Hidup Sederhana, Apa Mungkin?

.....Wah…pastor, saya tidak setuju dengan kotbah pastor. Masa kami diminta hidup sederhana, padahal pastor kan tahu,  zaman sekarang kalau hidup sederhana berarti kita bisa mati konyol... 

Inilah sepenggal komplain dari seorang ibu, ketika mendengar kotbah saya tentang pentingnya hidup sederhana dalam keluarga. Sejenak saya bingung karena komplain spontan ini. Saya lalu bertanya dalam hati, seperti apakah pemahaman ibu ini tentang hidup sederhana?  Saya mencoba untuk mengandai-andai, kemungkinan pengertian tentang sederhana menurut si ibu ini,  sama dengan hidup miskin yang direncanakan. Makanya, tidak heran kalau ia spotan mendatangi saya dan komplain atas gagasan pola hidup sederhana seperti yang saya sampaikan dalam kotbah saat itu.

Bergesernya arti  hidup sederhana karena materi jadi takaran utama

Dari keberanian si ibu ini untuk complain, kita dapat menilai kwalitas pemahaman manusia moderen atas warna hidup aktual yang dijalani saat ini.  Nampak jelas bahwa kita manusia moderen begitu tengelam dalam arus materialisme, sehingga seolah-olah tidak ada lagi ruang dalam pikiran dan hati untuk memahami dengan jelas apa itu :  ke-sederhana-an. Orang sepertinya merasa takut sekali terhadap ajakan untuk hidup sederhana. Kesederhanaan dipahami sebagai ajakan untuk menerima dengan realistis keadaan hidup miskin yang sedang dialami. Padahal hidup sederhana berarti usaha menghayati hidup sesuai dengan kebutuhan yang wajar. Hidup tanpa membiarkan diri didorong oleh keinginan yang meluap-luap,  untuk memiliki segala-galanya dalam seketika. Jadi hidup sederhana itu mengandung suatu nilai bajik yang merupakan pantulan dari jiwa yang ugahari.

Memang kita tidak bisa menyangkal, bahwa kita sedang hidup dalam suatu dunia yang sangat mendewakan materi. Hampir segala aspek kehidupan kita diukur secara nominal. Arus materialisme yang sangat kental ternyata dapat mematikan begitu banyak nilai bajik yang justeru penting untuk membentuk mutu hidup manusia. Misalnya, hilangnya makna pelayanan karena setiap jenis tugas yang mau dijalankan, orang selalu mengharapkan imbalan jasa dengan bersandar pada prinsip uang bensin, uang rokok, uang lelah, uang administrasi, dll. Sepertinya orang sudah tidak dapat membedakan pekerajaan mana yang memang seharusnya mendapat imbalan,  dan pekerjaan mana yang memang merupakan kesempatan untuk melayani/membantu. Atau dengan bahasa orang yang beriman, kesempatan untuk menciptakan pintu-pintu kecil menuju surga.

Kentalnya arus materialisme pun membuat kita tidak realistis dalam hidup. Kita hidup dalam kompetisi yang tidak sehat. Kita berlomba-lomba mengumpulkan materi lalu akhirnya bingung di atas tumpukan barang yang kita kumpulkan. Kita menjadi seperti seorang peminum air asin. Semakin diminum semakin kita merasa haus. Akibat dari kenyataan seperti ini, realitas  hidup sosial sekarang diwarnai dengan panorama kriminalis.  Di mana-mana ada persoalan kriminal (korupsi, merampok, membunuh, menipu, mencuri, dll) hanya gara-gara duit atau materi.

Hidup sederhana demi kebahagiaan hidup(?)

Di dalam situasi dunia yang begitu tergila-gila dengan materi, ternyata masih ada orang yang sadar. Banyak orang  masih melihat bahwa ”cinta akan uang / materi adalah akar dari segala kejahatan” . Kesadaran inilah yang membuat orang untuk berani menghayati pola hidup sederhana. Hidup sederhana membantu ”menjinakan” hasrat memuaskan diri berdasarkan gelora nafsu memiliki dan nafsu menumpuk.

Hidup sederhana juga membantu kita untuk tidak merasa gelisah sekali melihat orang lain tampil lebih dari kita dalam hal memiliki, entah memiliki bakat dan kepribadian yang baik dan menarik,  atau memiliki banyak harta.  Kalau kita telanjur terperangkap dalam ”hasrat” untuk memiliki segala - galanya, maka kita pasti akan mengalami rasa tidak tenang. Kita akan mudah mengidap penyakit hati seperti, sakit hati atau iri hati melihat orang lain mengalami kesuksesan dalam hidupnya.

Kalau seperti inilah situasi batin, tentu kita tidak bisa bermimpi untuk mengalami kebahagiaan dalam hidup. Karena kebahagiaan itu harus diciptakan oleh sebuah hati yang damai dan tenteram. Hati yang penuh gelora benci dan iri, jelas tidak akan mampu menghadirkan  rasa damai dan bahagia dalam hidup kita.

Hidup menurut kebutuhan bukan selera yang meluap-luap 

Memang kita tidak bisa menyangkal bahwa, zaman sekarang ini berwajah ”materialistis” dan kita pun mau tidak mau bergulir di dalamnya. Panorama kehidupan sosial membuat kita sepertinya  ”tidak tahan berdiri” di dalam kesederhanaan. Kita terpacu untuk menampilkan sebuah kehidupan yang berwajah material, karena kita sangka hanya dengan cara inilah, martabat dan gengsi kita akan menjulang dan mendapat pengakuan secara sosial.

Namun tak dapat disangkal bahwa begitu banyak orang yang menderita karena ingin hidup menurut tuntutan seperti ini. Orang mau supaya memenuhi tuntutan seleranya, tetapi cara yang ia pakai adalah cara yang ”kotor”. Akibatnya, walupun penampilan hidupnya kelihatan mewah, tetapi ia sendiri tidak memiliki  rasa damai dan rasa bahagia. Ia merasa seolah sejuta pasang bola mata memandang sambil menuding dia, sebagai orang yang bermain kotor untuk mencapai apa yang ia inginkan.

Dengan demikian ia sama seperti seorang pangeran atau permaisuri yang hidup di atas menara gading berlantai duri. Melukai dan menyakitkan sehingga menghalau kebagiaan dari hidupnya. Kalau sampai tidak bisa merasa bahagia di atas menara kelimpahan itu, berarti sangat jelas bahwa menara itu telah dibangun dengan cara yang kotor atau tidak wjar. Pilihan bijaksana untuk dapat mengecap kebahagiaan di tengah dunia yang  berlimpah dalam segalanya adalah hidup menurut kebutuhan yang nampak sederhana tetapi mampu membersitkan rasa bahagia dalam hidup ini.** Rm. Frieds Meko, SVD

Posting Komentar

[blogger]

MKRdezign

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget