Persoalan Politik Hingga Perut

P. Frieds Meko, SVD
Saat ini kita terlilit erat oleh kesulitan dan krisis yang hampir merampas segala harapan yang kita miliki. Optimisme kita menjadi samar-samar. Soalnya kita sudah merasa lelah menjangkau harga pasar yang sudah menjulang, terutama rakyat jelata yang setiap hari bekerja sebagai tukang sapu, penarik becak, buruh dan sebagainya. Dan saya kira orang-orang pintar pun sudah terlalu muak dengan berbagai retorika yang tidak selaras dengan kenyataannya.

Di mana-mana orang yang pandai, baik dalam bidang politik maupun ekonomi, ramai-ramai membuka forum diskusi dari kelas teri hingga kelas elite dengan tema-tema hebat seputar politik dan lapar. Lucunya diskusi itu lebih banyak berakhir dengan hasil yang membingungkan. Bahkan pertentangan, bukan hanya untuk orang kecil tetapi termasuk juga mereka yang merancang diskusi itu sendiri.

Sementara kita masih bingung tak keruan, ramai-ramai lagi orang mendirikan partai. Mereka melihat partai sebagai terapi ampuh untuk menyelamatkan diri dari krisis yang dahsyat ini. Semua perlombaan dan keramaian itu hanya membuat pemandangan kita menjadi rabun dan samar-samar untuk melihat secara jelas jalan keluar mana yang paling baik kita tempuh, menuju stabilitas hidup yang aman dan sejahtera.

Cukup pasti bahwa kita tidak mungkin terus mempertaruhkan terapi mendirikan posko-posko untuk membantu mereka yang lapar. Juga kita tidak mungkin puas dan merasa enak kalau tiap hari keluar-masuk gedung LBH untuk mengadukan segala perkara ketidakadilan.

Di samping itu pula, kita tidak mungkin mempertahankan kondisi saling tuding- menuding, menyangkut Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN) yang selalu menjadi topik hangat dalam media-cetak maupun elektronik. Kita pun tidak harus puas dengan cepat memaafkan diri dan begitu mudah mengkambinghitamkan orang lain. Lagi pula kita tidak mungkin mencari keselamatan yang nyaman dalam partai politik yang arahnya tidak jelas, hanya bersifat asal tampil untuk membuat sensasi tanpa isi.

Hidup dalam pertentangan seperti ini, tanpa berupaya mencari jalan keluar yang dilandasi sikap moderasi, hanya akan menciptakan Etika Rimba. Lalu kita lupa bahwa kita adalah manusia yang mempunyai pikiran dan hati. Kita seolah merampas dengan keji hak asasi para penghuni rimba dan dengan bangga menganggapnya sebagai penemuan etika baru. Ironisnya, justru ditemukan oleh orang-orang bijak-cendekia yang pernah bertahun-tahun menjadi penghuni civitas academica.

Pada batas ini, mungkin kita perlu tunduk dan sesal dalam-dalam sambil bertanya mengapa semua ini terjadi di saat hidup kita diliputi panorama modernitas dengan revolusi ilmu pengetahuan yang hampir membawa manusia memasuki bidang kekuasaan Allah. Mengapa kita yang begitu sarat dengan berbagai pengetahuan, menjadi rapuh dan takluk tak berdaya di hadapan sebuah persoalan yang muncul hanya dari satu sisi yaitu politik?

Sungguh pasti bahwa Allah  tidak melarang kita manusia menggunakan otak untuk mendiskusikan hidup kita bahkan mendiskusikan keberadaan-Nya. Tetapi ketika manusia berani mencoba untuk menggantikan posisi Allah dengan menjadikan ilmu pengetahuan sebagai juru selamat sejati dalam menyelesaikan segala macam masalah hidupnya, maka persis di situlah letak kejatuhan manusia moderen. Ilmu pengetahuan yang ia miliki mengalami kepasrahan.

Lantas kalau begitu, kita harus berpaling kepada siapa, dan dari mana kita harus mulai? Kita tidak mungkin mulai dari hal-hal yang tahyul dengan mencari dukun kelas kakap, tetapi dengan rendah hati membungkukkan diri merenungkan kebenaran ajaran ini,  bahwa Allah pada dasarnya memihak kepada semua orang, baik yang pintar maupun yang bodoh.

Tetapi ketika si pintar menggunakan kepintarannya untuk merancang dan menyulap kebenaran menjadi kepalsuan, kebaikan menjadi kefasikan, keadilan menjadi penindasan, kedamaian menjadi kekacauan, maka pada batas itulah Allah akan menarik kembali potensi kepandaian yang diberikan padanya. Penarikan itu nampak dalam bentuk sikap bingung, kelabakan, bodoh dan terkesan seperti orang yang tidak pernah mengenyam pendidikan.

Para pemimpin dan orang-orang bijak-cendekia yang kita harapkan menjadi penyelamat dalam situasi krisis ini, justru kelihatan bingung dan tak berdaya. Dalam kebingungan, mereka memilih membuat spekulasi penawaran ide-ide gemilang tetapi justru semakin kompleks dan problematik. Mereka lupa untuk melihat pokok permasalahannya yang sebenarnya. Mereka terus mencoba mencari solusi dalam kebisingan dan hingar-bingar pertentangan konsep. Mereka mencari solusi di atas kebisingan yang memekikan telinga dan menggelisahkan hati.

Maka tepatlah apa yang dikatakan filsuf Bertrand Russell, bahwa segala macam persoalan dan kasus yang begitu hebat melanda dunia modern, disebabkan bukan karena orang tidak lagi mengunjungi tempat-tempat ibadah dan bukan karena orang tidak percaya lagi kepada dalil-dalil teologi, tetapi karena orang telah kehilangan suasana hening dalam hidupnya. **Rm. Frieds Meko, SVD

Posting Komentar

[blogger]

MKRdezign

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget