Di zaman kita ini, setiap detik, kita dibanjiri dengan berbagai nilai-nilai kenikmatan sesaat, kenikmatan sementara dan semu. Katakanlah konsumerisme, eksploitas seksual, ambisi kekuasaan, dan sebagainya yang membawa kita tercebur di dalamnya. Berhadapan dengan situasi seperti itu, orang lalu sulit untuk percaya atau membiarkan diri untuk dituntun oleh Roh Kudus. Yang muncul di dalamnya adalah sebuah sikap pesimis akan imannya dan mulai meragukan iman atau dogma itu sendiri.
Banyak diskusi tentang iman, kebenaran-kebenaran iman, Kitab Suci dan mungkin bermuara pada topik diskusi bahwa Tuhan itu tidak ada. Diskusi-diskusi tersebut bisa dilihat sebagai bentuk keragu-raguan akan iman kepercayaan atau faith pessimism. Apakah ini bahaya? Tentu saja! Jika jawaban yang diterima atas keragu-raguan itu tidak memuaskan, orang lalu meninggalkan iman kepercayaannya dan beralih pada sesuatu yang lain, iman kepercayaan lain. Dan ini sudah terjadi dan terus terjadi.
Untuk keluar dari area tersebut atau minimal kita bisa bertahan dan tidak hanyut atau tenggelam, maka perlu ada sikap atau prinsip hidup yang konsisten terhadap iman kepercayaannya, terhadap apa yang dianutnya termasuk segala impilkasi moral dari apa yang dianut tersebut. Tentang hal ini, Timotius menjadi aktor dalam Kitab Suci. Timotius yang merupakan teman sekerja Paulus, ditinggalkan di Efesus oleh Paulus untuk menjadi pembimbing Jemaat di sana.
Di Efesus, Timotius berhadapan dengan situasi seperti digambarkan Paulus dalam II Timotis 3: 2-5. Manusia lebih mencintai dirinya sendiri, menjadi hamba uang. Manusia menjadi suka membual dan berbohong. Manusia berpusat pada kepentingan diri sendiri dan tidak pernah mendekatkan diri pada Allah. Dalam situasi itu, Timotius tidak tehanyut. Ia tetap bertahan dan berpegang teguh pada iman kepercayaannya.
Barangkali situasi di atas juga menggambarkan situasi zaman ini. Orang lebih tergiur untuk memperjuangkan popularitas diri, memperoleh kekuasaan dan uang. Manusia di zaman ini merasa tidak perlu lagi kegiatan-kegiatan berbau rohani. Tingkat apatis terhadap Gereja semakin tinggi. Apakah kita memupuk situasi ini? Bila bertahan dalam situasi ini, maka iman kita akan pergi dan hilang. Cara satu-satunya untuk bertahan dalam iman adalah dengan mengikuti tuntunan Roh Kudus. Benyamin T, S.Fil.
Posting Komentar