Mei 2014

Segenap Umat Katolik Indonesia yang terkasih,

Kita bersyukur karena salah satu tahap penting dalam Pemilihan Umum 2014 yaitu pemilihan anggota legislatif telah selesai dengan aman. Kita akan memasuki tahap berikutnya yang sangat penting dan menentukan perjalanan bangsa kita ke depan. Pada tanggal 9 Juli 2014 kita akan kembali memilih Presiden dan Wakil Presiden yang akan memimpin bangsa kita selama lima tahun ke depan. Marilah Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden ini kita jadikan kesempatan untuk memperkokoh bangunan demokrasi serta sarana bagi kita untuk ambil bagian dalam membangun dan mengembangkan negeri tercinta kita agar menjadi damai dan sejahtera sesuai dengan cita-cita kemerdekaan bangsa kita.

Ke depan bangsa kita akan menghadapi tantangan-tantangan berat yang harus diatasi di bawah kepemimpinan Presiden dan Wakil Presiden yang baru, misalnya  masalah kemiskinan dan kesenjangan sosial, pendidikan, pengangguran, tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Masalah dan tantangan lain yang tidak kalah penting adalah korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan, kerusakan lingkungan hidup dan upaya untuk mengembangkan sikap toleran,  inklusif dan plural demi terciptanya suasana rukun dan damai dalam masyarakat. Tantangan-tantangan yang berat ini harus diatasi dengan sekuat tenaga dan tanpa henti. Kita semua berharap semoga di bawah kepemimpinan Presiden dan Wakil Presiden yang akan terpilih, bangsa Indonesia mampu menghadapi, mengatasi dan menyelesaikan masalah-masalah itu.

Kami mendorong agar pada saat pemilihan mendatang umat memilih sosok yang mempunyai integritas moral. Kita perlu mengetahui rekam jejak para calon Presiden dan Wakil Presiden, khususnya mengamati apakah mereka sungguh-sungguh mempunyai watak pemimpin yang melayani dan yang memperjuangkan nilai-nilai sesuai dengan Ajaran Sosial Gereja: menghormati kehidupan dan martabat manusia, memperjuangkan kebaikan bersama, mendorong dan menghayati semangat solidaritas dan subsidiaritas serta memberi perhatian lebih kepada warga negara yang kurang beruntung. Kita sungguh mengharapkan pemimpin yang gigih memelihara, mempertahankan dan mengamalkan Pancasila. Oleh karena itu kenalilah sungguh-sungguh para calon sebelum menjatuhkan pilihan.

Agar pemilihan Presiden dan Wakil Presiden bisa berjalan dengan langsung, umum, bebas dan rahasia serta berkualitas, kita harus mau terlibat. Oleh karena itu kalau saudara dan saudari memiliki kesempatan dan kemampuan, sungguh mulia jika Anda bersedia ikut menjaga agar tidak terjadi kecurangan pada tahap-tahap pemilihan. Hal ini perlu kita lakukan melulu sebagai wujud tanggungjawab kita, bukan karena tidak percaya kepada kinerja penyelenggara Pemilu.

Kami juga menghimbau agar umat katolik yang terlibat dalam kampanye mengusahakan agar kampanye berjalan dengan santun dan beretika, tidak menggunakan kampanye hitam dan tidak menggunakan isu-isu  SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan). Khususnya kami berharap agar media massa menjalankan jurnalisme damai dan berimbang. Pemberitaan media massa hendaknya mendukung terciptanya damai, kerukunan serta persaudaraan, mencerdaskan dan tidak melakukan penyesatan terhadap publik, sebaliknya menjadi corong kebaikan dan kebenaran.

Marilah kita berupaya sungguh-sungguh untuk mempertimbangkan dan menentukan pilihan dengan hati dan pikiran yang jernih. Konferensi Waligereja Indonesia menyerukan agar saudara-saudari menggunakan hak untuk memilih dan jangan tidak ikut memilih. Hendaknya pilihan Anda tidak dipengaruhi oleh uang atau imbalan-imbalan lainnya. Sikap demikian merupakan perwujudan ajaran Gereja yang menyatakan, “Hendaknya semua warga negara menyadari hak maupun kewajibannya untuk secara bebas menggunakan hak suara mereka guna meningkatkan kesejahteraan umum” (Gaudium et Spes 75).

Pada akhirnya, marilah kita dukung dan kita berikan loyalitas kita kepada siapa pun yang akan terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia periode 2014 – 2019. Segala perbedaan pendapat dan pilihan politik, hendaknya berhenti saat Presiden dan Wakil Presiden terpilih dilantik pada bulan Oktober 2014. Kita menempatkan diri sebagai warga negara yang baik, menjadi seratus prosen Katolik dan seratus prosen Indonesia, karena kita adalah bagian sepenuhnya dari bangsa kita, yang ingin menyatu dalam kegembiraan dan harapan, dalam keprihatinan dan kecemasan bangsa kita (bdk. Gaudium et Spes 1).

Marilah kita mengiringi proses pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dengan memohon berkat dari Tuhan, agar semua berlangsung dengan damai serta berkualitas dan dengan demikian terpilihlah pemimpin yang tepat bagi bangsa Indonesia. Semoga Bunda Maria, Ibu segala bangsa, senantiasa melindungi bangsa dan negara kita dengan doa-doanya.



Jakarta, 26 Mei 2014


Lihat versi PDF di sini.


Sebuah Telaahan Sosiologis, Antropologis, Filosofis dan Teolgis Terhadap Argumen Pro dan Contra

Dua anak saja, CUKUP! Demikianlah adagium yang sering kita dengar, terutama dalam upaya-upaya mensosialisasikan Program Keluarga Berencana. Kita tidak bisa serta-merta menerima adagium ini sebagai sebuah kebenaran. Kita butuh pembanding, sekurang-kurangnya kita harus melihat dari berbagai sudut pandang. Dengan pembanding-pembanding ini, kita bisa mengatakan bahwa ternyata ini salah, atau ternyata itu benar. Berikut ini kami menuliskan resensi buku yang sangat bagus untuk kita gunakan sebagai pembanding opini, dan bila perlu membantu kita untuk memutuskan sesuatu dengan baik.

Buku ini memberikan gambaran yang komprehensif mengenai problematika kependudukan yang dihadapi oleh dunia ke-3 beserta persoalan-persoalan yang muncul. Persoalan kependudukan tidak bisa direduksi hanya kepada persoalan jumlah atau angka yang seringkali dipakai sebagai alat pembenaran atau justifikasi untuk kebijakan kependudukan oleh pemerintah dunia ke-3.

Persoalan kependudukan terkait erat dengan pelbagai faktor: pendidikan, kesehatan, budaya, emansipasi antara pria dan wanita, warisan kebijakan kolonialisme, politik global serta kepentingan ekonomi negara-negara maju yang secara langsung maupun tidak langsung ikut berperan dalam memunculkan persoalan kependudukan. Berhadapan dengan persoalan yang demikian kompleks itu, apakah dirasa cukup hanya menggunakan pendekatan angka/jumlah, dalam pengertian asal saja jumlah kelahiran bisa ditekan - yang berarti jumlah penduduk makin berkutrang - maka kemakmuran akan terwujud? Apakah semudah itu persoalannya? Itulah pendekatan yang selama ini dianut oleh pemerintah dunia ke-3 dan didukung oleh pemerintah dunia maju yang sangat berkepentingan untuk penyediaan sumber bahan mentah (raw materials) bagi lokomotif industri mereka.

Buku ini hadir dengan pendekatan yang komprehensif dan mengajak pembaca untuk melihat persoalan kependudukan dari sudut pandang yang lebih luas, yang lebih manusiawi dan lebih dapat dipertanggungjawabkan secara antropologis, sosiologis, teologis, maupun moral. Kemiskinan tidak serta merta sebagai akibat langsung dari pertumbuhan jumlah penduduk. Ada begitu banyak faktor yang ikut berperan yang baik secara langsung atau tidak yang ikut menciptakan kemiskinan. Ketidakadilan dalam distribusi kekayaaan alam dan poltik perdagangan yang hanya menguntungkan negara-negara maju adalah faktor-faktor real yang mendukung terjadinya kemisiknan di negara-negara dunia ke-3. Karena itu pendekatan sepihak dengan menekan tingkat pertumbuhan penduduk bukanlah solusi yang tepat terhadap kemisiknan.

Pendekatan yang diambil harus bersifat integral dengan memperhatikan semua faktor yang “terlibat” dalam proses kemisikinan itu. Buku ini memberikan wawasan yang komprehensif mengenai problematika kependudukan dengan pendekatan yang bersifat integral dan lintas dispilin ilmu. Kehadiran buku ini diharapkan dapat membuka wawasan baru dan memberikan solusi alternatif bagi para pemangku kekuasaan dalam menentukan kebijakan kependudukan di negara Indonesia; karena itu, buku ini layak untuk dibaca oleh para akademisi, doesn, mahasiswa, para pengambil keputusan yang berkecimpung dalam persoalan kependudukan dan pengentasan kemiskinan.**Redaksi.

Dr. I Ketut Adi Hardana, MSF
Hidup berkeluarga adalah suatu panggilan hidup yang ditanamkan oleh Allah dalam diri orang-orang yang dipanggil untuk menjalani kehidupan seperti itu (bdk I Kor 7, 7). Bagi mereka yang dipanggil oleh Allah untuk menjalani bentuk kehidupan ini pasti juga dikaruniai rahmat yang memungkinkan mereka mampu menjalani panggilan itu dengan penuh sukacita sehingga mengalami kegembiraan dan kebahagiaan dalam hidup Tanpa bantuan rahmat Allah, kiranya akan menjadi sangat sulit untuk mampu menjalani panggilan itu dengan penuh sukacita.

Namun demikian, usaha dan perjuangan manusia tetap diperlukan sebab rahmat  Allah bekerja melalui dan di dalam usaha manusia. Menyadari akan kenyataan itu, perlulah diusahakan sejumlah hal yang kiranya dapat membantu suami-istri menghayati hidup perkawinan dengan lebih baik. Secara jujur harus diakui bahwa sudah banyak hal yang dibuat dalam rangka mendukung tercapainya tujuan perkawinan seperti yang dicita-citakan: buku-buku mengenai perkawinan dan hidup berkeluarga sudah banyak ditulis dan beredar di pasaran, kegiatan-kegiatan yang berupa pendalaman dan penyegaran tentang hidup perkawinan/keluarga juga sudah banyak dilaksanakan entah berupa seminar, rekoleksi, retret dll. Karena itu, kehadiran buku ini bermaksud untuk ikut membantu menyediakan sarana/bahan yang kiranya diperlukan dalam usaha pendampingan berkelanjutan bagi pembinaan pasangan suami-istri/keluarga.

Buku ini dikemas dalam satuan tematis dengan menyajikan 12 tema aktual menyangkut masalah kehidupan keluarga dengan pembahasan yang komprehensif berkaitan dengan masing-masing tema, diawali dengan pengantar singkat dari setiap tema, disusul dengan doa pembukaan, bacaan Kitab Suci yang berkaitan dengan tema, pokok-pokok renungan yang berupa pembahasan dari masing-masing tema, doa umat, doa penutup dan diakhiri dengan daftar pertanyaan refleksi yang mengajak pembaca untuk masuk ke dalam permenungan pribadi atau kelompok untuk lebih memperdalam pembahasan tema yang disajikan sesuai dengan situasi kongkret yang dialami/dihadapi oleh para pembaca. Buku ini dapat digunakan sebagai bahan rekoleksi, misa keluarga atau retret.

Dengan tetap mengingat bahwa tujuan dari penulisan buku ini adalah dalam konteks pembinaan umat, secara khusus pembinaan hidup berkeluarga maka pembahasan tema-tema yang disajikan sedapat mungkin menghindari pembahasan yang terlalu bercorak teologis/ilmiah, sehingga akan lebih mudah dapat diikuti oleh pembaca, khususnya oleh mereka yang diserahi tugas untuk pembinaan/pendampingan keluarga baik pada tingkat Keuskupan, Paroki maupun Stasi. Demikian juga penyajian doa-doa dan kutipan Kitab Suci dimaksudkan untuk mempermudah mereka yang ingin menggunakan buku ini dalam pembinaan dengan tetap terbuka kemungkinan untuk menggatinya bila dianggap kurang sesuai sehingga kreatifitas tetap dimungkinkan untuk dilakukan. Demikianlah buku ini dipersembahkan untuk keluarga-keluarga Kristiani, semoga membantu.**Dr. I Ketut Adi Hardana, MSF

Pada tgl 28-30 Maret 2014, dilaksanakan acara week end ME untuk Komunitas ME Palangka Raya yang ke-11. Dibandingkan dengan jumlah peserta week end ME sebelumnya, (angkatan ke-10) dengan jumlah 14 pasutri dan 2 orang Suster, angkatan ke-11 berjumlah 10 pasutri yang berasal dari: l pasutri dari paroki Kristus Raja Semesta Alam, Nangabulik, 2 pasutri dari paroki Tamiang Layang: 5 pasutri dari paroki Sampit dan 2 pasutri dari paroki Pangkalanbun dan 1 orang Imam.

Untuk pertamakali pasutri dari paroki Nangabulik dan Tamiang Layang mengikuti acara week end ME; dengan demikian jangkauan pelayanan komunitas ME Palangka Raya tidak lagi hanya terfokus di kota Palanga Raya, tetapi sudah merambah ke daerah-daerah. Dalam beberapa week end sebelumnya paroki Sampit dan Nangabulik telah lebih dahulu mengirimkan perwakilannya. Kita berharap dalam week end yang akan datang, akan semakin banyak pasutri dari daerah-daerah yang berpartisipasi dalam kegiatan week end ME. Untuk kali ini, tidak ada pasutri dari kota Palangka Raya yang mengikuti week end ME.

Seperti biasa, Ecclesial Team ME dari Distrik Banjarmasin menjadi Fasilitator dalam acara ini. Mereka adalah pasutri Yenyen-Changwa, Cicil-Andreas dan Siauw-Siauw-Gunadi serta Ecclesial Priest: Rm. Warsito, Pr.

Acara week end ME diadakan di aula wisma UNIO; demikian pula acara penyambutan serta ramah tamah (setelah acara selesai) diadakan di tempat yang sama-mengingat aula Unio bawah dipakai oleh kelompok ME Banjarmasin. Mereka telah mengadakan acara ziarah ke Biara Karmel Tangkaling dan melanjutkan acara di Palangka Raya dengan menginap di wisma Unio; sementara acara makan malam diadakan di ruang makan wimsa Unio.

Dalam acara penyambutan, Bapa Uskup secara khusus hadir memberikan sambutan dan dukungan untuk komunitas ME Palangka Raya dan mendorong agar semakin banyak pasutri yang mengikuti acara ini sebagai bentuk pendampingan bagi para pasutri pasca nikah. Dari keluarga Katolik yang baik, dapat diharapkan akan muncul pribadi-pribadi yang “unggul” untuk kelak terlibat dalam karya kerasulan Gereja, baik sebagai awam maupun Imam dan Biarawan-Biarawati. Selain itu,  sejumlah anggota komunitas ME Palangkaraya juga hadir memberikan dukungan kepada pasutri ME angkatan ke-11. Diperikirakan keseluruhan tamu dan peserta week end yang hadir pada malam acara penutupan berjumlah 80 orang.

Setelah acara makan malam selesai, Pk. 20. 00 WIB, seluruh peserta dan tamu undangan meinggalkan wisma Unio untuk kembali ke tempat masing-masing. Kita sampaikan proficiat kepada para peserta week end angkatan ke-11, semoga semakin hangat dalam membangun relasi dengan pasangan dan dengan anggota komunitas serta harapan semakin banyak para pasutri yang tergerak hati untuk mengikuti week end ME yang akan datang. “We need you, we love you”! ( Rm I Ketut Adi Hardana, MSF)

Pengantar

Dalam tulisan ini akan ditekankan peranan wanita sebagai istri dan ibu dalam keluarga melengkapi pembahasan tulisan dalam edisi bulan April lalu yang mengupas peranan pria sebagai suami dan ayah dalam keluarga. Dalam kedua tema ini nampak unsur saling keterkaitan satu sama lain, dalam arti apa yang dibicarakan dalam tema tentang peranan Pria dalam keluarga dilengkapi oleh tema peranan Wanita dalam keluarga. Secara umum dapat dikatakan bahwa peran wanita sebagai istri dan ibu dalam keluarga kiranya sudah jelas, namun dalam kenyataannya masih menyisakan sejumlah masalah yang masih memerlukan penjelasan lebih lanjut. Peran wanita sebagai istri dan ibu yang secara umum dipahami sebagai pihak yang melayani kebutuhan suami dan merawat anak, kiranya perlu ditata ulang dan ditempatkan dalam pengertian yang lebih luas.

Seiring dengan perjalanan waktu, semakin disadari pula makin meluasnya peran wanita dalam keluarga: bekerja di luar rumah dalam berbagai bidang pekerjaan - mencari nafkah seperti kaum laki-laki, mengembangkan diri dalam berbagai bidang karier, dengan demikian, merasa diri semakin independen dalam hidup, tanpa banyak tergantung pada suami. Namun demikian, peran pokok wanita sebagai istri yang melayani suami dan keluarga serta sebagai ibu yang melahirkan dan mendidik anak tetap merupakan peran yang tidak tergantikan, betapun sukses karier yang telah dicapai. Melihat pentingnya peran ini, maka kaum wanita yang tidak bekerja di luar rumah tetap harus dihargai andil dan jerih payah mereka, layaknya seperti mereka yang bekerja di luar rumah.

1. Keluhuran martabat Wanita 

Poin pertama yang perlu digarisbawahi, bahwa martabat serta tanggungjawab antara pria dan wanita dalam keluarga adalah sama. Kesamaan itu secara istimewa diwujudkan dalam penyerahan diri timbal-balik kepada pasangan dan dalam penyerahan diri kepada anak-anak, yang secara istimewa terjadi dalam pernikahan dan hidup berkeluarga. Apa yang secara nyata dipahami dan diakui oleh manusia menyangkut masalah kesemartabatan wanita dengan kaum pria, sepenuhnya telah diwahyukan oleh Sabda Allah. Sejarah keselamatan adalah kesaksian hidup yang secara sangat jelas memberikan ”bukti-bukti” otentik tentang keluhuran martabat kaum wanita.

Keluhuran martabat wanita  itu dengan sangat jelas diwahyukan oleh Allah dalam diri PuteraNya yang mengenakan tubuh manusiawi dan lahir dari tubuh perawan Maria. Dengan demikian, tubuh wanita (Perawan Maria) telah disucikan dan memperoleh martabat mulia sebagai yang melahirkan Sang Penyelamat. Gereja menyebutnya Hawa baru dan menampilkannya sebagai pola wanita yang telah ditebus. Demikian juga sikap hormat Tuhan Yesus terhadap kaum wanita yang dipanggil untuk mengikuti-Nya dan kemudian menjadi sahabat-sahabat-Nya; penampakan-Nya pada hari Paska pagi kepada wanita (Maria Magdalena) sebelum Ia memperlihatkan diri kepada para murid lainnya, dan perutusan yang dipercayakan kepada para wanita untuk menyampaikan warta gembira kebangkitan kepada para Rasul – semuanya itu merupakan tanda yang menggarisbawahi bahwa Tuhan Yesus secara khusus menghargai kaum wanita (Familiaris Consortio 22).
Tuhan Yesus telah mengubah paradigma atau pola pikir pada zaman itu yang menempatkan kaum wanita sebagai warga masyarakat kelas dua. Tuhan Yesus mau menegaskan bahwa wanita memiliki martabat yang sama mulianya dengan kaum laki-laki; mereka pun pantas untuk dilibatkan dalam karya penyelamatan sama seperti Yesus melibatkan kaum lelaki. Kaum wanita layak untuk menjadi pemeran dalam karya penyelamatan seperti yang telah diperlihatkan oleh Tuhan Yesus dalam injil-Nya, dan bukan hanya menjadi penonton pasif.

Cultur-budaya yang memandang kaum perempuan sebagai pihak yang lebih rendah dalam hal kesemartabatan dibandingkan dengan kaum laki-laki, dan karena itu dianggap tidak layak untuk ikut berperan dalam hal kepemimpinan, baik dalam lingkup keluarga maupun lingkup masyarakat luas telah dikoreksi oleh Tuhan Yesus. Tuhan Yesus telah mengajarkan kepada kita untuk tidak berpikir secara sempit dengan sistem pemikiran yang membedakan manusia berdasarkan jenis kelamin, tetapi berdasarkan pewahyuan Ilahi dimana setiap orang mempunyai martabat yang sama di mata Tuhan dan bahwa semua orang dipanggil (tanpa kecuali) untuk ambil bagian dalam karya penyelamatan-Nya.
   
2. Peran Wanita dalam Rumah dan di Tempat Kerja 

Fakta adanya kesamaan martabat serta tanggungjawab antara pria dan wanita sepenuhnya membenarkan dan mendukung kemungkinan bagi kaum wanita untuk menjabat fungsi-fungsi yang resmi (di luar rumah), baik dalam lingkup pemerintahan maupun swasta. Demikain juga, kalau kita sungguh mau menempatkan perkembangan kaum wanita dan mempromosikan kesetaraannya dengan kaum laki-laki, maka peran kaum wanita sebagai ibu rumah tangga harus diakui dan mendapatkan penghargaan yang wajar.

Mentalitas yang memberikan penghormatan lebih tinggi kepada kaum wanita yang bekerja di luar rumah, daripada yang bekerja di dalam keluarga harus mulai diubah. Karena itu, adalah penting untuk menata masyarakat sedemikain rupa, menciptakan kondisi-kondisi yang mendukung serta menghargai pekerjaan yang dilaksanakan di dalam rumah tangga, sehingga peran dan pekerjaan rumah tangga yang dilakukan oleh kaum wanita diakui dan dihargai sebagaimana layaknya pekerjaan di luar rumah. Peran-peran serta profesi-profesi yang dijalankan oleh kaum wanita itu harus dipadukan secara selaras - seimbang demi mendukung perkembangan masyarakat yang utuh, seimbang dan manusiawi.

3. Usaha Gereja untuk Memperjuangkan Kesemartabatan Perempuan

Usaha dan perjuangan Gereja untuk memperjuangkan kesemartabatan kaum wanita tidaklah mudah. Banyak kesulitan dan tantangan yang harus dihadapi. Mentalitas materialisme yang menganggap manusia bukan sebagai pribadi melainkan sebagai benda, sebagai obyek perniagaan yang berfungsi melayani kepentingan dan egoisme serta kenikmatan duniawi adalah salah satu rintangan terbesar yang diahadapi oleh Gereja.
Korban-korban pertama dari mentalitas itu adalah kaum wanita. Mentalitas itu menghasilkan buah-buah yang amat pahit, misalnya penghinaan terhadap pria maupun wanita, perbudakan, penindasan kaum lemah, ”produksi” pornografi yang semakin mendunia, pelacuran dalam bentuk terorganisir, serta sekian banyak bentuk diskriminasi, baik di bidang pendidikan, pekerjaan, penggajian dan lain sebagainya.

Demikian juga, budaya patriarkal yang begitu mengakar dalam hampir sebagian besar masyarakat Indonesia yang selalu menempatkan kaum wanita dalam posisi marginal/pinggiran sebagai warga masyarakat kelas dua membuat tujuan perjuangan kesemartaban itu menjadi sulit untuk diwujudkan dalam kurun waktu yang singkat. Namun demikian, usaha dan perjuangan ini tidak boleh surut.

Gereja dengan tegas mengecam bentuk-bentuk diskriminasi itu, begitu pula bentuk-bentuk marginalisasi lainnya. Kita harus tetap pada komitmen untuk membawa gerakan ini sampai pada tujuannya, yakni tercapainya kesemartabatan antara pria dan wanita. Johanes Paulus II mendorong semua pihak, khususnya mereka yang mempunyai kekuasaan dalam lingkup publik (pemerintah) unrtuk menempuh langkah-langkah politis dan pastoral yang tegas dan mengena sasaran untuk secara efektif dan definitif mengatasi situasi itu, sehingga gambar Allah yang memancar dari semua manusia tanpa kecuali dihormati sepenuhnya (bdk  FC 24).

4. Pengkuan akan Nilai Keibuan dan Tugas-Tugas Keluarga

Usaha dan upaya untuk memperjuangkan kesemartabatan kaum wanita menuntut bahwa nilai keibuan dan tugas-tugas keluarga haruslah diakui secara terbuka. Aktivitas yang paling pantas dan khusus dari seorang wanita yang sudah menikah tetap berada di dalam keluarga. Karena itu, tidaklah mungkin membebaskan istri dari tugas mengurus/melayani suami, anak-anak dan orangtua - yang merupakan panggilan dasar seorang wanita – walaupun mereka bekerja atau berkarier di luar rumah.

Kedua bentuk pekerjaan ini (di luar dan di dalam rumah) harus dilihat sebagai upaya pengembangan diri serta ungkapan cinta yang tulus kepada suami, anak dan seluruh keluarga.Tidak boleh ada diskriminasi dengan anggapan bahwa pekerjaan di luar rumah lebih bergengsi karena menghasilkan uang setiap bulan, sementara pekerjaan rumah tangga karena tidak mengahsilkan uang/gaji tidak diperhitungkan sama sekali. Ini adalah anggapan yang salah! Semua pekerjaan, apapun bentuknya harus dipandang sebagai sarana pengembangan diri yang melaluinya manusia menunjukkan jati dirinya sebagai citra Allah yang dipanggil oleh Allah untuk ikut membangun dan ”mencipatkan” dunia ini menjadi tempat yang semakin menyenangkan bagi semua penghuninya.

5. Kesadaran akan Nilai Ilahi Hubungan Suami-Istri

Suami-istri harus sadar akan nilai ilahi dari hubungan mereka, yakni hubungan yang mencerminkan relasi persekutuan Kristus dengan Gereja/umat-Nya. Kesadaran akan keistimewaan hubungan ini, menuntut kedua belah pihak (suami-istri) untuk berusaha membangun relasi kesetaraan dan kesamaan diantara mereka. Relasi itu hendaknya ditandai oleh sikap saling menghargai, mencintai, mengampuni, berkurban dan mendukung satu sama lain seperti yang dinampakkan oleh Yesus dalam relasi dengan Gereja-Nya. Pola relasi antara Yesus dengan Gereja-Nya adalah model atau rujukan dalam membangun relasi yang harmonis antara suami-istri.

Penutup

Demikianlah peranan wanita sebagai ibu bagi anak-anak dan sebagai istri bagi suami haru dapat dijalankan secara sinergis, tanpa mengabaikan tugas-tugas lainnya. Bentuk sinergitas dari peran dan tugas ini, tentu masih harus dicari dan diusahakan secara demikian, sehingga ke-2 peran tersebut dapat berjalan secara seimbang dan semakin mengembangkan “kekayaan” pribadi wanita yang pada muaranya akan berkontribusi kepada pengembangan pribadi suami dan segenap anggota keluarga lainnya. Karena itu, budaya patriarkal sudah seharusnya dikikis habis dari alam pikiran kita, agar kesemartabatan laki-laki dan perempuan semakin terwujud. ** (Rm I Ketut Adi Hardana, MSF) 

BERCERMIN PADA KOMUNITAS PERDANA, Kis. 2, 42-47

1. Hidup dalam semangat Injili

Cara hidup jemaat perdana seperti dikisahkan dalam Kis. 2, 42-47 kerap dijadikan sebagai rujukan manakala orang berkehendak untuk membangun komunitas persaudaraan dan komunitas iman, khususnya dalam internal komunitas Gerejani. Betapa tidak, gambaran yang ditampilkan tentang komunitas perdana ini demikian indah dan “sempurna” sehingga tidak mengherankan bahwa kehadiran komunitas ini menjadi daya tarik tersendiri bagi orang-orang yang ada di sekitarnya. Daya tarik itu dilukiskan dengan kata-kata “...dan mereka disukai semua orang. Dan tiap-tiap hari Tuhan menambah jumlah mereka dengan orang yang diselamatkan” (Kis. 2, 47).

Tentu orang dapat bertanya lebih jauh, “manakah pola hidup yang dijalani oleh komunitas perdana itu, yang membuat banyak orang suka kepada mereka? Apakah ada ciri-ciri khusus yang membedakannya dengan komunitas lain pada zaman itu? Kitab Suci, Kis. 2, 42-47 memberikan penjelasan pada 4 hal penting sebagai kekhasan komunitas perdana. Pertama: mereka bertekun dalam pengajaran rasu-rasul dan dalam persekutuan. Kedua: mereka berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa. Ketiga: segala kepunyaan mereka adalah kepunyaan bersama. Keempat: menjual harta miliknya lalu membagi-bagikannya kepada semua orang sesuai dengan keperluan masing-masing.

Empat faktor tersebut merupakan kekhasan jemaat perdana itu. Sebagai jemaat beriman, mereka tidak hanya sibuk dengan urusan-urusan peribadatan dan “pendalaman iman” seperti nampak dalam ciri yang pertama dan kedua, tetapi juga terlibat secara aktif dalam urusan-urusan “duniawi”, secara khusus berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dasar dari sesama warga umat. Dengan kata lain, mereka tidak hanya berkumpul untuk memecahkan “roti surgawi”, merayakan ekaristi; tetapi juga memecahkan “roti keperluan sehari-hari”, (panem cotidianum): makanan, minuman dan keperluan dasar sehari-hari.

Dengan pola hidup semacam itu, seluruh anggota komunitas dapat hidup secara pantas sebagai manusia, tanpa kekurangan dalam hal pemenuhan kebutuhan dasar. Anggota jemaat yang memiliki rezeki lebih, memberikan kepada mereka yang berkekurangan, bahkan dengan menjual harta milik dan kemudian membagi-bagikannya sesuai dengan keperluan masing-masing, sehingga tidak ada anggota jemaat yang hidup dalam kekurangan. Dengan pola hidup yang diwarnai oleh “roh” untuk berbagi itu, diatasi munculnya kesenjangan sosial diantara sesama jemaat. Tidak ada anggota jemaat yang hidup dalam kelimpahan, sementara anggota lainnya hidup dalam kekurangan atau kemelaratan. Inilah “roh” dari hidup berbagi yang mewarnai keberadaan komunitas perdana.

2. Cinta Altruis

Kata kunci yang patut untuk digarisbawahi dari pola hidup jemaat perdana itu adalah “berbagi”. Berbagi mengindikasikan bahwa orang mau membuka “pintu hatinya” bagi orang lain. Berbagi berarti orang rela memberikan sebagian dari miliknya untuk orang lain. Berbagi adalah ungkapan dari kepedulian terhadap orang lain yang berada dalam situasi yang kurang menguntungkan dibandingkan dengn dirinya. Kalau mau dirumuskan dalam bahasa psikologi, berbagi adalah ungkapan cinta altruis, artinya cinta yang tidak bersifat eksklusif, semata-mata terarah kepada kesejateraan sendiri, tetapi cinta yang terarah kepada kesejahteraan dan kebaikan orang lain.

Dengan berbagi, maka sikap dan sifat egois yang hanya mementingkan diri sendiri diganti dengan sikap kepedulian dan keberpihakan kepada orang lain, khususnya mereka yang menderita.
Jika dilihat secara lebih cermat, Kis 2, 42-47 tidak ada peraturan yang mengharuskan jemaat untuk perduli dan berbagi. Keperdulian dan kerelaan untuk berbagi muncul dari kerelaan hati untuk memperhatikan orang lain. Pertanyaan selanjutnya yang dapat diajukan adalah, “darimana munculnya semangat tersebut?” Semangat itu muncul dari hukum utama yang diajarkan oleh Yesus: “Kasihilah Tuhan, Allahmu dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu. Dan hukum yang kedua ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Mrk 12, 30-31).

3. Hukum Kasih: Dasar untuk Berbagi

Alasan pertama anggota jemaat rela untuk peduli dan berbagi kepada sesama bukan karena adanya unsur keharusan dari luar yang “memaksa” mereka untuk melakukan tindakan heroik itu, melainkan karena hukum kasih. Hukum kasih menjadi dasar serta pijakan kokoh bagi jemaat untuk melakukan semuanya itu. Kasih kepada Tuhan menjadi dasar yang menggerakkan mereka untuk melakukan perbuatan kasih kepada sesama yang berwujud dalam kepedulian dan kerelaan untuk berbagi dengan sesama. Dengan kata lain, mereka perduli dan rela berbagi karena mereka mencintai sesamanya. Orang yang mengasihi mempunyai dorongan dalam hati untuk saling bertemu; dalam pertemuan itu, mereka menunjukkan sikap saling peduli, dan kepedulian itu diwujudkan dalam kerelaan untuk berbagi “beban” kehidupan, baik beban yang berupa pemenuhan kebutuhan dasar maupun beban sosial lainnya.

Kita dipanggil untuk hidup berbagi dengan orang lain. Bagi sebagian besar orang hal ini tidaklah mudah untuk dilakukan. Ada banyak alasan yang dijadikan sebagai dasar pembenaran untuk tidak mau berbagi. Di sini, kiranya cukup disebutkan beberapa: 1. Takut mengalami kekurangan jika membagikan miliknya kepada orang lain. 2. Dengan memberi kepada orang lain, orang tidak merasa mendapatkan keuntungan apapun untuk dirinya. 3. Setiap orang memiliki hak prerogatif sepenuhnya utuk menguasai segala miliknya; artinya, dia bebas untuk membagikannya kepada orang lain, tetapi bebas juga untuk tidak memberikannya.

Apapun alasannya, kita tidak dapat melupakan perintah Tuhan yang mengingatkan kita untuk memperhatikan orang-orang yang dikategorikan sebagai orang “lemah, kecil”, seperti para janda, fakir miskin, orang yang sedang sakit atau orang yang ada dalam kelemahan. Satu langkah awal untuk memperingan langkah kita agar dapat hidup berbagi dengan orang lain adalah dengan menyadari bahwa semua yang ada pada kita hanyalah titipan Tuhan. Harta, talenta serta anugerah-anugerah lain yang kita terima dari Tuhan pada galibnya memang harus dipakai untuk kebahagiaan orang lain; dengan demikian, sisi sosial dari “kepemilikan” menemukan arti dan maknanya.

Ada banyak Sabda Tuhann yang mengajak kita untuk hidup berbagi dengan orang lain sebagai ungkapan kasih kita kepada Tuhan. Persembahan seorang janda miskin yang memberikan persembahan dari kekurangannya, adalah salah satu teks terkenal yang menggambarkan betapa kemampuan untuk memberi dan berbagi tidak ditentukan oleh berapa banyak harta dan kekayaan yang kita miliki, tetapi oleh ketulusan dan kepedulian terhadap orang lain. “Pada suatu kali Yesus duduk menghadapi peti persembahan dan memperhatikan bagaimana orang banyak memasukkan uang ke dalam peti itu. Banyak orang kaya memberi jumlah yang besar. Lalu datanglah seorang janda yang miskin dan ia memasukkan dua peser, yaitu satu duit. Maka dipanggil-Nya murid-murid-Nya dan berkata kepada mereka: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya janda miskin ini memberi lebih banyak dari pada semua orang yang memasukkan uang ke dalam peti persembahan. Sebab mereka semua memberi dari kelimpahannya, tetapi janda ini memberi dari kekurangannya, semua yang ada padanya, yaitu seluruh nafkahnya" (Mrk 12, 41-44).

4. Keharusan yang bersifat mengikat, Imperatif Moral

Kepandaian, kemapanan, kesehatan adalah titipan Tuhan untuk dikelola dengan baik. Dalam setiap titipan, Tuhan selalu memberikan satu paket yang berisi kepercayaan dan penugasan. Semua yang ada pada diri kita saat ini, menjadi sarana bagi Allah untuk melihat sampai seberapa baik kita dapat dipercaya oleh-Nya; dipercaya untuk melakukan apa yang Ia kehendaki. Segala sesuatu yang kita miliki, tidak boleh dipahami sebagai hal yang berhenti pada urusan kepemilikan semata, tetapi harus menggerakkan kita kepada suatu skope yang lebih luas, yakni kepada maksud dan nilai guna dari kepemilikan itu. Dengan kata lain, kita harus sampai kepada sebuah imperatif moral, artinya kepada pengarahan yang bermakna keharusan, yang mendorong kita untuk melakukan hal yang baik bagi Tuhan dan sesama dengan “kepemilikan” yang kita miliki. Kekayaan tidak berhenti pada premis bahwa “saya adalah orang yang diberkati Allah dengan kekayaan," tetapi pada pertanyaan, “apa yang Allah inginkan dari pihak saya dengan kekayaan ini?' Bila kita memiliki penghayatan hidup yang seperti ini, maka perintah Tuhan agar kita hidup dalam roh atau semangat berbagi  dengan orang lain, pasti tidak akan sulit untuk dihayati.

Namun demikian, harus diakui bahwa tanpa penghayatan hidup sedemikian pun, orang dapat mempraktikkan hidup berbagi dengan orang lain. Memang banyak orang yang mau berbagi, namun sedikit yang bermurah hati. Orang mau berbagi kekayaan, kuasa, kepandaian, atau apa saja yang bisa ia bagikan; namun tidak sedikit yang melakukannya sebagai cara untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar bagi dirinya. Dengan pola semacam ini, tindakan berbagi yang dilakukannya tidak didasarkan pada ketulusan yang lahir dari kemurahan hati, tetapi didasarkan pada perhitungan untung rugi. Tentu saja tindakan semacam ini tidak dapat dikategorikan sebagai tindakan yang dijiwai oleh semangat berbagi, tetapi sebaliknya, tindakan yang dijiwai oleh semangat untuk “memperoleh” keuntungan dari pihak lain.

Orang lebih mudah bermurah hati untuk berbagi dengan orang lain yang keadaannya jauh lebih lemah atau berada pada level lebih rendah dari dirinya, daripada berbagi dengan orang yang 'selevel' dengannya. Memang lebih mudah bagi seorang kaya untuk menolong yang miskin daripada orang kaya menolong orang kaya yang lain. Lebih mudah orang pandai berbagi ilmu dengan orang bodoh daripada dengan orang pandai lainnya. Hal Itu terjadi, bukan karena memandang orang-orang yang selevel dengannya tidak membutuhkan pertolongan, namun karena kuatir akan tersaingi. Mari berbagi apa yang kita miliki dan lakukanlah dengan murah hati seperti yang diteladankan oleh jemaat perdana itu.

5. Berbagi dan Menerima

Dalam salah satu kesempatan ceramah, Seorang Ustadz mengatakan: “apabila anda ingin menjadi orang yang mendapatkan rezeki melimpah, maka jadilah orang yang suka memberi. Apabila Anda ingin menjadi orang yang kaya, maka jangan pelit untuk berbagi. Ini adalah kunci utama yang bukan rahasia lagi. Sungguh, hal ini sudah dibuktikan oleh semua orang kaya. Mereka bisa menikmati kekayaannya dengan bahagia karena rela berbagi dengan orang lain; dengan demikian, kekayaannya tidak hanya mendatangkan manfaat bagi dirinya sedniri, tetapi juga bagi orang lain”. Itulah yang membuat orang berbahagia. Berbahagia karena rela berbagi pada orang lain.

Orang kaya yang bisa menikmati kekayaannya dengan bahagia adalah orang yang bisa berbagi dan membantu orang lain. Orang-orang yang demikian pada awalnya berusaha dari titik nol dalam usaha untuk mendapatkan kekayaan. Berkat kerelaan untuk berbagi dan tidak keberatan untuk memberi kepada orang lain, maka mereka mendapatkan kelimpahan rezeki. Sedangkan orang kaya yang tidak rela berbagi,  mengalami kesulitan dalam menikmati kekayaannya dengan hati yang bahagia. Selain itu, kekayaan yang dimilikinya tidak membawa manfaat bagi orang lain.

Ada pepatah yang mengatakan:“jika ingin kebahagiaan, maka berikanlah kebahagiaan itu kepada orang lain. Jika ingin mendapatkan perhatian dan penghargaan, maka belajarlah untuk memberikan perhatian dan penghargaan kepada orang lain”. Demikian pula halnya, jika ingin mendapatkan kekayaan yang melimpah, maka orang harus rela membantu orang lain untuk mendapatkan kelimpahan materi dengan cara terus memberi sesuai dengan kemampuan dan dengan hati yang ikhlas. Barangsiapa yang suka memberi maka ia akan menerima, bahkan menerima dalam kelimpahan. Kebenaran ini juga disampaikan oleh St. Paulus dalam surat ke-2nya kepada jemaat di Korintus: ”Orang yang menabur sedikit, akan menuai sedikit juga, dan orang yang menabur banyak, akan menuai banyak juga” (2 Kor. 9, 6).

Untuk membuktikan kebenaran ini, perhatikanlah orang-orang yang suka memberi dan membantu sesama di lingkungan sekitar anda. Apakah mereka bertambah miskin dan hidupnya sengsara karena rela membantu sesama; atau sebaliknya, mereka semakin kaya dan hidupnya bahagia? Tentu, sebagai orang beriman kita meyakini kebenaran hukum alam yang menegaskan bahwa “dengan memberi, kita akan menerima”.

Kenyataan menunjukkan, bahwa orang yang suka memberi hidupnya tidak semakin melarat dan sengsara; sebaliknya, hidupnya semakin kaya dan bahagia. Ibaratnya, seperti air dalam kolam. Bila air dalam kolam itu tertutup, airnya akan cepat menjadi kotor dan menjadi tempat bagi bersarangnya nyamuk. Tetapi jika airnya mengalir, dibagikan kepada kolam lain, maka airnya akan jernih dan ikan-ikan yang ada di dalamnya akan berkembang dengan cepat dan siap menerima datangnya aliran air baru. Demikian halnya dengan harta milik. Jika harta milik itu kita genggam sendiri, tidak akan pernah bertambah; tetapi jika kita bagikan kepada orang lain, harta itu akan mengalir kepada orang lain, dan akan datang terus karena menemukan tempat yang masih kosong untuk diisi.

  Pertanyaan yang sering muncul dalam diri kita adalah “bagaimana caranya memberi apabila untuk kebutuhan sendiri saja kita masih mengalami kekurangan?” Inilah sesungguhnya kunci pembuka untuk mengatasi kekurangan itu. Justru di saat kekurangan, segeralah menuju hidup yang berkecukupan dengan cara berbagi dengan orang lain. Tentu, memberi yang dimaksudkan di sini adalah memberi sesuai dengan kemampuan, karena tidak seorangpun memiliki kewajiban untuk memberi kalau ia tidak memiliki sesuatu untuk diberikan kepada orang lain, nemo dat quod non habet.

Demikian juga pemberian, tidak selalu diartikan sebagai pemberian materi. Apabila orang tidak mempunyai materi, orang dapat memberikan tenaga, pikiran, perhatian dan waktunya untuk kebaikan orang lain. Seseorang dapat juga memberikan harapan, membantu seseorang untuk menyelesaikan masalahnya, atau bahkan memberikan “sentuhan”,  sehingga orang bisa bangkit dari keterpurukan. Dengan demikian, benar apa yang dikatakan oleh Beata Theresa dari Calcuta: “tidak ada orang yang terlalu miskin sehingga tidak dapat memberi kepada orang lain; dan tidak ada orang yang terlalu kaya, sehingga tidak dapat menerima sesuatu dari orang lain”.

Memberi itu ibarat pupuk bagi tanaman. Keberadaannya akan membuat subur tanaman. Demikian halnya, dengan harta dari orang yang suka berbagi dengan sesamanya. Dengan memberi, ibaratnya dia memberikan “pupuk” bagi kekayaaan yang sudah dimilikinya, sehingga kekayaannya semakin bertambah “subur”. Itulah filosofi memberi dan berbagi. Inilah filosofi yang diwariskan oleh Tuhan Yesus kepada para murid-Nya. Yesus telah memberikan diri sepenuhnya bagi manusia dengan mengorbankan hidup-Nya; dengan itu, Ia memenangkan kehidupan baru dan bahkan memberikan hidup dalam kelimpahan kepada banyak orang (bdk., Yoh. 6, 54-58). Dengan memberi hidup, Yesus memperoleh dan memenangkan kehidupan baru, kehidupan kekal bagi banyak orang.

Filosofi yang sama juga diungkapkan oleh kaum Muslimin seperti tertulis dalam surat Al-Baqarah 261:“Perumpamaan nafkah yang dikeluarkan oleh orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebulir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan ganjaran bagi siapa saja yang Dia kehendaki, dan Allah Maha Luas karuniaNya lagi Maha Mengetahui”. **(Rm. I Ketut Adi Hardana, MSF)

KURIA BUNDA PEMERSATU KEUSKUPAN PALANGKA RAYA, KALTENG
DAN KURIA RATU ROSARI KEUSKUPAN BANJARMASIN, KALSEL

Aula Palangka Wacana, Soverdi  Senin, 31 Maret pk. 07.30 WIB dipenuhi para legioner dari dua keuskupan Banjarmasin lebih kurang 70 legioner  dan Keuskupan Palangka Raya Kurang lebih 210 legioner. Para legioner ini bukannya mau unjuk rasa, melainkan meluapkan rasa syukur dan kegembiraannya  dalam misa Acies  yang dipimpin oleh Mgr. A.M. Sutrisnaatmaka, MSF, uskup Palangka Raya  didampingi Mgr. Petrus Bodeng Timang, Pr, uskup Banjarmasin dan 6 pastor pemimpin rohani  Legio Maria yaitu RD. Simon Edi Kabul, RP. Andy Savio Mering, MSF, RP. Ariston, SMM, RP. Damianus Juin, CP, RP. Alex Dato, SVD dan RD. Lucius, SVD.  Dalam kotbahnya Mgr. A.M. Sutrisnaatmaka, MSF diantaranya
menyampaikan nasihat dan keutamaan St. Paulus bahwa kesengsaraan menimbulkan ketekunan dan ketekunan menimbulkan tahan uji dan tahan uji menimbulkan pengharapan dan pengharapan yang disampaikan oleh Yesus tidak mengecewakan. Lebih lanjut Bapa Uskup menekankan tentang ajaran resmi gereja tentang Bunda Maria yang pertama adalah Bunda Maria sebagai Bunda Allah yang dirayakan setiap permulaan tahun yaitu pada tanggal 1 Januari. Bunda Maria Bunda Allah sekaligus dikaitkan dengan hari perdamaian sedunia.

Legio Maria dengan cara yang khusus ingin mencontoh dan meneladani Bunda Maria tentu harus merenung lebih jauh, tentang peranan Bunda Maria, seperti yang diajarkan oleh gereja itu. Ajaran resmi gereja yang ke-2 yaitu bahwa Santa Perawan Maria diangkat ke surga dengan mulia dirayakan pada tanggal 15 Agustus dan itu dimaklumkan pada tanggal 1 November 1950.
Ajaran resmi ini relatif masih agak baru untuk gereja. Di sana banyak bahan yang perlu direnungkan, bagaimana mungkin santa Perawan Maria itu diangkat ke surga. Apakah Bunda Maria tidak wafat. Bunda Maria diangkat ke surga dengan pakaian seperti apa, ketika diangkat ke surga dengan mulia itu. Setelah mempelajari dengan seksama, maka rupa-rupanya ada hal yang mau ditegaskan oleh gereja dengan arti sejiwa raga.  Ajaran resmi gereja yang ke-3 adalah Hari Raya Santa Perawan Maria yang dikandung tanpa noda yang jatuh pada tanggal 8 Desember. Percaya bahwa Maria dikandung tanpa noda dosa asal apapun. Bunda Maria dijaga oleh Tuhan agar kekudusannya tidak hilang dan dipenuhi dengan rahmat ilahi.

Sebelum berkat penutup, Mgr. Petrus Bodeng Timang, Uskup Banjarmasin mengungkapkan rasa bangganya kepada para legioner yang hadir dari 2 keuskupan dan mengingatkan bahwa acies adalah gelar pasukan Romawi yang siap pergi bertempur. Setiap tahun acies diselenggarkan untuk menggelorakan semangat bahwa iblis itu masih berkeliaran di dunia ini dan tidak perlu takut, tapi ia harus dikalahkan. Para legioner berjanji di hadapan Bunda Maria “Aku adalah milikmu, ya ratu dan bundaku dan segala milikku adalah kepunyaan-Mu”, baik itu waktunya, pikirannya, hatinya, kemauannya dan apapun yang ada pada kita bahkan tabungannya kalau perlu jangan sampai menjadi halangan. Macam-macam hambatan itu adalah milik bunda Maria, sekali lagi untuk menandakan kesetiaan kita bersama bunda Maria dan Puteranya memerangi macam-macam kejahatan. Legio Maria tampil sebagai tangan kanan Pastor. Semoga janji tadi tidak hanya kepada Bunda Maria, tapi katakanlah kepada para pastor paroki “kami siap untuk bertempur di medan apapun yang ditunjukan Uskup dan Pastor Paroki bagi kami”.
Misa acies ini diakhiri dengan makan siang bersama pk. 11.00 WIB

Sebelum misa acies acara ini telah dimulai sejak sabtu, 29 Maret sore sampai Minggu, 30 Maret pk. 21.30 WIB diisi pembinaan oleh  senatus Bejana Rohani Jakarta dengan tema “Bertumbuh dalam cinta, bertumbuh dalam kebijaksanaan”.

Sabtu malam usai pembinaan diadakan temu dewan terdiri dari  perwira presidium , pembina Rohani dan dewan  kuria Bunda Pemersatu dengan Dewan Senatus Bejana Rohani Jakarta membicarakan seputar Katekismus Gereja Katolik dan pembentukan Dewan Pra Kuria di Palangka Raya.
Dengan berbagai macam pertimbangan diantaranya perluasan/ perkembangan legio yang diluar dugaan di wilayah keuskupan Palangka Raya, terutama dekenat Barito dan Palangka Raya, serta demi efektifitas pendampingan dan didukung semangat para perwira dan legionernya, maka Dewan Senatus Jakarta setelah berkonsultasi dengan Bapa Uskup Palangka Raya merestui dan mengijinkan dibentuknya Pra Kuria di Palangka Raya yang meliputi wilayah Barito dan Palangka Raya. Diambil kesepakatan Minggu, 4 Mei 2014 Rapat bersama Dewan Kuria di Palangka Raya untuk mewujudkan hal tersebut. Pertemuan ini berakhir pk. 23. 10 WIB.
Minggu siang pk. 13.30 – 15.30 Rapat kuria Bunda Pemersatu di aula komisi dihadiri sdra. Elang dari Senatus Jakarta dan para perwira dari presidium dalam wilayah keuskupan Palangka Raya berjumlah 66 orang. Dalam rapat diresmikan 3 presidium, Maria dari Fatima, trans Anjir Pulang Pisau, Maria Gaudalupe, Sei Kayu Kuala Kapuas & Maria Ratu Para Rasul Palangka Raya. Disampaikan pula surat dari RD. Thomas Ehe Tukan, Rektor Seminari prihal divakumkan/dibekukannya 2 presidium di seminari. Usai makan malam, para legioner kuria Bunda Pemersatu berkumpul bersama saling bertukar pengalaman, dialog, sharing dan rekreasi bersama s.d. pk. 21.45 WIB.

Terimakasih kepada Bapa Uskup dan Dewan Keuskupan Palangka Raya yang telah mengijinkan aula Magna (walau masih dalam proses finishing) untuk bermalam para legioner dari paroki-paroki luar kota yang jumlahnya mencapai 150-an legioner. (Wiwik)

MKRdezign

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget