Seri Dokumen Gerejawi No. 76 yang dikeluarkan oleh Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI dengan judul "Larangan Komuni" menyajikan ajaran Gereja khusus menyangkut larangan pemberian komuni dan penerimaan komuni. Dokumen itu memuat apa yang sudah disampaikan oleh Paus Yohanes Paulus II dalam ensiklik "Familiaris Consortio", ketentuan yang diatur dalam Kitab Hukum Kanonik, dan Surat Kongregasi Ajaran Iman serta Katekismus Gereja Katolik.
Larangan komuni yang diatur dalam dokumen itu ditujukan secara khusus kepada pasangan suami istri atau mereka yang cerai dan nikah lagi. Pasangan suami istri yang menikah sah secara Katolik dan bercerai, dilarang untuk menerima komuni. Di satu pihak, Gereja, khususnya para gembala menurut Kongregasi Ajaran Iman, "dipanggil untuk membantu mereka mengalami kasih Kristus dan kedekatan keibuan Gereja, seraya menerima mereka dengan kasih, mengajak mereka untuk percaya pada kerahiman Allah dan menyarankan kepada mereka dengan arif dan peka jalan konkrit pertobatan dan partisipasi dalam hidup komunitas Gereja" (hal. 8). Gereja sebagai Ibu tidak menolak orang-orang yang telah bercerai dan tetap menunjukkan kasih kepada mereka. Namun, di lain pihak, kasih sejati tidak boleh mengabaikan kebenaran obyektif menyangkut ajaran Gereja tentang perayaan sakramen-sakramen, khususnya penerimaan komuni suci.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, Kongregasi Ajaran Iman menegaskan sebagai berikut: "Gereja menegaskan bahwa persatuan baru tak dapat diakui sebagai sah bila perkawinan sebelum itu sah. Bila orang-orang yang cerai menikah sipil, mereka berada dalam situasi yang obyektif melanggar hukum Allah. Maka dari itu mereka tak dapat menerima komuni suci selama situasi ini berlangsung" (hal.10). Dengan mengabaikan ajaran dan hukum Gereja tentang perkawinan, secara obyektif mereka telah menempatkan diri dalam status dan keadaan hidup yang bertentangan dengan persatuan kasih antara Kristus dan Gereja yang diwujudkan oleh ekaristi. Ekaristi adalah tanda atau wujud nyata persatuan kasih antara Kristus dan Gereja. Sakramen perkawinan juga adalah simbol persatuan Kristus dan Gereja. Dengan merusak makna dan nilai Sakramen Perkawinan, mereka juga telah merusak persatuan dengan Kristus. Dengan demikian mereka sendiri yang menghalangi penerimaan komuni suci. Kongregasi Ajaran Iman menegaskan, "Mereka sendiri menghalangi penerimaan komuni suci, karena status dan kondisi kehidupan mereka obyektif bertentangan dengan perjanjian kasih antara Kristus dan Gereja, yang membuat ekaristi tampak dan hadir" (hal. 10).
Larangan ini tidak bermaksud memberikan hukum atau diskriminasi bagi pasangan cerai dan nikah lagi, melainkan untuk mengingatkan mereka akan situasi yang mereka ciptakan sendiri dan bertentangan dengan makna dan nilai ekaristi. Larangan ini tak boleh diartikan bahwa pasangan seperti itu tidak boleh mengikuti perayaan ekaristi. Mereka tetap diajak untuk mengikuti perayaan ekaristi, namun tidak boleh menerima komuni. Kongregasi Ajaran Iman menegaskan, "mereka ini tidak dikucilkan dari persekutuan gerejawi. Gereja mengusahakan pastoral mereka dan mengundang mereka untuk berpartisipasi dalam hidup menggereja dalam batas-batas tertentu, sejauh dapat siserasikan dengan hukum ilahi, yang tidak termasuk kompetensi Gereja" (hal. 11).
Pasangan yang telah bercerai dapat mengajukan permohonan kepada bapak Uskup lewat pastor paroki untuk meninjau kembali perkawinannya yang pertama guna melihat apa ada kemungkinan bapak Uskup melalui Tribunal membatalkan perkawinan mereka, sehingga mereka dapat menikah lagi secara katolik. Gereja Katolik tidak mengenal perceraian tetapi PEMBATALAN atau ANULASI PERKAWINAN. Sebuah perkawinan katolik dapat dibatalkan kalau ditemukan adanya unsur atau faktor yang membuat perkawinan itu tidak sah sejak awalnya. Unsur atau faktor itu harus ditelusuri dalam proses perkawinan mereka. Hal terpenting yang diperhatikan adalah proses sebelum menikah di gereja. Apa ada kebebasan? Bisa jadi bahwa sang istri terpaksa menikah, karena sudah hamil akibat pergaulan bebas. Ini berarti tidak ada kebebasan penuh untuk membuat kesepakatan nikah. Faktor ini dapat membuat perkawinan itu tidak sah, meskipun dilangsungkan di gereja. Perkawinan yang tidak sah seperti itu dapat dibatalkan oleh bapak Uskup melalui lembaga Tribunal. ** P. Alex Dato' L, SVD
Posting Komentar