Natal: Mencatat Bahasa Langit di atas Hati

Merayakan ulang tahun seorang yang bernama Yesus, sejak dulu membuat banyak orang bertanya-tanya kagum bahkan cenderung iri hati. Siapakah Dia sehingga perayaan ulang tahun-Nya menggemparkan dunia dan membuat para seniman menggubah lagu-lagu yang syahdu dan indah, untuk mengekspresikan sukacita dan kegirangan menyongsong ulang tahun Dia yang terlahir dalam sebuah kandang domba?

Katanya, Napoleon Bonaparte pernah mencoba merenungkan peristiwa ini dengan bertanya, “Siapakah Yesus itu sehingga ulang tahunnya selalu menggemparkan dunia? Aku, seorang raja besar dan hampir menguasai seluruh Eropa, koq ulang tahunku tidak pernah dirayakan semeriah perayaan ulang tahun Yesus?”  Sungguh,  Napoleon sangat jujur bertanya dan kagum walau terkesan iri hati dan berusaha untuk menyamai Yesus sekurang-kurangnya dari segi perayaan ulang tahun saja.

Tetapi siapapun, entahkah para filsuf, raja atau ilmuan seperti Plato, Aristoteles, Napoleon, Karel Agung, Newton, Einstein, dll. Ulang tahun mereka tidak pernah dirayakan semeriah ulang tahun Yesus – padahal pengaruh mereka terhadap perkembangan dunia pun sangat besar dan dihormati sepanjang zaman.

Yesus memang beda. Kalau para ahli dan raja di atas terlahir di rumah sakit atau di tempat yang layak, Yesus justru lahir di kandang domba atau di tempat yang tidak layak. Tapi herannya, tempat yang tidak layak sama sekali tidak mempengaruhi mutu rasa hormat yang sangat tinggi terhadap Yesus. Yesus dilihat sebagai pribadi agung dan mulia yang mampu menjadi kekasih jiwa setiap orang.

Pikiran dan ajaran-ajaran-Nya tidak hanya menembusi kebekuan dan kepongahan wawasan manusia, tetapi lebih dari itu mampu menerangi kegelapan hidup dan kerabunan mata hati setiap orang. Pikiran dan ajaran-Nya bukan hanya seperangkat regulasi  dan hukum yang ditaati karena merasa takut disiksa atau dicambuk, tetapi lebih dari itu karena orang sungguh merasakan bahwa kekuatan pikiran dan ajaran-Nya mampu membersitkan kasih, sukacita dan damai bagi sebuah hati yang rentan kerontang, rentang gelisah dan rentan kerkah bathin.

Pikiran dan ajaranNya adalah cita-cita dan bahasa langit yang ingin di-bumi-kan di antara manusia yang berpijak dan diam di dunia ini. Bahasa dan cita-cita langit itu berbeda dan cenderung kontra dengan bahasa dan cita-cita bumi. Bahasa dan cita-cita langit nampak dalam, cinta, kasih, adil, damai, benar dan jujur. Sedangkan bahasa dan cita-cita bumi nampak dalam, benci, dendam, iri hati, culas, congkak.

Yesus datang untuk membuka pikiran dan menggugah hati manusia agar menyadari bahwa ziarah hidup ini menuju dan berakhir di depan takhta Sang Pencipta. Untuk menikmati perjumpaan dengan Sang Pencipta, setiap peziarah diminta membuka hati dan membiarkan hidupnya diwarnai dengan cita-cita dan bahasa langit. Hanya dengan itu manusia menemukan penyempurnaan martabat sebagai mahkota ciptaan yang mulia di dunia ini.

Natal, moment datangnya Yesus di dunia. Anda dan saya tak perlu menjadi Napoleon Bonaparte yang tidak hanya kagum tapi agak “iri hati” atas semarak yang anggun terhadap perayaan Natal. Anda bisa saja menyamai Yesus dalam soal perayaan HUT anda, sejauh anda mampu membiarkan hidupmu dipimpin dan diwarnai oleh cita-cita langit yang diperjuangkan Yesus yakni, cinta, kasih, adil, damai, benar, jujur.

Kalau anda telah merelakan hidup agar diwarnai cita-cita langit, maka sudah pasti anda akan menjadi manusia yang namanya tetap terpahat di hati setiap orang. Namamu bukan hanya ditulis di atas pasir yang mudah disapu angin, tetapi tertulis di atas batu wadas yang dikenang selamanya. Dengan itu “natalmu” pun mampu menggugah orang untuk dikenang walau tidak se-semarak  Natal-nya Yesus. ** P. Frieds Meko, SVD

Posting Komentar

[blogger]

MKRdezign

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget