Pandangan Gereja Katolik Tentang Solidaritas Hidup Beragama

Pendahuluan

Satu keunikan yang disandang Negara Indonesia dan sempat menyita kekaguman Negara lain di dunia ini adalah: kemampuan menciptakan harmoni dalam keragaman. Indonesia yang terdiri dari 13.000 pulau, berbagai suku bangsa, ragam kepercayaan dan ragam budaya berhasil meredusir perbedaan-perbedaan ini dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika dengan dasar Persatuannya Pancasila.

De facto, adanya persatuan dalam perbedaan ini tidak hanya sebagai proses evolusi alami yang memang mesti terjadi menurut ordo natura, melainkan merupakan suatu “kenyataan” yang tercipta melalui suatu refleksi historis berdasarkan matra keberadaan bangsa Indonesia di atas Nusantara ini.
Refleksi historis yang diramu sejak awal berdirinya Negara Indonesia, terseling antara gejolak dan perjuangan yang Nampak dalam wajah kolonialisme dan gerakan-gerakan ekstrim yang pernah ada. Kemapanan refleksi historis ini ditunjang oleh adanya perasaan solider sebagai satu bangsa yang ingin bebas dan mau menentukan nasib sendiri.

Modal kesadaran sebagai satu bangsa yang senasib, lalu mendorong untuk memikirkan bagaimana menciptakan iklim persatuan langgeng dalam realita keragamaan yang ada. Disamping itu, perbedaan budaya dan perbedaan kepercayaan menjadi unsur hakiki yang mesti mendapat tempat khusus untuk dipikirkan dan direfleksikan sebagai kenyataan riil yang dapat dijadikan modal penunjang persatuan.

Pandangan  Gereja Katolik  Tentang Solidaritas Beragama

Pandangan Gereja Katolik tentang solidaritas beragama di Indonesia, berangkat dari suatu kesadaran akan keragaman agama yang secara historis berkembang sejak abad-abad permulaan. Karena itu, Gereja Katolik dalam menghadapi kenyataan seperti ini tidak menganggap diri sebagai institusi single fighter, melainkan selalu menyadari kehadirannya dalam konteks teologis, historis dan sosial. Berdasarkan refleksi atas kehadirannya, gereja Katolik dapat mengambil sikap dan berusaha bagaimana mewujudkan solidaritas dengan agama-agama lain yang ada di Indonesia.

1. Gereja Katolik dan Fungsi Profetisnya.
Pandangan Gereja Katolik atas fungsi profetisnya dalam masyarakat, bertolak dari pra-andaian, mungkinkah umat Katolik mencapai konsensus menyangkut soal-soal sosial, dan politik untuk mewujudkan pernyataan profetis atas nama Gereja?

Kebutuhan akan dasar eksplisit umat bagi kegiatan Gereja dalam masyarakat, menurut teolog kemasyarakatan Katolik. J.B. Metz, berdasarkan janji eskatologis kedatangan Kerajaan Allah. Ini sekaligus merupakan motif teologis sentral dan pedoman untuk menafsirkan hubungan Gereja dalam masyarakat.
Gereja Katolik berpegang teguh pada pandangan tentang masa depan mutlak manusia, tentang kerajaan Allah yang jauh dari hanya suatu ide Formalistis. Gereja berusaha untuk mewujudkan secara kongkrit keadilan dan cinta kasih dalam dunia ini. Makna dunia yang terdalam terletak dalam kenyataan bagaimana keadilan dan cinta kasih diwujudkan. Di sini Gereja terpanggil untuk berjalan menuju Kerajaan Allah yang belum penuh diwujudkan, dan menjanjikan kepada umat manusia bahwa Ia akan menepati janjiNya tentang keadilan dan cinta kasih.

Untuk mewujudkan janji ini, Gereja berperan sebagai nabi yang menjaga, agar umat manusia dalam guliran sejarah, tetap terbuka bagi pemenuhan janji ini. Jadi peran Gereja secara hakiki adalah menggembalakan situasi dan kondisi masyarakat dalam cahaya kerajaan Allah dan menuntut kebulatan tekad untuk menegakkan norma-norma hidup dalam masyarakat yang mengkonkritkan pandangan Gereja Katolik tentang hidup sosial.

Di sini, peran profetis tidak hanya harus dijalankan oleh orang perorangan, melainkan oleh Gereja atau umat secara keseluruhan sambil menyadari bahwa fungsi profetis memerlukan kemampuan untuk mengidentifikasikan matra-matra pengalaman yang menyangkut seluruh umat.

2.Umat Katolik adalah Warga Masyarakat Indonesia
Gereja Katolik menyadari bahwa ia ada dalam Negara Indonesia, bukan sebaliknya Negara Indonesia ada dalam Gereja Katolik. Kesadaran laten ini, mengandung suatu dorongan untuk bertanggungjawab bersama mewujudkan apa yang menjadi Program Nasional yang harus dijalankan setiap warga Negara.

Umat Katolik in se adalah warga negara Indonesia, bertanggung jawab untuk memenuhi apa yang diharapkan dari semua warga masyarakat menurut kemampuan, tidak dalam arti restriktif, melainkan positif maksimal. Sebagai warga masyarakat, umat Katolik ikut berbakti dan cinta kepada tanah air dengan jiwa patriotik dan kesatria.

Partisipasi umat Katolik tidak mengandung pretensi untuk mengklaim keahlian yang lebih besar, akan tetapi percaya bahwa pandangan-pandangan agama Kristen Katolik dapat menghasilkan daya pendorong yang konstruktif dan dapat menolong agar nilai-nilai dasar hidup manusia dilihat dengan lebih jelas.
Dengan kata lain, sumbangan khusus sebagai umat Katolik ialah: ikut berpartisipasi dalam pembangunan dengan perspektif iman, memandang diri dan sesame dalam rangka panggilan keselamatan, yakni persatuan dengan Allah. Kebahagiaan sempurna ini, harus dirintis dalam dunia berupa kesejahteraan manusiawi. Pandangan ini lalu menjadi landasan dialog antara Gereja Katolik dan masyarakat beriman yang umumnya sepakat bahwa segala sesuatu di dunia ini ditujukan kepada manusia sebagai mahkota ciptaan.

3.Panggilan Gereja mempunyai arti yang riil bagi masyarakat Indonesia
Gereja Katolik di Indonesia merefleksikan kehadirannya dengan pertanyaan: “Seberapa jauh Gereja Katolik mampu memberi pedoman, dalam soal kemasyarakatan?” Ini merupakan pertanyaan mendasar yang mesti dijawab sekaligus diwujudkan dalam realitas hidup bermasyarakat.

Tentang hal ini, Teologi Katolik Karl Rahner, SJ berpendapat: “Cinta akan sesama harus terungkap dalam tindakan praktis kongkrit. Ini menjadi kewajiban moril orang Katolik. Bentuk kongkrit itu tidak dan tak dapat terbawa kepada Pimpinan Gereja selaku lembaga dan tidak dapat merupakan karya langsung apalagi eksklusip dari Gereja sebagai Institusi. Gereja sadar bahwa, masyarakat dengan kemungkinan dan sasaran-sasarannya beserta pluralism dan lembaga-lembaganya tidak terbawa kepada pengawasan langsung gereja, melainkan bersifat otonom. Maka bukan wewenang Gereja untuk mengatur usaha pembangunan. Tetapi Gereja tetap berusaha meyakinkan masyarakat akan makna dunia yang terdalam dan akan tanggungjawab warga masyarakat atas Negara demi keselamatannya”.

Gereja sebagai lembaga dapat membantu lembaga-lembaga masyarakat sejauh sasaran kegiatannya menyangkut martabat manusia. Gereja dapat menyumbangkan jasanya yang khas membangun, berfungsi sebagai “Critical court of appeal”, berperan kritis terhadap apapun yang dalam masyarakat memerlukan perubahan.

Melalui peran kritisnya, Gereja mempertegas tugas profetisnya, terutama mengembangkan asas-asas dan menawarkan perspektif-perspektif Katolik untuk ikut membentuk keputusan-keputusan warga Negara dan Tokoh-Tokoh masyarakat dari hari ke hari.

Kehadiran Gereja Katolik dan Solidaritasnya dalam Pluralisme Agama di Indonesia

1.Gereja Katolik di Indonesia
Keberadaan Gereja Katolik di Indonesia hingga saat ini sudah berusia 461 tahun. Kehadirannya dalam gulir waktu empat setengah abad di Indonesia, tentu berawal dari satu titik historis-obyektif yakni, saat masuknya bangsa Portugis di Indonesia. Matra kesejarahan Gereja Katolik di Indonesia tentu dipahami tidak sebagai arloji yang sedang menghabiskan putaran fernya, akan tetapi sebagai kumpulan endapan dari berbagai keberhasilan dan kegagalan Gereja Katolik di masa lampau.

Ini berarti, Gereja Katolik menerima kehadirannya di Indonesia sebagai yang dibawa oleh kaum kolonial, suatu kepastian obyektif yang mesti diakui sebagai kebenaran. Tetapi dalam derap langkah sejarah selanjutnya Gereja Katolik dirasakan dan diterima sebagai milik segelintir warga Indonesia di seluruh Nusantara yang dengan rela hati menerima ajaran Kristus. Ajaran Kristus ini lalu membatin dalam hati umat Katolik dan dianggap penting untuk dihayati dan diamalkan dalam hidup sebagai warga Negara.

Iman Katolik tidak memisahkan umatnya dari kebersamaan hidup dalam masyarakat dengan warga Negara lain sebangsa dan setanah air, melainkan berperan serta sebagai bagian integral untuk memikirkan bagaimana menata wajah bangsa Indonesia sebagai bangsa yang bermoral Pancasila. Iman Katolik mewajibkan umatnya memberikan pelayanan cinta kasih persaudaraan kepada siapa saja, tanpa memandang golongan dan suku.

Peran serta umat Katolik dalam menata dan membangun bangsa dan Negara ini, selain ikut serta dalam perjuangan kemerdekaan, juga dalam usaha mencerdaskan bangsa melalui lembaga-lembaga pendidikan mulai dari TK sampai Perguruan Tinggi, melalui karya karitatif (kesehatan) dan melalui karya-karya sosial ekonomi untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat terutama masyarakat pedesaan.

2.Gereja Katolik mendukung dan menerima Pancasila
Gereja Katolik telah menjelajahi sejarah sejak keberadaannya. Gereja Katolik tidak mengidentifikasikan diri dengan salah satu ideologi atau pola pemerintahan tertentu, melainkan berusaha untuk mewujudkan ajaran Kristus dalam dunia berdasarkan Cinta Kasih dan Cinta Perdamaian.

Dalam arti ini, umat Katolik di Indonesia, sangat bersyukur bahwa para fundator negara telah memilih Pancasila sebagai Falsafah dan Dasar Negara. Di dalam Pancasila terkandung nilai-nilai luhur yang sesuai dengan nilai-nilai ajaran agama Katolik, sehingga secara moril nilai-nilai itu perlu diwujudkan dalam hidup berbangsa dan bernegara. Karena itu, umat Katolik dengan senang hati menerima dan mendukung Pancasila dan berdoa agar pengamalan Pancasila semakin hari semakin murni dan taat pada nilai-nilai Pancasila tanpa manipulasi. Sebab Pancasila bukanlah tongkat ajaib yang bisa menjawab segala-galanya dalam hidup bermasyarakat dan berbangsa. Ini sangat tergantung kepada kita yang mengartikan dan menerapkannya. Ada tiga alasan fundamental yang membuat umat Katolik menerima Pancasila yakni :

a. Demi Bhineka Tunggal Ika.
Suatu kenyataan obyektif yang tak terpungkir dalam Negara Indonesia adalah masyarakat Indonesia bersatu dalam kemajemukan. Realitas majemuk itu Nampak dalam suku, bahasa, budaya dan kepercayaan. Oleh sebab itu, para Fundator Negara sepakat untuk: “membentuk satu Negara kesatuan yang melindungi dan meliputi segenap bangsa, yang mengatasi segala paham golongan dan perorangan”. (penjelasan UUD’45).
Negara yang meliputi segenap bangsa didasarkan atas satu filsafat yang secara consensus disepakati bersama yaitu Pancasila, yang mengandung nilai-nilai manusiawi yang terungkap dalam realitas hidup dan sejarah bangsa dan dapat diterima serta didukung semua golongan dan semua pihak masyarakat kita yang majemuk ini.
Gereja yakin dan percaya bahwa Pancasila yang telah teruji dan terbukti keampuhannya dalam sejarah bangsa Indonesia, merupakan Forma kesatuan dan persatuan nasional, asal tidak digunakan sebagai topeng untuk melindungi kepentingan individu (oknum), kelompok atau golongan tertentu.

b. Demi Nilai-nilai Dasar Kehidupan
Gereja Katolik menerima dan mendukung Pancasila bukan hanya sebagai Forma dan sarana pemersatu, melainkan juga sebagai ungkapan nilai-nilai dasar hidup bernegara yang sejati dari budaya otentik dan sejarah suku-suku bangsa kita. Pancasila baik secara integral maupun ditinjau sila demi sila, mengandung nilai-nilai dasar manusiawi yang sejajar dan sejalan dengan nilai-nilai yang dikemukakan oleh ajaran dan pandangan Gereja Katolik.

c. Demi Ketuhanan Yang Maha Esa
Keterbukaan menerima sila Ketuhanan Yang Maha Esa mengungkapkan suatu keinsafan iman (sensus religious) yakni negara Indonesia terbentuk berdasarkan kesadaran kodrati bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan. Konsekuensi logisnya, sebagai orang beriman setiap warga Negara wajib menciptakan dan membangun hidup kenegaraan yang berkenan kepada Tuhan dan sesuai dengan kehendakNya.
Oleh karena itu, segala sesuatu yang kita lakukan di bidang apapun dan dengan cara apapun harus dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

3.Gereja Katolik menghargai kebebasan beragama
Gereja Katolik, sebelum konsili vatikan II, menganut faham teologi yang cenderung mengingkari adanya wahyu keselamatan pada golongan lain. Dengan adagium Extra Ecclesiam Nulla Salus-nya, Gereja justru terperangkap dalam suatu mekanisme fanatis yang kaku. Kenyataan semacam ini lalu direfleksikan kembali berdasarkan pluralism agama dan kepercayaan lain yang juga merupakan para musafir yang sedang mengembara dan mencari Realitas Asali. Jalan mereka sungguh benar dan suci, karena pasti dan terarah kepada Allah, Sang Penyebab yang tidak disebabkan (Causa Prima).

Refleksi ini akhirnya bermuara dalam Konsisli Vatikan II. Dan tentang penganut agama dan kepercayaan lain, Konsili Vatikan II dalam Deklarasi Nostra Aetate (sikap Gereja terhadap agama-agama lain) menandaskan, Gereja Katolik tidak menolak apapun yang benar dan suci dalam agama-agama dan kepercayaan lain. Gereja memandang dengan penghargaan yang jujur, cara tindak dan cara hidup, peraturan dan ajarannya yang kendati dalam banyak hal berbeda dengan apa yang dipahami dan dianjurkannya, toh tidak jarang memantulkan cahaya Kebenaran, yang menerangi semua manusia.

Namun tak henti-hentinya Gereja mewartakan dan harus mewartakan Kristus, yang adalah Jalan, Kebenaran dan Kehidupan (Yoh 14:6), dalam Siapa manusia mendapat kepenuhan hidup keagamaan dan dalam Siapa Allah mendamaikan semua dengan DiriNya. Oleh karena itu Gereja mengajak Putera-puterinya, agar dengan bijaksana dan cinta kasih, melalui dialog dan kerja sama dengan penganut agama dan kepercayaan lain, memberikan kesaksian iman dan kehidupan Kristen, lalu mengakui dan mengabdi dan memajukan hal-hal baik dibidang  rohani dan moral demikian pula nilai-nilai sosio-kultural yang terdapat pada mereka”.
Berdasarkan Ensiklik Nostra Aetate, Gereja Katolik menyadari bahwa setiap orang beriman yang mengakui Sang Pencipta, justru terangkum dalam rencana keselamatan Ilahi. Maka agama yang mereka anut dapat membawa mereka kepada kebahagiaan dalam Tuhan, sebab Tuhan menuntun dan menerangi semua umatNya, supaya kelak mencapai kebahagiaan dalam hidup abadi bersamaNya.

Perkembangan berbagai agama lalu dilihat gereja sebagai suatu kewajaran dan bersifat Ilahi. Kenyataan ini tidak perlu menjadi sebab  yang merisaukan. Karena realitas perkembangan keberagaman agama bukanlah problem yang tergantung pada kemauan dan rencana manusia, melainkan itu adalah bidang kekuasaan Sang Pencipta yang terberi dalam jiwa tiap orang beriman. Semua agama punya andil yang berharga dan luhur bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara, karena agama-agama menanamkan kebajikan-kebajikan sosial, rasa menghargai dan rasa protektif terhadap segala ciptaan, serta rasa tanggungjawab untuk ikut meningkatkan hidup sesams manusia supaya semakin sesuai dengan kemanusiaan yang beradab.

4.Makna Solidaritas Beragama
Solidaritas beragama pertama-tama berarti menerima isi mengenai keterarahan agama-agama kepada Sang Pencipta, juga menerima visi yang benar dan sejati dalam tanggungjawab bersama terhadap gerakan-gerakan dinamis yang menuntun perjuangan hidup antar umat beragama dalam mengejar kebahagiaan hidup dengan pandai memanfaatkan peluang-peluang yang memungkinkan setiap umat beragama mengalami kebebasan sejati.

Solidaritas beragama juga berarti bertanggungjawab bersama dengan umat beragama lain yang mendukung dengan kritis pandangan mengenai sejarah jaman sekarang, sambil berusaha mengatasi berbagai masalah yang mengancam kehancuran citra dan martabat manusia. Dipihak lain, solidaritas juga berarti bersama-sama memperlihatkan keprihatinan praktis terhadap realitas social yang terpampang dalam pemandangan penderitaan. Ini merupakan terjemahan kongkrit dari Injil yakni “Membalut luka” sesam manusia, tanpa memandang golongan yang terlunta dalam penderitaan.

Dalam konteks Negara Pancasila, solidaritas beragama pertama-tama berarti, mengakui keragaman beragama yang de facto ada di Indonesia, sambil bersama-sama mencari titik temu kebenaran Ilahi yang diyakini oleh setiap agama dan segera usaha itu dibawa keluar sebagai perilaku public dan merupakan ungkapan bersama dengan pemeluk agama lain, wujudnya sejauh mengungkapkan sikap ber-Ketuhanan dan bukan dengan cara-cara khas keagamaan.

Syukurlah bahwa yang menjadi pemersatu kokoh bagi bangsa kita yang berciri multi religious dan mengakui pluralism agama adalah “Ketuhanan Yang Maha Esa”, bukannya agama-agama yang ada. Bila ada orang yang ingin mengisi Ketuhanan Yang Maha Esa dengan salah satu faham agama, maka pemeluk agama dan kepercayaan lainnya kehilangan tempat berpijak bersama lagi.

Solidaritas beragama juga berarti upaya antara umat beragama untuk mengisi kemerdekaan. Kehadiran agama-agama di Indonesia memiliki potensi besar untuk tampil sebagai kekuatan pembangunan masyarakat. Ada banyak kesempatan dalam pembangunan masyrakat yang terbuka bagi keikutsertaan agama-agama. Yang dilakukan di Indonesia adalah membangun bangsa demi agama dan membangun agama demi bangsa. Perlu disadari bahwa tidak mungkin melakukan pembangunan yang berarti tanpa keikutsertaan agama, begitu pula sebaliknya tidak mungkin melakukan pembangunan agama tanpa tujuan membangun bangsa. Ini berarti agama perlu menyuarakan komitmennya yang jernih dan ikhlas untuk memperjuangkan terpenuhinya hak dan kewajiban manusia sebagaimana mestinya.

5.Solidaritas Gereja Katolik
Bekerja dengan semangat seorang hamba dalam solidaritas manusiawi
Sumber inspirasi bagi solidaritas Gereja Katolik adalah Yesus Kristus. Ia datang ke dunia untuk hidup dan mengalami kesejahteraan umat manusia. Prinsip,  Mesereor Super Turbam (Hatiku tergerak oleh belas kasihan terhadap orang banyak) adalah meterai pelayanan Yesus bagi umat manusia. KehadiranNya untuk melayani dan menyelamatkan manusia tanpa memandang batas demarkasi yang memilah umat manusia dalam sekat suku atau golongan. Oleh karena itu, spiritrualitas pelayanan Yesus bercorak pelayanan seorang hamba. Ia membuktikan ini dengan peristiwa mencuci kaki para muridnya yang sekaligus ditetapkan sebagai Dasar Pelayanan Gereja sepanjang masa dalam segala segi kehidupan manusia.

Format kenegaraanpun menjadi kepedulian Yesus dalam pelayananNya. Kepada orang Farisi dan murid-muridNya ia mengatakan, “Berikanlah kepada Allah apa yang menjadi hak Allah dan kepada kaisar apa yang menjadi hak kaisar”. Amanat ini, mengisyaratkan bahwa Gereja dalam pelayanannya mesti memperhatikan Matra kemanusiaan secara integral. Sebab manusia baru dikatakan manusiawi apabila bidang-bidang pendukung proses kemanusiaannya sungguh-sungguh mendapat kepedulian ekstra atas dasar cinta kasih dan pengorbanan.

Dengan demikian, pelayanan Gereja Katolik sesungguhnya berangkat dari keiklasan karitatif yang dapat menjangkau setiap orang, tanpa harus berpegang pada hukum “Do ut des” (saya memberi supaya engkau memberi kepada saya). Atau dengan kata lain, tanpa harus memberi dengan tangan kanan sementara itu dengan tangan kiri menarik orang kepada Gereja Katolik.

6. Solidaritas Gereja Katolik Indonesia dengan Agama lain
Bagaimana wajah dan bentuknya Gereja Katolik yang hadir diantara agama-agama lain di Indonesia mempunyai persepsi bahwa disamping agama-agama lain, Gereja Katolik Indonesia pun mempunyai kekuatan transformatif. Pendukung kekuatan transformatif adalah solidaritas yang tulus dengan agama lain, sehingga sebagai kekuatan yang transformatif agama Katolik dan agama-agama lain tidak bisa mengucilkan dirinya terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat Indonesia.

Sebaliknya, sebagai kekuatan transformatif, agama-agama yang ada harus mampu menjadi pengikat solidaritas dan penumbuh kesadaran tentang kesamaan dan kemitraan yang mempersatukan segenap warga masyarakat untuk membangun dirinya. Sebagai kekuatan transformatif, kepekaan dan keprihatinan agama-agama terhadap penderitaan manusia merupakan sebuah prasyarat. Keprihatinan religious semacam ini merupakan akar bagi kekuatan agama sebagi agen perubahan.

Sebagai kekuatan transformatif, agama-agama yang harus selalu tampil sebagai isyarat yang kuat di masyarakat bahwa upaya pembangunan bangsa harus selalu didukung sekaligus diawasi. Secara langsung atau tidak langsung, setiap agama mesti solider dan terlibat dalam penataan yang dapat dipertanggungjawabkan secara moril, demi menciptakan masyarakat yang adil dan makmur.
Perlu disadari bahwa, setiap keputusan dalam pembangunan selalu melahirkan dilemma etis. Kesadaran akan dilemma etis ini, menolong untuk menentukan corak keterlibatan agama dalam pembangunan. Kesamaan dalam menanggung beban pembangunan akan merupakan prasyarat bagi fungsi transformatif agama dan sekaligus untuk menjaga kelangsungan upaya pembangunan itu sendiri.

A. Solidaritas mulai dari mana?

Solidaritas dalam arti tertentu merupakan suatu lahan utopia yang mesti diperjuangkan untuk digapai. Ia menjadi ideal karena untuk menggapainya membutuhkan korban dan perjuangan terus menerus, serta membutuhkan kejernihan hati untuk mempertahankannya setelah berhasil digapai.
Agama-agama di Indonesia yang secara fundamental memiliki konsep teologis dan dogma yang berbeda, sadar bahwa tanpa solidaritas dalam perbedaan seperti ini, jelas akan berakibat masing-masing mencari arah jalan sendiri. Sindrom perpecahan justru terletak pada kondisi separatis seperti ini. Dalam hal ini, Pancasila merupakan “Naungan Sakti” yang mempersatukan kita. Berdasarkan Pancasila, umat beragama lalu mempunyai kesadaran untuk bersama menegakkan solidaritas demi mencapai tujuan yang diidamkan oleh setiap warga Negara yaitu Adil dan Makmur. Untuk dapat menciptakan solidaritas sejati, therapy yang dibutuhkan adalah :


  1. Dialog dalam konsep pluralism agama berarti, hubungan antar agama yang positif dan konstruktif dengan pribadi-pribadi dan umat dari agama lain yang diarahkan untuk saling memahami dan saling memperkaya ketaatan kepada kebenaran dan hormat terhadap kebebasan. Jadi, dialog dalam arti ini bukan dialog taktis-strategis yang manipulative, melainkan dialog yang penuh rasa cinta dan ketulusan terhadap umat beragama lain.
  2. Membangun persaudaraan dan persatuan. Kesadaran akan upaya membangun persaudaraan dan persatuan mesti berangkat dari keinsafan iman (sensus religiosus) bahwa setiap orang diberi tempat pada asal muasalnya yang paling dasar dan paling tinggi. Bukan pasa asal tanah kelahiran, suku atau bangsa, melainkan asal-usul dasariah. Bahwa manusia diciptakan oleh Allah sendiri dan tujuan akhir hidupnya menuju Allah dalam kemuliaanNya. Meskipun berbeda suku, bahasa, kebudayaan serta agamanya, semua sama-sama makluk ciptaan Tuhan kita semua menjadi satu saudara.
  3. Sependeritaan - sepenanggungan, Kasih persaudaraan yang dibangun di antara sesame manusia mencakup keprihatinan kolektif dalam mengusahakan kesejahteraan hidup di dunia ini. Masalah keprihatinan kepada penderitaan sesame harus mengatasi perbedaan suku dan agama.
  4. Saling menghargai dan menghormati, Penghargaan disini mencakup hati nurani dan keyakinan imannya. Bagi Gereja Katolik Konsili Vatikan II menyerukan agar “menjunjung tinggi kebebasan beragama”, dengan dasarnya adalah martabat manusia yang tinggi sebagai ciptaan Allah. Iman mengandaikan suatu kebebasan. Tanpa kebebasan bersikap menurut suara hatinya, tidak ada iman itu sendiri. Ini pembatasan sekaligus sopan santun bagi penyiaran agama Katolik.
  5. Saling mengakui ada pancaran kebenaran, kebaikan pada agama lain. Ini berarti setiap umat beragama perlu belajar dari kebaikan agama lain. Tak perlu ekstrim dan menolak apapun yang dalam agama-agama itu benar dan suci. 
Semua therapy ini merupakan tawaran iklas yang membantu kita menggalang solidaritas sejatu dalam tanggung jawab bersama membangun Negara kita yang tercinta ini.

B. Solidaritas umat beragama antara harapan dan kenyataan

Kenyataan yang tak dapat dipungkiri adalah bahwa setiap orang mengakui adanya Allah. Pengakuan ini secara tidak langsung menunjukkan kerinduan setiap orang untuk memiliki rasa damai dan rasa cinta dalam hatinya. Ini merupakan Aksioma Teologis yang tercakup dalam agama-agama atau aliran apapun. Karena itu, logika keyakinan seperti ini seharusnya ditampakkan dalam kesaksian hidup dengan sungguh-sungguh menunjukkan bahwa orang tersebut yang terbingkai dalam agama manapun, memiliki kerinduan (apetitus) untuk menciptakan rasa damai dan rasa cinta dalam hatinya. Ini berarti orang tersebut memiliki tanggung jawab iman yang memang bercorak Ilahi. Kenyataan seperti ini merupakan “harapan dan kerinduan” setiap umat beriman.

Tetapi tak dapat disangkal pula, bahwa realita penghayatan terhadap iman baik secara individu maupun secara kolektif, sering menampilkan wajah-wajah borok yang dapat meresahkan umat beriman yang lain. Lalu apakah ini boleh dikatakan sebagai kegagalan penghayatan atas iman yang dikaruniakan oleh Allah, ataukah dilihat sebagai kebajikan yang mesti dibanggakan karena berhasil meresahkan umat yang lain? Saya kira Allah sungguh tidak pernah mengehndaki agara umatNya saling menghunus pedang besi dan pedang kata untuk saling mengadu kekuatan. Dalam konteks ini, perlu dipahami bahwa,  Allah tidak membutuhkan pembelaan manusia atas diriNya, tetapi justru manusia yang harus memohon pembelaan dari Allah atas dirinya yang lemah.

C. Solidaritas beragama di Indonesia membutuhkan plester karena luka (?)

Secara historis solidaritas antar umat beragama di Indonesia, sejak jaman penjajahan hingga saat ini, relatif terjaga baik. Kenyataan kemerdekaan kita sebetulnya sudah merupakan suatu kesimpulan logis, bahwa ini berkat buah solidaritas antar suku, golongan dan antar umat beragama yang sehati dan setekad memperjuangkan kemerdekaannya.

Fakta historis ini perlu dijadikan modal bagi kita untuk merefleksikan keutuhan solidaritas yang terbina dengan baik sejak dulu, sambil bertanya diri: apakah solidaritas kita masih utuh dan terjalin baik tanpa syakwasangka, curiga dan dendam, ataukah solidaritas kita telah “luka” karena pedang fanatisme sempit, karena menyalahi etika penyiaran agama, atau karena aksi-aksi keagamaan yang cenderung infasif dan frontal dengan sengaja memojokkan umat beragama lain.
Dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir ini, sering kita dengar adanya banyak kasus yang membuat solidaritas antara umat beragama menjadi luka. Akhirnya umat beragama lain yang diperlakukan sebagai subyek penderita mengalami rasa sakit. Justru sikap ini memperlemah kemauan baik untuk bias menegakkan kembali rasa solidaritas yang sejati.

De facto, solidaritas beragama di Indonesia sering luka oleh kasus-kasus yang tidak bisa dipertanggungjawabkan secara moral. Ini tentu membutuhkan plester untuk disembuhkan. Plester kita tidak lain adalah perlunya kesadaran untuk melihat kembali Pancasila sebagai Naungan Teduh yang dibawahnya kita semua berlindung sambil berangkul sebagai satu saudara, yang berasal dari kemah yang sama yaitu kemah Allah. Selanjutnya menciptakan iklim dialog yang lebih diwarnai kasih persaudaraan sejati diantara kita. Dengan kesadaran seperti ini, tidak mustahil solidaritas kita akan tetap sejati kendatipun tercipta diatas ragam agama, budaya dan suku. **P. Fritz Meko, SVD

Posting Komentar

[blogger]

MKRdezign

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget