"Soempah Pemuda 28 Okt 1928" adalah hasil jerih payah perjuangan masyarakat daerah yang saat itu memiliki kesamaan nasib, kesamaan sejarah, dan kesamaan cita-cita untuk hidup bersatu, mewujudkan kemerdekaan. Kemerdekaan pun tercapai pada 17 Ags 1945. Bangsa Indonesia telah mengalami beberapa masa transisi. Dari ORLA ke ORBA, dari ORBA ke Reformasi. Dan sekarang kita ditantang untuk merealisasikan Revolusi Mental.
Kira-kira, KESAMAAN APA yg bisa kita jadikan basis kekuatan saat ini untuk mewujudkan CITA-CITA YG SAMA? Fenomena yg ada: Alasan otonomi daerah, masing-masing prov dan kabupaten punya kepentingan dan cita-cita. Alasan Independensi, masing-masing kelompok memiliki cita-cita dan kepentingan yg harus diperjuangkan. Alasan HAM, pemikiran primordialisme diakomodir sebagai salah satu poin penting dalam deretan perjuangan kekinian.
Kalau "kebersatuan" kita direduksi dalam "perang kepentingan", makna kekinian Soempah Pemoeda yang hari ini kita peringati seperti apa?
Palangka Raya, 28 Oktober 2016 (88 Tahun Soempah Pemoeda).
Teks di atas merupakan catatan lepas saya bertepatan dengan peringatan 88 tahun Sumpah Pemuda beberapa hari yang lalu yang saya tuliskan di halaman facebook pribadi. Catatan lepas ini menjadi acuan saya untuk melayangkan opini tentang topik Pemuda Di Era Digital.
***
Ilustrasi dari codepolitan.com |
Pemuda dulu sebelum kemerdekaan memang berbeda dengan pemuda sekarang. Ini harus disadari dan diakui. Pandangan ini sedikit kontra dengan pendapat kebanyakan orang. Tapi tidak apa, kita anggap saja sebagai salah satu pengingat di saat kita sedang terlena dalam kebanggaan kemajuan peradaban bangsa. Pendapat kontra tidak selamanya bermuatan negatif tetapi merupakan salah satu pandangan dari sudut berbeda tentang satu topik. Dari catatan lepas di atas, terlihat jelas perbedaan "tujuan" pemuda sebelum kemerdekaan, bukan perbedaan "instrumen" atau alat yang digunakan. Pemuda sebelum kemerdekaan membangun kesadaran bahwa ada kesamaan cita-cita, ada kesamaan tujuan, ada kesamaan sejarah, ada kesamaan nasib yang harus diobah, kemudian bermuara pada mewujudkan kemerdekaan".
Dari segi kecanggihan teknologi untuk penyebaran informasi, radio transistor merupakan instrumen paling canggih yang dapat menyebarkan informasi secara cepat di masa itu. Tapi karena keyakinan mereka begitu kuat untuk mewujudkan kemerdekaan dari penjajahan bangsa lain, akhirnya tercapailah tujuan itu dalam konteks persatuan dan kebersamaan. Pemuda yang dulu ikut mengikrarkan "Sumpah Pemuda" terlibat aktif hingga ada di antara mereka yang menumpahkan darah di medan pertempuran. Bertempur dengan "darah", mempertaruhkan "nyawa" demi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka.
Siapa pemuda saat ini? Apa peran mereka untuk bangsa Indonesia? Ini sebuah pertanyaan kritis di era digital. Bertanya tentang "siapa", ada kecenderungan sebagian orang mengeluarkan diri dari kelompok yang dimaksud. Ada yang merasa bukan pemuda karena memahami dalam konotasi harafiah, ada pula yang keluar dari zona pemuda karena merasa tidak mampu berbuat sesuatu atau melakonkan salah satu peran. Setuju atau tidak, pemuda dalam konteks ini adalah setiap orang yang potensial mampu berbuat untuk bangsa ini. Potensi untuk mepersatukan, potensi untuk memecah-belah, mewarnai kehadiran pemuda zaman sekarang. Dalam konteks digital, kita semua masuk di dalamnya, para pakar IT, para jurnalis dan semua orang yang memanfaatkan teknologi digital. Apa peran mereka untuk bangsa Indonesia? Mari kita lihat fenomena yang ada. Mari kita identifikasi realitas yang ada. Hal ini tidak berarti kita terkurung dalam sikap pesimis berlebihan. Kesempatan ini menjadi titik beranjak, titik tolak untuk sebuah perubahan.
Devide et Impera
Rakyat Indonesia yang plural, multikultur sangat mudah dihasut, dan gampang menjadi penghasut. Ini merupakan catatan hitam dalam perjuangan bangsa Indonesia. Belanda menjajah Indonesia selama 350 tahun karena memanfaatkan politik devide et impera. Apakah Belanda yang menghasut? Jelas, bukan. Belanda hanya menawarkan sejumlah rupiah agar sesama rakyat Indonesia saling menghasut. Pola perilaku "gampang terhasut dan senang menghasut" merupakan sifat yang sudah ada sejak lama. Di saat kita sedang menikmati kemerdekaan dari tangan penjajah, bermunculan tokoh-tokoh rupiah baru yang ingin memecah-belah bangsa ini. Dalam konteks "era digital" senjata ampuh yang digunakan adalah teknologi digital ini. Media sosial, web portal informasi, video content dan lain sebagainya menjadi media untuk menghasut.
Peran Media Informasi
Pembentukan opini publik adalah tugas dan tanggung jawab media informasi. Oleh karenanya, dari dulu selalu ditekankan bahwa para jurnalis harus selalu netral. Ketika para jurnalis dalam menyampaikan informasi berada pada status "berat sebelah", opini publik pun "oleng", jalan menyamping seperti kapal yang nyaris tenggelam. Masih hangat diingatan kita istilah "Lonceng Kematian Keadilan, yang disampaikan oleh Otto Hasibuan dalam proses sidang Jessica, bukan?" Peran media dalam menyampaikan informasi bisa menggiring kita pada pembunuhan karakter dan menenggelamkan keadilan. Media informasi terkadang jauh lebih kuat daripada hukum.
Digitalisasi Tuhan
Ini mungkin lebih parah. Tuhan yang dari 'adanya" tidak terbatas pada ruang dan waktu diseret-seret dalam dunia digital. Direduksi dalam gambar-gambar tak senonoh, dikomersilkan dalam potongan video, digunakan sebagai alat untuk saling menghujat bahkan diseret pula dalam dunia politik. Ini semua adalah konsekuensi era digital yang tidak dimanfaatkan dengan baik. Tuhan, yang dari sononya "memampukan" kita untuk berpikir, kini kita berbuat seolah-olah "lebih mampu dari Tuhan".
***
Beberapa hal di atas adalah fenomena yang sedang terjadi saat ini. Masih banyak lagi realitas yang dapat kita identifikasi dalam era digital. Dalam dunia politik dan birokrasi, teknologi digital lebih sering digunakan untuk menggelindingkan isu. Kita boleh saja bangga atas perkembangan teknologi yang begitu pesat, namun hal-hal yang fundamental dalam hidup berbangsa dan bernegara jangan dirusak.
Penipuan dan pencurian melalui teknologi digital bukan lagi hal langka. Kejahatan fisik di dunia nyata berpindah ke dunia maya menggunakan teknologi digital. Carding, Cracking, penyebaran video-video porno, pencemaran nama baik, prostitusi dari darat ke udara, pemerasan dan lain sebagainya merupakan efek penyalahgunaan teknologi digital.
Peran Pemuda di Era digital?
Bila kembali pada makna Sumpah Pemuda, seharusnya teknologi digital dimanfaatkan untuk senantiasa menjaga persatuan bangsa. Teknologi digital dipakai sebagai senjata untuk mengisi kemerdekaan, bukan mencemari kemerdekaan. Teknologi digital digunakan sebagai senjata untuk menyatukan, bukan memecah-belah. Teknologi digital dipakai untuk membangun keadilan, bukan mematikannya. Teknologi digital dipakai untuk MEMBESARKAN NAMA TUHAN, bukan merendahkan dan menghinanya, teknologi digital dipakai untuk ...
Fidelis Harefa
Posting Komentar