusinya yakni dengan memintakan dispensasi dari Uskup setempat.

Ada halangan-halangan khusus yang menyebabkan seseorang tidak dapat menikah secara sah dan tidak ada dispensasinya dari Uskup yakni halangan usia (pria 16 tahun dan wanita 14 tahun), impotensi untuk melakukan hubungan suami-isteri, kasus perceraian bagi salah satu calon pasangan yang pernah menikah secara Katolik, tahbisan (bagi mereka yang mengundurkan diri dari imamat) dan kaul kekal (bagi mereka yang mengundurkan diri dari Lembaga Hidup Bakti).

Kanon 1095-1107 mengatur hal-hal yang berkaitan dengan Kesepakatan Nikah. Secara khusus Kanon 1103 menetapkan: "Perkawinan adalah tidak sah bila dilangsungkan karena paksaan atau ketakutan besar yang dikenakan dari luar, meskipun dengan sengaja, sehingga untuk melepaskan diri dari ketakutan itu seseorang terpaksa memilih perkawinan". Kebebasan untuk membuat kesepakatan menikah merupakan persyaratan mutlak dalam sebuah perkawinan Katolik. Kebebasan yang dijiwai oleh kasih akan melanggengkan sebuah perkawinan. Orang yang menikah secara bebas saja masih bisa kandas di tengah jalan, apalagi yang menikah karena terpaksa.

Gereja Katolik tidak dapat meneguhkan perkawinan yang jelas-jelas tidak sah, karena kalau Gereja melakukannya, maka Gereja melecehkan perkawinan yang sangat dijunjung tinggi kesakralannya. Kasus seperti itu dapat dan sudah terjadi dalam Gereja Katolik. Tentu saja hal itu tidak dapat diumumkan untuk diketahui oleh seluruh umat. Karena itu, bila terjadi hal seperti ini, umat diharapkan tidak terlalu cepat berprasangka buruk terhadap sikap Gereja Katolik. Bilamana keputusan seperti itu dilakukan, tentu ada alasannya dan sudah dikonsultasikan dengan Uskup sebagai Ordinaris Wilayah yang berwewenang dalam hal ini. Semoga umat dapat memakluminya. ** P. Alex Dato'L, SVD.

Foto: Memory PYD di Kapuas
Oleh Nickjer Silvanus P.
Seperti apa potret Orang Muda Katolik (OMK) saat ini? Banyak hal yang dapat kita refleksikan mengenai keberadaan orang muda ini. Namun dalam refleksi itu tidak serta merta menjawab semua persoalan yang dialami orang muda masa kini. Beberapa hal praktis yang boleh dikemukakan adalah bahwa orang muda bisa eksis karena kuantitasnya? Kualitansnya? Atau karena hal lain.

Namun siapakah yang disebut sebagai orang Muda Katolik itu? Adalah bahwa mereka yang telah dibabtis dalam Gereja Katolik dan umurnya berkisar antara 13 hingga 35 tahun. Dan tentunya belum dikategorikan sebagai orang yang telah menikah. Karena jangkauan yang begitu luas, maka ada begitu banyak wadah yang dapat dijadikan sebagai tempat untuk berkumpul. Wadah OMK itu memang banyak. Mereka ada di tingkat teritorial paroki, yang sekarang biasa disebut OMK Paroki. Di paroki pun, mereka berkumpul pada komunitas OMK wilayah dan lingkungan.

Selain lingkup teritorial, mereka berada di dalam wadah yang kita sebut lingkup kategorial, yang berkumpul berdasarkan kesamaan bakat, devosi dan minatnya. Kita mengenal kelompok seperti Choice, KKMK (Kelompok Karyawan Muda Katolik), Komunitas Lajang Katolik, New Heart Community (Komunitas Single Katolik Yang Mendalami Spiritualitas Hati Kudus Yesus), Corpus Cordis, dan masih banyak lainnya. Namun ada juga kelompok orang muda katolik yang tidak berada di dua lingkup ini. Kita bisa menyebut kelompok seperti KMK (Keluarga Mahasiswa Katolik), PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa katolik Republik Indonesia) dan Pemuda Katolik. Jika dibagi dalam dua kategori besar, maka komunitas Orang Muda Katolik bisa kita pilah jadi dua: yaitu yang parokial dan ekstra parokial. Yang parokial, mencakup teritorial dan kelompok kategorial, sementara yang ekstra parokial menunjuk pada PMKRI, Keluarga Mahasiswa katolik, dan Pemuda katolik.

Menyadari akan eksistensi Orang Muda Katolik, saya sudah membayangkan betapa ‘modal’ Orang Muda Katolik Indonesia sangat besar. Silahkan diartikan sendiri, jika modal yang besar ini sungguh-sungguh dikelola dengan baik, maka bukan tidak mungkin gaung dan gema mereka pun akan besar. Misi besar Gereja mewartakan Kerajaan Allah di dunia, bukan tidak mungkin menjadi kian terasa dengan gerak orang muda katolik seperti ini.

Namun memasuki era globalisasi yang kian menggila, OMK dalam kiprahnya sebagai Orang Muda terkadang tidak bisa melepaskan diri dari pergolakan hidup kemudaannya. Dengan antusiasme dan bahkan ambisi pribadi Orang Muda bisa melakukan segala sesuatu yang dianggap penting untuk mencari jati dirinya. Upaya pencarian jati diri inilah bisa menjerumuskan Orang Muda ke dalam sebuah pergulatan batin yang hebat. Sebagai contoh sikap tidak peduli OMK atau masah bodoh dengan semua kegiatan kegerejaan baik di dalam maupun di luar lingkup Gereja. Sikap tidak peduli ini menjadi sorotan masyarakat umum. Bahkan kini lahir individualisme kaum muda yang semakin menjadi parasit ditubuh OMK sendiri.

Akibatnya timbul berbagai persoalan/masalah-masalah sosial seperti penurunan perilaku Moral, kesenjangan sosial, ketidakadilan, nasionalisme, dan kepekaan terhadap lingkungan serta pengkhianatan terhadap imannya. Sulit memang mengubah pemikiran dan sikap acuh orang muda saat ini ditengah-tengah kenyamanan hidup serta serbuan berbagai macam hal instan di abad 21. Tidak akan bisa semua OMK mau dan peduli dengan keadaan di dalam dan di luar Gereja apabila perilaku OMK masih mencerminkan sikap apatis.

Melihat realita yang ada, OMK telah terjerumus dalam sebuah dinamika kehidupan yang serba instan. OMK semakin tergerumus imannya oleh arus perputaran zaman yang kian menggila. Hal ini bila tidak diatasi sekarang, maka harapan Gereja dalam membangun iman umatnya ke depan akan rapuh lantaran OMK sebagai tulang punggung Gereja masa depan dipatahkan. Karena itu, ada tiga pilar utama dalam membangun militansi kaum muda yaitu:

1. Mempersembahkan Tubuh

Rasul Paulus berkata: “Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati.”(Roma 12:1) Wujud konkrit mempersembahkan tubuh itu adalah bagaimana melayani sesama dan melayani TUHAN atau pekerjaan TUHAN.

2. Hadir Dalam Peribadatan

Pemazmur berkata: “Tujuh kali dalam sehari aku memuji-muji Engkau, karena hukum-hukum-Mu yang adil.”(Maz 119:164). Realisasinya adalah bahwa apapun kegiatannya yang berkaitan dengan keimanan kita perlu hadir demi pematangan keimanan.

3. Melakukan Firman-Nya

Kita mengenal istilah logos dan rema. Logos adalah firman Allah yang tertulis, yaitu Alkitab. Tetapi rema adalah perwujudan firman itu di dalam diri kita atau di dalam tubuh kita dan mewarnai tingkah laku kita. Surat Yakobus menulis: “Demikian juga halnya dengan iman: Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati.”(Yak 2:17) “Tetapi firman ini sangat dekat kepadamu, yakni di dalam mulutmu dan di dalam hatimu, untuk dilakukan.”(Ul 30:14) “Tetapi hendaklah kamu menjadi pelaku firman dan bukan hanya pendengar saja; sebab jika tidak demikian kamu menipu diri sendiri.”(Yak 1:22).

Walaupun dengan adanya tiga pilar utama di atas, Orang Muda Katolik tidak serta merta keluar dari gurita persoalan sosial yang membelenggunya. Namun perlu adanya pembinaan iman OMK yang menuntut pengorbanan yang tinggi dan komitmen yang terus menerus dari para pembinanya. Pembinaan ini sesungguhnya harus mengambil kekuatannya dari Kristus sendiri yang hadir dalam sakramen-sakramen, terutama Sakramen Ekaristi dan Sakramen Tobat. Tentunya, semua ini harus didasari oleh katekese yang baik kepada OMK, sehingga mereka dapat mengetahui manfaat yang luar biasa yang dapat mereka peroleh dari rahmat Tuhan yang tersedia bagi kita semua melalui doa, Sabda Tuhan, dan terutama melalui sakramen- sakramen, yang bersumber pada Misteri Paska Kristus.

Dengan kata lain dapat lebih tegas dikatakan bahwa melihat situasi OMK kita saat ini, Gereja tidak boleh menutup mata. Bila Gereja ingin maju dan bertahan, maka diperlukan sedikit prioritas untuk menangani generasinya. Bila Gereja dalam hal ini tidak mengambil sikap, Gereja akan kehilangan generasi penerus yang militan, baik dalam iman maupun dalam bidang lainnya. ** Martinus Sanit, SF (Guru Agama Katolik SMKN 1 Bulik, Kabupaten Lamandau).

Setelah Paus Fransiskus I memegang jabatan Kepausan, teladan-teladan kepemimpinan baru dimaklumkan. Pesan-pesan dan kecaman-kecaman yang disampaikan menjadi kerikil tajam dan sangat mengusik kebiasaan buruk yang selama ini terjadi. Salah satu pesan Bapa Suci yang akhir-akhir ini menginspirasi banyak umat, termasuk para gembala atau kaum hirarki adalah pesan untuk hidup sederhana.

Hidup sederhana menurut Bapa Suci adalah hidup seturut Injil. Pemborosan adalah tindakan menyia-nyiakan rahmat Tuhan yang telah kita terima. Membuang-buang makanan dan gaya hidup konsumerisme tidak luput dari perhatian Bapa Suci. Bahkan beberapa bulan lalu, Bapa Suci mengingatkan agar para gembala tidak menuntut mobil mewah dalam melaksanakan tugas pelayanan.

Pesan Bapa Suci di atas membawa kita pada sebuah permenungan tentang bagaimana praktek hidup kita sebagai umat beriman yang saat ini jauh dari semangat kesederhanaan. Gaya hidup mewah telah merasuki kehidupan kita, tak terbatas kalangan. Tuntuntan akan kebutuhan ini dan itu, kadang tidak berdasarkan pertimbangan perlu, sangat perlu, atau amat sangat perlu. Ada sebuah kecenderungan untuk menikmati perkembangan teknologi ini tanpa batas.

Kadang, di kota besar, di mana pelayanan sudah dapat dilaksanakan dengan mudah karena transportasi sudah sangat lancar disediakan mobil-mobil yang bagus, mahal yang tidak kalah model. Sementara, di beberapa daerah, yang medan pastoralnya sangat sulit dan berat, tersedia mobil-mobil sederhana yang hampir tak dapat digunakan untuk mengarungi medan-medan berat. Demikian halnya dengan sepeda motor. Kenyataan ini dapat kita saksikan diberbagai daerah pastoral di Indonesia. Pengadaan-pengadaan sarana transportasi yang tidak berimbang.

Adalah sangat tepat bila Bapa Suci mengecam gaya hidup konsumerisme di kalangan gereja. Kenyataan seperti di atas tidak hanya terjadi di Indonesia. Hampir di seluruh dunia, dalam Gereja terjadi kehilangan prioritas berhubungan dengan pembiayaan-pembiayaan. Sederhana, bukan berarti melarat. Juga tidak berarti sembrono. Nilai prioritas harus menjadi keutamaan. Bapa Suci tidak mengecam mobil mahal dan kuat bila itu digunakan untuk kebutuhan pastoral yang diperuntukan dalam pelayanan yang medan pastoralnya berat. Akan tetapi, Bapa Suci akan kecewa bila mobil mahal, mewah diperuntukan tidak sesuai dengan fungsinya dan bertentangan dengan semangat kesederhanaan.

Demikian juga untuk sarana dan fasilitas yang lain. Pilihan berkualitas tidak menjadi masalah. Tetapi perlu diingat kriteria-kriteria tingkat kebutuhan sehingga tidak terkesan pemborosan yang sia-sia. Kita akan menghasilkan banyak buah dengan polah hidup sederhana. Kita bisa menyalurkan banyak bantuan bagi yang membutuhkan, kita dapat mengembangkan banyak hal yang mendukung karya pastoral dan lain sebagainya. Dengan gaya hidup mewah, kita akan lebih terarah pada pemborosan. Jalan tak berujung dan ide buntu adalah menjadi teman setia bila pola hidup ini tidak dirombak. Rencana-rencana jangka panjang, yang seharusnya dibenahi dari sekarang akan menjadi impian semu yang tidak pernah tercapai. Semoga pesan-pesan Bapa Suci baru-baru ini membawa perubahan dalam pola hidup kita sebagai orang beriman. Berikut ini adalah berita-berita menarik tentang pesan-pesan Bapa Suci berhubungan dengan Hidup Sederhana.  **Fidelis Harefa

1. Paus Fransiskus Menginspirasi Seorang Imam Menjual Marcedesnya
2. Pedoman Hidup Bagi Para Imam, terinspirasi dari Pesan Bapa Suci
3. Paus Prihatin Konsumerisme di Kalangan Gereja






Tantangan-tantangan Iman dalam era ini sungguh luar biasa. Salah satu di antaranya adalah sulitnya membangun komunitas iman yang kuat. Dalam pesannya di Hari Misi Sedunia 2013, Paus Fransiskus mengatakan bahwa di zaman kita ini tingkat mobilitas manusia semakin meningkat dan meluas. Hal ini sangat di dukung oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama fasilitas-fasilitas komunikasi yang semakin canggih. Percampuran budaya, pengalaman dan pengetahuan terjadi di dalamnya. Hal ini menyebabkan sulitnya mengetahui siapa-siapa saja yang tinggal menetap dalam sebuah komunitas. Untuk alasan pekerjaan, manusia pindah dari sebuah benua ke benua lain, pertukaran profesional dan budaya. Ini juga menjadi penyebab terjadinya pergerakan besar  di kalangan masyarakat. Karena alasan sibuk dan tidak menetap di satu tempat, orang-orang Katolik yang telah di baptis menjadi acuh tak acuh terhadap dimensi keagamaan.

Situasi di atas menjadi dasar bagi Bapa Suci untuk mengingatkan sebuah gaya pewartaan baru "new evangelization". Evangelisasi baru yang dimaksud adalah suatu gaya pewartaan yang diusahakan oleh semua pelaku pastoral, Uskup, Pastor, Diakon dan Tenaga Pastoral yang dipanggil untuk mewartakan Injil memasuki segala aspek kehidupan yang sedang bergulir saat ini. Dalam situasi yang kompleks ini dibutuhkan keberanian untuk menyuarakan, membangun dan mewartakan persekutuan, rekonsiliasi serta kabar suka cita Injil.

Dalam pesan itu, Bapa Suci juga mengingatkan agar Gereja menghidupkan dan memperdalam kesadaran misioner dari setiap orang Katolik yang dibaptis, setiap komunitas, dengan mengingatkan mereka tentang formasi misionaris lebih mendalam sehingga nilai-nilai Injil dapat diwartakan kepada seluruh bangsa. Ini adalah tugas kita sebagai orang yang telah menjadi anak-anak Allah. Dan boleh dikatakan, hal ini adalah konsekuensi dari sebuah pembaptisan. Semua orang yang telah dibaptis dalam Kristus mendapat bagian dalam tugas ini. Kita tidak boleh berpangku tangan, atau menunggu gerakan dari pihak-pihak tertentu saja. Kita harus terlibat aktif sebagai penerima delegasi tugas dari Kristus. Dengan gaya dan cara kita masing-masing, dengan memperhatikan nilai-nilai Injil dan Ajaran Gereja, kita harus bisa masuk dalam segala situasi yang sedang bergulir saat ini.

Pesan ini disampaikan sekedar mengingatkan kembali pesan Konsili Vatikan II yang telah terjadi 50 tahun yang lalu. Dan pada tahun ini, tepat pada perayaan Tahun Iman, kita diingatkan kembali tentang evangelisasi baru itu. Iman yang telah kita terima, tidak boleh dipertahankan sebagai milik sendiri, tetapi harus dibagikan untuk yang lain. Kita tidak boleh memaksakan dalam pewartaan kita, tetapi kita wajib mengusulkan nila-nilai kristiani itu ke hati setiap orang. **Kairos

Disarikan dari: Pesan Paus Fransiskus II pada Hari Misi Sedunia 2013. Lihat Versi Lengkapnya (English) di sini.

Pada tahun 2012, setahun menjelang perayaan 50 Tahun Paroki Katedral, Pengurus Harian Dewan Pastoral Paroki Katedral telah membentuk Panitia Perayaan 50 Tahun Paroki Katedral, yang diteguhkan dan diberkati oleh bapak Uskup dalam perayaan Ekaristi hari Minggu, 4 Maret 2012, bertepatan dengan perayaan Ulang Tahun Paroki Katedral yang ke-49. Perayaan 50 Tahun Paroki Katedral direncanakan akan diselenggarakan selama enam bulan atau setengah tahun, yang dibuka pada tgl. 1 Maret 2013 dan berpuncak pada pesta Pelindung Paroki, hari Minggu tgl. 8 September 2013. Untuk mengarahkan rangkaian kegiatan sepanjang perayaan ini, Panitia merasa perlu menetapkan tema dan sub tema Perayaan 50 Tahun Paroki Katedral. Tema perayaan 50 Tahun Paroki Katedral yang diusung Panitia diambil dari kata-kata inspiratif rasul Paulus: “Sampai kita semua telah mencapai kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang Anak Allah, kedewasaan penuh, dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus” (Ef 4:13). Berdasarkan tema tersebut kemudian dirumuskan sub tema untuk mengoperasionalkan tema tersebut di atas yakni: “Satu Hati, Satu Komunitas, Satu Pelayanan Menuju Pemantapan Kedewasaan Paroki Katedral St. Maria Palangka Raya”.

Kedewasaan penuh dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus kiranya menjadi cita-cita atau mimpi seluruh umat Paroki Katedral yang harus diwujudkan bersama. Cita-cita itu diwujudkan pertama-tama dengan membangun kesatuan yakni satu iman aneka wajah. Umat Paroki Katedral saat berasal dari aneka suku dan bahasa di tanah air dengan status sosial yang sangat bervariasi. Karena sangat diharapkan seluruh umat dapat saling merangkul dalam bingkai iman Katolik dengan merobohkan semua sekat yang memisahkan entah suku, budaya, status sosial atau sekat apa pun juga. Keanekaan wajah umat Paroki Katedral Palangka Raya harus diterima dengan penuh syukur sebagai anugerah Tuhan dan kiranya menjadi kekuatan dan modal atau aset berharga bagi paroki Katedral. Kesatuan umat Paroki Katedral dalam keanekaan wajah merupakan buah dan sekaligus indikator kedewasaan iman umat paroki Katedral.

Tahun persiapan 2012 dan tahun pelaksanaan pesta emas Paroki 2013, kiranya menjadi kesempatan emas bagi seluruh warga Paroki untuk secara aktif membangun iman agar semakin mantap, sehingga menghasilkan buah dalam aneka bentuk yakni semakin mantap persatuan dan kesatuan sebagai satu komunitas, semakin aktif dan kreatif dalam pelayanan baik dalam kehidupan menggereja mulai dari Lingkungan sampai tingkat Paroki maupun dalam kehidupan bermasyarakat. Kita berharap kesadaran iman umat akan mendorong semakin banyak orang yang mau terlibat dalam pelayanan. Kita mendengar keluhan tentang kurangnya orang yang mau terlibat dalam kegiatan koor pada perayaan Ekaristi di gereja. Misa hari Minggu sore sering dianaktirikan karena absennya petugas liturgi seperti lektor dan pemazmur. Padahal misa hari Minggu sore itu sama dengan misa pagi untuk memuji dan memuliakan Allah. Kurangnya motivasi iman menyebabkan orang begitu mudah melalaikan tugas yang dipercayakan kepadanya. Ini menjadi tantangan bagi kita semua yang harus kita atas bersama.

Dalam lingkaran satu iman aneka wajah itu, seluruh umat berjuang membangun sebuah komunitas yang solid guna meningkatkan pelayanan / pengabdian kepada Gereja dan masyarakat sehingga Gereja Katedral St. Maria dapat menjadi tanda dan sarana keselamatan yang efektif. Tiga aspek ini kiranya menjadi indikator untuk mengukur kemantapan kedewasaan Paroki atau Gereja Katedral St. Maria Palangka Raya.

Sub tema dari Perayaan 50 Tahun Paroki Katedral adalah “Satu Hati, Satu Komunitas, Satu Pelayanan Menuju Pemantapan Kedewasaan Paroki Katedral St. Maria Palangka Raya”. Rasul Yohanes mengungkapkan refleksi imannya atas peristiwa inkarnasi dengan mengatakan, “Firman itu telah menjadi manusia dan diam di antara kita” (Yoh 1:14). Rasul Yohanes meyakini bahwa Yesus adalah Sang Sabda yang telah menjadi manusia dan dengan cara itu Allah dalam diri Yesus Kristus dapat tinggal di tengah kita manusia. Yesus datang untuk merajut kembali kebersamaan yang telah tercabik-cabik oleh dosa manusia pertama, Adam dan Hawa. Yesus datang untuk memulihkan relasi cinta dengan Allah dan merangkul seluruh umat manusia dalam bingkai kesatuan sebagai satu keluarga, satu komunitas dan satu kerajaan yakni Kerajaan Allah yang dijiwai oleh kasih persaudaraan. Dalam kesatuan kasih persaudaraan dan lewat kesatuan kasih persaudaraan kita mewujudkan kebahagiaan bersama.

Kebersamaan atau persaudaraan harus diyakini sebagai perangkat perkasa untuk membuat semua impian menjadi kenyataan. Ibarat sapu lidi. Dengan satu batang sapu lidi orang bisa menyapu membersihkan sesuatu yang kotor, namun kurang efektif dibandingkan dengan banyak lidi yang diberkaskan dengan ikatan kuat menjadi satu berkas. Dengan satu berkas sapu lidi orang dapat menyapu jauh lebih bersih dan lebih efektif. Kita dapat juga mengggunakan perbadingan lilin bernyala. Satu lilin bernyala dapat menerangi satu ruangan yang gelap gelita. Namun cahaya dalam ruangan itu akan lebih cemerlang bila banyak lilin yang dinyalakan bersama dalam satu kebersamaan. Demikian juga kita sebagai satu persekutuan / komunitas umat beriman. Secara individual kita dapat berbuat sesuatu untuk kepentingan bersama, tapi pasti jauh lebih efisien dan efektif kalau kita dapat berbuat sesuatu bersama-sama dan bersama-sama berbuat sesuatu.

Kebersamaan dalam perbandingan seperti disebut di atas selalu membuat sesuatu menjadi lain dan punya nilai lebih. “Together to make difference”. Sebuah semboyan yang sangat inspiratif. “ “Bersama Mewujudkan Perubahan”. Dalam kebersamaan pasti dapat tercipta sebuah perubahan. Perubahan menjadi sebuah jargon yang selalu menjadi tema yang menarik dalam kampanye pemilihan presiden. Kita masih ingat kampanye presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang mengusung perubahan sebagai tema yang berhasil menggerakkan hati banyak pemilih untuk menjatuhkan pilihannya pada beliau. Dan yang masih amat segar dalam ingatan kita adalah kemenangan Barack Obama yang juga mengusung tema perubahan dan secara cemerlang telah menjadikan Obama sebagai presiden kulit hitam pertama di Amerika Serikat. “Change we believe in”.

Kalau kita mau agar terjadi perubahan dalam Paroki Katedral yang tercinta ini, tidak bisa tidak kita harus mulai dengan “membangun kebersamaan” (sense of belonging). Rasul Paulus mengajak umat di Filipi dan tentu juga umat Paroki Katedral untuk membangun kebersamaan, satu hati, satu komunitas dan satu pelayanan dengan kata-kata indah “….hendaklah kamu sehati sepikir, dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan,dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri; dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga. (Flp 2:2-4).

Hal pertama, harus ditumbuhkan kesadararan (konsientisasi) bahwa setiap kita adalah bagian dari perubahan itu. Di saat kita mengikatkan diri dalam kebersamaan sebagai satu Lingkungan dan satu Paroki, saat itu perubahan sudah mulai terjadi. Kesadaran itu harus disusul dengan komitmen untuk aktif berpartisipasi dalam bingkai kebersamaan sesuai kemampuan atau talenta yang kita terima dari Tuhan.  Sebuah ungkapan mengatakan, “Kalau komitmen 100% hasilnya pun 100%”. Selanjutnya seperti efek domino, satu perubahan akan menggerakkan perubahan berikutnya dan seterusnya.

Perubahan itu sedang terjadi dan perlu kita tingkatkan dalam segala aspek kehidupan menggereja yakni pewartaan (kerugma), liturgi (liturgia), pelayanan (diakonia) dan persekutuan (koinonia / martiria). Keempat bidang pokok itu merupakan soko guru Gereja yang akan menopang seluruh kehidupan Gereja. Perubahan dalam keempat bidang itu akan menjadi lokomotif yang membawa Paroki Katedral terus berubah dan Paroki Katedral betul-betul tampak beda karena kebersamaan kita. Kita percaya, perubahan itu bisa terjadi karena kebersamaan kita. “Together to make difference! Change we believe in!” “Bersama mewujudkan perubahan!” “Kita yakin akan perubahan!” Satu hati, satu komunitas, satu pelayanan! Semoga ! ** P. Alex Dato'L, SVD

Pada tanggal 10 Juli 2013 yang lalu, Bapa Suci, Paus Fransiskus I menyampaikan pesan kepada Umat Muslim dalam rangka berakhirnya bulan Ramadhan. Pesan ini merupakan bukti bahwa hidup kita di dunia ini adalah "Hidup dalam Persaudaraan, persaudaraan universal" tanpa membedakan suku, agama, ras dan budaya. Pesan ini juga menegaskan kembali alasan mendasar Bapa Suci memilih nama seorang santo, yakni Fransiskus dari Assisi yang merupakan sosok pencinta Allah dan Alam semesta dalam Persaudaraan Sejati.

Sebagai konsekuensi sebuah Persaudaraan, Bapa Suci menekankan sebuah sikap "Saling menghargai satu sama lain". Dan cara untuk menanamkan sikap ini adalah melalui pendidikan. Mengenai hal ini, Bapa Suci mengatakan: "Mengenai pendidikan orang muda Muslim maupun Kristiani, kita harus membawa orang-orang muda kita untuk berpikir dan berbicara dengan penuh hormat tentang agama-agama lain dan para pengikut mereka, dan untuk menghindari sikap mengejek atau merendahkan keyakinan dan praktik keagamaan orang lain".

Dalam pesan itu, Bapa Suci juga menyampaikan bahwa dalam pandangan sosial dan kekeluargaan - dua dimensi yang penting bagi umat Muslim dan yang mana, sesuai penekanan Bapa Suci, dapat dilihat "paralel" dengan "iman dan praktik agama Kristen", yaitu: "kita dipanggil untuk menghormati dalam pribadi setiap orang terutam hidupnya, integritas fisiknya, martabatnya dan hak-haknya, reputasinya, kepemilikannya, identitas etnis dan budayanya, ide-idenya dan pilihan-pilihan politiknya. Dengan kata lain, kata Paus, "kita dipanggil untuk berpikir, berbicara dan menulis tentang orang lain dengan penuh hormat, bukan saja di hadapannya, tetapi selamanya dan di mana pun, menghindari kritik-kritik yang tidak adil atau fitnah". Dan di sini, Paus menegaskan, ada peranan dan tanggung-jawab yang besar dari para keluarga, sekolah-sekolah, pendidikan agama dan media.

Sikap saling menghargai hanya dapat terwujud bila hal itu terjadi secara "mutual", artinya ini tidak hanya satu arah, tetapi harus dilakukan bersama oleh kedua belah pihak. Tentu saja hal ini tidak berlaku hanya untuk Kristen-Muslim tapi juga untuk saudara-saudara kita yang lain. Hanya dengan sikap saling menghargai parsaudaraan yang tulus dan abadi dapat tumbuh.

Dari pesan Bapa Suci di atas, kita semua dapat belajar bagaimana harus hidup berdampingan dengan saudara-saudara yang berbeda dengan kita dari segi latar belakang, pendidikan, keyakinan dan budaya. Pendidikan kita harus lebih terarah kepada ajaran-ajaran yang dapat membangun persahabatan, bukan membangung jurang perbedaan satu sama lain. Barangkali, pesan ini dapat menjadi perhatian khusus bagi kita yang hidup di Indonesia. Bila membaca dan merenungkan lebih dalam pesan Bapa Suci ini, kita dapat melihat solusi yang baik dalam menyelesaikan masalah-masalah "intoleransi" yang akhir-akhir ini terjadi dan ditandai dengan beberapa peristiwa yang sangat menyedihkan dan memalukan. Bila ingin membaca pesan ini secara lengkap, anda dapat melihat di sini. **Kairos

Seri Dokumen Gerejawi No. 76 yang dikeluarkan oleh Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI  dengan judul "Larangan Komuni" menyajikan ajaran Gereja khusus menyangkut larangan pemberian komuni dan penerimaan komuni. Dokumen itu memuat apa yang sudah disampaikan oleh Paus Yohanes Paulus II dalam ensiklik "Familiaris Consortio", ketentuan yang diatur dalam Kitab Hukum Kanonik, dan Surat Kongregasi Ajaran Iman serta Katekismus Gereja Katolik.

Larangan komuni yang diatur dalam dokumen itu ditujukan secara khusus kepada pasangan suami istri atau mereka yang cerai dan nikah lagi. Pasangan suami istri yang menikah sah secara Katolik dan bercerai, dilarang untuk menerima komuni. Di satu pihak, Gereja, khususnya para gembala menurut Kongregasi Ajaran Iman, "dipanggil untuk membantu mereka mengalami kasih Kristus dan kedekatan keibuan Gereja, seraya menerima mereka dengan kasih, mengajak mereka untuk percaya pada kerahiman Allah dan menyarankan kepada mereka dengan arif dan peka jalan konkrit pertobatan dan partisipasi dalam hidup komunitas Gereja" (hal. 8). Gereja sebagai Ibu tidak menolak orang-orang yang telah bercerai dan tetap menunjukkan kasih kepada mereka. Namun, di lain pihak, kasih sejati tidak boleh mengabaikan kebenaran obyektif menyangkut ajaran Gereja tentang perayaan sakramen-sakramen, khususnya penerimaan komuni suci.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, Kongregasi Ajaran Iman menegaskan sebagai berikut: "Gereja menegaskan bahwa persatuan baru tak dapat diakui sebagai sah bila perkawinan sebelum itu sah. Bila orang-orang yang cerai menikah sipil, mereka berada dalam situasi yang obyektif melanggar hukum Allah. Maka dari itu mereka tak dapat menerima komuni suci selama situasi ini berlangsung" (hal.10). Dengan mengabaikan ajaran dan hukum Gereja tentang perkawinan, secara obyektif mereka telah menempatkan diri dalam status dan keadaan hidup yang bertentangan dengan persatuan kasih antara Kristus dan Gereja yang diwujudkan  oleh ekaristi. Ekaristi adalah tanda atau wujud nyata persatuan kasih antara Kristus dan Gereja. Sakramen perkawinan juga adalah simbol persatuan Kristus dan Gereja. Dengan merusak makna dan nilai Sakramen Perkawinan, mereka juga telah merusak persatuan dengan Kristus. Dengan demikian mereka sendiri yang menghalangi penerimaan komuni suci. Kongregasi Ajaran Iman menegaskan, "Mereka sendiri menghalangi penerimaan komuni suci, karena status dan kondisi kehidupan mereka obyektif bertentangan dengan perjanjian kasih antara Kristus dan Gereja, yang membuat ekaristi tampak dan hadir" (hal. 10).

Larangan ini tidak bermaksud memberikan hukum atau diskriminasi bagi pasangan cerai dan nikah lagi, melainkan untuk mengingatkan mereka akan situasi yang mereka ciptakan sendiri dan bertentangan dengan makna dan nilai ekaristi. Larangan ini tak boleh diartikan bahwa pasangan seperti itu tidak boleh mengikuti perayaan ekaristi. Mereka tetap diajak untuk mengikuti perayaan ekaristi, namun tidak boleh menerima komuni. Kongregasi Ajaran Iman menegaskan, "mereka ini tidak dikucilkan dari persekutuan gerejawi. Gereja mengusahakan pastoral mereka dan mengundang mereka untuk berpartisipasi dalam hidup menggereja dalam batas-batas tertentu, sejauh dapat siserasikan dengan hukum ilahi, yang tidak termasuk kompetensi Gereja" (hal. 11).

Pasangan yang telah bercerai dapat mengajukan permohonan kepada bapak Uskup lewat pastor paroki untuk meninjau kembali perkawinannya yang pertama guna melihat apa ada kemungkinan bapak Uskup melalui Tribunal membatalkan perkawinan mereka, sehingga mereka dapat menikah lagi secara katolik. Gereja Katolik tidak mengenal perceraian tetapi PEMBATALAN atau ANULASI PERKAWINAN. Sebuah perkawinan katolik dapat dibatalkan kalau ditemukan adanya unsur atau faktor yang membuat perkawinan itu tidak sah sejak awalnya. Unsur atau faktor itu harus ditelusuri dalam proses perkawinan mereka. Hal terpenting yang diperhatikan adalah proses sebelum menikah di gereja. Apa ada kebebasan? Bisa jadi bahwa sang istri terpaksa menikah, karena sudah hamil akibat pergaulan bebas. Ini berarti tidak ada kebebasan penuh untuk membuat kesepakatan nikah. Faktor ini dapat membuat perkawinan itu tidak sah, meskipun dilangsungkan di gereja. Perkawinan yang tidak sah seperti itu dapat dibatalkan oleh bapak Uskup melalui lembaga Tribunal. ** P. Alex Dato' L, SVD

MKRdezign

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget