Orang-orang Yahudi dalam Perjanjian Lama juga mengenal hari untuk “berhenti” sejenak, yang dinamakan hari Sabat. Berhenti dari rutinitas sehari-hari, dari segala sesuatu yang bersifat duniawi agar dapat meluangkan waktu bersama Dia, Sang pemberi segala Sesutu yang telah memungkinkan kita melakukan segala sesuatu. Dan itu dilakukan pada hari ketujuh atau hari Minggu. Oleh karenanya Gereja hingga saat ini juga menganjurkan agar umat beriman berhimpun, mendengarkan sabda Tuhan dan berdoa bersama pada hari Minggu. Para hari Minggu umat beriman wajib berkumpul untuk mendengarkan Sabda Allah dan ikut serta dalam perayaan Ekaristi (Konstitusi Liturgi No. 106).
Perayaan Sabda yang seringkali diikuti umat Katolik, menjadi tempat nomor dua setelah perayaan Ekaristi. Yang penting adalah persiapan hati untuk menerima komuni, begitu biasanya orang berseloroh… Hal itu menunjukkan betapa perayaan Sabda belum benar-benar mendapatkan tempat di hati kita. Kita belum dapat menemukan nilai agung sebuah perayaan Sabda. Seolah-olah apa yang diperdengarkan atau dibacakan dalam ibadat atau perayaan itu adalah kata-kata yang kosong, yang tak bermakna. Sabda Allah itu penuh daya, artinya apa yang diungkapkan terwujud juga dalam realitas. Misalnya saja, ketika Allah menciptakan langit dan bumi, Ia bersabda, “Jadilah terang!” Lalu terang itu jadi (Kej 1:3). Sabda Allah itu efektif, penuh daya. Maka tidak bisa dipungkiri dalam menghadapi berbagai macam persoalah hidup, kita butuh kekuatan rohani. Kekuatan itu akan kita dapatkan dari Sabda Allah sendiri, yang telah menjelma menjadi manusia dan tinggal di antara kita. Oleh karenanya sukacita yang kita dapatkan pun nyata adanya.
Di dalam suatu perayaan, jika kita menginginkan Allah benar-benar hadir, maka kehdiran Allah itu pertama-tama adalah dalam Sabda. Sabda yang selalu diperdengarkan dan menjadi landasan dari misteri yang kita rayakan atau perayaan itu sendiri. Dari Sabda itulah kita mampu mengimani dengan nyata, serta mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Yang merupakan juga wujud dari pewartaan nilai-nilai iman yang terkandung dalam Sabda itu.
Bagaimana hati para murid bersukacita bahkan lebih dari itu berkobar-kobar ketika mendengarkan Sabda Allah yang hadir dalam diri Yesus. Hal itu menjadi contoh yang jelas bagi kita. Semoga kita pun mampu seperti para murid itu. Memaknai sabda yang diperdengarkan. Sehingga perayaan Sabda bukan hanya sekedar urutan dalam perayaan yang harus dilalui tetapi benar-benar mewarnai suasana sepanjang hari itu. Sehingga kita juga merindukan hari untuk berkumpul bersama sebagai umat beriman untuk mendengarkan sabda-Nya, berdoa bersama dan mengamalkan karya kasih sebagai nilai pewartaan.
Hal pokok yang dapat kita ambil dari suatu perayaan sabda adalah pertama: Sabda Allah itu sendiri. Bila Injil dibacakan, saat itu pula Tuhan kita Yesus Kristus bersabda. Bila Tuhan bersabda, maka Dia juga berkarya untuk melaksanakan penyelamatan bagi kita. Kedua: tanggapan seluruh umat beriman. Sabda Allah itu sapaan dari Allah. Sapaan itu membutuhkan tanggapan dari kita, bisa berupa mazmur tanggapan, nyanyian selingan dan doa-doa kita. Semoga dengan memahami kedua hal yang pokok ini kita dapat merayakan Sabda dalam perayaan Ekaristi pada hari Minggu dengan penuh makna.
Diambil dari Bahan Katekese Liturgi
Bulang Liturgi Nasional 2008
Posting Komentar