Ilustrasi dari sathora.or.id |
Syarat menjadi imam telah diatur dalam Kitab Hukum Kanonik (KHK), merupakan sistem hukum yang berlaku dalam Gereja Katolik. Waktu yang dibutuhkan untuk pendidikan seorang imam tergantung pada kebijakan Ordinaris Gereja setempat. Namun dalam KHK Kanon 250 telah diatur dengan jelas bahwa calon imam harus belajar Filsafat selama 4 (empat) tahun dan belajar Teologi selama 2 (dua) tahun. Di Indonesia, pendidikan imam berlangsung selama 8 tahun, bahkan ada yang sampai 10 atau 11 tahun. Yang umum berlaku adalah 4 (empat) tahun setelah perguruan tinggi yakni dua tahun belajar teologi, satu tahun masa Orientasi Pastoral, yakni melaksanakan praktek berpastoral dan satu tahun masa Diakonat yakni berpraktek untuk menjadi gembala sebelum ditahbiskan jadi imam.
Banyak Yang Dipanggil, Sedikit Yang Dipilih
Mengikuti panggilan khusus menjadi Imam bukanlah hal yang gampang. Secara manusiawi agak susah digambarkan rahmat kekuatan yang dimiliki oleh seorang calon imam yang sedang mempersiapkan diri. Tidak sedikit di antara para calon mengundurkan diri di tengah jalan. Mereka yang dipilih adalah sebagian dari mereka yang dipanggil sejak awal untuk bersama-sama mempersiapkan diri melalui proses pendidikan. Ada empat bidang studi utama dan pengembangan dalam pendidikan calon imam yaitu kemanusiaan, spiritual, karya pastoral dan akademik. Semua bidang studi ini dikombinasikan agar kelak, seseorang yang menjadi imam dapat menjadi teladan bagi gembalaannya. Bukan hanya itu, seorang imam bertanggung jawab pada ajaran iman dan moral bagi umat yang digembalakannya.
Konsekuensi Yuridis Sebagai Orang 'Yang Dipilih' dalam Hubungannya dengan Politik
Konsekuensi Yuridis mejadi seorang yang "dipilih" menjadi imam telah diatur pula dalam KHK. Konsekuensi ini telah menjadi perjanjian awal yang harus disepakati oleh dua pihak sebelum terjadinya tahbisan. Pihak yang dimaksud adalah Gereja dan Calon Imam yang akan menerim tahbisan. Berikut adalah sebagian dari beberapa konsekuensi yuridis yang harus ditaati seorang calon imam setelah ditahbiskan:
- Taat kepada Takhta Apostolik, yakni Tahta Paus sebagai pemimpin tertinggi Gereja Katolik Roma, dan Ordinaris Setempat, yaitu Uskup yang menjadi ordinaris di wilayah keuskupan. Kata "taat" bukanlah sebuah istilah yang bisa dikonfrotir karena "ketaatan" tersebut sudah menjadi kesepakatan awal, bukan kesepakatan yang baru dibuat setelah menjadi imam. (Kan. 273).
- Para klerikus (imam) dilarang menerima jabatan-jabatan publik yang membawa serta partisipasi dalam pelaksanaan kuasa sipil. Kan. 285 § 3.
Konsekuensi dari perbuatan yang dilarang di atas (tidak taat, menerima jabatan publik), seorang imam mendapatkan "suspensi". Suspensi diberikan setelah semua peringatan dan teguran tidak dihiraukan. Penarikan Yurisdiksi adalah wujud dari suspensi yang dimaksud. Penarikan yurisdiksi mengandung muatan hukum yakni: pembebasan dari semua hak dan kewajiban yang melekat pada tahbisan imamat yang diberikan oleh Ordinaris Setempat (Uskup).
***
Larangan bagi Pastor [Katolik] menerima jabatan publik bukan sesuatu yang baru ditegaskan setelah jadi Imam. Segala sesuatu telah terang di awal dan dalam keadaan sadar menerima segala konsekuensi yuridis tersebut pada saat mengucapkan 'janji' pada upacara pentahbisan. Namanya hukum, tidak ada istilah "multitafsir" karena segalanya telah menjadi jelas. Penjelasan tentang konsekuensi-konsekuensi ini telah disampaikan selama masa pendidikan 8-10 tahun seperti disebutkan di atas.
Bagaimana bila kemudian ada Pastor menerima tawaran untuk menjadi anggota legislatif, eksekutif dan yudikatif dalam pemerintahan? Secara pribadi, person, dia boleh-boleh saja menerima tawaran tersebut. Namun, dia tidak disebut sebagai 'pastor' lagi. Kalau kemudian, seorang pastor menyadari bahwa dia terpanggil untuk melayani masyarakat melalui jabatan publik, maka haruslah dia meninggalkan jabatan Gereja karena telah diatur demikian. Tidak diperkenankan untuk mengabdi pada dua tuan. Meninggalkan jabatan Gereja pun adalah pilihan yang memiliki konsekuensi yuridis.
Berdasar pada landasan yuridis di atas, tidak dibenarkan bahwa seorang pastor membawa serta jabatan imamatnya dalam menjalankan tugas sebagai pejabat publik. "Revolusi Mental" bukanlah merupakan alasan yang dapat digunakan sebagai cara untuk mengobah segala aturan yang telah teruji dan terbukti mampu mengayomi banyak orang. Revolusi mental merupakan misi yang lebih ditujukan pada perubahan sikap, pola perilaku dan gaya berpikir manusianya, bukan aturannya.
Larangan bagi pastor menjadi pejabat publik tidak menunjukkan sikap egoisnya "Gereja". Gereja Katolik hanya memberi penegasan pilihan dari deretan 'opsi'. Ketika anda memilih "A", maka tinggalkan "B". Gereja Katolik pun bukan tidak peduli terhadap kebutuhan masyarakat. Adakalanya masyarakat membutuhkan figur pemimpin seperti pastor. Masyarakat pun harus tahu bahwa pastor yang telah memilih untuk menjadi imam terikat pada aturan. Ketika permintaan masyarakat sangat kuat, Gereja tetap mengabulkan permintaan tersebut dengan catatan pastor yang bersedia menjadi pejabat publik harus meninggalkan seluruh hak dan kewajibannya sebagai pastor. **(Fidelis Harefa)
Posting Komentar