Pada Pertemuan I Pendalaman Kitab Suci 2011, Yesus mengajar kita melalui perumpamaan "ORANG SAMARIA YANG BAIK HATI, (LUK. 10:25-37). Gagasan Pokok dari Pertemuan ini adalah: BAGAIMANA SEHARUSNYA KITA BERTINDAK SEBAGAI SESAMA.
Masyarakat di zaman kita sekarang mudah dikotak-kotakan berdasarkan etnis, agama, kedudukan, status, kekayaan, pendidikan dan sebagainya. Situasi terkotak-kotak ini sering membuat orang bertanya tentang SIAPAKAH LAWAN DAN SIAPAKAH KAWAN. Perumpamaan ini mengajak kita untuk keluar dari pertanyaan di atas dan beralih kepada pertanyaan BAGAIMANA AKU DAPAT MENJADI SESAMA, MENJADI KAWAN, MENJADI SAUDARA BAGI ORANG LAIN? Dengan kata lain, kita diajak untuk meruntuhkan tembok pemisah yang membuat kita selama ini terkotak-kotakan.
Kalau kita membaca Injil Lukas 10:25-37, Ahli Taurat hadir sebagai seorang yang mempertanyakan "siapakah sesamaku manusia?" kepada Yesus. Ahli Taurat bukannya tidak tahu jawabannya, sebab sesungguhnya segala sesuatunya sudah diatur juga dalam Taurat. Tujuannya bertanya kepada Yesus adalah untuk mencobai Yesus.
Bagaimana Yesus harus menjawab? Dalam Injil, Yesus menjawab melalui perumpamaan. Sebelum kita masuk dalam Perumpamaan, ada baiknya kita mengetahui lebih dulu situasi masyarakat pada zaman itu.
Yang biasa dianggap sesama oleh orang Yahudi pada waktu itu adalah mereka yang sebangsa atau sesuku. Meskipun demikian, kaum Farisi dan Komunitas Eseni mempersempit definisi sesama hanya pada kelompok mereka sendiri. Bagi orang Farisi, orang di luar kelompoknya dianggap sebagai "anak negeri" (" am ha-ares") atau orang kebanyakan. Demikian pula kaum Eseni yang hidup dalam komunitas di pinggir Laut Mati, menganggap mereka yang ada di luar komunitasnya sebagai "anak-anak kegelapan". Orang Yahudi pada umumnya tidak menganggap Orang Samaria (karena merupakan keturunan campurang Israel-Asyur) dan bangsa asing sebagai sesama. Selain itu, di kalangan Yahudi ada beberapa kelompok yang tidak dianggap sebagai sesama seperti para pemungut cukai, kaum pendosa dan orang kusta. Inilah situasi masyarakat pada zaman itu.
Yesus menyampaikan perumpamaan dengan tujuan untuk menghancurkan batas-batas di atas. Dalam perumpamaannya, Yesus menghadirkan Orang Samaria sebagai gambaran sikap perlawanan secara ekstrim dari sikap Seorang Imam dan Seorang Lewi. Seorang Imam dan Seorang Lewi adalah merupakan tokoh agama. Tetapi ketika mereka melihat seseorang yang tergeletak di tanah, korban perampokan, mereka hanya lewat saja. Imam dan Orang Lewi terikat oleh aturan NAJIS DAN TAHIR yang mereka hayati secara kaku. Orang Samaria, yang justru dianggap bukan sesama oleh Orang Yahudi, itulah yang menolong dengan kasih.
Bagaimana Perumpamaan ini kita hayati pada zaman kita sekarang ini? Sanggupkah kita bertindak seperti orang Samaria bila berhadapan dengan situasi yang menuntut pertolongan kita? Masihkah kita memelihara tembok pemisah yang membuat kita tidak memiliki sesama dalam arti yang luas seperti dimaksudkan oleh Yesus? Mudah-mudahan pada diskusi kelompok Pertemuan pertama kita dapat berbagi bersama untuk menemukan jawabannya.
Posting Komentar