Pengaruh yang kuat ini, membawa kesadaran bahwa de facto bangsa kita tidak akan pernah berdiri sendiri. Urgensi kebutuhan menuntut kita untuk tetap memerlukan bangsa yang lain. Kontak dengan bangsa lain menjadi tuntutan yang tidak mungkin dihindari. Melalui kontak itu, terciptalah peluang untuk menerima pengaruh-pengaruh dari pengetahuan-pengetahuan baru yang berguna untuk mengubah kondisi hidup sosial kita. Penerimaan pengetahuan - pengetahuan yang baru, jelas membawa kemungkinan bagi perkembangan bangsa dalam berbagai bidang kehidupan.
Dalam rangka perubahan sosial yang merupakan akibat logis dari kontak dengan bangsa lain, perlu diperhatikan dua akibat penting yang dikenal sebagai difusi dan akulturasi. Suatu akibat dengan bentuk difusi terjadi apabila kontak dengan bangsa lain mengakibatkan salah satu sektor dalam kehidupan sosial yang berubah dan berkembang, mengikuti model yang dimasukan dari bangsa lain. Sebagai misal, bila kita mengambil alih sistem pertanian dengan penggunaan teknologi seperti traktor, bolduser, eskafator, maka ini kita kwalifikasikan sebagai difusi dari unsur kebudayaan lain yang kita terima dalam kehidupan sosial kita.
Sedangkan apabila kontak dengan bangsa lain, mengakibatkan pengambilalihan model budaya kita hampir dalam semua bidang, maka ini disebut akulturasi. Seperti hubungan dengan dunia barat yang melahirkan teknologi dengan segala sistem dan corak bangsa yang dibawa sebagai akibat teknologi itu.
Teknologi yang diterima memang berguna untuk meningkatkan taraf hidup bangsa kita. Tetapi tidak semua proses penerimaan itu mendatangkan akibat positif. Di pihak lain melalui penerimaan itu, ada pula akibat negatif yang dapat mencemari dan merugikan budaya bangsa. Sebab transformasi budaya yang disebabkan oleh teknologi maju justeru akan menimbulkan semakin karibnya hubungan kita dengan teknologi. Dan apabila hubungan itu berakibat kita dikendalikan oleh teknologi maka nilai-nilai dasar budaya yang ada akan mengalami erosi. Akhirnya dengan mudah kita dikuasai oleh teknologi dan bukan sebaliknya.
Kita lalu tenggelam dalam ciptaan sendiri dan menggantungkan nasib keberuntungan pada kondisi yang kita bentuk sendiri. Keadaan seperti ini dapat menimbulkan suasana confuse yang menurut Frank Lloyd, akan membuat kita seperti “ternak goblok” atau kawanan semut yang berputar-putar bingung mencari lubangnya. Kita bingung karena kehilangan pegangan. Kita terperosok di antara simpang nilai-nilai lama dan nila-nilai baru yang kita terima, sementara itu laju dan kepesatan teknologi semakin menggulir dalam arus waktu yang terus mengalir.
Mempertimbangkan kemungkinan ini, maka sikap selektif terhadap teknologi yang kita terima perlu dipertajam dengan tetap bertumpu pada perspektif nilai budaya yang kita sandang. Kita tetap perlu mencermati dampak teknologi yang memang sulit dielaki. Kecermatan dapat membantu kita untuk tidak gegabah mengambil teknologi yang dapat mencemarkan citra budaya bangsa sendiri.
Sikap kritis dalam menerima teknologi, menurut J. Sudarminta, sungguh sangat dibutuhkan, karena teknologi dapat membawa dampak negatif. Di satu pihak kemajuan teknologi dapat membebaskan kita dari kungkungan determinasi alam lingkungan dan susah payah kerja fisik, sehingga martabat kita dapat diangkat. Di lain pihak, potensi dan ketidak seimbangan alam lingkungan menimbulkan masalah-masalah yang sulit dipecahkan.
Fisika dan teknologi nuklir di satu pihak telah memberi tenaga listrik yang relatif murah, tetapi di lain pihak menciptakan tenaga nuklir yang mengancam keberadaan kita sendiri. Rekayasa genetika membantu meyejahterakan hidup kita melalui bidang pertanian, peternakan dan pengobatan, dilain pihak memungkinkan kita untuk memanipulasi hidup sesama. Jadi dengan teknologi kita bisa menolong diri, tetapi sekaligus bisa menghancurkan diri sendiri.
Terhadap dampak teknologi yang dapat menimbulkan problem majemuk, Budi Hardiman lebih jauh melihat bahwa teknologi adalah produk rasionalisasi sistem yang merupakan hasil persetujuan dengan dunia kehidupan (Lebenswelt). Ia mencakup sistem kerja, sistem informasi dan iklim tehnis yang terangkum dalam rasionalitas instrumental dan sistem-sistem administratif. Ia tidak berjalan sendirian. Ia muncul karena ada persetujuan dari dunia sekitar dan karena adanya apresiasi masyarakat sehari-hari yang menyetujuinya.
Karena itu apabila teknologi yang in se produk dunia barat, begitu saja diterima tanpa menyadari kharakteristiknya yang memuat imperatif-imperatif obyektif dan tanpa memperthitungkan kondisi bangsa kita, maka akan muncul patologi-patologi sosial. Sebagai contoh, teknologi yang berkembang saat ini, mulai mendikte moral kehidupan masyarakat. Teknologi yang berlogikakan “kalau mungkin…berarti bisa” akhirnya menerjang dunia moral dengan logika lebih lanjut “ kalau bisa….berarti boleh”. Dengan demikian bidang kehidupan dan bidang moralita masyarakat seolah hanya mengadaptasi terhadap perkembangan teknologi yang demikian pesat.
Akibat yang muncul Pertama, krisis seperti : krisis moralitas, krisis makna, krisis kebudayaan, desintegrasi sosial, muncul utilitarianisme, individulisme, hedonisme dan eksploitasi berlebihan yang membawa keterasingan pada bangsa kita serta penghancuran lingkungan atau sumber alam ( natural resources).
Kedua, kalau pada masyarakat muncul dan mengakar apa yang disebut “Mentalitas Teknologi” yaitu sikap percaya yang berlebihan pada teknologi, seolah-olah segala sesuatu bisa dipecahkan olehnya dan sesuatu akan lebih meyakinkan kalau dilakukan dengan peralatan yang canggih dan perhitungan kwantitatif. Di sini ilmu pengetahuan dan tehnologi dalam arti tertentu menjadi agama sekular.
Ketiga, mentalitas seperti ini menurut sinyalemen Prof. T. Jacob, cepat tertular pada kaum muda. Kaum muda lebih mudah terkesan oleh prestasi-prestasi riil yang disumbang oleh teknologi. Kadang-kadang mereka cepat menilai dan menganggap ilmu dan teknologi sebagai juruselamat sejati yang dapat memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi.
Jadi dalam situasi kebimbangan teknologis seperti ini, apresiasi terhadap kepesatan tehnologi menjadi conditio sine qua non untuk bangsa yang sementara membangun di Indonesia. Sebab kita tidak bisa menyangkal bahwa di balik pesatnya teknologi muncul implikasi-implikasi praktikal. Karena itu, diharapkan agar para konseptor pendidikan dan pembangunan, mengusahakan langkah-langkah kebijakan dengan bertolak dari pertimbangan-pertimbangan etis, moral dan keagamaan. Sehingga walaupun perkembangan teknologi semakin pesat dan kita pun bergulir bersamanya, namun masih dapat dimbangi dengan suatu pegangan regulatif yang memungkinkan citra budaya bangsa kita tetap terlindung di tengah arus teknologi yang de facto melingkupi kita.
Secara garis besar langkah-langkah kebijakan yang mungkin adalah : Pertama, menanamkan dan mengembangkan consientisasi (proses penyadaran) historis (secara objektif) melalui media-media edukatif yang dapat memberikan keinsafan kepada masyarakat khususnya generasi muda, bahwa sejak dahulu bangsa Indonesia bertumbuh dan berkembang dalam suatu tataran budaya yang mengandung potensi-potensi tehnologis, yang telah menghantarnya menuju suatu puncak keberhasilan dan bahkan tercatat dalam lembaran sejarah masa lalu sebagai bangsa yang pernah mengalami masa-masa keemasan. Consientisasi historis ini dimaksudkan agar walaupun adaptasi bangsa kita dengan perkembangan teknologi semakin kuat, namun masyarakat tetap memiliki landasan historis yang kokoh sehingga tidak mudah tercabut dari akar budaya sendiri.
Kedua, perlu dikembangkan sikap saling menghargai diantara kaum elite bangsa, para penentu kebijakan dan para pengelola administrasi publik, karena mereka semua adalah agen komplementer yang memiliki latar belakang pengetahuan dan keahlian spesifik untuk saling melengkapi dalam rangka menghantar bangsa ini kepada suasana bonum commune (kesejahteraan bersama). Sedapat mungkin dihindari pemaksaan keahlian teknologis tanpa komunikasi disipliner antar para subyek penentu bangsa. Pemaksaan keahlian teknologis yang dinilai belum urgen menjawabi kebutuhan bangsa, hanya dapat mengakibatkan lilitan problem yang penyelesaiannya bagaikan mengurai benang basah. Dan karena itu, terpaksa diintervensi “orang luar” yang bayarannya seringkali bersifat mempertaruhkan harga diri bangsa.
Ketiga, menanamkan nilai-nilai religius sebagai bingkai sejati bagi aklak bangsa. Nilai religius dapat mempertajam kesadaran diri sebagai ciptaan yang bercitra luhur, sebab di dalam diri manusia tertitip percikan daya Ilahi berupa “suara hati nurani” yang memberi kemampuan baginya untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Dalam hal ini, bangsa yang memilik landasan religius yang kokoh tidak akan merasa takut untuk membuka diri terhadap perubahan, karena nilai-nilai religius yang digenggamnya dapat membantu untuk bersikap selektif terhadap nilai-nilai baru yang terkandung dalam arus perkembangan tehnologi.** Rm. Frieds Meko, SVD
Posting Komentar