Foto dari hidupkatolik.com |
1. Umur
Untuk dapat menikah secara sah, pria harus berumur 16 tahun penuh, sedang wanita berumur 14 tahun penuh (kan. 1083.1). Dengan ketentuan umur ini Gereja berusaha menjamin kedewasaan seseorang demi kepentingan hidup pernikahan selanjutnya. Perlu diperhatikan bahwa Undang-Undang Perkawinan 1974 Ps 7 ayat 1 menentukan bahwa pria dituntut minimal berumur 19 tahun dan wanita 16 tahun untuk bisa menikah secara sah. Ketentuan ini penting diperhatikan supaya tidak menimbulkan kesulitan berhadapan dengan Negara.
2. Impotensi
Merupakan gangguan pada alat kelamin yang menyebabkan pasangan tidak dapat melakukan persetubuhan. Sebuah perkawinan menjadi sah secara sempurna (consumatum), bila setelah upacara pernikahan di gereja, pasangan itu melakukan hubungan sebagai suami-isteri. Impotensi menyebabkan perkawinan menjadi tidak sah. Kanon 1084 menetapkan:
§ 1 “Impotensi untuk melakukan persetubuhan yang ada sejak sebelum nikah dan bersifat tetap, entah dari pihak pria ataupun dari pihak wanita, entah bersifat mutlak ataupun relatif, menyebabkan pernikahan tidak sah dari kodratnya sendiri.”
§ 2 “Jika halangan impotensi itu diragukan, entah karena keraguan hukum atau keraguan faktum, sementara dalam keraguan, pernikahan tidak boleh dinyatakan batal.
§ 3 Kemandulan tidak melarang ataupun menggagalkan pernikahan, dengan tetap berlaku ketentuan kanon 1098 (bila ada penipuan dari salah satu pasangan, perkawinan itu tidak sah dan dapat dibatalkan).
Menurut poin 1 di atas hanyalah impotensi yang ada sejak sebelum pernikahan dan tidak dapat disembuhkan yang merupakan halangan nikah. Impotensi yang timbul setelah pernikahan dan hanya bersifat sementara serta dapat disembuhkan, tidak merupakan halangan untuk sahnya pernikahan.
Impotensi merupakan halangan nikah, sebab dalam pernikahan dituntut kemampuan untuk membangun hidup sebagai suami-isteri yang saling menyerahkan diri seutuhnya dan terarah pada kelahiran dan pendidikan anak.
3. Perbedaan Agama
Kanon 1086 menetapkan:
§ 1. “Perkawinan antara dua orang, yang di antaranya satu telah dibaptis dalam Gereja Katolik atau diterima di dalamnya dan tidak meninggalkannya secara resmi, sedangkan yang lain tidak dibaptis, adalah tidak sah.”
Perbedaan agama dan juga perbedaan Gereja merupakan halangan nikah, sebab dapat menjadi hambatan untuk penghayatan iman Katolik. Halangan ini dapat didispensasi, asal syarat-syaratnya dipenuhi (Kanon 1125 dan 1126).
4. Tahbisan Suci dan Kaul Kekal
Kanon 1087 menetapkan: “Adalah tidak sah pernikahan yang coba dilangsungkan oleh mereka yang telah menerima tahbisan suci. Kanon 1088 menetapkan: “Adalah tidak sah perkawinan yang dicoba dilangsungkan oleh mereka yang terikat kaul kemurnian yang bersifat publik dan kekal dalam suatu lembaga religius”. Untuk halangan ini hanya Takhta Suci yang berwewenang memberikan dispensasi yang dikenal juga dengan istilah laisasi.
5. Kejahatan (Crimen)
Kanon 1090 menetapkan:
§1. “Tidak sahlah pernikahan yang dicoba dilangsungkan oleh orang yang dengan maksud untuk menikahi orang tertentu melakukan pembunuhan terhadap suami/isteri orang itu, atau terhadap suami/isterinya sendiri.
§2. “Juga tidak sahlah pernikahan yang dicoba dilangsungkan oleh mereka yang dengan kerjasama fisik atau moril melakukan pembunuhan terhadap suami/isteri.
6. Hubungan Darah
Kanon 1091 menetapkan:
§1. “Tidak sahlah pernikahan antar mereka yang berhubungan darah dalam garis keturunan ke atas dan ke bawah, baik yang sah maupun yang tidak sah.”
§2. Dalam garis menyamping, pernikahan tidak sah sampai dengan tingkat keempat” (saudara sepupu).
Atas halangan ini tidak bisa diberikan dispensasi jika pasti atau mungkin bersifat kodrati. Lebih sulit diberikan dispensasi jika jaraknya makin dekat (misalnya, garis samping tingkat 3). Halangan hubungan garis samping tingkat 4 (saudara sepupu) bisa didispensasi kalau ada alasan-alasan yang cukup untuk permohonan dispensasi tersebut.
7. Adopsi
Kanon 1094 menetapkan: “Tidak dapat menikah satu sama lain dengan sah mereka yang mempunyai pertalian hukum yang timbul dari adopsi dalam garis lurus atau garis menyamping tingkat kedua.”
Kami mengemukakan beberapa halangan perkawinan seperti diatur dalam hokum Kanon. Kami hanya mengutip hukun Kanon yang mengatur perihal halangan tersebut tanpa banyak penjelasan. Kami hanya ingin memberikan sedikit informasi tentang halangan perkawinan agar umat dapat mengetahuinya. P. Alex Dato’ L., SVD
Posting Komentar